Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
yang diampu oleh :
Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN., M.Pd. dan
Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd.

Oleh
Kelompok 7

Chiara Fanni 2200606


Luthfiyana
Nurul Azizah 2202268
Jihan Afra Salsabila 2202504
Mohamad Ali Masykur 2210244

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022

2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis
ilmiah ini dengan tepat waktu. Adapun judul dari makalah yang kami paparkan
adalah “Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah”.
Pada Kesempatan kali ini penulis ucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah PB103 Psikologi Perkembangan, yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini
Penulis menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu kritik dan saran sebagai masukan untuk makal ini menjadi lebih
baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Bandung, 04 November

Tim Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah..........................................5
2.1.1 Perkembangan Sosial...............................................................................5
2.2.2 Perkembangan Kesadaran Beragama......................................................8
2.2. Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran..........9
2.2.1 Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran..................9
2.2.2 Hubungan Perkembangan Bahasa dengan Pembelajaran......................10
2.2.3 Hubungan Perkembangan Sosial dengan Pembelajaran........................12
2.2.4 Hubungan Perkembangan Emosi dengan Pembelajaran.......................14
2.2.5 Hubungan Perkembangan Beragama dengan Pembelajaran.................15
2.2.6 Hubungan Perkembangan Fisik (Motorik) dengan Pembelajaran.........17
BAB III..................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
3.1 Simpulan.......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

4
BAB I
PENDAHULUAN

Seiring bertambahnya usia, manusia pasti akan mengalami berbagai


pertumbuhan dan perkembangan. Tahap perkembangan anak usia sekolah
dimulai sejak anak berusia 6 tahun sampai organ-organ seksualnya matang. Pada
anak usia sekolah, anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak
yang usianya lebih muda. Perbedaan ini terlihat dari aspek fisik, mental-
intelektual, dan sosial-emosional. Pertumbuhan fisik pada anak usia sekolah tidak
secepat pada masa-masa sebelumnya.
Anak yang memasuki periode usia sekolah akan mulai belajar tentang
lingkungan yang lebih luas serta mulai mempelajari tanggung jawab yang lebih
kompleks. Pada periode ini kemampuan fisik anak akan meningkat sehingga
bermanfaat untuk aktivitas yang melibatkan kemampuan atletiknya, selain itu
proses berpikir anak juga menjadi lebih logis. Mereka dapat mulai ikut serta
dalam permainan yang memiliki aturan, menguasai keterampilan dasar akademik
seperti membaca, menulis dan menghitung serta memiliki pemahaman akan diri
dan orang lain, aturan-aturan, mulai mengenal moralitas, dan hubungan sosial
secara mendalam seperti persahabatan dengan teman sebaya.
Perkembangan anak pun tidak luput dari kondisi dirinya, bagaimana ia anak
menerima kondisi lingkungannya, apakah anak dapat menerima kondisi dirinya,
apakah anak dapat mengambil pemahaman dari apa yang dipelajarinya. Menurut
(Sabani, 2019) meskipun alam telah memberi peluang yang besar dalam proses
perkembangan manusia, akan tetapi peluang itu akan tergantung dengan apa yang
dipelajarinya. Dengan demikian, mau seberapa besar pengaruh lingkungan
terhadap perkembangannya, apabila anak tidak dapat mengambil pemahaman dari
apa yang dipelajarinya, perkembangan anak itu tidak akan terlihat optimal.
Keberhasilan dalam proses pembelajaran tentunya akan membawa kepada
keadaan kebahagiaan hidup, dan sebaliknya prose pembelajaran yang tidak efektif
akan berpengaruh pada proses perkembangan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah


2.1.1 Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial pada anak ditandai dengan proses pencapaian
kematangan dalam kehidupan sosialnya, bagaimana dia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, berinteraksi dengan lingkungannya dan mengikuti aturan yang
ada dalam lingkungan sosialnya (Latifa, 2017). Perkembangan sosial digambarkan
sebagai kesempatan individu untuk mengembangkan kemampuannya melakukan
interaksi dan hidup berdampingan dengan sesama dalam waktu tertentu. Dapat
juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-
norma kelompok, tradisi dan moral agama.
Dalam perkembangan sosial anak, anak dapat memahami dan memikirkan
orang lain. Pemikirannya terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah ke
penilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Anak akan
memunculkan perilaku dan sikapnya berdasarkan hasil pemikirannya. Anak juga
bisa menyembunyikan dan merahasiakan pikirannya dan tidak menyatakannya
dalam bentuk tindakan (Dewi et al., 2020).
Karakteristik dan ciri tingkah laku sosial anak usia sekolah adalah minat
terhadap kelompok makin besar dan mulai mengurangi ke ikut sertaannya pada
aktivitas keluarga. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya geng-geng pada anak usia
sekolah dalam lingkungannya. Anak anak membentuk geng hanya untuk
kesenangan bermain bukan untuk melakukan kekacauan. Biasanya anak anak
membentuk geng ini berdasarkan gender, yaitu geng anak laki-laki dan geng anak
wanita. Perbedaan geng anak laki-laki yaitu tipe kegiatannya lebih keras,
bergejolak, dan bersifat petualangan seperti: peperangan, mencari ikan, berburu
ikan, dan memanjat pohon. Sementara itu geng anak wanita lebih tampak
kelembutan dan hubungan sosial seperti: main congklak, main tali dan petak
umpet (Santoso, 2019).
Pengaruh yang timbul pada keterampilan anak diantaranya adalah:
membantu anak untuk belajar bersama orang lain dan bertingkah laku yang dapat

6
diterima oleh orang lain. Membantu anak mengembangkan nilai sosial yang
dimana lebih mementingkan kepentingan Bersama daripada kepentingan diri
sendiri. Membantu mengembangkan kepribadian anak yang mandiri dengan
mendapat kepuasan emosional dari rasa berkawan. Anak akan melakukan
penilaian terhadap diri sendiri yang mempengaruhi hubungan sosial mereka.
Disamping itu anak akan memberi penilaian tentang rasa senang dan tidak senang
pada orang lain.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota
keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai
mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada anak usia sekolah,
bentuk-bentuk tingkah laku sosial tersebut ditunjukkan dengan berbagai hal
berikut:
1) Pembangkangan (negativisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan.
Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau
tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan keinginan
anak. Berkembangnya tingkah laku negativisme pada usia ini dianggap
wajar. Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses
perkembangan pada anak usia sekolah.
2) Agresi, yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap
frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan/keinginannya)
yang dialaminya. Agresi ini terwujud dalam perilaku menyerang, seperti :
memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah dan mencaci
maki. Orang tua menghukum anak yang agresif, menyebabkan
meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua
berusaha mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara
mengalihkan perhatian/ keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu
yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya),
atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
3) Berselisih/bertengkar, terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung
atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu pada
saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.

7
4) Menggoda, yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda
merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal
(kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah
pada orang-orang yang diserangnya.
5) Persaingan, yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong
oleh orang lain.
6) Kerja sama, yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok.
7) Tingkah laku berkuasa, yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi
sosial, mendominasi atau meminta, menyuruh dan mengancam atau
memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
8) Mementingkan diri sendiri, yaitu sikap egosentris dalam memenuhi
keinginannya. Anak ingin selalu dipenuhi keinginannya dan apabila
ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
9) Simpati, yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh
perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama
dengannya.
Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, Proses
sosialisasi anak secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor keluarga
dan faktor lingkungan luar keluarga.
1. Faktor keluarga
Keluarga adalah tempat dimana anak pertama kali bersosialisasi, oleh
sebab itu, keluarga sangat berpengaruh terhadap perilaku anak dalam
perkembangan sosialnya. Sebagai contoh anak yang mempunyai
keluarga yang berkecukupan dan harmonis membuat anak lebih
percaya diri dan terbuka dalam pergaulannya. Akan tetapi, anak yang
berada pada lingkungan keluarga yang kurang harmonis atau keluarga
yang berada pada kondisi kekurangan menyebabkan anak lebih
tertutup dan rendah diri.
2. Faktor lingkungan di luar keluarga
Sebagai contoh adalah lingkungan sekolah. Sekolah memiliki
pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan sikap sosial anak
karena selama pertengahan dan akhir anak-anak, anak-anak

8
menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah sebagai anggota suatu
masyarakat kecil yang harus mengerjakan sejumlah tugas dan
mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi perilaku,
perasaan dan sikap mereka.
Di dalam lingkungan sekolah, ketika pertama kali anak memasuki
lingkungan sekolah atau pergaulan teman-temannya tidak menerima
anak tersebut dengan baik maka anak itu akan merasa minder dan akan
mempengaruhi keterampilan sosial pada tahap perkembangan
berikutnya.
2.2.2 Perkembangan Kesadaran Beragama
Dasar nilai-nilai agama ditanamkan pada anak-anak pada masa sekolah
dengan tahapan sesuai dengan usia dan untuk menerima kenyataan akan hal-hal
yang tidak selamanya rasional. Ajaran agama dengan pola fisik maupun psikis
anak-anak di usia sekolah dasar menunjukkan peran penting psikologi yang
menjadikannya berkaitan erat dengan agama. Hal ini berkaitan dengan
perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
Fase perkembangan keberagamaan individu dalam beragama (Ernes Hermar) :
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Dimulai ketika anak berusia 3 tahun sampai 6 tahun. Pada tingkat ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
Dalam tingkat perkembangan ini seakan akan menganggap Tuhan itu
kurang masuk akal, dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan).
Tingkat ini dimulai sejak masuk sekolah dasar sampai ke masa usia
adolosense. Pada masa ini anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-
lembaga keagamaan dan pengajaran agama dan orang dewasa lainnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu).
Pada tingkat ini anak sudah memiliki kepekaan yang paling tinggi dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistic ini
terbagi atas tiga, yaitu: pertama, konsep ketuhanan yang konvensional dan
formatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut

9
disebabkan oleh pengaruh luar; kedua, konsep ketuhanan yang lebih murni
dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan);
ketiga, konsep ketuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi
ethos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal (Syafri, 2018).
Faktor faktor tercapainya perkembangan nilai agama dan moral, yaitu:
a. Internal atau dari dalam diri anak
Faktor genetik atau hereditas merupakan faktor internal yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan individu. Hereditas dapat
diartikan sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang
tua.
b. Keluarga atau lingkungan
Peran orang tua adalah membimbing anaknya di jalan yang benar.
Pembimbingan tersebut merupakan bukti bahwa keluarga merupakan
Pendidikan dasar yang pertama bagi anaknya. Pendidikan keluarga juga
merupakan pendidik dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
dalam hal ini orang tua maupun keluarga inti.
c. Sekolah
Lembaga pendidik merupakan pelanjut dari pendidikan rumah tangga.
Sekolah memiliki peran penting karena mengajarkan agama secara lebih
luas melalui mata pelajaran agama seperti Tarikh, Bahasa arab, aqidah
akhlak, Al-Qur’an Hadits, serta fiqih. Selain itu, kegiatan
ekstrakulikulernya yang mendukung seperti BTQH, Qiro’ati dan
sebagainya.
Perkembangan agama yang dapat tercapai dengan baik pada anak-anak usia
sekolah dasar dapat menghindarkan dari perilaku penyimpangan agama seperti
penggunaan narkotika, zat adiktif, minuman keras, perilaku free seks, pelacuran,
sodomi, homo seks serta lesbian (Nabilah, 2019).

10
2.2. Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran
2.2.1 Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran
Perkembangan adalah prosedur berkelanjutan yang dimulai dari dalam
kandungan sampai usia dewasa. Untuk proses perkembangan ini, seseorang akan
melalui setiap tahapan perkembangannya hingga mencapai usia dewasa. Menurut
(Witasari, 2018) perkembangan itu diantaranya perkembangan fisik, emosional,
sosial, serta intelektual. Perkembangan fisik berkaitan erat dengan perihal fisik
tubuh, emosi sangat berkaitan dengan perasaan, sosial sangat berkaitan dengan
alam dan masyarakat sekitarnya, dan intelektualitas berkaitan erat dengan rasa
ingin tahu serta kemampuan berpikir. Menurut Fatma (2019) tahap perkembangan
dapat diartikan menjadi pembentukan atau tahap kehidupan seseorang dengan ciri-
ciri atau pola tingkah laku khusus.
Perkembangan intelektual, kecerdasan atau untuk ranah psikologi atau
pendidikan diistilahkan dengan perkembangan kognitif, adalah suatu pengetahuan
yang menganalisis aktivitas psikis atau cara kerja keahlian berpikir abstrak
individu. Perkembangan intelektual berhubungan dengan kemampuan kognitif
seseorang, yaitu kemampuan berpikir dan memecahkan masalah. Aspek kognitif
juga dipengaruhi oleh perkembangan sel saraf pusat diotak (Putriana et al., 2021).
Berbicara mengenai masalah tumbuh kembang dan perkembangan
intelektual (kognitif) anak, secara umum masyarakat mengacu pada teori Jean
Piaget yang menyatakan bahwa perkembangan intelektual merupakan hasil
interaksi dengan lingkungan dan kematangan anak. Dalam teori Piaget,
pemahaman kognitif adalah potensi intelektual yang dipunyai anak. Pemahaman
intelektual ini sangat berhubungan dengan pengetahuan yang dipunyai anak yang
bisa diamati dengan hasil belajar anak di sekolah seperti buku laporan hasil
belajar. Tidak hanya hasil belajar, sebenarnya proses belajar anak penting
diketahui. Sebab proses atau pola anak dalam mendapatkan hasil yang bagus tidak
lepas dari cara anak belajar.
Menurut (Priatna, 2016), karakteristik yang penting dalam perkembangan
masa anak di sekolah dasar terdapat pada faktor fisik, intelektual, serta emosional
yang ditandai dengan: (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan sosial, (3)

11
tumbuhnya rasa ingin tahu, (4) pembentukan karakter, (5) perkembangan otak, (6)
perkembangan minat, serta (7) pembentukan kepribadian.

2.2.2 Hubungan Perkembangan Bahasa dengan Pembelajaran


Pengetahuan tentang perkembangan bahasa anak usia dini sangat membantu
tercapainya pembelajaran keterampilan dasar bahasa yang baik. Bagi orang tua
dan guru, pemahaman tentang perkembangan bahasa anak usia dini sangat
membantu dalam meningkatkan perkembangan kemampuan bahasa anak.
Dengan mengenalkan teori-teori pengembangan bahasa, anak mampu
meningkatkan perkembangan bahasa secara optimal. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberi contoh yang baik, memberikan motivasi pada anak dan
menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan anak usia dini.
Pengembangan bahasa terbagi atas beberapa teori dalam perkembangannya
melewati tahap-tahap tertentu.
Beberapa ahli berpendapat bahwa Bahasa merupakan kemampuan yang
dibawa sejak lahir, sedangkan para ahli lain berpendapat adanya pengaruh faktor
baik eksternal maupun internal terhadap kemampuan bahasa. Uraian di bawah ini
akan menjelaskan beberapa teori pengembangan penembangan bahasa yang
sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat di antara para ahli tersebut.
1. Teori Navitis
Teori Navitis ini berpandangan bahwa ada unsur keterkaitan yang erat
antara faktor biologis dengan perkembangan bahasa. Teori Navitis
meyakini bahwa kemampuan bahasa merupakan kemampuan bawaan
sejak lahir. Selanjutnya belajar bahasa tidak dipengaruhi oleh
intelegensi maupun pengalaman individu. Para ahli Navitis juga
meyakini bahwa anak-anak menginternalisasi aturan tata bahasa
sehingga mereka dapat menyusun berbagai macam kalimat tanpa
latihan, penguatan, maupun meniru bahasa orang dewasa. Selanjutnya,
teori ini mengemukakan bahwa untuk mendeteksi kategori bahasa
tertentu, seperti fonologi, sintaksis, dan semantik. Teori Navitis
meyakini bahwa kemampuan bahasa merupakan kemampuan bawaan
sejal lahir, ini juga didukung oleh Lenneberg, yang mengemukakan

12
bahwa kemampuan bahasa adalah kemampuan yang dimiliki seseorang
berdasarkan pengetahuan awal yang diperoleh secara biologis(Yusuf,
2016).
2. Teori perkembangan kognitif
Teori ini beranggapan bahwa berpikir sebagai prasyarat berbahasa,
terus berkembang sebagai hasil dari pengalaman dan penalaran. Teori
ini menekankan proses berpikir dan penalaran. Salah satu tokoh yang
terkemuka adalah Jean Piaget. Jean Piaget mengemukakan bahwa
perkembangan bahasa bersifat progresif dan terjadi pada setiap tahap
perkembangan. Perkembangan anak secara umum dan dan
perkembangan bahasa awal anak berkaitan erat dengan berbagai
kegiatan anak, objek dan kejadian yang mereka alami dengan
menyentuh, mendengar, melihat, merasa, dan mencium.
3. Teori interaksionisme
Menurut teori ini, pemerolehan bahasa adalah hasil interaksi antara
kemampuan psikologis siswa dan lingkungan bahasa. Bahasa yang
diperoleh siswa erat kaitannya dengan kemampuan internal siswa dan
input dari lingkungannya.
4. Teori fungsional
Teori fungsional melakukan revolusi penelitian dalam pembelajaran
dan pemerolehan bahasa, dimana mereka melihat bahwa bahasa adalah
hasil manifestasi kemampuan kognitif dan afektif yang bermanfaat
bagi manusia itu sendiri, manusia dan lingkungan sekitar untuk
berhubungan dengan mereka ataupun dalam rangka menjelajah dunia.

2.2.3 Hubungan Perkembangan Sosial dengan Pembelajaran


Keberadaan sekolah sebagai lembaga Pendidikan formal memiliki manfaat
yang besar bagi masyarakat Indonesia, manfaat dapat dirasakan terutama untuk
perkembangan peserta didik (Purwati et al., 2022). Adapun perkembangan sosial
pada anak sendiri adalah bagaimana anak tersebut bisa beradaptasi dengan
lingkungan disekitarnya, hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh (Zemi, 2021)
bahwasannya perkembangan sosial adalah tingkat jalinan interaksi anak dengan

13
orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman bermain hingga masyarakat luas.
Perkembangan sosial merupakan salah satu perkembangan anak usia sekolah yang
sangat diperhatikan, karena anak usia sekolah baru bisa dikatakan perkembangan
sosialnya baik apabila ia mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkup
lingkungannya, maka seiring berjalannya waktu anak akan bertumbuh dan
berkembang serta akan mulai mengenal kehidupan bermasyarakat.
Menurut (Ariin et al., 2018) perkembangan sosial dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok individu sosial sebagai yang mampu beradaptasi dan
kelompok nonsosial sebagai individu yang sulit beradaptasi. Pada perkembangan
individu sosial tentunya akan mudah mengikuti dan memahami apa yang
diinginkan oleh lingkungannya sehingga individu sosial akan lebih aktif dan
tanggap dalam perkembangan sosialnya, sedangkan individu nonsosial atau yang
biasa disebut antisosial akan kesulitan mengikuti keinginan lingkungan dan
cenderung menarik diri sehingga interaksi sosial dengan teman sebayanya tidak
banyak.
Menurut (Matanari et al., 2020) Perkembangan sosial anak usia sekolah
dapat dilihat ketika anak mulai bermain dalam bentuk kelompok, dari kelompok
main tersebut akan terbentuklah kegiatan ringan seperti bermain bersama,
kegiatan ringan tersebut akan menunjukkan adanya anak yang suka berinteraksi
dan anak yang cenderung menarik diri. Contohnya ketika sedang istirahat A hanya
makan siang bersama B sedangkan C lebih suka makan siang sendiri, sehingga C
terlihat seperti anak yang menarik diri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
(Purwati et al., 2022) didapatkan permasalah perkembangan sosial anak,
diantaranya yaitu, (1) peserta didik masih enggan dalam kegiatan kerja kelompok;
(2) peserta didik masih sering memilih-milih teman; (3) masih ada peserta didik
yang dikucilkan; (4) peserta didik hanya mau bekerja kelompok dengan teman
yang akrab; (5) peserta didik belum mampu mengungkapkan dan berbagi rasa
dengan teman sebayanya; (6) peserta didik belum mampu bertanggung jawab
akan kewajibannya. Dengan demikian, sangat diperlukannya guru dalam
membimbing para siswa agar dapat berkembang secara lebih optimal.
Keberadaan guru dalam proses pembelajaran memiliki tanggung jawab
untuk membimbing dan mengarahkan siswanya ke arah yang lebih baik. Dengan

14
demikian guru harus mampu memahami dan mengembangkan segala aspek sosial
yang terdapat pada pendidikan anak usia sekolah. Menurut (Zemi, 2021) ada
beberapa cara guru untuk mengembangkan perkembangan sosial anak yaitu, (1)
menyediakan tempat untuk anak-anak bermain sehingga akan terbentuk sebuah
interaksi antar teman sebaya; (2) menggunakan suatu model untuk menjelaskan
materi; (3) mendorong anak-anak untuk membuat keputusan sebanyak mungkin;
(4) model empati untuk menumbuhkan rasa empati; (5) bermain peran untuk
memecahkan masalah dalam interaksi. Selain itu menurut Prof, Syamsu Yusuf
dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Peserta Didik juga mengatakan
dalam proses belajar di sekolah, kematangan sosial anak dapat difasilitasi dengan
memberikan tugas-tugas kelompok, dengan adanya tugas kelompok maka akan
terlihat bagaimana tingkat kematangan sosial anak tersebut. Apakah anak tersebut
dapat bekerja sama dengan baik, saling menghargai pendapat dan saling
bertanggung jawab atau justru melakukan tindakan penarikan diri dari kelompok.

2.2.4 Hubungan Perkembangan Emosi dengan Pembelajaran


Usia anak sekolah adalah ketika anak memasuki usia 6-12 tahun, dimana
anak akan mulai menjalani kesehariannya sebagai siswa sekolah dasar. Memasuki
tahap kehidupan yang baru maka perkembangan emosi pada anak akan terjadi
secara lebih kompleks dibandingkan saat taman kanak-kanak. Memahami
emosinya sendiri adalah merupakan tugas penting bagi anak, agar anak dapat
merespon kejadian di sekitarnya dengan emosi yang tepat. Interaksi dengan teman
sebayanya akan berkembang pesat yang terkadang akan membuat selisih paham
akibat banyaknya warna dalam dunia pertemanan.
Emosi bukan hanya tentang rasa ingin marah tapi emosi merupakan
perasaan yang ditunjukkan dengan reaksi ketika anak melakukan atau merasakan
sesuatu. Misalnya, seorang anak merasa senang ketika mendapatkan nilai
sempurna. Menurut (Ladubasari, 2018) emosi dapat mempengaruhi penyesuaian
pribadi sosial dan anak, pengaruh tersebut bisa menjadi hal yang berdampak
positif atau pun negatif terhadap anak. Dampak positif dari emosi adalah ketika
anak dalam kondisi yang baik dan gembira, perasaan gembira itu akan
menghadirkan rasa semangat kepada anak sehingga anak memunculkan reaksi

15
persiapan aktivitas pembelajaran yang dibuktikan dengan adanya tindakan.
Sedangkan dampak negatif dari emosi itu sendiri adalah ketika anak dalam
kondisi yang buruk, seperti kecewa, takut cemas maka akan mengganggu
keterampilan motorik serta mengganggu aktivitas belajar, karena anak itu akan
kehilangan selera atau motivasinya untuk belajar.
Dalam proses pengembangan emosi anak, guru harus memahami faktor apa
saja yang mempengaruhi perkembangan emosi tersebut, Adapun dalam penelitian
yang dilakukan oleh (Marsari et al., 2021) diketahui bahwa faktor yang
mempengaruhi perkembangan emosi pada anak, yaitu, (1) keadaan anak itu
sendiri, (2) faktor belajar, (3) konflik dalam proses perkembangan, (4) lingkungan
keluarga. Dengan demikian , guru haru memahami bagaimana keadaan anak itu
sendiri, apakah metode belajar yang diterapkan kepada anak itu baik, apakah anak
tersebut dapat menyelesaikan konflik yang dialaminya dan bagaimana lingkungan
keluarga dari anak itu sendiri.
Gejala emosional yang dialami siswa bisa terjadi kapan saja dan dimana
saja, gejala emosional inilah yang terkadang mengganggu proses pembelajaran
yang dilaksanakan. Masalah emosional yang dihadapi siswa tentunya harus segera
diselesaikan karena apabila masalah tersebut tidak selesai dan terus berkelanjutan,
masalah tersebut akan mengganggu siswa sehingga tidak tercapainya tujuan dari
proses pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh (Agustin,
2017) salah satu gejala emosional yang ditemukan adalah sikap egosentris atau
sikap ingin menang sendiri, ketika sikap egosentris ini muncul anak ini akan
memilih teman kelompok belajarnya dengan orang yang dia rasa cocok dengan
dia, anak ini akan cenderung tidak mau menerima pendapat orang lain.
Keberadaan guru tentunya juga sangat diperlukan dalam mengatasi sikap
egosentris dalam perkembangan emosi pada anak, dengan adanya peran guru yang
dilaksanakan dengan baik, maka perkembangan emosi anak pun dapat diamati.
Menurut (Agustin, 2017) peran guru yang dapat diaktualisasikan adalah, (1)
memberikan proses bimbingan dan konseling, (2) bersikap dan menilai hasil
pembelajaran dengan adil, (3) memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik,
(4) menciptakan iklim belajar yang kondusif, (5) berinteraksi secara tepat dengan

16
peserta didiknya. Dengan demikian, guru harus pandai dalam merangkul siswa
dan membawa siswa ke dalam perkembangan emosi yang optimal.

2.2.5 Hubungan Perkembangan Beragama dengan Pembelajaran


Agama ialah tuntunan yang sifatnya menundukkan, menguasai dan
mengikat bagi manusia, dan manusia berkewajiban untuk patuh terhadap ajaran-
ajaran yang terdapat dalam agama.
Kualitas keagamaan anak usia sekolah dipengaruhi oleh pendidikan yang
diterimanya. Kualitas keagamaan seorang anak usia sekolah sangat berpengaruh
terhadap tahap kehidupan selanjutnya, yakni masa remaja. Sebab
keberpengaruhan tersebut, perlu adanya perhatian terhadap anak usia sekolah
dalam perkembangan beragamanya.
Selaras dengan Zakiah (dalam Yusuf & Sugandhi, 2021) yang menyatakan
bahwa pendidikan agama di sekolah dasar merupakan dasar bagi pembinaan sikap
dan jiwa pada anak. Kemudian, Somad (2021) menyatakan bahwa penanaman
akhlak dan moral sangat diperlukan di usia dini karena anak cenderung lebih
mudah untuk meniru, sehingga mudah untuk membentuk kepribadian yang baik di
masa depan. Lalu, akhlak merupakan esensi dasar ajaran Islam setelah iman,
ilmu, dan syariah. Sehingga dengan adanya pendidikan akhlak sedini mungkin,
maka akan terbina dan tertanam karakter anak yang memiliki mental dan
jiwa kemanusiaan yang baik serta berakhlakul karimah. Jika perkembangan
beragama pada usia anak sekolah berpengaruh terhadap masa selanjutnya maka
secara kualitas pendidikan yang diberikan harus memadai individu atau anak
tersebut mencapai tugas perkembangannya. Sebenarnya, tak hanya dalam
lingkungan pendidikan formal saja. Namun, peran orang tua dan orang-orang
sekitar pun perlu diperhatikan.
Jika peran orang tua pun diperhatikan dalam mendidik anak untuk
menciptakan pemahaman agama maka pendidikan orang tua dalam mendidik pun
perlu diperhatikan. Menurut Azis (2020) memahami konsep keagamaan pada
anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang
mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola “ideas
concept on authority” ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius,

17
maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar
diri mereka. Jika orang tua tidak memiliki pengetahuan tentang pendidikan agama
Islam tentu saja orang tua tidak akan mampu menjadi pendidik, pemimpin,
teladan atau model yang akan ditiru oleh anak-anaknya.
Tak sebatas dalam pemahaman saja tetapi anak perlu melakukan
pembiasaan beragama. Pembiasaan adalah segi praktek nyata dalam proses
pembentukan dan persiapannya. Dalam perspektif Islam sendiri, pembiasaan
adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berpikir,
bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam (Fahmi &
Susanto, 2018).
Menurut Yusuf & Sugandhi (2021), bentuk pembiasaan dalam melakukan
ibadah terhadap sesame manusia dapat dilakukan seperti (1) Hormat kepada orang
tua, guru, dan orang lain; (2) membantu orang yang memerlukan bantuan; (3)
menyayangi fakir miskin; (4) memelihara kebersihan dan kesehatan; (5) bersikap
jujur; (6) bersikap amanah atau bertanggungjawab.
Pembiasaan pendidikan Islam sangat efektif diterapkan pada siswa dengan
langkah-langkah (1) Membuat buku tagihan kegiatan ibadah secara rinci dan jelas,
(2) Membuat jadwal hafalan yang terperinci, (3) Memberikan motivasi melalui
tayangan kisah inspiratif dan kisah teladan serta memberikan alokasi yang cukup
untuk menonton tayangan tersebut, (4) Membuat catatan kegiatan harian secara
jelas mulai kegiatan terpuji dan kegiatan yang buruk (Fahmi & Susanto, 2018).

2.2.6 Hubungan Perkembangan Fisik (Motorik) dengan Pembelajaran


Perkembangan fisik anak yang baik akan melalui tahapan tahapan
perkembangan yang dilalui anak mulai dari usia 0 sampai dengan 12 tahun.
Adapun masalah perkembangan fisik pada anak meliputi masalah motorik,
penglihatan, pendengaran dan masalah Bahasa (Winarsih, 2021).
Perkembangan fisik yang baik menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi berjalannya proses belajar anak. Berdasarkan perkembangannya,
perkembangan fisik anak usia sekolah sudah mampu menerima pembelajaran
keterampilan, sehingga pendidikan dapat memfasilitasi pembelajaran yang

18
berkaitan dengan keterampilan fisik guna menunjang perkembangan fisik motorik
anak.
Karakteristik anak usia sekolah menurut Burhaein (2017) terdapat empat
karakteristik, yakni :
(1) Senang bermain
(2) Senang bergerak
(3) Senang beraktivitas kelompok
(4) Senang praktik langsung
Karakteristik-karakteristik tersebut dapat diperhatikan dalam penyampaian
pembelajaran, tetapi tetap memperhatikan pencapaian belajar anak. Berdasarkan
hasil penelitian Istiqomah & Suyadi (2019) dapat dijelaskan bahwa secara
simultan dalam proses pembelajaran terlihat semua siswa memiliki perkembangan
fisik motorik yang berbeda-beda dan perkembangan tersebut terus berjalan dan
berubah-ubah sesuai dengan kegiatan belajar siswa.
Permainan tradisional mampu menjadi salah satu contoh opsi dalam
mengembangkan fisik-motorik dalam pembelajaran. Manfaat permainan
tradisional bagi anak usia sekolah yakni, (1) pembentukan fisik yang sehat, bugar,
tangguh, unggul dan berdaya saing; (2) pembentukan mental meliputi: sportivitas,
toleran, disiplin dan demokratis; (3) pembentukan moral menjadi lebih tanggap,
peka, jujur dan tulus; (4) pembentukan kemampuan sosial, yaitu mampu bersaing,
bekerjasama, berdisiplin, bersahabat, dan berkebangsaan (Hasanah, 2016).
Menurut Steve Stork dan Stephen W. Sanders (dalam Burhaein, 2017)
pengalaman belajar anak harus meliputi (a) belajar dari perkembangan
keterampilan yang sesuai, (b) personil terlatih dalam praktik pembelajaran yang
tepat untuk kegiatan fisik, (c) promosi lingkungan aktivitas fisik yang positif dan
aman, termasuk peralatan ukuran anak-anak, dan (d) kurikulum inklusif
didasarkan pada pemahaman konsep gerakan dan tema.

19
BAB III

PENUTUP
3.1 Simpulan
Setiap anak memiliki tugas dan tahap perkembangan yang berbeda-beda pula
sesuai dengan aspek-aspek perkembangannya. Fase anak usia sekolah dimulai
pada usia 7-12 tahun. Beberapa aspek perkembangan yang berkembang pesat pada
usia Sekolah Dasar adalah perkembangan fisik-motorik, intelektual, bahasa,
emosi, sosial dan kesadaran beragama.
Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga seorang anak tidak
boleh dipaksakan untuk memiliki aspek perkembangan yang sama dengan anak
lain. Oleh karena itu guru dan orang tua hendaknya memiliki pengetahuan dalam
usaha memaksimalkan aspek perkembangan anak karena, jika setiap aspek bisa
berkembang dengan baik, maka anak mampu menjalankan tugas-tugas
perkembangannya dengan baik pula.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa, emosi, dan sosial harus sangat
diperhatikan. Perkembangan tersebut juga harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak. Orang tua dan guru mesti berperan dengan maksimal untuk
perkembangan anak. Sehingga anak dapat beekembangan dengan efetif dan tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang negatif yang dan mempengaruhi perkembangan
anak.

