Anda di halaman 1dari 24

KESEHATAN MENTAL

APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA KESEHATAN MENTAL DAN


KESEJAHTERAAN ANAK DALAM KONTEKS SAAT INI

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Moesarofah, M.Psi

Disusun Oleh:
1. Dara Shafira Tanamal (195000026)
2. Rizki Febri Nur Kumala Sari (195000039)
3. Ratna Duhita Rahmat Putri (195000048)

PRODI PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS PEDAGOGI DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PGRI ADIBUANA SURABAYA
2023
Daftar Isi
APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA KESEHATAN MENTAL DAN
KESEJAHTERAAN ANAK DALAM KONTEKS SAAT INI.................................................3
Apa Yang Sedang Terjadi Saat Ini Pada Kesehsatan Mental Dan Kesejahteraan Anak.........3
Mengapa Fokus Pada Kesehatan Mental Dan Kesejahteraan Anak Begitu Penting Saat Ini?
................................................................................................................................................6
Bagaimana Kita Mendekati Kesehatan Mental Di Sekolah?...............................................15
APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA KESEHATAN MENTAL
DAN KESEJAHTERAAN ANAK DALAM KONTEKS SAAT INI

Apa Yang Sedang Terjadi Saat Ini Pada Kesehsatan Mental Dan Kesejahteraan Anak
Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Di
masa ini banyak terjadi perubahan dalam diri seseorang sebagai persiapan memasuki masa
dewasa. Remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai anak kecil, namun ia juga belum dapat
dikatakan sebagai orang dewasa. Hal ini terjadi oleh karena di masa ini penuh dengan
gejolak perubahan baik perubahan biologik, psikologik, maupun perubahan sosial. Dalam
keadaan serba tanggung ini seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan
dirinya sendiri (konflik internal), maupun konflik lingkungan sekitarnya (konflik
eksternal). Apabila konflik ini tidak diselesaikan dengan baik maka akan memberikan
dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di masa mendatang, terutama
terhadap pematangan karakternya dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati)
bisa berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja
ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan
sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal
tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri,
pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri
mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena
mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka
seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat
remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya
keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.
Untuk mencegah terjadinya dampak negatif tersebut, perlu dilakukan pengenalan awal
(deteksi dini) perubahan yang terjadi dan karateristik remaja dengan mengidentifikasi
beberapa faktor risiko dan faktor protektif sehingga remaja dapat melalui periode ini
dengan optimal dan ia mampu menjadi individu dewasa yang matang baik fisik maupun
psikisnya. Anak-anak dan remaja membutuhkan bimbingan dari orang dewasa dan teman
sebaya yang dipercaya, serta struktur dan partisipasi dalam aktivitas yang akan
membangun ketahanan dan strategi koping (Milaniak & Widom, 2015). Baik sekolah
maupun orang tua dapat memberikan bantuan yang berharga dengan membahas kesehatan
mental secara terbuka dan menciptakan ruang yang aman bagi remaja untuk merasa
nyaman mengungkapkan informasi sensitif. Guru juga dapat membantu meringankan stres
siswa melalui intervensi mindfulness, yang juga akan membantu memperkuat kinerja
kognitif, prestasi siswa, fungsi eksekutif, perilaku prososial, dan kompetensi sosio-
emosional.
Masalah aktual kesehatan mental remaja saat ini
1. Perubahan psikoseksual
Produksi hormon testosteron dan hormon estrogen mempengaruhi fungsi otak, emosi,
dorongan seks dan perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual yang merupakan
manifestasi langsung dari pengaruh hormon tersebut, dapat juga terjadi modifikasi dari
dorongan seksual itu dan menjelma dalam bentuk pemujaan terhadap tokoh-tokoh olah
raga, musik, penyanyi, bintang film, pahlawan, dan lainnya. Remaja sangat sensitif
terhadap pandangan teman sebaya sehingga ia seringkali membandingkan dirinya dengan
remaja lain yang sebaya, bila dirinya secara jasmani berbeda dengan teman sebayanya
maka hal ini dapat memicu terjadinya perasaan malu atau rendah diri.
2. Pengaruh teman sebaya
Kelompok teman sebaya mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap
kehidupan seorang remaja. Interaksi sosial dan afiliasi teman sebaya mempunyai peranan
yang besar dalam mendorong terbentuknya berbagai keterampilan sosial. Bagi remaja,
rumah adalah landasan dasar sedangkan dunianya adalah sekolah. Pada fase
perkembangan remaja, anak tidak saja mengagumi orangtuanya, tetapi juga mengagumi
figur-figur di luar lingkungan rumah, seperti teman sebaya, guru, orangtua temanya,
olahragawan, dan lainnya. Dengan demikian, bagi remaja hubungan yang terpenting bagi
diri mereka selain orangtua adalah teman-teman sebaya dan seminatnya. Remaja
mencoba untuk bersikap independent dari keluarganya akibat peran teman sebayanya. Di
lain pihak, pengaruh dan interaksi teman sebaya juga dapat memicu timbulnya perilaku
antisosial, seperti mencuri, melanggar hak orang lain, serta membolos, dan lainnya.
3. Perilaku berisiko tinggi
Remaja kerap berhubungan berbagai perilaku berisiko tinggi sebagai bentuk dari
identitas diri. 80% dari remaja berusia 11-15 tahun dikatakan pernah menunjukkan
perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut, seperti berkelakuan
buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku antisosial (mencuri, berkelahi, atau
bolos) dan 50% remaja tersebut juga menunjukkan adanya perilaku berisiko tinggi
lainnya seperti mengemudi dalam keadaan mabuk, melakukan hubungan seksual tanpa
kontrasepsi, dan perilaku criminal yang bersifat minor. Dalam suatu penelitian
menunjukkan bahwa 50% remaja pernah menggunakan marijuana, 65% remaja merokok,
dan 82% pernah mencoba menggunakan alkohol.
Dengan melakukan perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka merasa
lebih dapat diterima, menjadi pusat perhatian oleh kelompok sebayanya, dan mengatakan
bahwa melakukan perilaku berisiko tinggi merupakan kondisi yang mendatangkan rasa
kenikmatan (fun). Walaupun demikian, sebagian remaja juga menyatakan bahwa
melakukan perbuatan yang berisiko sebenarnya merupakan cara mereka untuk
mengurangi perasaan tidak nyaman dalam diri mereka atau mengurangi rasa ketegangan.
Dalam beberapa kasus perilaku berisiko tinggi ini berlanjut hingga individu mencapai
usia dewasa.
4. Kegagalan pembentukan identitas diri
Menurut J. Piaget, awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang besar menuju
cara berpikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa depan (future
oriented). Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di bidang tulisan, seni,
musik, olah raga, dan keagamaan. E. Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya
menyatakan bahwa tugas utama di masa remaja adalah membentuk identitas diri yang
mantap yang didefinisikan sebagai kesadaran akan diri sendiri serta tujuan hidup yang
lebih terarah. Mereka mulai belajar dan menyerap semua masalah yang ada dalam
lingkungannya dan mulai menentukan pilihan yang terbaik untuk mereka seperti teman,
minat, atau pun sekolah. Di lain pihak, kondisi ini justru seringkali memicu perseteruan
dengan orangtua atau lingkungan yang tidak mengerti makna perkembangan di masa
remaja dan tetap merasa bahwa mereka belum mampu serta memperlakukan mereka
seperti anak yang lebih kecil.
Secara perlahan, remaja mulai mencampurkan nilai-nilai moral yang beragam yang
berasal dari berbagai sumber ke dalam nilai moral yang mereka anut, dengan demikian
terbentuklah superego yang khas yang merupakan ciri khas bagi remaja tersebut sehingga
terjawab pertanyaan siapakah aku? dan kemanakah tujuan hidup saya?
Bila terjadi kegagalan atau gangguan proses identitas diri ini maka terbentuk kondisi
kebingungan peran (role confusion). Role confusion ini sering dinyatakan dalam bentuk
negativisme seperti, menentang dan perasaan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri.
Negativisme ini merupakan suatu cara untuk mengekspresikan kemarahan akibat
perasaan diri yang tidak adekuat akibat dari gangguan dalam proses pembentukan
identitas diri di masa remaja ini.
5. Gangguan perkembangan moral
Moralitas adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan kewajiban yang
diterima secara bersama, apabila ads dua standar yang secara sosial diterima bersama
tetapi saling konflik maka umumnya remaja mengambil keputusan untuk memilih apa
yang sesuai berdasarkan hati nuraninya. Dalam pembentukan moralitasnya, remaja
mengambil nilai etika dari orangtua dan agama dalam upaya mengendalikan perilakunya.
Selain itu, mereka juga mengambil nilai apa yang terbaik bagi masyarakat pada
umumnya. Dengan demikian, penting bagi orangtua untuk memberi suri teladan yang
baik dan bukan hanya menuntut remaja berperilaku baik, tetapi orangtua sendiri tidak
berbuat demikian.
Secara moral, seseorang wajib menuruti standar moral yang ada namun sebatas bila
hal itu tidak mebahayakan kesehatan, bersifat manusiawi, serta berlandaskan hak asasi
manusia. Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki usia dewasa, terbentuklah
suatu konsep moralitas yang mantap dalam diri remaja. Jika pembentukan ini terganggu
maka remaja dapat menunjukkan berbagai pola perilaku antisosial dan perilaku
menentang yang tentunya mengganggu interaksi remaja tersebut dengan lingkungannya,
serta dapat memicu berbagai konflik.
6. Stres di masa remaja
Banyak hal dan kondisi yang dapat menimbulkan tekanan (stres) dalam masa remaja.
Mereka berhadapkan dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi dalam dirinya
maupun target perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan usianya. Di pihak lain,
mereka juga berhadapan dengan berbagai tantangan yang berkaitan dengan pubertas,
perubahan peran sosial, dan lingkungan dalam usaha untuk mencapai kemandirian.
Tantangan ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan masalah perilaku dan memicu
timbulnya tekanan yang nyata dalam kehidupan remaja jika mereka tidak mampu
mengatasi kondisi tantangan tersebut.

Mengapa Fokus Pada Kesehatan Mental Dan Kesejahteraan Anak Begitu Penting Saat
Ini?
MENGAPA FOKUS PADA KESEHATAN MENTAL DAN KESEJAHTERAAN ANAK
BEGITU PENTING SAAT INI?
Bencana alam, perang, masalah kesehatan, dan iklim politik saat ini membuat banyak
orang gelisah. Dengan virus COVID-19 yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan
besar pada tahun 2020, orang-orang di seluruh dunia menyesuaikan diri dengan jarak fisik,
isolasi, dan gangguan jangka panjang terhadap status quo. Orang dewasa dan anak-anak
sama-sama didorong ke dalam situasi yang membutuhkan kepatuhan skala besar terhadap
mandat dan protokol baru. Setiap orang terbiasa dengan dunia yang membutuhkan
peningkatan kewaspadaan dan kebersihan di dalam dan di luar rumah, yang memperburuk
kecemasan bagi banyak orang. Ini hanyalah pemicu stres signifikan terbaru.
Dalam beberapa tahun terakhir, imigran, keluarga yang melarikan diri dari kekerasan
atau negara yang dilanda perang, dan keluarga yang takut dideportasi menghadapi tingkat
stres dan kecemasan yang meningkat, cenderung hidup dalam kemiskinan, dan lebih rentan
terhadap gangguan kesehatan mental (SAMHSA, 2018a; Hameed, et al., 2018; Zayas &
Heffron, 2016). Selain itu, semakin banyak anak dan remaja dari berbagai latar belakang ras,
etnis, dan sosial ekonomi yang terkena dampak langsung dari penembakan di sekolah dan
respons sekolah terhadap penembakan tersebut. Tanggapan seperti latihan lockdown dapat
menimbulkan trauma tersendiri (NASP, 2019). Anak-anak dalam situasi ini sangat rentan.
Seperti yang ditunjukkan oleh Bill Adair (2019) dalam Emotionally Connected Classrooms,
“Anak-anak kecil sangat rentan terhadap emosi cemas yang dimiliki orang lain secara sadar
atau tidak sadar” (hal.47) (lihat Gambar 1.1).
The National Association of Elementary Schools Principals (2018) melaporkan bahwa
perhatian utama kepala sekolah adalah mengatasi peningkatan siswa dengan masalah
emosional. Kepala sekolah juga memperhatikan isu-isu terkait termasuk pengelolaan perilaku
siswa, masalah kesehatan mental siswa, ketidakhadiran, kurangnya pengawasan orang
dewasa yang efektif di rumah, dan kemiskinan siswa. Menariknya, tidak satu pun dari
masalah ini yang teridentifikasi sebagai perhatian utama sepuluh tahun sebelumnya di tahun
2008.

Trauma dan Stres


Trauma dan stres bagi anak-anak dan remaja dimanifestasikan dalam banyak cara:
kami melihat peningkatan substansial pada anak-anak yang meninggal karena bunuh diri dan
mereka yang menderita cedera diri, terutama di kalangan remaja. Setengah dari negara bagian
AS melaporkan peningkatan 30 persen kematian akibat bunuh diri antara tahun 1999 dan
2016 (CDC, 2018). Meskipun tingkat bunuh diri tetap tertinggi untuk remaja laki-laki, ada
peningkatan yang mengkhawatirkan dalam jumlah gadis yang mencoba bunuh diri juga.
Selain itu, tingkat remaja LGBTQ diperkirakan dua hingga tujuh kali lebih tinggi daripada
rekan heteroseksual mereka (Haas et al., 2011).
FIGURE 1.1 Impact of Childhood Trauma on Emotions and
Learning

Paparan
trauma
masa kecil

Ketakutan,
kecemasan, dan
depresi yang
meningkat

Kesulitan mengatur
emosi dan perilaku,
belajar, dan
hubungan
interpersonal

Pendidik sebagai Faktor Protektif


Pendidik memainkan peran penting dalam mempromosikan kesejahteraan dan
mengidentifikasi dan menanggapi penyakit mental pada anak-anak sesegera mungkin. Kami
dapat membantu anak-anak mengembangkan pola pikir yang positif dan berkembang; kita
dapat menyediakan lingkungan pengasuhan dan membantu dalam mengembangkan rasa
ketahanan. Masing-masing faktor pelindung ini dapat mengurangi dampak peristiwa
traumatis.

Pendidik juga dapat mempromosikan kesetaraan dan memberdayakan kaum muda


karena sekolah menjadi lebih terampil menghadapi trauma
Penjangkauan, pendidikan, dan layanan yang responsif. Mempekerjakan tenaga kerja
yang beragam memungkinkan siswa untuk mengembangkan hubungan yang kuat dengan
orang-orang dengan pengalaman dan budaya yang lebih banyak. Karena perawatan kesehatan
mental remaja bergantung pada hubungan positif antara remaja dan penyedia layanan, rasa
hormat, kepercayaan bersama, dan komunikasi terbuka adalah yang terpenting. Ketika lebih
banyak konselor, terapis, dan penyedia layanan kesehatan mental lainnya terlihat seperti
siswa yang berjuang dengan kesehatan mental mereka, semakin besar kemungkinan mereka
untuk mencari dan melanjutkan pengobatan (McGuire & Miranda, 2008). Selain itu,
memelihara kekuatan siswa, alih-alih berfokus pada kelemahan, akan menginspirasi
pembelajaran dan kinerja intelektual yang lebih tinggi (Jackson, 2015). Mengganti
konsekuensi hukuman dengan keadilan restoratif dapat memfasilitasi pembangunan
hubungan yang sehat, memperbaiki kerugian, memberdayakan kaum muda, dan
mempromosikan keadilan dan kesetaraan. Sekolah yang menghapus kebijakan tanpa toleransi
dapat meningkatkan pemerataan, retensi, dan kinerja akademik (Gregory & Evans, 2020).
Apa lagi yang dibutuhkan? Pertimbangkan hal berikut:
• Memberdayakan guru dengan memberikan pelatihan tanggap budaya seputar topik
kesehatan mental remaja
• Menjadi lebih trauma-terampil sebagai komunitas sekolah
• Mengidentifikasi dan memelihara kekuatan dan minat siswa
• Memeriksa kebijakan sekolah seperti pelacakan dan pelabelan
• Mengajarkan semua siswa kurikulum dengan kualitas terbaik yang mempercepat pemikiran
kreatif dan kritis
• Mengajar siswa tentang cara kerja otak dan mengembangkan mindset berkembang

Selama dan setelah krisis kesehatan mental, pendidik, termasuk guru, administrator,
psikolog, dan pekerja sosial, memiliki peran penting.
Selama krisis, sekolah dapat merespons dengan penuh kasih dan hormat,
mengidentifikasi kebutuhan dan kekhawatiran segera, mengumpulkan informasi,
menyarankan mekanisme penanggulangan dan stabilisasi, dan menghubungkan siswa dengan
bantuan pribadi dan profesional kesehatan mental yang relevan (MHTTC, 2019). Setelah
krisis, sekolah dapat membantu staf dan siswa saat mereka memahami apa yang terjadi. Guru
dapat menciptakan lingkungan yang terbuka, ramah, dan penuh kasih, mencontohkan
mekanisme penanggulangan yang positif, dan mengundang siswa untuk berbicara dengan
mereka atau orang dewasa tepercaya lainnya sesuai kebutuhan.
Namun, saat ini, banyak pendidik merasa tidak didukung dan tidak siap untuk
mengenali dan menangani masalah kesehatan mental. Kita perlu membantu guru dengan
lebih baik—seringkali sebagai penanggap lini pertama kita—dan memberi mereka sumber
daya dan pelatihan yang diperlukan untuk membantu siswa menangani masalah kesehatan
mental. Sebagai langkah pertama, Jaringan Pusat Transfer Teknologi Kesehatan Mental
(Jaringan MHTTC) mengumpulkan sumber daya yang ada untuk membantu mendidik,
melatih, dan membimbing pendidik dalam mempromosikan kesehatan mental (Jaringan
MHTTC, 2020). Salah satu sumbernya, After a School Tragedy, “dirancang untuk membantu
sekolah mendukung siswa dan keluarga dengan lebih baik setelah kekerasan dan trauma.” Ini
memberikan strategi untuk membantu sekolah dan masyarakat dengan kesiapan, respons, dan
pemulihan untuk mendukung ketahanan dalam menghadapi tragedi (Jaringan MHTTC,
2019).

Mengapa Guru dan Sekolah Tidak Lebih Siap?


Sebagian besar pendidik melaporkan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap
kebutuhan kesehatan mental siswa (93 persen) dan kebutuhan untuk pelatihan lebih lanjut
dalam kesehatan mental (85 persen) (Moon et al., 2017).
Di bawah ini adalah beberapa tren dari dua hingga tiga dekade terakhir yang telah
membantu membentuk keadaan kita saat ini, dengan guru, administrator, dan sekolah yang
kurang siap untuk memberikan layanan yang efektif kepada kaum muda yang berisiko.
• Fokus kami ada di tempat lain: pertimbangkan No Child Left Behind, standar akademik
tinggi, STEM/STEAM, dan kompetisi dengan orang lain di seluruh dunia (Mason, Liabenow,
& Patschke, 2020; Ravitch, 2016).
• Sekolah secara historis menghindari masuk terlalu dalam ke ranah pembelajaran sosial
emosional dan pengembangan karakter (Tate, 2019).
• Kami telah menggunakan sistem "rujukan" kepada orang lain, menyerahkan banyak kerja
keras kepada terapis dan keluarga. Tidak ada cukup psikiater dan konselor untuk memenuhi
permintaan layanan ini, dan
sering kali orang diminta menunggu berbulan-bulan sebelum mereka bisa mendapatkan
penunjukan (Johnson, 2016).
• Kita terjebak dalam siklus trauma dan stres, dan terus terang kita terkejut—tingkat
keparahan kekhawatiran secara bertahap muncul selama dua dekade terakhir—dan kita tidak
waspada terhadap kebutuhan (APA, 2011) .
• Sekolah dan pendidik telah melewatkan kewajiban moral yang harus diperhatikan
kebutuhan dasar pemuda dan masyarakat (Shirley, 2009).
• Pada tingkat pra-jabatan, perubahan terkadang sulit dan membantu universitas dalam
menyusun strategi untuk tetap mengikuti perkembangan terkini memakan waktu dan tidak
selalu produktif (Adams, 2013).
• Sebagian besar pendidik belum mengikuti arena ilmu saraf dan pengetahuan tentang fungsi
eksekutif dan bagaimana anak-anak belajar (Mason, Rivers Murphy, & Jackson, 2019).
• Banyak dari strategi dan pendekatan yang telah direkomendasikan bersifat kompleks dan
memerlukan bandwidth yang cukup besar untuk diterapkan. Ada masalah seputar pendanaan,
personel, infrastruktur, dan pengambilan keputusan (Walker, 2018).

Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kenaikan dalam Tantangan Perilaku dan


Emosional
Pada tahun 2019, EAB (sebelumnya dikenal sebagai Dewan Penasihat Pendidikan)
melakukan survei terhadap lebih dari 1.900 pendidik dan menemukan bahwa 34 persen
responden melaporkan peningkatan jumlah siswa dengan tantangan perilaku dan emosional.
Dari 34 persen itu, 29 persen mewakili responden yang melaporkan peningkatan signifikan
pada siswa dengan tantangan yang sama. Ketika diminta untuk menjelaskan peningkatan
yang cukup besar dalam perilaku mengganggu ini, para pendidik mengurutkan kemungkinan
penyebab:
1. Riwayat trauma dalam keluarga
2. Kondisi kesehatan mental yang tidak tertangani
3. Perubahan pola asuh di zaman modern
4. Overexposure ke perangkat elektronik
5. Jumlah rekreasi siang hari yang tidak memadai
6. Meningkatnya tekanan akademik
Survei tersebut juga menemukan bahwa kabupaten dan sekolah tidak memiliki
pedoman yang jelas dan konsisten untuk membantu guru dalam mengelola perilaku siswa,
dan guru merasa kurang siap untuk mengatasi dan mengelola gangguan perilaku (EAB,
2019).
Faktor risiko lain untuk tantangan perilaku dan emosional termasuk penggunaan
narkoba, epidemi opioid baru-baru ini, kemiskinan, kesulitan ekonomi, konflik keluarga,
kekerasan komunitas, dan pelecehan dan penelantaran (Takeuchi et al., 1991; Welsh et al.,
2018). Dalam rumah tangga dengan orang tua yang mengalami peningkatan stres,
penggunaan narkoba, kemiskinan, dan ketidakpastian, keluarga cenderung juga mengalami
konflik, kelelahan, depresi pengasuh, pola asuh yang maladaptif, dan tingkat yang lebih
rendah.
komunikasi keluarga, dukungan emosional, atau ketergantungan (Sheidow et al., 2014).
Faktor-faktor ini terkait dengan perilaku eksternalisasi (mengganggu, agresif) dan juga
perilaku internalisasi (penarikan diri, depresi) yang lebih sulit untuk diidentifikasi.
Dalam laporan terbaru, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)
menyatakan trauma masa kanak-kanak sebagai krisis kesehatan masyarakat yang dapat
dicegah (Chatterjee, 2019). Meskipun dapat dicegah, akan membutuhkan upaya yang besar
dan terpadu di berbagai tingkatan, dari berbagai sektor.
Persentase besar populasi yang terkena dampak trauma menunjukkan bahwa trauma
bukanlah sesuatu yang hanya berdampak pada individu; itu adalah masalah sosial yang
membutuhkan upaya kolektif. Pada tingkat masyarakat, mengurangi episode kekerasan,
meningkatkan rasa aman komunitas, dan mendorong pengembangan keterampilan orang tua,
misalnya, dapat terbayar berkali-kali lipat.

Trauma dan stres menyentuh kita semua.


Bagi beberapa orang, trauma sangat merugikan karena tidak adanya dukungan
pengasuh, kepastian, atau keterikatan emosional. Namun, tidak ada dari kita yang kebal
terhadap trauma atau akibatnya. Stres yang berlebihan dapat mengakibatkan peningkatan
kadar kortisol dan adrenalin, menandakan otak untuk fokus pada kecemasan dan ancaman
yang dirasakan daripada rasa kesejahteraan dan pembelajaran (NIH, 2002). Ketika kadar
kortisol meningkat secara kronis, hyperarousal, hypervigilance, dan sistem deteksi ancaman
yang terlalu sensitif dapat mengambil alih, seringkali mengakibatkan insomnia, kecemasan,
ketakutan, dan kemarahan reaktif (Greenberg, 2018).

Pengaruh Trauma terhadap Kesehatan Mental


Beberapa tanda umum peningkatan risiko penyakit mental termasuk perubahan drastis
dalam perilaku, pola tidur, atau kepribadian; peningkatan agitasi; kurangnya minat dalam
aktivitas sehari-hari; kesulitan berpikir jernih; dan kekhawatiran atau ketakutan yang intens
yang mengganggu aktivitas normal. Anak-anak dan remaja juga dapat mengalami ketakutan
luar biasa yang tiba-tiba, perubahan suasana hati yang parah, atau pengambilan risiko yang
tidak terkendali yang dapat membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain (NAMI,
2020b). Ada banyak cara stres yang berkepanjangan dan tanpa henti memengaruhi perilaku
dan tindakan individu — reaksi umum terhadap trauma adalah "melarikan diri, melawan, atau
membeku" (Seltzer, 2015).
Anak-anak yang berada di tengah-tengah stres dan kecemasan yang cukup besar
mungkin lalai, takut, atau terlalu waspada, membuat mereka selalu waspada, selalu
menunggu badai guntur dan kilat berikutnya. Dalam beberapa kasus, mungkin sulit untuk
memastikan apakah trauma atau disfungsi neurologis adalah kondisi yang mendasarinya.
Dalam Finding Audrey, sebuah novel untuk remaja yang dengan lembut mengeksplorasi
penyakit mental, Sophie Kinsella menulis, “Rumah kami seperti sistem cuaca. Itu surut dan
mengalir, menyala dan mereda. Ini memiliki waktu kebahagiaan biru yang bersinar, hari-hari
suram kelabu dan badai petir yang muncul entah dari mana. Saat ini, badai petir
menghampiriku, petir-petir, petir-petir. Bayangkan menunggu saat guntur dan kilat semakin
dekat setiap saat dan mencoba untuk fokus pada membaca atau matematika.

Masalah Ekuitas dalam Akses ke Dukungan dan Advokasi Kesehatan Mental


Tidak semua orang mengalami trauma, gejala kesehatan mental, atau perawatan
kesehatan mental pada tingkat yang sama dan dengan akses yang setara ke dukungan
berkualitas dan pilihan perawatan. Kesenjangan ini ada karena perbedaan dalam akses ke
asuransi kesehatan atau sarana keuangan, prasangka sistemik (dan seringkali bersejarah) dari
sistem perawatan kesehatan, gurun perawatan kesehatan pedesaan atau perkotaan, dan
perbedaan budaya atau pendidikan dalam cara kita memahami dan mempercayai penyedia
kesehatan mental. . Dalam lingkungan pendidikan, perbedaan ini sering terlihat jelas dan
kadang-kadang diperbesar, tetapi sekolah juga dapat memberikan kesempatan untuk bekerja
dengan tujuan kesetaraan melalui akses siap bantuan untuk anak-anak dan keluarga,
pengurangan stigma seputar gangguan kesehatan mental, dan peluang untuk advokasi bagi
keluarga dan masyarakat.

Hambatan Penyediaan Layanan di Daerah Pedesaan


Daerah pedesaan juga menghadapi tantangan kesehatan mental yang unik, termasuk
kekurangan penyedia layanan yang berkualitas, kurangnya investasi sekolah, kurangnya
sistem perawatan yang terkoordinasi, diskriminasi penyedia, dan asumsi mendasar yang
membuat dokter kurang mampu secara akurat membaca tingkat keparahan gejala di antara
mereka. siswa warna. Di daerah pedesaan, tingkat bunuh diri remaja dua kali lipat dari daerah
perkotaan atau pinggiran kota dan hanya 33 persen dari ruang gawat darurat melaporkan
memiliki kebijakan untuk menanggapi krisis kesehatan mental anak-anak (Remick et al.,
2018). Dennis Mohatt, Wakil Presiden untuk Kesehatan Perilaku di Program Kesehatan
Mental Western Interstate Commission, memberikan “fakta yang sulit” (2018)
Lebih dari 60 persen penduduk pedesaan Amerika tinggal di daerah kekurangan
profesional kesehatan mental, lebih dari 90 persen dari semua psikolog dan psikiater dan 80
persen dari [profesional dengan] Magister Pekerjaan Sosial, bekerja secara eksklusif di
wilayah metropolitan. Lebih dari 65 persen penduduk pedesaan Amerika mendapatkan
perawatan kesehatan mental mereka dari penyedia layanan kesehatan utama, dan penanggap
krisis kesehatan mental untuk sebagian besar penduduk pedesaan Amerika adalah petugas
penegak hukum.
Gayle Macklem dalam Kesehatan Mental Pencegahan di Sekolah: Layanan Berbasis
Bukti untuk Siswa (2014) menulis tentang hambatan yang ditemui siswa ini untuk menerima
layanan:

Disparitas dalam perawatan kesehatan mental telah didokumentasikan dengan baik. Anak
laki-laki berusia enam belas dan 17 tahun adalah yang paling kecil kemungkinannya dari
semua siswa usia sekolah untuk diberikan bantuan untuk masalah kesehatan mental. remaja
lesbian, gay, biseksual, atau transgender; remaja tunawisma; remaja yang dipenjara; anak di
bawah payung kesejahteraan anak; remaja yang tidak diasuransikan; dan remaja di daerah
pedesaan memiliki kesulitan khusus dalam mengakses pengobatan. Asuransi yang didanai
publik tersedia untuk beberapa siswa, tetapi bahkan dalam kasus ini, banyak negara bagian
membatasi layanan tersebut.

Saat Krisis Menerpa


Pendidik tertarik untuk tidak hanya menyediakan layanan pencegahan dan dukungan
umum bagi remaja yang menghadapi masalah emosional
tantangan; mereka juga ingin tahu apa yang harus dilakukan jika muncul krisis kesehatan
mental. Menurut National Alliance on Mental Illness (NAMI), sistem respons yang efektif
untuk menangani krisis kesehatan mental meliputi jalur krisis 24 jam, klinik berjalan, pusat
perawatan darurat psikiatri, dan pusat krisis keliling (2020a). Individu dan keluarga menerima
skrining pra-penilaian, konseling, triase, informasi, dan rujukan, dan rumah sakit memiliki
pedoman dan kebijakan untuk memberikan keselamatan segera bagi remaja dalam krisis. Jika
sumber daya mengizinkan, akan berguna untuk menetapkan ruangan khusus di gedung
sekolah sebagai ruang tenang bagi para pemuda ini (Feuer et al., 2018).
Bagi remaja yang pernah mengalami krisis kesehatan mental, trauma tidak berakhir
saat mereka mengikuti program pengobatan. Dalam perawatan, mereka menghadapi risiko
dislokasi dari kehidupan normal, keluarga, teman, dan perkembangan psikologis dan sosial
normal serta risiko mempelajari perilaku yang tidak membantu dan membentuk hubungan
yang tidak sehat (Edwards et al., 2015).
Remaja mungkin mengalami kesulitan selama masa transisi “kembali normal” karena
mereka tiba-tiba terputus dari komunitas mereka selama proses pengobatan, seringkali di kota
lain atau lokasi terpencil tidak dapat berbicara dengan teman dan keluarga. Semakin sering
pengobatan dapat diberikan dalam lingkungan yang paling tidak membatasi—lingkungan
yang lebih mencerminkan kehidupan sehari-hari—semakin mudah bagi orang muda yang
mengalami krisis kesehatan mental untuk kembali ke kehidupan biasa mereka.
Apa pun pendekatan yang digunakan sekolah Anda untuk menangani krisis kesehatan
mental, protokol eksplisit harus tersedia untuk membantu siswa ketika mereka kembali ke
sekolah. Anak-anak dan remaja sangat mudah dipengaruhi dan membutuhkan akses ke orang
dewasa yang peduli dan penuh kasih untuk tumbuh terutama ketika mereka mengalami
sesuatu yang traumatis seperti krisis kesehatan mental.

Bagaimana Kita Mendekati Kesehatan Mental Di Sekolah?


