Anda di halaman 1dari 14

Weekly reflection

Week 2

Terburu-buru untuk menikah

Klien offline pertama saya adalah klien pranikah, permasalahan yang dialaminya adalah berupa perasaan
yang menggebu ingin menikah namun tidak tahu apakah sudah siap atau belum untuk merubah peran
dan status dari single menjadi seorang istri dan ibu.

Sebaiknya memang ketika kita ingin menikah, kita tidak diperkenankan untuk terburu-buru mengambil
keputusan yang sebenarnya keputusan itu dilandasi atas pikiran yang tidak rasional. Ingin segera
menikah, tetapi tidak mengenal kesiapan diri juga akan menjadi bahaya untuk yang menjalankannya.
Oleh karenanya hindari pengambilan keputusan apalagi keputusan besar dalam hidup yang sifatnya
terburu-buru.

Karena tidak akan pernah ada waktu yang sia sia untuk menunggu dan mencari yang terbaik dari yang
baik, bukan hanya perkara fisik yang cantik atau tampan, memiliki kesiapan finansial yang mapan, dan
ingin berhenti mendapatkan pertanyaan kapan menikah.

Karena sesungguhnya pertanyaan jenis itu tidak akan berhenti dengan kamu melangsungkan
pernikahan.

Menikahlah karena memang sudah siap dari segala aspek, terutama aspek ilmu dan agama yang benar
dan memberikan jalan kebenaran. Menikah bukan soal mencari kebahagiaan, tetapi justru berlomba
untuk membahagiakan. Menikah bukan soal mencari pendamping hidup, tetapi justru mencari
pendamping untuk saling memberi cahaya dalam kehidupan hingga ke akhirat kelak. Menikah bukan
soal bagaimana mendidik anak bersama tetapi soal mendidik diri untuk nantinya menjadi role model
terbaik bagi anak tanpa harus berlelah-lelah menyuruhnya menjadi orang baik. Menikah bukan soal
menuntut pasangan harus menjadi sesuatu tapi soal kita menuntut diri untuk terus menjadi pribadi yang
lebih baik, bukan sekedar take it for granted apalagi take it for show off tapi menikah untuk give give
give and you can take bcz of the blessing.

Berhenti mengiba ingin menikah tapi tiada aksi penuntasan unfinished business dengan diri sendiri, kita
perlu menjadi pribadi yang taat terlebih dahulu, menjadi pribadi yang bahagia terlebih dahulu, dan
menemukan makna didalam hidup maka hal inilah yang nantinya akan memudahkan jalanmu untuk tau
misi kehidupan apa yang Allah berikan padamu dan hal itu akan mengarahkanmu pada visi misi
kehidupan dan keluarga untuk menyambut kehidupan yang lebih abadi.

Kalau hidup sekedar hidup babi di hutanpun hidup, kalau kerja sekedar bekerja kera juga bekerja. Lantas
apa yang membedakan kita sebagai manusia dengan mereka? -buya hamka-

Dan kalau menikah sekedar 'halal', terlalu sayang golden chance (kesempatan memanen pahala) yang
ada didalamnya akan samar dan kabur untuk di maksimalkan sebaik mungkin.
My first offline client was premarital, the problem he experienced was a have a high desire to get
married but didn't know whether he was ready nor to change his role and status, from single to being a
wife and mother.

It is better when we want to get married, we are not allowed to rush to make decisions based on
irrational thoughts. It would be dangerous if we have plans to get married as soon as possible without
knowing our readiness to carry it out. Therefore, we must avoid making decisions (especially for a big
decision) in life that is in a hurry, because there will never be a wasted time to wait and look for the best
of the good because looking for a partner is not just a beautiful physical thing or handsome, have a
steady financial readiness, or want to stop getting questions about when to get married.

Get married because it is ready from all aspects, especially aspects of science and religion, that are true
and provide the way of truth. Marriage is not about finding happiness but rather competing to be happy.
Getting married is not about finding a life partner, but instead looking for a companion to learn each
other in life until the afterlife. Getting married is not a matter of educating children together, but about
educating themselves to become the best role models for children without having to tire of telling them
to be good people. Getting married is not about demanding your partner to be something, but
demanding yourself to continue to be a better person is. It does not just take it for granted or take it to
show off but get married to give, and you can take it because of the blessing.

Stop complaining about wanting to get married but never complete unfinished business with ourselves.
We need to be obedient first, be happy first, and find meaning in life, then this will make it easier for us
to find out what our life mission is. God gave us. It will direct you to the vision and mission of life and
family to welcome an eternal life. If marriage is only for a halal reason, then the golden chance
(opportunity to get the reward) in it will be vague and fuzzy to be maximized as best as possible.
WEEK 4

Minggu ini saya mendapatkan klien pasangan, mereka memiliki masalah miscommunication,
tidak saling memahami emosi satu sama lainnya. Selain itu, tidak memahami bagaimana cara
mengekspresikan emosi sehingga membuat hubungan mereka semakin lama semakin renggang dan di
minggu ini juga saya mengikuti seminar yang sangat tepat bisa menguatkan saya didalam sesi konseling
untuk memberikan psikoedukasi pada pertemuan selanjutnya.

Dalam Psikologi, ada istilah emotional health atau kesehatan emosional, sesuatu bagian penting
dari seluruh aspek kesehatan. Seseorang yang memiliki kesehatan emosional biasanya dapat
mengontrol pikiran, perasaan, dan perilaku mereka. Pun dia dapat mengatasi berbagai tantangan dalam
hidupnya. Sebaliknya, jika memiliki kesehatan emosional yang tidak seimbang, maka kita dapat
mengalami tekanan darah tinggi, nyeri dada, dan berbagai gejala fisik lainnya. Meskipun begitu, bukan
berarti dia yang sehat secara emosional hanya merasakan bahagia. Dia dapat merasakan stres, marah,
sedih, dan berbagai emosi negatif lainnya, tetapi dia dapat mengaturnya dengan baik.

Ketika kita memiliki kesehatan emosional yang baik, tidak hanya bermanfaat untuk kita, tetapi
juga untuk keluarga kita. Salah satu manfaatnya yaitu dapat memperdalam hubungan dengan pasangan,
anak, atau anggota keluarga lainnya. Selain itu, saat memiliki kemampuan untuk mengatur emosi, kita
akan lebih mudah untuk menjalin interaksi dengan orang lain dan cenderung lebih dapat menunjukkan
empati dan kasih sayang. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kesehatan emosional sebaiknya tidak
hanya dimiliki satu individu dalam keluarga, tetapi semua anggota keluarga. Dengan demikian, keluarga
kita menjadi keluarga yang sehat secara emosional.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan kebiasaan sehingga tercipta
keluarga yang sehat emosional. Di antaranya yaitu:

1. Berbicara Tentang Perasaan


Keluarga yang sehat emosional memahami bahwa semua emosi itu baik, termasuk emosi
negatif. Dengan demikian, ketika pasangan atau anak mengalami emosi negatif, kita tidak
bereaksi berlebihan, bahkan hingga memberi hukuman. Sebaliknya, kita justru dapat
memahami emosi negatif yang sedang dialami, termasuk perilaku meluap yang menjadi
dampak dari emosi negatif. Selain itu, kita mendorong anggota keluarga untuk
mengekspresikan secara sehat semua emosinya dan mengajarkan anak kemampuan untuk
mengatur emosi besar mereka. Serta, orang tua juga memahami bahwa anak-anak belajar
dari yang mereka lihat sehingga kita dapat memberi contoh model untuk mengatur emosi
secara sehat.
2. Meminta Maaf dan Memaafkan
Sebagai manusia, tentu kita tidak pernah luput dari kesalahan. Setiap konflik yang terjadi
dalam sebuah hubungan itu wajar, termasuk dalam keluarga. Namun, jika keluarga kita
memiliki kesehatan emosional yang baik, maka dapat memahami kesalahan tersebut dan
tidak menekan anggota keluarga lain untuk selalu melakukan kebenaran. Sebaliknya,
bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah dilakukan dengan cara memperbaiki
hubungan yang putus dan meminta maaf.
3. Menghargai Quality Time
Setiap aktivitas yang kita lakukan bersama keluarga harus dijadikan momen yang
berkualitas. Hal ini ternyata dapat menguatkan hubungan dan memperdalam koneksi dengan
keluarga. Sebab, cara terbaik untuk menunjukkan cinta kepada keluarga dengan
menghabiskan waktu bersama mereka, memberikan perhatian, dan melakukan sesuatu untuk
mereka.
4. Berkomunikasi dengan Sopan
Keluarga yang sehat emosional dapat berkomunikasi dengan sopan tanpa mempermalukan,
menyalahkan, atau mengancam satu sama lain. Sebaliknya, mereka mendengarkan satu sama
lain dan memvalidasi perasaan. Selain itu, mereka juga memahami bahwa komunikasi tidak
hanya secara lisan, tetapi juga melalui nada suara, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah.
5. Mencari Solusi Bersama
Keluarga yang sehat emosional memahami pentingnya belajar dari kesalahan, menemukan
solusi bersama, dan belajar kemampuan baru. Ketika ada sebuah masalah, tidak berfokus
pada masalah tersebut, tetapi fokus untuk menemukan solusi bersama. Sebab, ketika ada
kesulitan, mereka mencari cara untuk bertumbuh dan bergerak maju.
6. Memahami Bahasa Cinta
Keluarga yang sehat emosional memahami bahwa sebuah hubungan tidak hanya dibangun
karena adanya momen besar, tetapi juga dari momen kecil yang terjadi sehari-hari. Mereka
belajar untuk membuat anggota keluarga merasa dicintai, bernilai, dan dihargai. Seperti
menggunakan kata-kata, sentuhan, membuat teh, memberikan bunga. Hal itu membuat
masing-masing anggota keluarga merasa spesial.
Setelah mengetahui beberapa cara tersebut, kita dapat menyadari bahwa untuk membentuk
keluarga yang sehat emosional, bisa dimulai dari menciptakan kebiasaan-kebiasaan baik. Selain itu,
ternyata kita pun dapat mengajari anak beberapa kebiasaan sehingga mereka mempunyai kekuatan
emosional:

1. Menjadikan Salat Sebagai Bagian dari Diri Anak


Ketika kita akan salat, ajaklah anak-anak untuk salat bersama. Sekalipun sang anak belum
memahami tentang gerakan dan makna salat. Namun, hal tersebut ternyata dapat
menumbuhkan kesadarannya akan keberadaan Allah Selain itu, dengan salat, anak juga
diajarkan cara untuk meminta pertolongan Allah.
2. Berdoa Selain mengajak anak salat, ajaklah anak-anak untuk berdoa dalam setiap keadaan.
Baik dalam salat, belajar untuk ujian, bermain, keluar rumah, mengendarai kendaraan,
maupun melakukan setiap aktivitas. Dengan berdoa, kita tidak hanya mengajarkan cara
untuk meminta pertolongan Allah, tetapi juga menghubungkan apapun yang dilakukan
dengan Allah.
3. Mengikuti Aktivitas Setelah Sekolah Ketika masih dalam masa kanak-kanak, anak kita
juga perlu dilibatkan dalam aktivitas secara berkelompok. Tujuannya agar anak kita dapat
terbangun rasa percaya dirinya dan kerja sama dengan anggota dalam kelompok.
4. Melibatkan Anak-anak dalam Aktivitas Keluarga
Dalam beberapa keluarga, seringkali anak-anak dilarang untuk membantu orang tuanya
dalam melakukan aktivitas keluarga. Padahal dengan melibatkan anak-anak, mereka akan
belajar mandiri. Seperti mengajak mereka untuk membersihkan meja makan, meletakkan
piring di wastafel, membuang sampah, membereskan tempat tidur, dan membersihkan
kamar.
5. Menunjukkan Cinta kepada Anak
Anak-anak perlu untuk merasakan dan mendengarkan seberapa besar cinta kita kepada
mereka. Hal tersebut bermanfaat untuk membangun konsep diri yang positif dalam diri
anak kita. Seperti memeluk dan menunjukkan perasaan kita kepada anak.
6. Membangun Karakter Baik pada Anak Sejak Dini
Jika kita menanamkan perilaku baik dan mencontohkannya kepada anak sejak dini, maka
secara alami mereka lebih mudah untuk mengembangkan karakter yang baik. Seperti
mengontrol emosi marah, menghormati orang yang lebih tua, mengucapkan tolong dan
terima kasih, serta berbagi. Hal tersebut akan memahamkan merek bahwa ada orang lain
yang hidup di sekitar mereka.
7. Mengajarkan Kesabaran
Melalui firman-firman-Nya dalam Alquran, Allah mengingatkan kita untuk senantiasa
bersabar. Sebab, hidup kita seringkali naik turun, ujian selalu datang silih berganti. Maka,
ajarkan anak-anak kita bersabar sehingga dapat memahami bahwa hidup mereka tidak akan
selalu mudah.

Setelah mengetahui hal-hal tersebut, kita akan lebih memahami betapa pentingnya kesehatan
emosional dalam keluarga kita.
WEEK 5

Diminggu ini saya mendapatkan klien seorang ibu yang kebingungan menghadapi anaknya yang candu
dengan gadget. Dia merasa kewalahan bagaimana menghadapi anak yang menangis dengan sangat
histeris ketika tidak diizinkan memiliki gadget.

Sebenarnya teknologi modern untuk kita saat ini adalah teknologi kuno ketika anak-anak sudah dewasa.
Maka menyibukkan diri membekali mereka dengan sesuatu yang segera usang sehingga lalai membekali
mereka dengan yang mendasar, merupakan kerugian yang sangat besar.

Teknologi informasi dan komunikasi yang dipergunakan oleh peggguna akhir, bukan pengguna ahli,
dirancang untuk sangat mudah digunakan. Semakin lama semakin tidak memerlukan keahlian khusus
untuk memanfaatkannya. Kian mudah orang menggunakan teknologi ICT (gadget). Maka semakin perlu
membekali hal mendasar yang tidak pernah berubah.

Sangat berbeda anak yang dapat mengendalikan diri terhadap gadget dengan anak yang memang tidak
diberi kesempatan memegang gadget. Sekedar melarang anak memegang gadget tidak otomatis
menjadikan mereka mampu mengendalikan diri terhadap gadget. Bahkan bisa kalap. Lebih gila dan lebih
parah dibanding anak lain.

Bedakan tidak diberi kesempatan memegang gadget dengan tidak memiliki gadget. Dulu orangtua saya
tidak membolehkan kami sebagai anak-anaknya untuk memiliki gadget sampai kami lulus Senior high
school. Tetapi kami dikenalkan dengan gadget sejak awal. Penting pula membekali anak-anak semenjak
awal, termasuk menunjukkan apa terjadi ketika mereka mengklik sebuah tautan atau mengunggah foto.

Banyak orangtua yang sebelum pandemic hanya berpikir bagaimana menyibukkan anak dengan alasan
agar tidak punya kesempatan berpikir yang tidak-tidak. Lupa bahwa untuk memikirkan yang menjadi
tanggung jawabnya (memikirkan pendidikan yang baik dan penuh manfaat) juga memerlukan waktu.
Padahal sangat berbeda antara anak yang sibuk karena disibukkan dengan anak yang menyibukkan diri
dengan hal-hal produktif.

Anak yang hanya disibukkan tanpa pemahaman dan motivasi terhadapnya, maka begitu ada
kesempatan longgar sedikit saja, ia akan segera lari seperti orang yang lolos dari kejaran binatang buas.
Maka kita perlu membangun himmah mereka. Perlu pemahaman dan pembangunan motivasi perilaku
pada diri mereka sehingga mereka menyibukkan diri dengan kebaikan. Bukan sekedar disibukkan.

This week I got a mother who is confused about her child who is addicted to gadgets. She feels
overwhelmed with dealing with a child who cries hysterically when not allowed to have a Handphone.

Today's modern technology will become ancient technology when children are adults. So occupying
themselves with providing them with something that soon wears out so that neglecting to provide them
with the basics is a huge loss.

Information and communication technologies provided for end-users are designed to be very easy to use.
The more advanced the technologies are it needs less requires special skills to use. It is easier for people
to use ICT technology (gadgets). So it is increasingly necessary to provide basic things that never change.

It will look different between children who can control themselves from using Gadgets with children who
are not allowed to use Gadgets. Just forbidding children to use Gadgets does not automatically make
them able to control themselves over gadgets. They can even rebel and become worse than other
children.

We must distinguish between not being allowed to hold a gadget and not having a Gadget. In the past,
my parents didn't allow us as their children to have Gadgets until we graduated from senior high school.
But we were introduced to gadgets. It's also necessary to equip children from the beginning, including
showing what happens when they click a link or upload a photo.

Before the pandemic, many parents only thought about how to keep their children busy, so they didn't
have a chance to be someone naughty. They forget that educating a child for which they are responsible
(providing good and beneficial education) also takes time. In the end, it will look different between
children who are busy because they are busy with children who are busy with productive things.

Children who are given busyness by their parents without motivation and understanding will run away
like someone who has escaped from the pursuit of a wild animal. When the opportunity arises to commit
the mischief they can commit. Then we need to build their character. There needs to be an understanding
and development of motivation for parents in shaping good children's behavior so that they can occupy
themselves with goodness, not just being busy.

WEEK 13

Menurutku..

Pasti ada alasan seorang ibu tetap memilih dirinya bekerja walaupun sudah memiliki anak . Tidak
masalah bila memang seorang ibu memilih tetap berkarir tetapi jangan sampai abai pada pengasuhan
anak, memang dilema bagi wanita ketika sudah memiliki anak tapi juga bekerja. Didalam sesi klien
bertanya, memangnya tidak boleh seorang ibu tetap berkarir di tempat kerja? Jawabanku akan tetap
sama, boleh sekali tetapi itu tadi, tidak boleh mengesampingkan anak karena amanah mengasuh anak
akan di pertanggung jawabkan langsung dihadapan Allah dan kewajiban orangtua adalah bukan hanya
menafkahi secara materi saja tetapi juga membekali ilmu-ilmu yang bermanfaat dan ilmu-ilmu tersebut
akan menjadi dasar terbentuknya fondasi keyakinan dan pemahaman untuk anak menjalani hidupnya.
Selain itu juga tugas utama seorang ibu adalah menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Jika ada wanita yg sangat potensial, punya power yang kuat terhadap lingkungannya, cerdas dan
sangat berpengaruh. Orang-orang seperti mereka ini sangat dibutuhkan untuk kemajuan dan
keseimbangan bangsa. Contoh konkritnya adalah bagi saya, aku tetap butuh guru yang berkualitas,
penyayang, tapi juga tegas dan cerdas demi membantu aku serta jadi support system yg tepat untuk
pendidikan anak-anakku. Aku tetap butuh pelayan masyarakat di pemerintahan yang cerdas, potensial
dan ramah tamah demi menunjang kebutuhan aku juga. Aku tetap membutuhkan para tenaga
kesehatan wanita untuk menjaga agar auratku tidak mudah dilihat oleh para tenaga kesehatan laki2
kecuali keadaan sangat darurat. Dsb.

Tetapi ketika ibu ingin memilih untuk bekerja jangan jadikan anak sebagai alasan untuk
membenarkan keputusan yang diambil ibu. Karena kalau alasannya bekerja untuk anak, lalu anak
tumbuh tiak sesuai dengan keinginan kita, maka bukan tidak mungkin akan ada kekecewaan atau
penyesalan disana, hingga kemudian setan menjadikannya celah untuk mengusik keikhlasan kita sebagai
ibu. Mengorbankan mimpi karena alasan anak akan menjadi boomerang untuk diri kita sendiri nantinya
seperti “yaa Allah nak mama berkorban untuk resign hanya untuk mengurusimu, kenapa kamu susah
sekali diatur? Tak bisa kah kamu mengerti ama?” atau “nak mama bekerja untuk kamu loh, kamu harus
sekolah dapat peringkat satu dong!”

Jika kita hendak mengambil suatu keputusan yang menurut kita peting dalam hidup, ambillah
dengan penuh kesadaran dan atas einginan diri sendiri. Jangan jadikan orang lain sebagai alasan, apalagi
anak. Karena anak-anak kita bukanlah beban, mereka tidak pernah mengganggu pekerjaan kita,
bukankah justru merekalah pekerjaan terbesar kita? Mereka juga bukanlah penghambat masa depan
dan mimpi-mimpi kita. Bukankah justru merekalah mimpi kita? Jika kita membuat keputusan dengan
sadar, in syaa Allah akan sangat meminimalisir kekecewaan atau penyesalan saat menjalani peran saat
ini, sungguh mengubah mindset itu bisa mengubah banyak hal dalam hidup kita. Ada banyak cara bagi
setan untuk mengusik keikhlasan kita, jangan jadikan ini sebagai salah satunya.

Menjadi ibu sekaligus berkarir di luar menurutku tak masalah, apalagi kalau dirasa dari ibunya
sudah merasa mantap dan mampu untuk seimbang antara pengasuhan dan berkarir. Tetapi kalau mulai
ada sinyal-sinyal keadaan kita yang bkerja ini memberikan mudharat yang besar terhadap anak kita
maka disitulah kita perlu memilih dengan sangat bijaksana. Soal rezeki, tak perlu khawatir kalau kata
suamiku jangan pernah menghina Allah karena ragu atas rezeki yg sudah Allah sediakan untuk kita.
Bertemu dengan klien seorang istri dan ibu yang selalu menyalahkan dirinya karena dia kesulitan
membagi waktu untuk melayani suami dan anaknya membuat saya merasa sedih, kasihan tetapi juga
kagum kepadanya. Ia selalu berusaha untuk totalitas untuk suaminya tetapi selalu ada kurang bagi
suaminya dalam soal melayani kebutuhan suaminya, salah satu contoh yang sering disebutkan oleh klien
ini adalah hamper setiap hari dia tidak sempat membuat sarapan lantaran dia selalu sibuk
mempersiapkan kebutuhan anaknya untuk sekolah namun suami juga selalu menuntut istrinya
memberikan sarapan tepat waktu. Walaupun saat ini suaminya work from home dan anak-anaknya
school from home hal ini bukan justru membuatnya semakin mudah, justru membuatnya semakin
kesulitan untuk siap siaga memenuhi semua kebutuhan suami dan anak-anaknya. Didalam sesi Ketika
dia selalu menyalahkan dirinya saya mencoba untuk menggunakan Teknik reframing that she indicates
the extraordinary love she does for her children and reframing activities similar to that.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah memberi nafkah sebagian dari
harta mereka,” (QS. An-Nisa’: 34)

Sesungguhnya ketika sudah menikah, maka semua bentuk pekerjaan rumah tangga merupakan
kewajiban suaminya. kita semua tahu, suami wajib mencari nafkah. Nafkah adalah segala yang
dibutuhkan oleh seorang manusia, baik bersifat materi maupun bersifat ruhani. Dari segi materi,
umumnya nafkah itu terdiri dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Maka seorang isteri berhak
untuk mendapatkan nafkah itu dengan tanpa harus ada kewajiban untuk mengolah, mengelola atau
mengurusnya. Jadi sederhananya, posisi isteri hanya tinggal buka mulut dan suami yang berkewajiban
menyuapi makanan ke mulut isterinya. Tidak ada kewajiban isteri untuk belanja bahan mentah,
memasak dan mengolah hingga menghidangkannya. Semua itu pada dasarnya kewajiban asasi seorang
suami. Seandainya suami tidak mampu melakukannya sendiri, tetap saja pada dasarnya tidak ada
kewajiban bagi isteri untuk melaksanakannya. Bahkan kalau pun suami harus menyewa pembantu atau
pelayan untuk mengurus makan dan urusan dapur, maka tidak tepat Ketika suami memaksa istrinya
untuk menjalankan seluruh pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab istrinya. Namun Ketika
seorang isteri yang pada dasarnya tidak punya kewajiban atas semua hal itu, dengan rela dan ikhlas
melayani suaminya, belanja untuk suami, masak untuk suami, menghidangkan makan di meja makan
untuk suami, bahkan menyuapi makan untuk suami kalau perlu. Semua dilakukannnya semata-mata
karena cinta dan sayangnya kepada suami.
Dengan semua hal itu, tentunya isteri akan menerima pahala yang besar dari apa yang
dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu, suami akan menjadi senang dan ridha kepadanya. Maka
pasangan itu akan memanen kebaikan dan pahala dari Allah SWT. Suami mendapat pahala karena sudah
melaksanakan kewajiabnnya, yaitu memberi hartanya untuk nafkah isterinya. Isteri mendapat pahala
karena membantu meringankan beban suami. Meski hukumnya tidak wajib. Itulah hubungan cinta
antara suami dan isteri, yang jauh melebihi sekadar hubungan hak dan kewajiban. Tentu saja ketika
seorang isteri mengerjakan hal-hal yang pada dasarnya menjadi kewajiban suami, maka wajar bila suami
mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang tulus kepada istrinya.

Didalam sesi saya tidak menyuruh istrinya untuk menyalahkan suaminya tetapi membantunya
untuk meregulasi emosi dan memberikan psikoedukasi tentang komunikasi efektif dan memberi
penjelasan terkait Bahasa kasih sayang, besar kemungkinannya suaminya memiliki bahsa kasih sayang
act of service maka dia sangat membutuhkan pelayanan dari istrinya namun tidak dibenarkan untuk
membentak istri dan membuah hatinya terluka karena ucapan suami.
WEEK 15

Setelah saya melaksanakan sesi konseling Bersama seorang ibu yang sangat luar biasa, saya
merasa sangat terenyuh hati saya atas segala keputusan-keputusan yang dia ambil. Dia mencapai tittle Phd
namun dia memilih untuk menjadi ibu rumah tangga untuk mengurusi anak-anaknya dan suaminya. Dia
datang untuk meluahkan rasa sedihnya karena kehilangan anaknya lantaran sakit covid, didalam sesi saya
lebih banyak mendengarkan karena diawal sesi dia sudah menyampaikan tujuannya untuk mengikuti sesi
konseling Bersama saya adalah hanya karena ingin memiliki teman bercerita yang positif dan amanah.

Yaa Rabb betapapun diri ini merasa belum siap menghadap-Mu, ditanya malaikat-Mu atas tanggung
jawab kami (saya dan suami) sebagai orangtua di akhirat kelak. Oleh karenanya berdo'a futuristik untuk
diselamatkan hingga hari akhir adalah salah satu upaya non empiris yang patut diperjuangkan.
____________
Kini aku faham, betapa banyak para wanita yang kuliah tinggi-tinggi namun akhirnya memilih untuk
menjadi ibu rumah tangga. Bahkan tak jarang juga ibu rumah tangga dengan tittle Phd seperti ibu
tersebut. Mereka memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, seolah membuktikan stereotip yang ada di
masyarakat bahwa tingginya pendidikan mereka pada akhirnya hanya berujung pada sumur, kasur dan
dapur saja, karena yg kelihatan oleh kita adalah mereka telah dan sedang meninggalkan dunia dan
seisinya yang sebenarnya sangat bisa mereka raih dengan mudahnya, sungguh sangat mengherankan!

Namun ternyata bukan mereka yang mengherankan, melainkan kita khususnya aku. Memang mereka
telah meninggalkan dunia dan seisinya tapi kecerdasan, ilmu dan ridha Allah telah mengarahkan mereka
untuk lebih memilih akhirat beserta seluruh isinya.

Untuk aku, seorang ibu yang masih terlilit rasa insecurities karena melihat pencapaian wanita lain, sudah
saatnya untuk aku berhenti merasa sepeti itu. Kitalah yang memilih. bukankah lebih indah ketika kita
mampu "tampil" sebagai ibu yang utuh dengan penuh kebahagiaan?

Alangkah sering mata kita dikelabui oleh hal yang sifatnya fana dan semu, kita sering mengharapkan
anak-anak kita menjadi ahli syurga namun kita mengajarkannya dengan cara ahli neraka, mungkinkah
sepadan?
Kita sering mengharapkan anak dekat hatinya pada ayah bundanya, namun kita sering terlupa
mendengarkan nuraninya, akankah terpaut hatinya?

Semoga Allah selalu mudahkan saya untuk selalu mampu menjadi ibu terbaik bagi anak-anak
saya. Menjadi wanita pertama yang dicintai oleh mereka dengan utuh dan paripurna. 💖
Week 7

Minggu ini saya mendapatkan klien pasangan, seorang suami yang selalu menyalahkan istrinya karena
menurutnya istrinya tidak mampu mendidik anaknya dengan baik, dan akhir-akhir ini istrinya jadi banyak
diam kalaupun istrinya diajak berbicara oleh suaminya istrinya akan menjawab seadanya saja. Pernah
satu kejadian istrinya menjawab dengan nada marah dan intonasi nada suara yang tinggi menurut
pernyataan sang suami, istrinya sudah tidak hormat lagi padanya.

Saat sesi berlangsung saya coba untuk mengkonfirmasi kepadanya ternyata istrinya tidak bemaksud
untuk tidak menghormati suaminya, tetapi selama 5 tahun usia pernikahan berlangsung istrinya selalu
disalahkan, tidak diapresiasi, dan tidak pernah merasa dicintai oleh suaminya. Suasana sesi konseling
jadi berubah sedih ketika sang istri menceritakan betapa sulitnya dia menjaga mood setiap hari untuk
mengasuh anaknya lantaran setiap hari juga dia merasakan perasaan negatif yang disebabkan oleh sang
suami.

Ada banyak sekali kasus seperti ini, seorang ibu yang kesulitan untuk mendidik anaknya ternyata akar
masalahnya adalah karena hubungan yang kurang baik antara suami dan istri. Ibu merasa tidak
diperhatikan, tidak dicintai, tidak didukung secara emosional, psikologis, dan fisik. Kondisi ini yang
seringkali membuat ibu mengalami tekanan mental saat semua tugas pengasuhan anak seolah menjadi
tanggung jawabnya sendirian, hingga ibu menjadi jauh lebih sensitif dan kesal jika anaknya tak sesuai
harapan semua orang dan ditambah lagi adanya tekanan suami untuk istri agar anaknya mencapai
perkembangan tertentu.

Saya merasakan sendiri, saat saya kesal pada suami, saya merasa jadi jauh lebih sensitif saat anak
menangis atau aktif. Beda halnya saat saya merasa happy dengan suami, urusan dengan anak apapun itu
tetap bisa saya jalani dengan penuh perasaan gembira. Emosi kita, seringkali juga menular pada anak,
hingga saat ayah ibunya berkonflik, anak biasanya justru malah jadi lebih rewel bahkan mengalami
kesulitan untuk tidur.

Dan memang ternyata tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk ibu, tidak akan
berpengaruh banyak jika Ayah menjadi tameng terdepan bagi perasaan ibu. Ibu yang seharian bersama
anak-anak di rumah, harus baik kondisi hatinya, harus didukung perasaannya, harus dilindungi harga
dirinya, oleh orang yang seharusnya paling dekat dengannya: suaminya, ayah dari anak-anaknya.

Langkah awal pengasuhan anak terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang ayah adalah dengan mencintai
ibu dari anak-anaknya, maka ibu akan memberikan cinta yang berlipat untuk anak-anaknya. Karena
untuk membentuk anak-anak yang bahagia, perlu ibu yang bahagia pula. Bentuk dukungan dan cinta ini
tentu bukan hanya terkait nafkah lahir, namun lebih pada dukungan emosional dan psikologis ibu. Maka
bagi sang ayah kenalilah bahasa cinta ibu, cintai dengan caranya ingin dicintai. Sungguh mengisi penuh
kebutuhan cinta ibu adalah modal awal terbaik untuk membesarkan anak yang penuh cinta pula.

This week I got a partner client. The husband always blames his wife. He thought that his wife could not
educate his children properly, so his wife has been quiet even the husband talks to her intensively his wife
will give him a simple answer. Once, his wife answered with an angry and high voice, so that her
husband thought that his wife had no respect for him anymore.

During the session, I tried to conform to his wife. It turned out that his wife did not mean to disrespect
her husband, but during the five years of marriage, she was always being blamed, not appreciated, and
never felt loved by her husband. The atmosphere of the counseling session turned sad when the wife
shared how difficult it was for her to maintain the mood every day, to take care of her child because
every day she also felt negative feelings caused by her husband.

There are so many cases like this, a mother who finds it hard to educate her child. It turns out that the
root of the problem is due to an uncomfortable relationship between husband and wife. Mothers feel
uncared for, unloved, unsupported emotionally, psychologically, and physically. This condition often
causes the mother to experience mental stress when all childcare tasks seem to be her responsibility, so
that mother becomes much more sensitive and irritated if their children do not meet everyone's
expectations. There is also pressure from husbands for their wives so that their children achieve certain
developments.

I also feel that way. When I am upset with my husband, I feel much more sensitive when the child cries or
is active. It's different when I feel happy with my husband, I can still live full of joy in any business related
to children. Our emotions are often transmitted to children so that when parents conflict, children usually
become fussier and even have difficulty sleeping.

And it turns out that no matter how heavy the mental pressure from the outside will not have much
effect if Father becomes the front shield for mother's feelings. A mother who spends the day with her
children at home must be in a good mood, her feeling and dignity must be supported and protected by
the person who should be closest to her: her husband, the father of her children.

The first step in parenting that a father can do is to love the mother of his children, so the mother will
give double love to her children. Because to form happy children, you need a happy mother too. This
form of support and love is not only about livelihood responsibility, but also the emotional and
psychological support of the mother. So for the father, they have to know the mother's love language,
love the way he wants to be loved. It is true that filling the needs of a mother's love is the best initial
capital to raise a child who is full of love as well.

Anda mungkin juga menyukai