Anda di halaman 1dari 11

SENIN, JANUARI 06, 2014

Konseling Perkawinan dan Konseling Keluarga


KONSELING PERKAWINAN

A. Pengertian Konseling Perkawinan

Klemer (1965) mengartikan konseling perkawinan sebagai koneling yang di


selenggarakannya sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode
membantu patner-patner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cdara menentukan pola
pemecahan masdalah yang lebih baik.

Dikatakan sebagai metode pendidikan karena konseling perkawinan memberikan


pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang diri, pasangannya, dan masalah- masalah
hubungan perkawinan yang dihadapi serta cara- cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi
permasalahan perkawinan.

Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan sebagai konseling perkawinan dilaksanakan


biasanya saat kedua belah pihak berada pada situasi emosional yang sangat berat. Dengan
konseling, pasangan dapat melakukan ventilasi, dengan jalan membuka emosionalnya sebagai
katartis terhadap tekanan-tekanan emosional yang dihadapi selama ini. Yang membantu disebut
konselor seorang konselor bukan subyek, karena konselor hanya membantu, subyeknya adalah klien
itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang dihadapi. Yang dapat dilakukan oleh seorang konselor
antara lain membantu klien untuk :

1. Memahami diri sendiri.

2. Mengukur kemampuannya.

3. Mengetahui kesiapan dan kecenderungannya.

4. Memperjelas orientasi, motivasi dan aspirasinya.

5. Mengetahui kesulitan dan problem lingkungan dimana ia hidup, serta peluang yang
terbuka baginya.

6. Membantu menggunakan pengetahuan tersebut (1 s/d 5) untuk menetapkan tujuan


yang paling kongkrit bagi dirinya.

7. Mendorong klien untuk berani mengambil keputusan yang sesuai dengan


kemampuannya, dan memanfaatkan se optimal mungkin potensi yang ada pada
dirinya untuk merebut peluang yang terbuka.

Jika klien nya orang awam, konseling dibutuhkan untuk :


a. Membantu pengembangan diri dan memilih gaya hidup (life style) yang
sesuai dengan aspirasinya.

b. Menjaga agar mereka tidak terjatuh pada keadaan merasa tidak wajar dan
tidak bahagia.

c. Membantu menentukan pilihan-pilihan.

d. Membantu meringankan perasaan, frustrasi dn sebangsanya.

Seorang klien yang semula mengidap rasa keterasingan, asing dari diri sendiri, asing dari
problem yang dihadapi, asing dari lingkungan hidupnya sehingga ia tidak tahu masalahnya dn tidak
berani mengambil tindakan bahkan tidak lagi tahu apa yang diinginkan, dapat dibantu memecahkan
persoalannya dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Diajak memahami realita apa sebenarnya yang sedang dihadapi, mislnya ditinggal
mati orang yang dicintai, dicerai suami, kehilangan jabatan, kehilangan harta,
kehilangan kekasih, sakit yang berklepanjangan, dikhiananti bawahan, dizalimi oleh
orang yang selama ini dibantu dan sebagainya; bahwa realita itu adalah benar-benar
realita dan harus diterima, suka atau tidak suka karena itu memang realita.

2. Diajak kembali mengenali siapa dirinya, apa posisinya, dan apa kemampuan-
kemampuan yang dimiliki. Misalnya diingatkan bahwa ia adalah seorang ayah dari
anak-anak yang membutuhkan kehadirannya. Atau bahwa kepandaiannya banyak
dibutuhkan orang lain, atau bahwa dia adalah hamba Allah yang tidak bisa
menghindar dari kehendak Nya, dan apa yang dialami adalah bagian dari kehendak
Nya yang kita belum tahu apa maksud dan hikmahnya.

3. Mengajak klien memahami keadaan yang sedang berlangsung di sekitarnya, bahwa


keadaan memang selalu berubah; misalnya perubahan nilai, perubahan struktur,
perubahan zaman, dan bahwa perubahan adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak,
tetapi yang penting bagaimana kita mensikapi dan mengantisipasi perubahan itu.

4. Diajak untuk meyakini bahwa Tuhan itu Maha Adil, maha Pengasih, maha
Mengetahui, maha Pengampun, dan semua manusia diberi peluang oleh Tuhan. Juga
diajak meyakini bahwa dengki, iri hati dan putus asa adalah tercela dan tidak
berguna. Bahwa berbuat dan salah itu lebih baik daripada tidak berbuat karena
takur salah.
B. Wilayah Konseling Perkawinan

Problem diseputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga biasanya berada di sekitar :

1. Kesulitan memilih jodoh, suami atau isteri.

2. Ekonomi yang kurang mencukupi.

3. Perbedaan watak, temperamen dan karakter yang terlalu tajam antara suami dan
isteri.

4. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual.