BAGAIMANA KITA MENDEKATI KESEHATAN MENTAL DI SEKOLAH?
Berbagai upaya dalam dua dekade terakhir telah membahas masalah kesehatan
mental. Namun, kami memilih untuk memulai di sini dengan kerangka kerja dan pendekatan
yang kami anggap paling penting dan layak untuk meningkatkan respons proaktif yang
membahas banyak stres dan kekhawatiran. Niat kami adalah untuk membantu sekolah dalam
membimbing setiap anak sebagai pendidik menumbuhkan komunitas yang berkelanjutan
yang terstruktur untuk menumbuhkan kepercayaan dan membangun ketahanan.
Untuk mengatasi kebutuhan siswa yang menghadapi tantangan perilaku dan
emosional yang paling serius, sekolah memiliki serangkaian pilihan yang termasuk dalam
bidang berikut:
• Pencegahan: Kurangi Penyebabnya
• Dukung Anak
• Kembangkan Faktor Protektif
• Membangun Ketahanan
Meskipun secara tradisional pendekatan kesehatan mental telah mengikuti model
medis dan berfokus pada pencegahan dan pengobatan anak secara individual, penelitian
tentang praktik berbasis bukti menegaskan pentingnya sistem yang menangani perubahan
lingkungan. Penelitian ini mendukung kebijaksanaan memperkuat lingkungan dan
mendorong anak-anak dan remaja untuk membangun hubungan interpersonal yang positif
(Harvard Center on the Creating Child, 2017). Pendekatan semacam itu membantu
mengembangkan kapasitas batin dan rasa diri, sambil merestrukturisasi dinamika antarpribadi
dari ancaman, intimidasi, dan kesulitan.
Masing-masing faktor dalam Model Kesehatan Mental Sekolah Welas Asih memainkan
peran penting dalam membantu anak-anak dan remaja mengatasi stres dan memberikan
kelegaan dari tantangan mental dan emosional yang semakin parah. Namun, biaya dan
manfaat terkait dengan masing-masing. Pertimbangkan hal berikut:
1. Pencegahan: Kurangi Penyebabnya
Guru dapat membantu pencegahan melalui aturan kelas, prosedur, strategi disiplin,
dan kegiatan yang meningkatkan harga diri siswa dan mendorong anak-anak untuk
merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Ketika guru dan orang lain mengetahui
tanda-tanda dan sinyal peringatan kesehatan mental yang memburuk, mereka dapat
membantu siswa mendapatkan bantuan yang dibutuhkan lebih cepat, seringkali
memperkuat ketahanan batin anak dan memutuskan rantai yang dapat mengakibatkan
masalah kesehatan mental yang lebih serius.
2. Dukung Anak
Terapi perilaku kognitif, dan untuk siswa yang lebih muda, terapi bermain, dapat
membantu anak-anak dan remaja memahami emosi mereka dan mengatasi masalah
sehari-hari. Terapi seni, musik, dan tari dapat menjadi alat yang efektif untuk
membantu siswa dalam mengekspresikan dan memproses emosi yang sulit. Terapis
juga dapat memberi remaja strategi untuk menangani perubahan suasana hati,
kecemasan, atau depresi mereka secara lebih efektif.
Sekolah memiliki potensi untuk menghubungkan siswa dengan layanan yang mereka
butuhkan dengan lebih baik. “Merawat anak di sekolah dapat dengan kuat mengatasi
masalah biaya, transportasi, dan stigma yang biasanya membatasi anak untuk
menerima layanan kesehatan jiwa” (Castro, 2018). untuk menarik layanan atau
implementasi kurikulum kesehatan mental yang terpisah sama sekali Selain itu,
perawatan yang diterapkan beberapa kali per minggu lebih dari dua kali lebih efektif
daripada perawatan yang hanya diterapkan secara mingguan (atau kurang) (Castro,
2018) Namun, pendanaan, ketersediaan staf, stigma yang melekat pada terapi, dan
keengganan anak untuk mengungkapkan kerentanannya kepada terapis semuanya
menghadirkan hambatan substansial yang dapat membatasi keefektifan perawatan
ini.Terapi, meskipun penting, adalah paling baik diberikan dalam pengaturan penuh
kasih yang secara bersamaan mengembangkan dukungan teman sebaya, ketahanan,
dan faktor pelindung.
3. Bangun Ketahanan
Ketangguhan, atau kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih dengan cepat dari
tantangan dan kemunduran, dapat dipupuk di ruang kelas dan komunitas. Resiliensi
diperkuat oleh rasa optimisme, pemecahan masalah yang efektif, fleksibilitas, dan
ketekunan. Guru dapat membantu siswa dalam mempersiapkan kesulitan yang
mungkin mereka hadapi di masa depan melalui pemberian umpan balik yang
konstruktif dan keberhasilan perancah saat mereka menghadirkan tantangan bagi
siswa.
4. Kembangkan Faktor Protektif
Orang dewasa yang mengasuh dapat membantu membangun kembali neuropathways
untuk anak-anak dengan gangguan keterikatan yang mungkin gagal membentuk
keterikatan normal dengan pengasuh utama selama beberapa tahun pertama
kehidupan. Pengasuhan melibatkan mendengarkan siswa, menghormati pilihan
mereka, membimbing mereka melalui kesulitan yang muncul, dan membantu mereka
mengembangkan hubungan yang sehat dengan orang lain. Satu orang dewasa yang
mengasuh, yang bisa menjadi seorang guru, dapat membantu mengembangkan rasa
aman dan aman seorang anak (Harvard Center on the Creating Child, 2017). Selain
itu, konsistensi dalam aturan dan rutinitas dapat menumbuhkan rasa aman dan percaya
pada anak-anak yang mungkin mengalami kekacauan pola asuh.

Kemitraan untuk Membangun Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Siswa


Pada tahun 2018, Program Pemulihan dan Kesehatan Masyarakat (PRCH) di
Universitas Yale dianugerahi dana SAMHSA untuk mendirikan satu dari sepuluh Pusat
Transfer Teknologi Kesehatan Mental (MHTTC) regional di seluruh negeri, dengan fokus
pada negara bagian New England (Connecticut, Maine, Massachusetts, New Hampshire,
Pulau Rhode, dan Vermont). Salah satu tujuan Inisiatif Kesehatan Mental Sekolah MHTTC
New England adalah “untuk meningkatkan budaya sekolah dan mempersiapkan personel
sekolah untuk meningkatkan kesehatan mental anak usia sekolah di wilayah New England”
(MHTTC, 2020). Ada tiga tujuan:
1. Membina aliansi untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dan remaja yang pernah
mengalami atau berisiko mengalami trauma yang signifikan.
2. Memberikan pelatihan gratis dan bantuan teknis yang tersedia untuk umum kepada
guru anak usia dini, sekolah dasar, dan menengah, kepala sekolah, psikolog sekolah,
dan staf sekolah lainnya.
3. Mempercepat adopsi dan penerapan praktik kesehatan mental berbasis bukti melalui
C-TLC untuk New England.
Dengan pendekatan berbasis kekuatan, pemulihan untuk orang dengan penyakit
mental melibatkan identifikasi dan membangun kekuatan pribadi dan keluarga dan
menyelaraskan rencana pemulihan dengan nilai, preferensi, dan tujuan orang itu
sendiri.
Larry Davidson dan rekan (Davidson et al., 2009) menggambarkan proses ini sebagai
cara untuk memberikan alat kepada orang-orang untuk membangun kembali kehidupan
mereka: “Definisi pemulihan yang telah kami gunakan dalam upaya transformasi sistem kami
sendiri, misalnya, menjelaskan pemulihan sebagai ' sebuah proses pemulihan rasa memiliki
yang berarti terhadap komunitas seseorang dan rasa identitas positif terlepas dari kondisi
seseorang sambil membangun kembali kehidupan meskipun atau dalam batasan yang
ditentukan oleh kondisi itu.

Sejalan dengan keyakinan PRCH pada kekuatan penyembuhan lingkungan,


pendekatan dasar Pusat Peningkatan Pendidikan, Heart Centered Learning dirancang untuk
memperkuat penyembuhan dan ketahanan anak-anak melalui peningkatan lima elemen
berbasis bukti utama: sadar- ness (kesadaran penuh perhatian), kasih sayang, kepercayaan
diri, keberanian, dan komunitas (Mason, Rivers Murphy, & Jackson, 2019, 2020).
Penilaian iklim sekolah lainnya mungkin juga berguna, meskipun beberapa di
antaranya memiliki referensi langsung ke trauma masa kanak-kanak, neurobiologi, dan
kesadaran yang dapat ditemukan dengan S-CCATE. Sebagian besar instrumen lain yang
tersedia belum menjalani studi validasi dan/atau mungkin hanya mengukur beberapa
komponen yang termasuk dalam S-CCATE. Instrumen lainnya termasuk Inventarisasi Iklim
Sekolah Komprehensif yang dikembangkan oleh Pusat Iklim Sekolah Nasional (Guo et al.,
2011) dan survei iklim sekolah yang telah dikembangkan untuk berbagai negara bagian,
seperti Delaware, Maryland, dan California (Bear et al., 2011; Bradshaw et al., 2014; Hanson
& Voight, 2014; Kohl et al., 2013). Penelitian oleh Wang dan Degol (2016) dan penilaian
pembelajaran sosial emosional oleh Collaborative for Academic and Social Emotional
Learning (CASEL, n.d.). Pemimpin sekolah juga dapat mempertimbangkan komunitas
sekolah mereka dan bagaimana mereka menggunakan hati praktik terpusat untuk memperkuat
iklim sekolah mereka.

Vision
emosional
Latihan Berpusat pada Hati
Mendengarkan,
menunjukkan kesadaran,
tidak bereaksi

Hadir sepenuhnya,
penyayang, percaya

Empati, penyelarasan, tidak


menghakimi

Seperti yang ditulis oleh Daniel


Keseimbangan, Goleman dan Peter Senge (2014), “Semakin banyak
penerimaan

Kecerdasan
orang tua, pendidik, dan siswa membawa pembelajaran
kolaborasi sosial dan emosional serta pemikiran
sosial
sistem ke sekolah, kita akan melihat siswa yang lebih bahagia, lebih tenang, dan lebih dewasa
secara pribadi berhasil dalam hidup mereka dan berkontribusi pada perubahan masyarakat
yang vital.
Untuk meninjau, kami merekomendasikan mulai dengan menilai kebutuhan,
mengembangkan visi, dan kemudian memastikan bahwa staf memiliki pengembangan
profesional yang memadai sehingga mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai untuk menanamkan praktik Pembelajaran Berpusat Hati yang penuh kasih ke dalam
pengajaran mereka sepanjang hari sekolah akademik.

Implementasi Heart Centered Learning (HCL) di New England


C-TLC menerapkan HCL di New England. Pada 2019, Fellows melaporkan pengikut:
• Pengetahuan mereka tentang trauma dan perkembangan otak meningkat; menerapkan yoga,
meditasi, dan mindfulness (95 persen melaporkan peningkatan); intervensi dini (89 persen
dilaporkan
peningkatan); dan pengaturan diri siswa; kebutuhan dan perhatian keluarga; masalah
kesehatan mental; dan disiplin welas asih (84 persen melaporkan peningkatan).
• Mereka secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program-program inovatif (95 persen
melaporkan beberapa keterlibatan yang cukup; 63 persen melaporkan keterlibatan yang
cukup).
Ada nilai besar dalam menggabungkan data kuantitatif dan menggunakan narasi
individu untuk memahami kisah lengkap tentang bagaimana trauma memberi informasi pada
iklim sekolah dan area mana yang harus difokuskan untuk pertumbuhan. Dalam pertemuan
tatap muka kami, staf C-TLC dan Fellows memiliki kesempatan untuk melakukan penilaian
kebutuhan informal dan kualitatif. Benang merah di seluruh metode yang paling berhasil
dalam menyediakan layanan kesehatan mental adalah pendekatan berbasis komunitas yang
menyatukan para pemangku kepentingan di setiap tingkatan.

Kekuatan Pendekatan Berbasis Komunitas


Salah satu prinsip panduan Pusat Transfer Teknologi Kesehatan Mental New England
adalah bahwa "ketahanan dan pemulihan bersifat holistik," bahwa ada kebutuhan akan
perawatan berbasis tim yang dapat mengatasi pencegahan, intervensi krisis, perawatan diri,
kebutuhan keluarga, dan rangkaian terkoordinasi dari dukungan alami dan layanan alternatif.
Prinsip lainnya adalah bahwa “ketahanan dan pemulihan berbasis komunitas dan
dipromosikan melalui kolaborasi.” Ini termasuk tanggung jawab bersama untuk
“mengembangkan, menerapkan, memantau, dan mengevaluasi setiap rencana perawatan
individu dalam kemitraan dengan anak/remaja dan keluarga atau orang dewasa” (Pusat
Transfer Teknologi Kesehatan Mental New England, 2019). Kekuatan pendekatan ini
tercermin dalam prinsip-prinsip panduan lainnya, termasuk nilai saling mendukung dan
kelompok sebaya, advokasi, dan jejaring. Pendekatan ini memberikan pilihan dan peluang
untuk membangun kekuatan, menavigasi melalui krisis, membuat keputusan, melibatkan
remaja dalam pemulihan mereka sendiri, membina aliansi, dan menyediakan perawatan yang
berkelanjutan.

Model Kesehatan Perilaku Komprehensif (CBHM) di Sekolah Umum Boston


Model Kesehatan Perilaku Komprehensif (CBHM) memberikan pendekatan holistik
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan mental siswa di Boston Public Schools (BPS). Ini
adalah salah satu contoh terbaik dari sekolah yang komprehensif dan welas asih tanggapan
kabupaten terhadap kesehatan mental siswa yang telah kami lihat selama bertahun-tahun
bekerja dengan sekolah-sekolah di seluruh negeri untuk memberi manfaat bagi kesejahteraan
remaja. Selain itu, telah menunjukkan janji besar untuk manfaat yang berkepanjangan bagi
siswa dengan peningkatan positif dalam hal kehadiran, akademik, dan kesehatan emosional
bagi siswa yang terdaftar dalam program ini.
BPS saat ini melayani lebih dari lima puluh ribu siswa dari berbagai latar belakang di
125 sekolah; sekitar 70 persen diidentifikasi sebagai Latinx/Hispanik atau
Afrika-Amerika/Hitam, dua pertiga memenuhi syarat untuk makan siang gratis, sepertiga
adalah Pembelajar Bahasa Inggris, dan keluarga berasal dari 139 negara dan berbicara lebih
dari tujuh puluh lima bahasa. Pada tahun 2010, psikolog sekolah dan konselor penyesuaian
murid di BPS menciptakan CBHM untuk mengatur pendekatan seluruh sistem untuk
mempromosikan kesehatan perilaku positif dan mengurangi hambatan belajar bagi semua
siswa. Bermitra dengan lembaga masyarakat, BPS telah membangun infrastruktur untuk
kabupaten dalam upaya memenuhi kebutuhan sosial, emosional, dan perilaku siswa (Pearrow
et al., 2016).
Andria Amador, direktur senior layanan kesehatan perilaku di Sekolah Umum Boston,
mencatat, “Kami sangat yakin bahwa kami perlu mengajarkan keterampilan sosial dan
emosional secara intensif dan terarah seperti kami mengajar membaca dan matematika.
Keterampilan ini juga mengajarkan ketekunan, yang membantu anak-anak tetap bersekolah
dan memungkinkan mereka melewati masa-masa sulit yang dialami semua orang dewasa”
(Amador, 2020).
Mengikuti teori Brofenbrenner (1977), pendekatan BPS dimulai dengan tinjauan
variabel kontekstual di tingkat makro, termasuk tinjauan konteks budaya, nilai sosial, dan
nilai budaya. Selanjutnya, para pemimpin memeriksa eksosistem, meninjau latar atau
peristiwa seperti pekerjaan pengasuh, media, atau politik yang tidak terkait langsung dengan
anak. Kemudian, pemimpin mempertimbangkan sistem meso dan mikro, memeriksa variabel
yang memiliki pengaruh langsung pada anak dan hubungan antara entitas tersebut—layanan
kesehatan, keluarga, teman sebaya, dan guru.
Sepuluh sekolah berpartisipasi dalam tahun peluncuran 2012—2013 dengan sepuluh
sekolah lainnya bergabung setiap tahun berikutnya. Pada tahun 2020, enam puluh sembilan
sekolah yang melayani lebih dari 34.000 siswa berpartisipasi dalam CBHM.
Sejak awal, CBHM menekankan rasio kepegawaian yang direkomendasikan dari
Asosiasi Psikolog Sekolah Nasional (NASP, 2010), meningkatkan jumlah psikolog sekolah
dan juga tanggung jawab mereka. Seiring waktu, peran psikolog sekolah di BPS telah
diperluas untuk mencakup penyediaan layanan di sepuluh domain praktik seperti yang
direkomendasikan oleh NASP (2010). Setelah menerima pelatihan praktik berbasis bukti
untuk menjangkau semua siswa melalui layanan dan dukungan pencegahan, psikolog sekolah
juga menjadi lebih berpengetahuan tentang Dukungan Intervensi Perilaku Positif (PBIS),
penilaian perilaku fungsional, intervensi krisis, kepemimpinan, dan strategi implementasi.
Kurikulum berikut berperan dalam implementasi CBMH di Boston:
• Untuk kelas PreK-8, pembelajaran sosial-emosional Langkah Kedua
kurikulum yang digunakan (Langkah Kedua, 2020).
• Untuk SMA, kurikulum topikal digunakan, bersama dengan Keterampilan DBT di Sekolah
(Mazza et al., 2016), Bebas dari Depresi (BCHNP, 2017), dan Tanda Bunuh Diri (MindWise,
2020) (lihat Gambar 1.5).
FIGURE 1.5 Theory of Change BPS Comprehensive Behavioral Health Model

BPS Comprehensive Behavioral Health Model


Mission: Ensuring that all students have a safe and supportive school where they can
be successful

If we do this . . . We will see this . . . To achieve this . . .

Universal screening and Improved academic


positive skill instruction performance
Academic and
Students
social competence
Access to targeted Increased positive
supports and services behaviors

Integrated academic and Improved school climate


socio-emotional learning and student engagement
Safe and
Schools supportive learning
Professional environments
Increased skills to
development on evidence-
address students’ needs
based interventions

Keterampilan DBT di Sekolah mencakup tiga puluh rencana pelajaran dengan instruksi
eksplisit untuk mengajarkan kesadaran, toleransi terhadap tekanan, pengaturan emosi, dan
efektivitas antarpribadi (Mazza et al., 2016).
Di BPS, Sistem Dukungan Berjenjang (MTSS) digunakan, dengan Dukungan
Intervensi Perilaku Positif Seluruh Sekolah (SWPBIS) digunakan secara universal (Tingkat
I). Sistem Penilaian Pemantauan Intervensi Perilaku 2 (BIMAS-2) digunakan untuk skrining
guna mengidentifikasi siswa dengan peningkatan risiko untuk mengembangkan masalah
perilaku dan untuk mencocokkan siswa dengan intervensi berbasis bukti yang
ditargetkan/Tingkat II yang sesuai. Dukungan intensif (Tingkat III) disediakan untuk pelajar
yang menunjukkan kebutuhan serius atau tidak menanggapi intervensi Tingkat II dengan
rujukan ke layanan komunitas kesehatan perilaku bermitra sesuai kebutuhan (lihat Bab 3).

Catatan: Sistem Penilaian Pemantauan Intervensi Perilaku 2 (BIMAS-2; McDougal et al.,


2011), mencakup dua skala adaptif (fungsi sosial dan fungsi akademik) dan tiga skala
perhatian perilaku (perilaku, pengaruh negatif, dan perhatian kognitif).

Dengan CBHM, BIMAS-2 diselenggarakan dua kali setahun. Hasil selama


pelaksanaan (delapan tahun) menunjukkan perubahan signifikan di kelima bidang BIMAS
untuk siswa yang ditemukan berisiko. Misalnya, ukuran efek untuk Perilaku dan Fungsi
Akademik masing-masing adalah +1.0 dan +0.9.
CBHM telah memberikan dampak positif yang signifikan bagi siswa dan sekolah di
Indonesia program, antara lain sebagai berikut:
• Skor pada Sistem Penilaian Komprehensif Massachusetts (MCAS) untuk sekolah yang
berpartisipasi lebih tinggi daripada skor untuk sekolah Boston lainnya.
• Tingkat kehadiran dan keterampilan sosial siswa CBHM meningkat.
• Rujukan kedisiplinan telah menurun.
• Mayoritas siswa menunjukkan “risiko rendah” pada BIMAS-2
skala keprihatinan.
• Siswa dengan tingkat risiko tertinggi menunjukkan keuntungan terbesar.
Staf pendukung kesehatan jiwa sekolah yang melihat kebutuhan dan menciptakan kerjasama
untuk mewujudkan CBHM memiliki keberanian untuk mengambil tindakan welas asih untuk
menangani kesehatan jiwa remaja di BPS. Kami akan membahas lebih lanjut tentang
pentingnya upaya kolektif mereka untuk membawa layanan sampul ke sekolah-sekolah di
Boston. Kami akan memulai diskusi tentang bagaimana menumbuhkan budaya sekolah yang
mengarah pada tindakan welas asih.

Refleksi tentang Kesehatan Mental dan Kesejahteraan


Kesehatan mental dan kesejahteraan siswa perlu diprioritaskan dalam keputusan kami
tentang kurikulum dan pengajaran. Trauma dan kekerasan begitu meluas sehingga akan
membutuhkan upaya yang cukup besar selama bertahun-tahun untuk membalikkan keadaan.
Kami didorong oleh banyak upaya yang dilakukan saat ini untuk membantu sekolah menjadi
ahli trauma (lihat Bab 2). Beberapa praktik, seperti pertama-tama beralih ke teguran dan
konsekuensi negatif atas perilaku buruk, perlu diakhiri. Namun, mereka telah diterapkan di
sekolah dalam jangka waktu yang lama sehingga kita bahkan mungkin tidak menyadari
bagaimana mereka berkontribusi pada masalah dan bukan solusinya.
Kami sekarang memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang mengapa kesehatan
mental anak-anak menjadi perhatian utama para pendidik di seluruh negeri dan apa yang
dapat kami lakukan untuk mulai mengatasinya. Stres, kecemasan, dan trauma dapat
bertambah dan menyebabkan tantangan perilaku dan emosional, penyakit mental, dan bahkan
bunuh diri jika dibiarkan. Kita perlu menyadari ketidaksetaraan dalam kesehatan dan akses ke
pengobatan dan menemui siswa di mana pun mereka berada. Kita perlu membantu siswa
mengembangkan ketahanan dan faktor pelindung, sehingga mereka dapat berumur panjang,
sehat, dan produktif. Memiliki dialog terbuka dengan siswa, menjalin hubungan yang sehat
dan peduli, dan mengajarkan strategi koping yang positif adalah beberapa dari banyak cara
guru dapat membantu siswa. Kami juga perlu memberikan pelatihan yang memadai kepada
guru dan administrator sehingga mereka dapat mendukung siswa yang mengalami tantangan
kesehatan mental dengan lebih baik—mengajari mereka untuk mengidentifikasi tanda dan
gejala penyakit mental sedini mungkin dan menghubungkan siswa dengan sumber daya dan
layanan yang relevan.

Anda mungkin juga menyukai