Anda di halaman 1dari 3

Manajemen Konflik dalam Keluarga

Dr. Bunyamin, M. Ag.

Secara psikologis, konflik diartikan sebagai dinamika yang terjadi dalam diri individu
dan interaksi antara dua orang atau lebih, di mana ada perbedaan dinamika dan salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Dengan demikian, konflik dalam keluarga dapat diartikan sebagai permasalahan
yang timbul pada individu dalam keluarga dari hasil interaksi dalam hubungan keluarga yang
berusaha saling menyingkirkan, karena ada anggota keluarga yang memiliki perbedaan
pandangan, sikap, dan perilaku.

Ada beberapa kategori konflik dalam keluarga, diantaranya:

1. Konflik suami istri


Kondisi ini biasanya terjadi karena rendahnya kemampuan adaptasi dan
komunikasi pasangan. Umumnya banyak muncul di masa awal pernikahan, seperti
konflik akibat perbedaan hobi, selera, sifat, dan perilaku (kebiasaan). Bila
pasangan tak mampu beradaptasi dengan cepat, perkawinan bisa berakhir dengan
cepat. Banyak kegagalan dalam masa awal perkawinan karena pasangan tidak
mampu mengomunikasikan permasalahan dengan baik sehingga menjadi konflik
besar yang berkepanjangan, yang bisa berakibat pada perceraian. 
2. Konflik di antara anak
Dalam kehidupan keluarga, persaingan antara anak (sibling rivalry) tidak bisa
dielakkan. Misalnya, rivalitas atau persaingan dalam mendapatkan cinta kasih,
afeksi, dan perhatian dari orangtuanya, atau untuk mendapatkan pengakuan atau
suatu yang lebih. Biasanya persaingan akan semakin ketat bila usia anak tidak
jauh berbeda dan jenis kelamin mereka sama. Konflik antara anak kandung ini
menjadi masalah konflik yang besar bila orangtua tidak mampu mengelola konflik
tersebut menjadi persaingan yang positif.
3. Konflik orangtua dan anak
Konflik ini terjadi karena pola asuh dan pola komunikasi yang dibangun tidak
sesuai dengan proses perkembangan anak dan orangtua. Persoalan kerap muncul
saat anak memasuki usia remaja, ketika ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
dan ingin mencoba berbagai hal. Kegagalan orangtua dalam berkomunikasi
dengan anak usia remaja akan menimbulkan konflik besar, seperti pertengkaran,
anak lari dari rumah hingga bunuh diri karena merasa tertekan.
4. Konflik dalam individu
Pada kondisi ini contoh yang biasanya terjadi yaitu tidak harmonisnya
hubungan dengan orang tua, tekanan dan pola asuh dari orangtua yang
menyebabkan pasangan tidak mandiri dalam mengambil keputusan, traumatik
akibat pernah dikecewakan atau pernah mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan (kekerasan, pelecehan).

Bila tidak diselesaikan, konflik individu akan menjadi masalah gangguan kesehatan
mental yang merusak keharmonisan rumah tangga. Di antara penyebab perceraian adalah
kesehatan mental pasangan yang tidak baik, banyak pasangan yang belum selesai dengan
masa lalunya sehingga konflik muncul karena permasalahan traumatis, dan pola asuh yang
tidak sehat yang menyebabkan gangguan psikologis dan kepribadian. 

Konflik dalam Keluarga Besar

Selain dalam keluarga inti, konflik pun bisa terjadi dengan anggota keluarga besar.
Yang umum, konflik antara mertua dan menantu yang terjadi karena perbedaan cara pandang,
sikap dan perilaku, serta gaya komunikasi antara mertua dan menantu yang tidak berkenan.
Pada awal perkawinan, hubungan mertua dan menantu ini sangat penting dibangun dengan
baik agar dapat meminimalkan potensi konflik yang muncul, misalnya disebabkan sikap
menantu perempuan yang dianggap tidak menghargai, soal pembagian jatah bulanan yang
dianggap tidak adil oleh mertua, termasuk konflik dalam cara mengasuh anak; menantu
menganggap mertua ketinggalan zaman, mertua menganggap menantu dan anaknya tidak
mampu mendidik anak.

Konflik antarbesan juga bisa pecah jika anak tidak mampu mengelola infomasi dan
rahasia dalam keluarga kecilnya, setiap permasalahan diceritakan kepada orangtua masing-
masing sehingga menimbulkan konflik antara orangtua. Pun konflik antara ipar, bisa terjadi
disebabkan adanya persaingan antara saudara kandung dengan istri atau suami
kakak/adiknya. Sang ipar merasa, hubungan dia dengan saudara kandungnya berkurang
karena saudara kandungnya lebih mengutamakan pasangannya masing-masing.
Akibatnya, timbul kecemburuan dan konflik yang dapat merenggangkan hubungan
persaudaraan.
Bila tidak dikelola dengan baik, konflik dalam keluarga akan mengganggu
keharmonisan, bahkan bila semakin parah bisa menyebabkan perceraian. Untuk itu, setiap
individu harus mampu mengelola konflik baik sehingga kerukunan dan kebahagiaan dapat
dirasakan semua anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar.

Kiat Kelola Konflik Keluarga

1. Kedepankan nilai-nilai spiritual agama dalam menyelesaikan konflik, seperti sikap


saling menghargai, sopan santun, saling menghormati, tidak emosional, serta
menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan.
2. Lakukan komunikasi yang suportif. Komunikasi suportif (supportive communication)
adalah sebuah gaya berkomunikasi yang memberikan pesan secara akurat, saling
mendukung, dan meningkatkan hubungan di antara pihak yang
berkomunikasi. Memuji dan mendengar adalah kunci sukses komunikasi suportif.
3. Buat kesepakatan yang ditaati setiap anggota keluarga. Misal, bila ada
kesalahpahaman, kecurangan, dan kenakalan, bagaimana cara menyelesaikannya serta
siapa yang menjadi penengah. Dalam konflik suami istri, diterapkan aturan tidak
boleh bertengkar di hadapan anak, tidak boleh ribut dalam keadaan lelah, dll.
4. Berpikir positif. Paradigma berpikir positif harus bisa diinternalisasi dalam keluarga,
sehingga setiap individu bisa mengatasi konflik dengan baik dan mengambil hikmah
dari konflik yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai