Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
yang diampu oleh :
Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN., M.Pd. dan
Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd.
Oleh
Kelompok 7
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis
ilmiah ini dengan tepat waktu. Adapun judul dari makalah yang kami paparkan
adalah “Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah”.
Pada Kesempatan kali ini penulis ucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah PB103 Psikologi Perkembangan, yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini
Penulis menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu kritik dan saran sebagai masukan untuk makal ini menjadi lebih
baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Bandung, 04 November
Tim Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah..........................................5
2.1.1 Perkembangan Sosial...............................................................................5
2.2.2 Perkembangan Kesadaran Beragama......................................................8
2.2. Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran..........9
2.2.1 Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran..................9
2.2.2 Hubungan Perkembangan Bahasa dengan Pembelajaran......................10
2.2.3 Hubungan Perkembangan Sosial dengan Pembelajaran........................12
2.2.4 Hubungan Perkembangan Emosi dengan Pembelajaran.......................14
2.2.5 Hubungan Perkembangan Beragama dengan Pembelajaran.................15
2.2.6 Hubungan Perkembangan Fisik (Motorik) dengan Pembelajaran.........17
BAB III..................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
3.1 Simpulan.......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
diterima oleh orang lain. Membantu anak mengembangkan nilai sosial yang
dimana lebih mementingkan kepentingan Bersama daripada kepentingan diri
sendiri. Membantu mengembangkan kepribadian anak yang mandiri dengan
mendapat kepuasan emosional dari rasa berkawan. Anak akan melakukan
penilaian terhadap diri sendiri yang mempengaruhi hubungan sosial mereka.
Disamping itu anak akan memberi penilaian tentang rasa senang dan tidak senang
pada orang lain.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota
keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai
mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada anak usia sekolah,
bentuk-bentuk tingkah laku sosial tersebut ditunjukkan dengan berbagai hal
berikut:
1) Pembangkangan (negativisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan.
Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau
tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan keinginan
anak. Berkembangnya tingkah laku negativisme pada usia ini dianggap
wajar. Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses
perkembangan pada anak usia sekolah.
2) Agresi, yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap
frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan/keinginannya)
yang dialaminya. Agresi ini terwujud dalam perilaku menyerang, seperti :
memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah dan mencaci
maki. Orang tua menghukum anak yang agresif, menyebabkan
meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua
berusaha mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara
mengalihkan perhatian/ keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu
yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya),
atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
3) Berselisih/bertengkar, terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung
atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu pada
saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
7
4) Menggoda, yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda
merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal
(kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah
pada orang-orang yang diserangnya.
5) Persaingan, yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong
oleh orang lain.
6) Kerja sama, yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok.
7) Tingkah laku berkuasa, yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi
sosial, mendominasi atau meminta, menyuruh dan mengancam atau
memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
8) Mementingkan diri sendiri, yaitu sikap egosentris dalam memenuhi
keinginannya. Anak ingin selalu dipenuhi keinginannya dan apabila
ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
9) Simpati, yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh
perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama
dengannya.
Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, Proses
sosialisasi anak secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor keluarga
dan faktor lingkungan luar keluarga.
1. Faktor keluarga
Keluarga adalah tempat dimana anak pertama kali bersosialisasi, oleh
sebab itu, keluarga sangat berpengaruh terhadap perilaku anak dalam
perkembangan sosialnya. Sebagai contoh anak yang mempunyai
keluarga yang berkecukupan dan harmonis membuat anak lebih
percaya diri dan terbuka dalam pergaulannya. Akan tetapi, anak yang
berada pada lingkungan keluarga yang kurang harmonis atau keluarga
yang berada pada kondisi kekurangan menyebabkan anak lebih
tertutup dan rendah diri.
2. Faktor lingkungan di luar keluarga
Sebagai contoh adalah lingkungan sekolah. Sekolah memiliki
pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan sikap sosial anak
karena selama pertengahan dan akhir anak-anak, anak-anak
8
menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah sebagai anggota suatu
masyarakat kecil yang harus mengerjakan sejumlah tugas dan
mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi perilaku,
perasaan dan sikap mereka.
Di dalam lingkungan sekolah, ketika pertama kali anak memasuki
lingkungan sekolah atau pergaulan teman-temannya tidak menerima
anak tersebut dengan baik maka anak itu akan merasa minder dan akan
mempengaruhi keterampilan sosial pada tahap perkembangan
berikutnya.
2.2.2 Perkembangan Kesadaran Beragama
Dasar nilai-nilai agama ditanamkan pada anak-anak pada masa sekolah
dengan tahapan sesuai dengan usia dan untuk menerima kenyataan akan hal-hal
yang tidak selamanya rasional. Ajaran agama dengan pola fisik maupun psikis
anak-anak di usia sekolah dasar menunjukkan peran penting psikologi yang
menjadikannya berkaitan erat dengan agama. Hal ini berkaitan dengan
perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
Fase perkembangan keberagamaan individu dalam beragama (Ernes Hermar) :
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Dimulai ketika anak berusia 3 tahun sampai 6 tahun. Pada tingkat ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
Dalam tingkat perkembangan ini seakan akan menganggap Tuhan itu
kurang masuk akal, dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan).
Tingkat ini dimulai sejak masuk sekolah dasar sampai ke masa usia
adolosense. Pada masa ini anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-
lembaga keagamaan dan pengajaran agama dan orang dewasa lainnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu).
Pada tingkat ini anak sudah memiliki kepekaan yang paling tinggi dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistic ini
terbagi atas tiga, yaitu: pertama, konsep ketuhanan yang konvensional dan
formatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut
9
disebabkan oleh pengaruh luar; kedua, konsep ketuhanan yang lebih murni
dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan);
ketiga, konsep ketuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi
ethos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal (Syafri, 2018).
Faktor faktor tercapainya perkembangan nilai agama dan moral, yaitu:
a. Internal atau dari dalam diri anak
Faktor genetik atau hereditas merupakan faktor internal yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan individu. Hereditas dapat
diartikan sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang
tua.
b. Keluarga atau lingkungan
Peran orang tua adalah membimbing anaknya di jalan yang benar.
Pembimbingan tersebut merupakan bukti bahwa keluarga merupakan
Pendidikan dasar yang pertama bagi anaknya. Pendidikan keluarga juga
merupakan pendidik dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
dalam hal ini orang tua maupun keluarga inti.
c. Sekolah
Lembaga pendidik merupakan pelanjut dari pendidikan rumah tangga.
Sekolah memiliki peran penting karena mengajarkan agama secara lebih
luas melalui mata pelajaran agama seperti Tarikh, Bahasa arab, aqidah
akhlak, Al-Qur’an Hadits, serta fiqih. Selain itu, kegiatan
ekstrakulikulernya yang mendukung seperti BTQH, Qiro’ati dan
sebagainya.
Perkembangan agama yang dapat tercapai dengan baik pada anak-anak usia
sekolah dasar dapat menghindarkan dari perilaku penyimpangan agama seperti
penggunaan narkotika, zat adiktif, minuman keras, perilaku free seks, pelacuran,
sodomi, homo seks serta lesbian (Nabilah, 2019).
10
2.2. Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran
2.2.1 Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran
Perkembangan adalah prosedur berkelanjutan yang dimulai dari dalam
kandungan sampai usia dewasa. Untuk proses perkembangan ini, seseorang akan
melalui setiap tahapan perkembangannya hingga mencapai usia dewasa. Menurut
(Witasari, 2018) perkembangan itu diantaranya perkembangan fisik, emosional,
sosial, serta intelektual. Perkembangan fisik berkaitan erat dengan perihal fisik
tubuh, emosi sangat berkaitan dengan perasaan, sosial sangat berkaitan dengan
alam dan masyarakat sekitarnya, dan intelektualitas berkaitan erat dengan rasa
ingin tahu serta kemampuan berpikir. Menurut Fatma (2019) tahap perkembangan
dapat diartikan menjadi pembentukan atau tahap kehidupan seseorang dengan ciri-
ciri atau pola tingkah laku khusus.
Perkembangan intelektual, kecerdasan atau untuk ranah psikologi atau
pendidikan diistilahkan dengan perkembangan kognitif, adalah suatu pengetahuan
yang menganalisis aktivitas psikis atau cara kerja keahlian berpikir abstrak
individu. Perkembangan intelektual berhubungan dengan kemampuan kognitif
seseorang, yaitu kemampuan berpikir dan memecahkan masalah. Aspek kognitif
juga dipengaruhi oleh perkembangan sel saraf pusat diotak (Putriana et al., 2021).
Berbicara mengenai masalah tumbuh kembang dan perkembangan
intelektual (kognitif) anak, secara umum masyarakat mengacu pada teori Jean
Piaget yang menyatakan bahwa perkembangan intelektual merupakan hasil
interaksi dengan lingkungan dan kematangan anak. Dalam teori Piaget,
pemahaman kognitif adalah potensi intelektual yang dipunyai anak. Pemahaman
intelektual ini sangat berhubungan dengan pengetahuan yang dipunyai anak yang
bisa diamati dengan hasil belajar anak di sekolah seperti buku laporan hasil
belajar. Tidak hanya hasil belajar, sebenarnya proses belajar anak penting
diketahui. Sebab proses atau pola anak dalam mendapatkan hasil yang bagus tidak
lepas dari cara anak belajar.
Menurut (Priatna, 2016), karakteristik yang penting dalam perkembangan
masa anak di sekolah dasar terdapat pada faktor fisik, intelektual, serta emosional
yang ditandai dengan: (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan sosial, (3)
11
tumbuhnya rasa ingin tahu, (4) pembentukan karakter, (5) perkembangan otak, (6)
perkembangan minat, serta (7) pembentukan kepribadian.
12
bahwa kemampuan bahasa adalah kemampuan yang dimiliki seseorang
berdasarkan pengetahuan awal yang diperoleh secara biologis(Yusuf,
2016).
2. Teori perkembangan kognitif
Teori ini beranggapan bahwa berpikir sebagai prasyarat berbahasa,
terus berkembang sebagai hasil dari pengalaman dan penalaran. Teori
ini menekankan proses berpikir dan penalaran. Salah satu tokoh yang
terkemuka adalah Jean Piaget. Jean Piaget mengemukakan bahwa
perkembangan bahasa bersifat progresif dan terjadi pada setiap tahap
perkembangan. Perkembangan anak secara umum dan dan
perkembangan bahasa awal anak berkaitan erat dengan berbagai
kegiatan anak, objek dan kejadian yang mereka alami dengan
menyentuh, mendengar, melihat, merasa, dan mencium.
3. Teori interaksionisme
Menurut teori ini, pemerolehan bahasa adalah hasil interaksi antara
kemampuan psikologis siswa dan lingkungan bahasa. Bahasa yang
diperoleh siswa erat kaitannya dengan kemampuan internal siswa dan
input dari lingkungannya.
4. Teori fungsional
Teori fungsional melakukan revolusi penelitian dalam pembelajaran
dan pemerolehan bahasa, dimana mereka melihat bahwa bahasa adalah
hasil manifestasi kemampuan kognitif dan afektif yang bermanfaat
bagi manusia itu sendiri, manusia dan lingkungan sekitar untuk
berhubungan dengan mereka ataupun dalam rangka menjelajah dunia.
13
orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman bermain hingga masyarakat luas.
Perkembangan sosial merupakan salah satu perkembangan anak usia sekolah yang
sangat diperhatikan, karena anak usia sekolah baru bisa dikatakan perkembangan
sosialnya baik apabila ia mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkup
lingkungannya, maka seiring berjalannya waktu anak akan bertumbuh dan
berkembang serta akan mulai mengenal kehidupan bermasyarakat.
