Keluarga yang bahagia bukanlah keluarga yang tanpa konflik, tanpa masalah. Masalah akan
selalu muncul dan selalu ada. Keluarga yang bahagia ialah keluarga yang dapat mengelola setiap
problem kehidupan/konflik yang muncul dalam keluarga mereka.
Pernikahan merupakan pertemuan dua pribadi yang berbeda dan unik untuk saling berbagi hidup.
Perbedaan diantara dua pribadi itu tidak dapat dihindari. Mereka hidup terpisah lebih kurang 20
– 25 tahun, dan selama jangka waktu itu mereka telah mengembangkan selera, kesukaan,
kebiasaan, kesenangan dan ketidaksenangan serta nilai-nilai hidup yang dipegangnya.Sangat
tidak masuk akal apabila kita menuntut dua orang – yang karena menikah – harus selalu
melakukan hal yang sama dengan cara yang sama dan pada waktu yang sama.
Problematika rumah tangga banyak ragamnya. Mulai dari persoalan yang dianggap sepele
sampai dengan masalah yang berat dan besar. Masalah dalam kehidupan berkeluarga dapat
muncul ketika:
Kehadiran anak pertama yang membuat suami-istri harus menata ulang ritme
kehidupannya. Jika tidak siap akan memicu konflik dan ketegangan hubungan antara
keduanya.
Sang suami harus bekerja 12 jam sehari sedangkan sang istri harus tinggal di rumah
mengurus anak dan rumah.
Sikap dan tindakan yang kurang berkenan terhadap keluarga dari pihak istri/suami.
Yang seorang selalu memencet pasta gigi dari bawah, sedangkan yang lain selalu dari
atas.
Saat berbicara, yang seorang senang bercerita panjang lebar sedangkan yang lain
memberikan garis besarnya saja.
Yang seorang perlu kamar yang benar-benar gelap untuk tidur sedangkan pasangannya
tidur dengan lampu menyala.
Yang seorang menganggap bahwa hubungan seksual hanya dapat dilakukan di tempat
tidur dan di bawah selimut sedangkan pasangannya menyukai variasi dan kreatif dalam
melakukannya.
Yang seorang biasa menggantung baju dimana saja dia suka sedangkan yang lain menata
baju dengan gantungan berdasarkan warna dan adanya jarak antar gantungan.
Ketika anak dalam keadaan sakit, yang seorang terlihat begitu gelisah sedangkan yang
lain tampaknya tenang-tenang saja.
Bagi suami – istri yang sama-sama bekerja seringkali perbedaan pendapatan atau
penghasilan menjadi masalah, terutama jika pendapatan istri lebih besar dari pendapatan
suami.
Adanya masalah yang harus kita hadapi memperlihatkan bahwa kita masih mempunyai
kehidupan. Adanya masalah juga berarti hidup pernikahan kita dinamis.
Bernard Wiese dan Urban Steinmetz mengatakan hal berikut mengenai masalah yang terjadi
dalam rumah tangga: “Ketidaksesuaian pendapat tak terelakkan dalam suatu pernikahan dan
kehidupan keluarga. Kadangkala masing-masing pribadi dapat menjadi pesaing, seperti juga
penolong dan pelengkap bagi pasangannya. Setiap pasangan harus menghindari sikap
menjauhkan diri yang sering muncul ketika konflik terjadi; dan membenahi hubungan mereka
supaya tidak ada lagi sakit hati, keinginan untuk saling membalas atau saling menuduh. Untuk
dapat mencapai hal itu, perbedaan-perbedaan harus didiskusikan secara terbuka. Sehingga
komunikasi yang baik dapat dipulihkan. Reaksi kemarahan memang tak dapat dihindari dalam
kehidupan seseorang, tetapi yang paling penting adalah apa yang diperbuat seseorang dengan
amarahnya itu.”[3]
Hal lain yang perlu kita perhatikan apabila kita berbicara mengenai problematikan kehidupan
rumah tangga ialah apa yang dikatakan oleh H. Norman Wright, seorang konselor keluarga dan
pernikahan. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa sekarang ini ada tiga faktor yang berubah
pada lembaga pernikahan yang dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan rumah tangga[4],
yaitu:
Masalah utama dalam pernikahan dewasa ini, seperti yang diungkap banyak ahli konseling
keluarga, bukanlah:
Seks…….
Uang…….
