Penting juga untuk diingat bahwa suatu hubungan tidak dapat memenuhi semua
kebutuhan anda.
Mitos Pernikahan
Sangat mudah untuk melihat pernikahan sebagai obat untuk masalah kita,
mengharapkan orang lain untuk membuat hidup kita lebih baik. Ini tidak bekerja
seperti itu. Mari kita lihat beberapa mitos perkawinan:
Tingkat Perceraian
Ada suatu masa pada tahun 1950-an ketika angka perceraian sekitar 25 persen. Ini
meningkat menjadi sekitar 50 persen pada akhir 1970-an. Sejak tahun 1977, ada
penurunan kecil yang tampaknya terus berlanjut. Kecenderungan itu didukung
oleh sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa 43 persen perkawinan pertama
diprediksi akan berakhir dalam waktu 15 tahun (Kalb, 2006).
Mungkin ada beberapa alasan untuk menurunnya angka perceraian. Yaitu
pasangan yang mengalami kesulitan dalam perkawinan mereka semakin berupaya
menciptakan hubungan yang lebih baik ketimbang menuju pengadilan perceraian.
Tampaknya, kita sadar bahwa perceraian itu sendiri memiliki kerugian yang jelas.
Dampak Perceraian
Weiten, Dunn, dan Hammer (2012) menyajikan beberapa informasi menarik
tentang dampak perceraian. Kehilangan yang dirasakan seseorang selama dan
setelah perceraian atau putusnya hubungan yang bermakna sering kali sebanding
dengan kehilangan yang dialami sewaktu orang yang dikasihi meninggal.
Beberapa orang melaporkan bahwa berurusan dengan perceraian bahkan lebih
sulit daripada berurusan dengan kematian karena tidak ada akhir dari sebuah
akhir. Beberapa perceraian menyeret untuk bertahun - tahun, dan banyak pasangan
perlu berkomunikasi dan berupaya bekerja sama seputar masalah membesarkan
anak.
Bahkan orang - orang yang memulai perceraian menghadapi kesulitan dan
tantangan selama proses itu berlangsung. Baik pria maupun wanita yang bercerai
mengeluhkan kekhawatiran tentang hal-hal yang tidak diketahui yang akan
datang, mengurangi harga diri, dan kekhawatiran tentang membentuk hubungan
baru. Kedua individu yang terlibat dalam putusnya hubungan berisiko mengalami
kesulitan psikologis dan fisik.
Penelitian memperlihatkan bahwa orang yang dibesarkan oleh orang tua yang
bercerai memiliki sikap yang lebih negatif tentang perkawinan dan lebih
cenderung bercerai daripada orang yang dibesarkan oleh orang tua yang tetap
menikah. Akan tetapi, orang tua yang tinggal bersama dalam perkawinan yang
tidak bahagia mungkin tidak membantu mencegah anak - anak mereka bercerai.
Orang dewasa muda yang percaya bahwa orang tua mereka harus mengakhiri
perkawinan mereka lebih cenderung memiliki pandangan positif tentang
perceraian, bahkan ketika orang tua mereka memiliki pandangan negatif (Kapinus,
2005).
Mavis Hetherington (2003) menunjukkan bahwa hasil perceraian mungkin tidak
begitu drastis. Menurut Hetherington, perceraian dapat menjadi trauma bagi anak
- anak, tetapi sebagian besar cukup menyesuaikan diri setelah dua hingga tiga
tahun. Dia percaya bahwa hanya sekitar 25 persen yang menunjukkan masalah
emosional yang serius sebagai orang dewasa, dibandingkan dengan 10 persen
dalam kelompok kontrol penelitian. Dan, penelitian lain telah menunjukkan
bahwa ada beberapa hasil positif dari perceraian. Anak - anak memiliki
kesempatan untuk bertumbuh dalam bidang keterampilan manajemen kehidupan,
mengembangkan harapan yang realistis, dan meningkatkan empati.