Menurut (Ariin et al., 2018) perkembangan sosial dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok individu sosial sebagai yang mampu beradaptasi dan
kelompok nonsosial sebagai individu yang sulit beradaptasi. Pada perkembangan
individu sosial tentunya akan mudah mengikuti dan memahami apa yang
diinginkan oleh lingkungannya sehingga individu sosial akan lebih aktif dan
tanggap dalam perkembangan sosialnya, sedangkan individu nonsosial atau yang
biasa disebut antisosial akan kesulitan mengikuti keinginan lingkungan dan
cenderung menarik diri sehingga interaksi sosial dengan teman sebayanya tidak
banyak.
Menurut (Matanari et al., 2020) Perkembangan sosial anak usia sekolah
dapat dilihat ketika anak mulai bermain dalam bentuk kelompok, dari kelompok
main tersebut akan terbentuklah kegiatan ringan seperti bermain bersama,
kegiatan ringan tersebut akan menunjukkan adanya anak yang suka berinteraksi
dan anak yang cenderung menarik diri. Contohnya ketika sedang istirahat A hanya
makan siang bersama B sedangkan C lebih suka makan siang sendiri, sehingga C
terlihat seperti anak yang menarik diri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
(Purwati et al., 2022) didapatkan permasalah perkembangan sosial anak,
diantaranya yaitu, (1) peserta didik masih enggan dalam kegiatan kerja kelompok;
(2) peserta didik masih sering memilih-milih teman; (3) masih ada peserta didik
yang dikucilkan; (4) peserta didik hanya mau bekerja kelompok dengan teman
yang akrab; (5) peserta didik belum mampu mengungkapkan dan berbagi rasa
dengan teman sebayanya; (6) peserta didik belum mampu bertanggung jawab
akan kewajibannya. Dengan demikian, sangat diperlukannya guru dalam
membimbing para siswa agar dapat berkembang secara lebih optimal.
Keberadaan guru dalam proses pembelajaran memiliki tanggung jawab
untuk membimbing dan mengarahkan siswanya ke arah yang lebih baik. Dengan
14
demikian guru harus mampu memahami dan mengembangkan segala aspek sosial
yang terdapat pada pendidikan anak usia sekolah. Menurut (Zemi, 2021) ada
beberapa cara guru untuk mengembangkan perkembangan sosial anak yaitu, (1)
menyediakan tempat untuk anak-anak bermain sehingga akan terbentuk sebuah
interaksi antar teman sebaya; (2) menggunakan suatu model untuk menjelaskan
materi; (3) mendorong anak-anak untuk membuat keputusan sebanyak mungkin;
(4) model empati untuk menumbuhkan rasa empati; (5) bermain peran untuk
memecahkan masalah dalam interaksi. Selain itu menurut Prof, Syamsu Yusuf
dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Peserta Didik juga mengatakan
dalam proses belajar di sekolah, kematangan sosial anak dapat difasilitasi dengan
memberikan tugas-tugas kelompok, dengan adanya tugas kelompok maka akan
terlihat bagaimana tingkat kematangan sosial anak tersebut. Apakah anak tersebut
dapat bekerja sama dengan baik, saling menghargai pendapat dan saling
bertanggung jawab atau justru melakukan tindakan penarikan diri dari kelompok.
15
persiapan aktivitas pembelajaran yang dibuktikan dengan adanya tindakan.
Sedangkan dampak negatif dari emosi itu sendiri adalah ketika anak dalam
kondisi yang buruk, seperti kecewa, takut cemas maka akan mengganggu
keterampilan motorik serta mengganggu aktivitas belajar, karena anak itu akan
kehilangan selera atau motivasinya untuk belajar.
Dalam proses pengembangan emosi anak, guru harus memahami faktor apa
saja yang mempengaruhi perkembangan emosi tersebut, Adapun dalam penelitian
yang dilakukan oleh (Marsari et al., 2021) diketahui bahwa faktor yang
mempengaruhi perkembangan emosi pada anak, yaitu, (1) keadaan anak itu
sendiri, (2) faktor belajar, (3) konflik dalam proses perkembangan, (4) lingkungan
keluarga. Dengan demikian , guru haru memahami bagaimana keadaan anak itu
sendiri, apakah metode belajar yang diterapkan kepada anak itu baik, apakah anak
tersebut dapat menyelesaikan konflik yang dialaminya dan bagaimana lingkungan
keluarga dari anak itu sendiri.
Gejala emosional yang dialami siswa bisa terjadi kapan saja dan dimana
saja, gejala emosional inilah yang terkadang mengganggu proses pembelajaran
yang dilaksanakan. Masalah emosional yang dihadapi siswa tentunya harus segera
diselesaikan karena apabila masalah tersebut tidak selesai dan terus berkelanjutan,
masalah tersebut akan mengganggu siswa sehingga tidak tercapainya tujuan dari
proses pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh (Agustin,
2017) salah satu gejala emosional yang ditemukan adalah sikap egosentris atau
sikap ingin menang sendiri, ketika sikap egosentris ini muncul anak ini akan
memilih teman kelompok belajarnya dengan orang yang dia rasa cocok dengan
dia, anak ini akan cenderung tidak mau menerima pendapat orang lain.
Keberadaan guru tentunya juga sangat diperlukan dalam mengatasi sikap
egosentris dalam perkembangan emosi pada anak, dengan adanya peran guru yang
dilaksanakan dengan baik, maka perkembangan emosi anak pun dapat diamati.
Menurut (Agustin, 2017) peran guru yang dapat diaktualisasikan adalah, (1)
memberikan proses bimbingan dan konseling, (2) bersikap dan menilai hasil
pembelajaran dengan adil, (3) memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik,
(4) menciptakan iklim belajar yang kondusif, (5) berinteraksi secara tepat dengan
16
peserta didiknya. Dengan demikian, guru harus pandai dalam merangkul siswa
dan membawa siswa ke dalam perkembangan emosi yang optimal.
17
maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar
diri mereka. Jika orang tua tidak memiliki pengetahuan tentang pendidikan agama
Islam tentu saja orang tua tidak akan mampu menjadi pendidik, pemimpin,
teladan atau model yang akan ditiru oleh anak-anaknya.
Tak sebatas dalam pemahaman saja tetapi anak perlu melakukan
pembiasaan beragama. Pembiasaan adalah segi praktek nyata dalam proses
pembentukan dan persiapannya. Dalam perspektif Islam sendiri, pembiasaan
adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berpikir,
bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam (Fahmi &
Susanto, 2018).
Menurut Yusuf & Sugandhi (2021), bentuk pembiasaan dalam melakukan
ibadah terhadap sesame manusia dapat dilakukan seperti (1) Hormat kepada orang
tua, guru, dan orang lain; (2) membantu orang yang memerlukan bantuan; (3)
menyayangi fakir miskin; (4) memelihara kebersihan dan kesehatan; (5) bersikap
jujur; (6) bersikap amanah atau bertanggungjawab.
Pembiasaan pendidikan Islam sangat efektif diterapkan pada siswa dengan
langkah-langkah (1) Membuat buku tagihan kegiatan ibadah secara rinci dan jelas,
(2) Membuat jadwal hafalan yang terperinci, (3) Memberikan motivasi melalui
tayangan kisah inspiratif dan kisah teladan serta memberikan alokasi yang cukup
untuk menonton tayangan tersebut, (4) Membuat catatan kegiatan harian secara
jelas mulai kegiatan terpuji dan kegiatan yang buruk (Fahmi & Susanto, 2018).
18
berkaitan dengan keterampilan fisik guna menunjang perkembangan fisik motorik
anak.
Karakteristik anak usia sekolah menurut Burhaein (2017) terdapat empat
karakteristik, yakni :
(1) Senang bermain
(2) Senang bergerak
(3) Senang beraktivitas kelompok
(4) Senang praktik langsung
Karakteristik-karakteristik tersebut dapat diperhatikan dalam penyampaian
pembelajaran, tetapi tetap memperhatikan pencapaian belajar anak. Berdasarkan
hasil penelitian Istiqomah & Suyadi (2019) dapat dijelaskan bahwa secara
simultan dalam proses pembelajaran terlihat semua siswa memiliki perkembangan
fisik motorik yang berbeda-beda dan perkembangan tersebut terus berjalan dan
berubah-ubah sesuai dengan kegiatan belajar siswa.
Permainan tradisional mampu menjadi salah satu contoh opsi dalam
mengembangkan fisik-motorik dalam pembelajaran. Manfaat permainan
tradisional bagi anak usia sekolah yakni, (1) pembentukan fisik yang sehat, bugar,
tangguh, unggul dan berdaya saing; (2) pembentukan mental meliputi: sportivitas,
toleran, disiplin dan demokratis; (3) pembentukan moral menjadi lebih tanggap,
peka, jujur dan tulus; (4) pembentukan kemampuan sosial, yaitu mampu bersaing,
bekerjasama, berdisiplin, bersahabat, dan berkebangsaan (Hasanah, 2016).
Menurut Steve Stork dan Stephen W. Sanders (dalam Burhaein, 2017)
pengalaman belajar anak harus meliputi (a) belajar dari perkembangan
keterampilan yang sesuai, (b) personil terlatih dalam praktik pembelajaran yang
tepat untuk kegiatan fisik, (c) promosi lingkungan aktivitas fisik yang positif dan
aman, termasuk peralatan ukuran anak-anak, dan (d) kurikulum inklusif
didasarkan pada pemahaman konsep gerakan dan tema.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Setiap anak memiliki tugas dan tahap perkembangan yang berbeda-beda pula
sesuai dengan aspek-aspek perkembangannya. Fase anak usia sekolah dimulai
pada usia 7-12 tahun. Beberapa aspek perkembangan yang berkembang pesat pada
usia Sekolah Dasar adalah perkembangan fisik-motorik, intelektual, bahasa,
emosi, sosial dan kesadaran beragama.
Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga seorang anak tidak
boleh dipaksakan untuk memiliki aspek perkembangan yang sama dengan anak
lain. Oleh karena itu guru dan orang tua hendaknya memiliki pengetahuan dalam
usaha memaksimalkan aspek perkembangan anak karena, jika setiap aspek bisa
berkembang dengan baik, maka anak mampu menjalankan tugas-tugas
perkembangannya dengan baik pula.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa, emosi, dan sosial harus sangat
diperhatikan. Perkembangan tersebut juga harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak. Orang tua dan guru mesti berperan dengan maksimal untuk
perkembangan anak. Sehingga anak dapat beekembangan dengan efetif dan tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang negatif yang dan mempengaruhi perkembangan
anak.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, R. D. (2017). Hunungan Perkemabangan Intelektual dan Emosi Peserta
Didik dengan Pembelajaran dikelas. Jurnal Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yoyakarta, 1–23.
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-a7e576e1b6bf
Ariin, V. K., Rohendi, E., & Istianti, T. (2018). Meningkatkan Perkembangan
Sosial Anak Melalui Metode Bermain Secara Kolaboratif. Cakrawala Dini:
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 8(1).
https://doi.org/10.17509/cd.v8i1.10555
Azis, S. (2017). Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Orang Tua dalam
Mendidik Anak. Adz-Zikr: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 12-28.
Dewi, M. P., S, N., & Irdamurni, I. (2020). Perkembangan Bahasa, Emosi, Dan
Sosial Anak Usia Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 7(1), 1.
https://doi.org/10.30659/pendas.7.1.1-11
Fahmi, M. N., & Susanto, S. (2018). Implementasi Pembiasaan Pendidikan Islam
dalam Membentuk Karakter Religius Siswa Sekolah Dasar. PEDAGOGIA:
Jurnal Pendidikan, 7(2), 85-89.
21
Istiqomah, H., & Suyadi, S. (2019). Perkembangan Fisik Motorik Anak Usia
Sekolah Dasar Dalam Proses Pembelajaran (Studi Kasus Di Sd
Muhammadiyah Karangbendo Yogyakarta). El Midad, 11(2), 155-168.
22
Somad, M. A. (2021). Pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam membentuk
karakter anak. Qalamuna: jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, 13(2),
171-186.
23