20
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, R. D. (2017). Hunungan Perkemabangan Intelektual dan Emosi Peserta
Didik dengan Pembelajaran dikelas. Jurnal Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yoyakarta, 1–23.
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-a7e576e1b6bf
Ariin, V. K., Rohendi, E., & Istianti, T. (2018). Meningkatkan Perkembangan
Sosial Anak Melalui Metode Bermain Secara Kolaboratif. Cakrawala Dini:
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 8(1).
https://doi.org/10.17509/cd.v8i1.10555
Azis, S. (2017). Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Orang Tua dalam
Mendidik Anak. Adz-Zikr: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 12-28.

Burhaein, E. (2017). Aktivitas fisik olahraga untuk pertumbuhan dan


perkembangan siswa SD. Indonesian Journal of Primary Education, 1(1),
51-58.

Dewi, M. P., S, N., & Irdamurni, I. (2020). Perkembangan Bahasa, Emosi, Dan
Sosial Anak Usia Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 7(1), 1.
https://doi.org/10.30659/pendas.7.1.1-11
Fahmi, M. N., & Susanto, S. (2018). Implementasi Pembiasaan Pendidikan Islam
dalam Membentuk Karakter Religius Siswa Sekolah Dasar. PEDAGOGIA:
Jurnal Pendidikan, 7(2), 85-89.

Hasanah, U. (2016). Pengembangan kemampuan fisik motorik melalui permainan


tradisional bagi anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak, 5(1).

21
Istiqomah, H., & Suyadi, S. (2019). Perkembangan Fisik Motorik Anak Usia
Sekolah Dasar Dalam Proses Pembelajaran (Studi Kasus Di Sd
Muhammadiyah Karangbendo Yogyakarta). El Midad, 11(2), 155-168.

Ladubasari, E. (2018). Perkembangan Emosi pada Anak Sekolah Dasar. Seminar


Nasional FKIP UMC, 1–6.
https://www.academia.edu/40664619/PERKEMBANGAN_EMOSI_PADA_
ANAK_SEKOLAH_DASAR?from=cover_page
Marsari, H., Neviyarni, & Irdamurni. (2021). Perkembangan Emosi Anak Usia
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(1), 1816–1822.
https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/1182
Matanari, C., Lumban Gaol, R., & Simarmata, E. (2020). Hubungan Pendidikan
Karakter Terhadap Perkembangan Sosial Anak Sekolah Dasar. Jurnal
Educatio FKIP UNMA, 6(2), 294–300.
https://doi.org/10.31949/educatio.v6i2.435
Nabilah, I. (2019). ANALISIS PERKEMBANGAN NILAI AGAMA-MORAL SISWA
USIA DASAR. 192–203.
Priatna, D. (2016). Pembelajaran Matematika Membangun Konservasi Materi
Pembekajaran. EduHumaniora | Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru,
3(1). https://doi.org/10.17509/eh.v3i1.2788
Purwati, I., Wulandari, D., & Darsinah, &. (2022). Analisis Perkembangan Sosial
Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Papeda, 4(2), 2–7.
Putriana, S., Neviyarni, & Irdamurni. (2021). Perkembangan Intelektual pada Usia
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(2019), 1771–1777.
https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/1173/1051
Sabani, F. (2019). Perkembangan Anak - Anak Selama Masa Sekolah Dasar (6 - 7
Tahun). Didakta: Jurnal Kependidikan, 8(2), 89–100.
https://jurnaldidaktika.org/contents/article/view/71
Santoso, A. B. (2019). Perkembangan Keterampilan Sosial Anak Usia Sekolah
Dasar Berdasarkan Gender. Seminar Nasional 2019, 1(April), 18.
Syafri, F. (2018). MEMAHAMI PERKEMBANGAN PSIKOLOGI KEAGAMAAN
ANAK USIA DINI. 2(1), 242–250.

22
Somad, M. A. (2021). Pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam membentuk
karakter anak. Qalamuna: jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, 13(2),
171-186.

Winarsih, W. E. (2021). Perkembangan Fisik Anak, Problem Dan


Penanganannya. Atthiflah: Journal of Early Childhood Islamic Education,
8(1), 55-68.

Witasari, R. (2018). Analisis Perkembangan Kognitif Tercapai Pada Usia Dasar.


Jurnal Magistra, 09(024), 105.
Yusuf, S. L.N. (2021). Perkembangan Peserta Didik. PT Rajagrafindo Persada.

Zemi, at all. (2021). Analisis Perkembangan Sosial Anak. Jurnal Pendidikan


Tambusai, 2, 503–511.
http://jurnalmahasiswa.stiesia.ac.id/index.php/jirm/article/download/
2365/2369/

23

Anda mungkin juga menyukai