PENGANTAR
Memiliki keluarga yang indah dan bahagia adalah cita-cita setiap orang yang menikah.Akan
tetapi, cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun.Hal ini terbukti dengan
contoh kenkret bahwa di Indonesia pun, kurang lebih 30% perkawinan berakhir dengan
perceraian.Sudah menjadi seharusnya kebahagiaan perkawinan diperjuangkan setiap hari
sepanjang hidup. Kunci hidup perkawinan tidak lain adalah saling menjaga kesetiaan; saling
memberikan perhatian; serta tidak egois terhadap pasangannya; dank arena itu, diperlukan
komunikasi yang baik satu sama lain. Komunikasi menjadi sarana yang ampuh untuk
mewujudkan kebahagiaan dalam hidup perkawinan.
PROSES PENYESUAIAN
Pada awal-awal perkawinan, semua berjalan begitu mudah.Suami/siteri selalu berusaha
membahagiakan pasangannya, sampai-sampai hal-hal yang kurang menyenangkan dan sifat-
sifat yang kurang disukai yang muncul dari pasangannya, tidak dihiraukan. Perasaan selalu
diliputi rasa bahagia karena bisa menjalani hari-hari bersama pasangannya, sang belahan jiwa.
Dalam suasana seperti ini, proses penyesuaian dapat berjalan dengan baik.Memang, proses
penyesuaian ini memerlukan waktu yang lama sehingga relasi suami/isteri yang terjalin dengan
komunikasi yang hangat diliputi rasa cinta membuat perjalanan hidup perkawinan serasa bebas
tanpa hambatan.
Proses penyesuaian pun berjalan terus, semakin lama semakin terasa perbedaannya, kerikil-
kerikil hidup berumah tangga mulai terasa membuat jalan tidak lagi begitu mudah. Selang
beberapa waktu, sifat-sifat dan watak sebenarnya mulai tampak dan suasana mulai
berubah.Jangan-jangan setelah satu bulan “madunya” habis dan mulai diganti “padu”
(pertengkaran atau perkelahian).
Memang, tantangan pertama yang dihadapi pada masa awal perkawinan adalah proses
penyesuaian satu sama lain. Ada sejuta hal yang tampaknya kecil, tetapi perlu disesuaikan,
mulai dari selera makan, cara berpakaian, kebisaaan-kebisaaan sewaktu masih bujang, juga
perbedaan-perbedaan karena latar belakang pendidikan, keluarga, dan lingkungan. Hal-hal
seperti itu mudah menimbulkan rasa jengkel, frustrasi, dan kecewa bila tidak ada kemauan dari
kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri satu sama lain. Masalah akan bertambah
berat bila perasaan, keinginan, dan maksud hati tidak diungkapkan dengan jelas, tetapi
didiamkan dan dipendam karena menganggap bahwa pasangannya “sudah tahu” apa yang
dirasakan, dipikirkan, dan diharapkannya.
Tahap penyesuaian kedua adalah dimulai dengan kedatangan sang buah hati. Begitu mereka
dianugerahi anak, perhatian kepada pasangannya mulai terbagi. Sang ibu sibuk merawat anak
dan mengurus rumah tangga, sedangkan sang ayah bertambah tanggung jawanya sehingga
harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Secara tidak disadari, relasi mereka
mulai mengalami perubahan, merenggang, tidak sebaik hari-hari sebelumnya.Perhatian,
tenaga, dan waktu mereka tersita oleh kesibukan mereka masing-masing, mengurus anak dan
tugas sehari-hari. Kebisaaan bicara dai hati ke hati semakin jarang dilakukan.
Dalam situasi seperti itu, salah paham mudah terjadi yang sering meningkat menjadi
pertengkeran.Kemudian, mulai muncul kekecewaan dan perasaan negative yang akhirnya
membuat relasi yang baik yang sudah terjalin menjadi kurang baik.Ditambah lagi dengan
adanya tantangan, gangguan, dan godaan dari luar, seperti dari keluarga, lingkunagn, dan
masalah ekonomi sehingga menimbulkan persoalan yang menimbulkan cekcok.Kekecewaan-
kekecewaan itu bisaanya dipendam saja dalam hati.Akan tetapi, pada suatu saat bisa meledak.
Kehangatan relasi mulai diganti dengan ketegangan dan banyak diam. Pertengkaran mulai
sering terjadi, sifat egois masing-masing mulai mendominasi dan apabila mereka tidak
menemukan jalan untuk menyelamatkannya, mereka akan jatuh pada “neraka perkawinan” dan
keadaan akan semakin memprihatinkan.