Anak-anak……..
Memang ketiga hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam keluarga tetapi ada faktor lain
yang lebih besar yaitu hilangnya atau lemahnya komunikasi antara suami dan istri. Hilangnya
atau lemahnya komunikasi antara suami dan istri dapat menjadikan banyak hal dalam kehidupan
berkeluarga – termasuk di dalamnya masalah seks, uang, dan anak-anak – sebagai masalah besar.
Norman Wright setuju bahwa hilangnya komunikasi adalah inti masalah di balik meroketnya
angka perceraian di masyarakat, termasuk juga di kalangan keluarga kristen. Rapuhnya
pernikahan sekarang ini lebih banyak disebabkan lemahnya komunikasi dan kemampuan dalam
mengelola konflik. Komunikasi keluarga yang tersumbat akan menghancurkan kehangatan
rumah tangga. Kebuntuan komunikasi mendinginkan suasana hubungan antar pribadi yang ada di
dalamnya.
Sekarang ini banyak orang yang memasuki pernikahan dengan sikap: Jika tidak cocok mereka
dapat mengakhiri hubungan tersebut dan mecoba lagi dengan orang lain, Banyak orang yang
sangat tidak sabar dengan hidup pernikahan mereka. Mereka tidak ingin hidup dengan motto
“bersenang-senang kemudian.” Mereka ingin hidup dengan motto “bersenang-senang saat ini
juga” dan jika tak terpenuhi, mereka menyerah.
Banyak pasangan muda yang dibutakan oleh harapan-harapan yang tidak realistis ketika
memasuki pernikahan. Mereka yakin bahwa hubungan tersebut harus ditandai dengan cinta
romantis yang tidak akan pernah surut; dalam waktu singkat mereka akan mendapatkan apa saja
yang mereka mau dari pasangan hidupnya, pasangan hidupnya akan selalu sejalan dengan
pikiran dan kemauannya, ekonomi keluarga akan berjalan mulus bahkan berkelebihan dan
sebagainya. Mereka mencari sesuatu yang “ajaib” di dalam pernikahan mereka. Sebenarnya,
kerja keras mereka berdualah yang membuat pernikahan itu menampakkan hasil-hasil yang
positif. Itu semua merupakan hasil dari langkah dua orang yang bekerja sama.
Salah satu kunci keberhasilan dalam menjalani kehidupan berkeluarga ialah kemampuan dalam
mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam keluarga sehingga setiap anggota keluarga
dapat memainkan perannya secara optimal. Jangan biarkan masalah menguasai kehidupan
keluarga anda, tetapi kuasailah masalah dan carilah solusi bersama atas masalah tersebut.
Memang ini bukan hal yang mudah tetapi harus diupayakan. Bukankah cara terbaik untuk keluar
dari masalah yang kita hadapi adalah dengan menuntaskannya.
Setiap keluarga harus menyadari bahwa cara yang tepat dalam penyelesaian problematika
kehidupan rumah tangga (setiap keluarga mempunyai caranya sendiri) memungkinkan
terciptanya suatu proses pertumbuhan. Setiap pasangan kristen seharusnya belajar dari berbagai
konflik dan tidak mengulang-ngulang hal yang sama tanpa adanya perubahan sikap yang lebih
dewasa. Rumah memerlukan ketenangan yang hangat dan kehangatan yang tenang. Oleh sebab
itu, berbicara mengenai cara mengatasi dan menyelesaikan problematika yang ada, setiap
pasangan Kristen harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut[5]:
3. Setiap pribadi harus menyadari bahwa penyelesaian masalah keluarga harus dimulai
dari diri masing-masing. Setiap pribadi harus mempunyai keinginan yang kuat untuk
mempertahankan keutuhan pernikahannya dan berusaha mencari alternatif solusi masalah
yang baik untuk semuanya. Dalam Matius 7: 12 diberikan sebuah perintah yang penting
untuk kita terapkan yaitu lakukanlah terlebih dahulu kepada orang lain (dalam hal ini
suami, istri, anak, atau orangtua kita) apa yang kita inginkan orang lain perbuat kepada
kita. Ayat ini bicara soal prakarsa. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
4. Siapa kita tidak hanya dilihat dari apa yang kita katakan melainkan juga dari cara
kita mengatakan dan berbuat sesuatu kepada pasangan hidup kita (juga kepada anak-
anak dan anggota keluarga lainnya). Efesus 4: 32 menegaskan kepada kita bahwa
pentingnya keramahan (bukan kemarahan), kasih mesra, serta saling mengasihi dan
mengampuni sebagai dasar membicarakan masalah yang ada dalam keluarga. Sedangkan
dari Efesus 5:22-31 kita mendapatkan beberapa hal penting sebagai bahan perenungan
diri: Apakah saya mencintai pasangan hidup saya seperti Kristus mencintai umatNya?
Apakah saya sungguh-sungguh mencintai pasangan hidup saya seperti saya mengasihi
diri saya sendiri? Jika jawabannya adalah TIDAK, mulailah untuk melakukan perubahan
diri maka pernikahan Anda akan menemukan kembali kehangatannya.
5. Berpikirlah yang positif terhadap pasangan hidup Anda. Pandangan yang positif akan
melahirkan pendekatan dan cara-cara yang positif dalam mengatasi permasalahan yang
ada dalam keluarga. Fokuslah pada kelebihan atau keistimewaan – bukan kelemahan atau
kekurangan – pasangan hidup kalian.
6. Berpikirlah dan rencanakanlah kesuksesan dalam kehidupan keluarga Anda. Ada satu
kata yang tidak boleh terlintas dalam pikiran Anda ketika menemukan masalah, yaitu kata
CERAI. Jika kata ini sudah terlintas dalam pikiran Anda atau pasangan hidup Anda maka
rumah tangga telah berada dalam bahaya besar. Cepat ubah orientasi hidup pernikahan
Anda.
7. Ingatlah selalu akan kasih semula yang membuat kalian saling jatuh cinta dan
kemudian memutuskan untuk bersatu dalam ikatan pernikahan. Jika Anda mengasihi
pasangan hidup yang Tuhan berikan maka tidak akan ada dalam diri keinginan untuk
mengecewakan atau menyakiti, yang ada adalah berbagi kehidupan dengan segala suka
dan dukanya.
8. Selain itu, hal penting yang tidak boleh dilupakan ialah menempatkan Tuhan dan
firmanNya sebagai pemandu kehidupan pribadi dan keluarga. Bukankah keluarga yang
berbahagia ialah apabila menjadikan Tuhan sebagai “tamu” yang tetap dalam keluarga
tersebut.
PENUTUP
Pasangan yang berhasil membina keharmonisan bukanlah mereka yang memiliki pemikiran,
perilaku dan sikap yang persis sama — mereka bukan jiplakan dari pasangannya. Mereka adalah
pasangan yang sudah belajar menerima keberbedaan melalui proses penerimaan, pengertian, dan
akhirnya saling melengkapi. Untuk mewujudkan pernikahan yang berhasil dan langeng
dibutuhkan dua orang tetapi untuk menghancurkan cukup diperlukan satu orang saja, entah
suami atau istri.
Kita harus ingat bahwa pernikahan adalah satu-satunya permainan yang dapat dan harus
dimenangkan oleh kedua belah pihak. Selain itu, pernikahan juga dapat diibaratkan seperti
sebuah gunting, yang berpadu sehingga tak terpisahkan; sering bergerak ke arah yang
berlawanan, tetapi selalu memotong segala sesuatu yang hadir di antara mereka.
Di akhir tulisan ini saya akan mengutip pentingnya sebuah keluarga yang mampu mengelola
konflik bagi kehidupan bersama dari sudut pandang Kong Fut Tze yang menurut saya penting
untuk kita simak.
[1] Disampaikan sebagai bahan Bina Pra-Nikah Klasis Bandung pada tanggal 24 Nopember 2007
di GKI Sudirman 638 Bandung.
[2] Pendeta Gereja Kristen Indonesia dengan basis pelayanan di GKI Kebonjati 100, Bandung.
[3] Sebagaimana dikutip oleh H. Norman Wright. Untuk lebih jelasnya lihat pada H. Norman
Wright, Persiapan Pernikahan, (Yogyakarta: Gloria, 2000), hlm. 175.
[4] H. Norman Wright, Komunikasi: Kunci pernikahan bahagia, (Yogyakarta: Gloria, 2000),
hlm. 14-17.
[5] Pdt. Yusak Susabda PhD, Dkk, Konseling pranikah: Sebuah panduan untuk membimbing
pasangan-pasangan yang akan menikah, (Bandung: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 92-93.