5. Kejenuhan rutinitas.

6. Hubungan antar keluarga besan yang kurang baik.

7. Ada orang ketiga, WIL atau PIL.

8. Masalah harta warisan.

9. Dominasi orang tua/mertua.

10. Kesalahpahaman antara suami isteri.

11. Poligami.

12. Perceraian

C. Tujuan Umum Konseling Perkawinan

Tujuan konselingperkawinan adalah agar klien dapat menjalani kehidupan berumah tangga
secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan
perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk
menghayati atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup
berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali
posisi masing- masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang
terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Jika memperhatikan kasus
perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan :

1. Membantu pasangan perkawinan itu mencegah terja¬dinya/meletus problema yang


mengganggu kehidupan perkawinan mereka.

2. Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, Konseling diberikan
dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
3. Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar
mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.

D. Tipe tipe Perkawinan

1. Conflict-habituated
Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah tipe
pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan
ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka
selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu
dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.

2. Devitalized
Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat
mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai.
Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap
berada bersama-sama. Karena kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak
atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak
merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berfikir bahwa kondisi
saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya,
tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.

3. Passive-congenial
Pada dasarnya, pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan
tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal
perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai
pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti
halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-
congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya.
Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan
bukannya saling peduli.

4. Utilitarian
Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang
hubungan. Misalkan peran sebagai ibu, ayah atau peran-peran lain. Terdapat perbedaan
sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu
mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.

5. Vital
Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara
yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk
memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam
melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas
kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran
dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat
penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan
cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling
memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.

6. Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital, bedanya pasangan ini sedemikian
saling menyatu hingga menjadi “sedaging”. Mereka selalu dalam kebersamaan secara
total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak
seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun
demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.

E. Penghulu yang ideal

Penghulu bukan hanya petugas pencatat nikah, tetapi jabatan kepenghuluan memiliki
wilayah horizontal dan vertical. Oleh karena itu idealnya seorang penghulu bukan saja menguasai
bidang-bidang tersebut diatas (1 s/d 12) tetapi juga menguasai psikologi keluarga, yang dengan itu
penghulu bukan hanya bisa memberi nasehat perkawinan, tetapi juga bisa menjadi konselor
perkawinan . Seorang muballigh dituntut untuk mampu berbicara agar orang-orang enak
mendengarnya, sedang seorang konselor dituntut untuk sangggup menjadi pendengar yang baik dari
keluhan-keluhan klien. Seorang klien terkadang tidak membutuhkan nasehat, tetapi hanya butuh
tempat curah perhatian (curhat), karena begitu curhat beban menjadi ringan. Jika sudah merasa
ringan kok dinasehati, maka nasehat itu sendiri menjadi beban.

KONSELING KELUARGA

A. Pengertian Konseling Keluarga

Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang pembimbing (konselor) kepada
seseorang konseli atau sekelompok konseli (klien, terbimbing, seseorang yang memiliki problem)
untuk mengatasi problemnya dengan jalan wawancara dengan maksud agar klien atau sekelompok
klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan memecahkan problemnya sendiri
sesuai dengan kemampuannya dengan mempelajari saran-saran yang diterima dari Konselor.
Sedangkan arti dari keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara
orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang
perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi
dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus.
Konseling keluarga ini secara memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi
keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Menurut D. Stanton konseling
keluarga dapat dikatakan sebagai konselor terutama konselor non keluarga, yaitu konseling keluarga
sebagai (1) sebuah modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses
konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan ( Capuzzi, 1991 )

Konseling keluarga memandang keluarga secara keseluruhan bahwa anggota keluarga


adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya
maupun penyelesaiannya. Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami seorang anggota
keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Pada mulanya konseling
keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar dapat beradaptasi lebih baik untuk
mempelajari lingkungannya melalui perbaikan lingkungan keluarganya (Brammer dan
Shostrom,1982). Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki masalah pertumbuhan di dalam
keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi adalah menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang
akan dikerjakan agar tetap survive di dalam sistem keluarganya.

Pada masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada salah satu atau
dua hal, yaitu (1) keluarga terfokus pada anak yang mengalami bantuan yang berat seperti gangguan
perkembangan dan skizofrenia, yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan; dan (2) keluarga
yang salah satu atau kedua orang tua tidak memiliki kemampuan, menelantarkan anggota
keluarganya, salah dalam member kelola anggota keluarga, dan biasanya memiliki sebagian masalah.

Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami masalah dan berada dalam kondisi yang
tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui
oleh orang tua dan sering kali tidak diketahui orang tua. Permasalahan yang diketahui orang tua jika
fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu orang tua akan mengantarkan anaknya ke
konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang mengalami gangguan yang berat. Karena
itu konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan anak yang
mengalami gangguan.

Hal kedua berhubungan dengan keadaan orang tua. Banyak dijumpai orang tua tidak
berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya, menelantarkan kehidupan rumah tangganya
sehingga tidak terjadi kondisi yang berkesinambungan dan penuh konflik, atau memberi perlakuan
secara salah (ubuse) pada anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki
berbagai masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yanag
lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.

Perkembangan belakangan konseling keluarga tidak hanya menangani dua hal tersebut.
Permasalahan lain yang juga ditangani karena anggota keluarga mengalami kondisi yang kurang
harmonis di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam
mengatur keluargannya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan
pengalaman dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan
kepada konselor antara lain: keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadap harapan orangtua,
konflik antar anggota keluarga, perpisahan diantara anggota keluarga karena kerja di luar daerah
dan anak yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.

Berbagai permasalahan-permasalahan keluarga tersebut dapat diselesaikan melalui


konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
jika semua anggota keluarga bersedia untuk mengubah system keluarganya yang telah ada dengan
cara-cara baru untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah.

Sebagaimana di kemukakan di bagian awal, konseling keluarga dalam beberapa hal memiliki
keuntungan. Namun demikian konseling keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam
pelaksanaannya, dan perlu dipertimbangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya.
Hambatan yang dimaksud di antarannya:

1. Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena
mereka menganggap tidak berkepentingan dengan usaha ini, atau karena alasan
kesibukan, dan sebagainya; dan

2. Ada anggota keluarga yang merasa kasulitan untuk menyampaikan perasaan dan
sikapnya secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling
membutuhkan keterbukaan ini dan saling percayaan satu sama lain.

B. Pendekatan Konseling Keluarga

Untuk memahami mengapa suatu keluarga bermasalah dan bagaimana cara mengatasi
masalah-masalah keluarga tersebut, berikut akan dideskripsikan secara singkat beberapa
pendekatan konseling keluarga. Tiga pendekatan konseling keluarga yang akan diuraikan berikut ini,
yaitu pendekatan system, conjoint, dan struktural.

1. Pendekatan Sistem Keluarga.

Murray Bowen merupakan peletek dasar konseling keluarga pendekatan sistem.


Menurutnya anggota keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi
(disfunctining family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat
membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan
mereka.

Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota
keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga
melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat
menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota
keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindari dari keadaan
yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan
demikian dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan
emosionalnya.

2. Pendekatan Conjoint.

Sedangkan menurut Sarti (1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga
berhubungan dengan harga diri (self-esteem) dan komunikasi. Menurutnya, keluarga
adalah fungsi penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah
terjadijika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan
komunikasi yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan
pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi
bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang
dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.

3. Pendekatan Struktural.

Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena


struktur kaluarga dan pola transaksi yang dibangunn tidak tepat. Seringkali dalam
membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara subsistem dari sistem
keluarga itu tidak jelas.
Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan
menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu,
jika dijumpai keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang
baru yang lebih sesuai.
Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman
konselor untuk melihat masalah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola
komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya. Berangkat dari
analisis terhadap masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan
strategi yang tepat untuk mambantu keluarga.

C. Tahapan Konselor Keluarga


Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang
mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam
mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terhadap empat
tahap secara berturut-turut sebagai berikut :

1. Orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal


ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran.

2. Setelah orang tua membaca tentang prinsip dan atau telah dijelaskan materinya,
konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara mengajarkan kepada anak,
sedangkan orang tua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan
tentang bagaimana hal inidikerjakan. Secara tipikal, orang tua akan membutuhkan
contoh yang menunjukan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang
beroposisi. Sangat penting menunjukan kepada orang tua yang kesulitan dalam
memahami dan menetapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.

3. Selanjutnya orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah


mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat member
koreksi ika dibutuhkan.

4. Setelah terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak secara
tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba menerapkannya
di rumah. Saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk
mengamati kemajuan yang dicapai. Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi
orang tua dapat ditanyakan pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih
lanjut, terapis dapat memberikan contoh lanjutan di rumah dan observasi orang tua,
selanjutnya orang tua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani
kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.

D. Peran Konselor

Peran konselor dalam membantu klien dalam konseling keluarga dan perkawinan dikemukakan oleh
Satir (Cottone, 1992) di antaranya sebagai berikut :

1. Konselor berperan sebagai “facilitative a comfortable”, membantu klien melihat


secara jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.

2. Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi.


Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.

3. Membelajarkan klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggung jawab
dan malakukan self-control.
4. Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan
menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga.

5. Konselor menolak perbuatan penilaian dan pembantu menjadi congruence dalam


respon-respon anggota keluarga.

Daftar Pustaka

Latipun. 2006. Psikologi Konseling Malang. UPT. Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang.

Latipun. 2001. Psikologi Konseling. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang

Pujosuwarno, Sayekti. 1994. Bimbingan Dan Konseling Keluarga. Menara Mas


Offset. Yogyakarta

Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Andi Offset. Yogyakarta.

Http://www.google.com/Konseling+Perkawinan/
iqbal nugraha di 2:41 PM
Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Beranda

Lihat versi web


MENGENAI SAYA

iqbal nugraha
suka dengan yang namanya Capcai...
hobby sepak bola, futsal n renang...
 LIVERPOOL is my favorite team #YNWA
A part of Medan Liverpudlian Community

Lihat profil lengkapku


Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai