Anda di halaman 1dari 9

Pandangan Paulus Tentang Perceraian dan Implementasinya dalam Kehidupan

Zaman Sekarang

Iramaya

Abstrak

Perceraian adalah sesuatu masalah yang sering terjadi dalam kehidupan


pernikahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah ini adalah sesuatu yang sudah serng
didengarkan dan sudah menjadi hal yang biasa dilakukan di dunia zaman sekarang.
Biasanya faktor penyebab perceraian terjadi karena sepasang suami istri tersebut sudah
tidak menemukan kecocokan dalam rumah tangganya, adanya tindak kekerasan dalam
rumah tangga, suami atau istri yang berselingkuh ataupun sebaliknya dan sebagainya.
Biasanya dalam sebuah rumah tangga terjadi masalah entah itu yang kecil maupun besar.
Bisanya jika dikatakan masalah kecil masih bisa diselesaikan antara suami dan istri
tersebut tetapi jika masalahnya sudah besar maka jalan satu-satunya yang mereka tempuh
adalah berpisah.

Dalam Alkitab secara tegas tidak membenarkan sebauh perpisahan dalam


pernikahan. Karena pernikahan adalah sesautu yang sah di mata Tuhan. Alkiatb sendiri
mengatakan sesautu yang telah di satukan Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Tetapi melihat realita sekarang orang-orang seakan tidak peduli dan merasa bahwa dengan
berpisah adalah jalan dari sebauh kebahagiaan tanpa memikirkan dampak-dampak apa saja
yang diakibatkan dalam sebuah perceraian. Metode yang digunakan dalam penulisan
artikel ini adalah metode kualitatif dengan melalui pendekatan kajian pustaka.

Abstract

Divorce ia a problem that often occurs in married life. It can’t be denied that this
problem is something that has often been heard and has become a common thing to do in
today’s world. Usually the factors that cause the husband and wife have not found
compatibility in their household, there is domestic violence, husband and wife are having
an affair or vice versa and so on. Usually in a household there are problem’s whether it’s a
small problem or a big one. Usually if it is said that small problems can stdill be resolved
between the husband and wife, but if the problem is big then the only way they take is
divorce.

The Bible clearly does not justify a separation in marriage. Because marriage
something legal in the eyes of God. The Bible it self says that what God has joined
together, no man should separate. But looking at the reality now people don’t seem to care
and feel that separating is the best way is the road to happiness without thinking about the
effects of a divorce. The method used in writing this article is a qualitative method with a
literature review approach.

PENDAHULUAN

Setiap keluarga pasti mendambakan sebauh kehidupan yang sejahtera. Kehidupan


yang bahagia bersama dengan keluarga yang lain. Dimana orang sering mengatakan bahwa
puncak dari sebuah kebahagiaan seseorang adalah dengan mempunyai pasangan hidup.
Dimana yang awalnya mereka tidak saling mengenal tetapi dipersatukan oleh sebuah
pernikahan dan membina rumah tangga bersama anak-anaknya “Demikianlah meraka
bukan lagi dua melainkan satu” Matius 19:5.

Namun demikian tidak bisa dipungkiri juga berbagai masalah sering terjadi dalam
kehidupan berumah tangga, tentu dalam kehidupan tidak hanya berjalan mulus pasti ada
yang menjadi sandungan yaitu sebuah masalah. Hal yang sama pun terjadi dalam
kehidupan rumah tangga, mungkin awal pernikahan masih baik-baik saja tetapi seiring
berjalannya waktu adanya percekcokan yang terjadi, perbedaan pemahaman, atau salah
satu diantaranya kedapatan selingkuh atau adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga
yang dilayangkan sang suami untuk istri.

Di era zaman sekarang ini maraknya kasus perceraian terjadi dimana-mana seakan
beranggapan bahwa hal sangat wajar untuk dilakukan. Mereka merasa jika mereka
melakukan hal tersebut mereka akan terbebas dari hal-hal yang membuat mereka tidak
bahagia. Mereka tidak menyadari dampak apa saja yang akan mereka hadapi kedepannya.
Contoh dibalik kasus perceraian tersebut ada anak yang terlantar ana mereka menjadi
bingung ia akan diasuh oleh ayahnya atau ibunya, bahkan psikologis ana menjadi
terganggu. Kedua belah pihak keluarga menjadi bersitegang, yang awalanya harmonis
menjadi sungkan dan sering adu cekcok. Dampak yang paling mendasar dalam sebuah
perceraian adalah dosa.

Salah satu cara untuk tidak terjadinya suatu perceraian adalah dengan menanggapi
masalah dengan dewasa baik suami maupun istri, menumbuhkan cinta kasih,
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan saling mengingatkan bahwa sejatinya
Alkitab tidak membenarkan suatu perceraian tetapi jika masih tetap dilakukan akan
berdampak dosa.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini merupakan metode
kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka. Dengan metode ini lebih fokus
mengumpulkan data-data seputar perceraian yang terjadi dan kajian pustaka mendukung
lewat teori-teori yang ada.

PEMBAHASAN

Menginginkan keutuhan pernikahan sampai selamanya adalah hal yang paling


diinginkan oleh seluruh insan di muka bumi ini. Namun kenyataan menunjukkan angka
perceraian meningkat dari tahun ke tahun. Dikalangan masyarakat luas perceraian bukan
lagi sesuatu aib yang harus disembunyikan, mereka tidak lagi malu untuk mengumbar
karena menrut mereka perceraian itu merupakan sesuatu yang sudah biasa. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia Perceraian merupakan terputusnya suatu ikatan
pernikahan.. dimana pasangan tersebut tidak ingin melanjutkan kehidupan pernikahan
mereka.1 Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 berbunyi : “Perkawinan merupakan
suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan selamanya menurut Ketuhana
Yang Maha Esa2

1
Armansyah Matondang, “Faktor-Faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan”
Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik 2, no. 2 (2014): 142
2
Dr. Maimun & Dr Moh. Thoha, “Perceraian: Dalam Bingakai Relasi Suami dan Istri” (Jawa
Timur: Duta Media Publishing, 2018), 1
Dengan penjelasan tersebut bahwa sebuah pernikahan yang awalnya memiliki
tujuan untuk membangun suatu keluarga yang bahagia dan harmonis tetapi jika telah
terjadi perceraian tidaklah hal itu membuat bahagia dan tentu tidak akan kekal. Pada
dasarnya pernikahan di dasarkan karena adanya perasaan cinta antara pasangan suami istri
tidak ada unsur pasangan dan benar-benar dilandaskan karena adanya kasih antara
keduanya. Kepercayaan juga adalah salah satu landasan dalam sebuah keluarga. Jika tidak
ada lagi cinta kasih dan kepercayaan lebih baik memilih untuk menetukan jalan masing-
masing untuk pasangan tersebut.

Faktor Penyebab Perceraian

Terjadinya sebuah masalah tentu ada faktor mempengaruhi terjadinya hal tersebut.
Berikut ini adalah faktor-faktor terjadinya perceraian:

a. Faktor ekonomi. Faktor ini sering menjadi alasan utama pasangan suami istri
bercerai. Biasanya terbatasnnya penghasilan sedangkan kebutuhan terus meningkat
akhirnya tidak sanggup hidup serba terbatas akhirnya memilih untuk bercerai
b. Perselingkuhan. Zaman sekarang terkenal dengan istilah pelakor. Istilah
digambarkan jika suami sang istri tersebut berselingkuh dengan wanita lain, jika
terjadi perselingkuhan tentu tidak terjalin lagi cinta kasih dalam sebuah rumah
tangga karena pasangan mereka sudah berkhianat.
c. Perbedaan pendapat. Seringkali perbedaan pendapat membuat rumah tangga
tersebut bersitegang. Sama-sama bersih keras untuk mepertahankan pendapat
masing-masing tanpa ada salah satu yang mengalah akhirnya terjadilah
pertengkaran
d. Kurangnya komunikasi. Biasanya kurangnya komunikasi terjadi pada sepasang
suami istri yang sama-sama mempunyai karir. Biasanya mereka akan masing-
masing disibukkan oleh pekerjaan mereka bahkan bisa bekerja sampai di luar kota
sehingga komunikasi serta waktu dirumah bersama dengan pasangan menjadi
kurang.
e. Ikut campur mertua. Tidak bisa dipungkiri bahwa ikut campurnya mertua bisa
menyebabkan perceraian. biasanya mertua terlalu banyak mengatur dalam
kehidupan rumah tangga anaknya.
f. Kekerasan dalam rumah tangga. KDRT adalah tindak kekerasan yang dilakukan
dalam hubungan rumah tangga. Biasanya suami melakukan tindak kekerasan
kepada sang istri, karena tidak tahan terus menerus mendapat tindakan fisik
akhirnya bercerai
g. Tidak adanya keturunan. Kehidupan rumah tangga tidak akan lengkap tanpa
adanya anak yang menjadi buah cinta mereka. Maka dari itu jika mereka tidak
mempunyai keturunan maka mereka lebih memilih untuk berpisah.3

Dampak-Dampak yang di Timbulkan Perceraian


Setelah bercerai tentu ada dampak atau akibat yang dialami dalam perceraian
tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Trauma yang terjadi pada pasangan suami istri. Pasca perceraian tentu ada trauma
yang mereka rasakan. Seperti kecemasan, tidak mudah percaya pada siapapun,
banyaknya fikiran, kesedihan yang mendalam hal ini jika terus-menerus terjadi
maka akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan seperti terganggunya pekerjaan.
b. Terlantarnya anak. Akibat perceraian orang tuanya mengakibatkan ia menjadi
bingung antara memilih ayah atau ibu. Anak juga merasa kecewa atas tindakan
orang tua mereka yang memilih untuk bercerai akhirnya berdampak psikologis
anak
c. Renggangnya hubungan keluarga kedua belah pihak. Yang awalnya hubungan
keluarga harmonis akibat perceraian hubungan keluarga menjadi tidak harmonis
lagi.4

Pandangan Perjanjian Baru

Mengenai Khotbah Yesus dibukit Matius 5:31 “Tetapi Aku berkata kepadamu:
Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya
berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.
Dalam Matius 19:1-9 Yesus juga berbicara mengenai perceraian, tetapi hal tersebut hanya
menanggapi pertanyaan orang-orang Farisi tentang perceraian. Sedangkan dalam Matius
5:32 bukan karena menjawab pertanyaan melainkan Yesus sengaja melakukannya. Karena
perceraian memang menjadi masalah umum dalam masyarakat umu zaman dahulu. 5

3
Beranda Agency, “Berfikirlah Sebelum Bercerai” (Yogyakarta: Bisa Kimia, 2015), 1
4
Drs. EB Surbakti ,“Sudah Siapkah Menikah?” (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 325
5
Kalis Stevanus, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali” Jurnal Teologi
dan Pendidikan Agama KristenI 4, no. 2 (2018): 43-44
Dalam Matius 19:6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena
itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah tdak boleh diceraikan oleh manusia”. Jelas
dalam ayat ini ikatan sebuah pernikahan Kristen merupakan pernikahan seumur hidup.
Dalam proses penyatuan terlihat jelas Allah menjadi inisiatiff yang pertama kenapa
pernikahan itu bsa terjadi dan meneguhkan pernikahan melalui lembaga gereja. Apabila
adanya perceraian maka mencederai apa yang telah diberikan Tuhan dengan menjadikan
pernikahan sebagai sesuatu yang sacral dan sekali seumur hidup.

Allah tidak pernah menghendaki sebuah perceraian dalam kehidupan rumah tangga
Kristen. Secara tegas dikatakan dalam ayat diatas bahwa perceraian adalah sesuatu
perxinahan. Kenapa dikategorikan zinah karena masih hidup tetapi bukan suami atau istri
yang sah di mata Tuhan dan juga gereja, meskipun pemerintah sekalipun mengizinkan
perceraian tersebut dilakukan. Sampai kapanpun, gereja tidak akan membiarkan
peneguhan untuk kedua kalinya di dalam sebuah pernikahan.6

Apa Pandangan Paulus Mengenai Perceraian


Dalam 1 Korintus 7 Paulus telah memberikan pertmbangan tentang masalah yang
timbul apabila salah satu pihak yang satu beragama Kristen yang lain tidak. Paulus
mendukung kelestarian tentang sebuah pernikahan. Dalam ayat 10-11 jelas dikatakan
Tuhan pasangan suami istri tersebut tidak boleh saling menceraikan. Tetapi diayat
selanjutnya dikatakan bahwa jika sepasang suami dan istri yang tidak beriman akan tetapi
mereka mau hidup bersama dengan orang yang beriman maka mereka akan di kuduskan.
Tetapi jika orang yang tidak beriman tersebut ingin bercerai hendaklah diterima.
Pertimbangan seperti ini Paulus katakan bahwa jika mereka yang “tidak beriman” dan
meminta untuk bercerai hendaklah mereka bercerai. Dalam hal ini Paulus beranggapan
bahwa etika Kristen tidak bisa diterapkan pada kebiasaan masyarakat tentang perkawinan.
Di dunia orang Yunani pada saat itu perceraian sangat meluas terjadinya perbuatan tuna
susila di kalangan orang-orang yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Orang-
orang Kristen memberi contoh melalui perkawinan yang baik dan berkenan di hadapan
Tuhan. Paulus mengupayakan untuk hidup sebagai suami istri yang menahan diri dari
hubungan zinah (1 Korintus 7:36-38).7
Menurut Paulus perceraian boleh saja di lakukan kecuali mereka yang berbelot
dimana seorang Kristen yang di tinggalkan oleh pasangan yang tidak menerjil. Maka yang
6
Dr. Wendy Sepmady Hutahaean, “Kepemimpinan Keluarga Kristen” (Malang: Alhimedia Press,
2021), 53-54
7
Donald Guthrie, “Teologi Perjanjian Baru 3” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 311
dimaksud Paulus disini ketika sesorang Kristen menikah dengan non-kristen dengan
demikian mereka akan bertobat hidup dalam “kekudusan” (ayat 14). Demikian Paulus
mengatakan bahwa orang yang tidak Kristen tidak menerima untuk tinggal, maka yang
pihak Kristen “tidak terikat” artinya terikat untuk mepertahankan kebersamaan dengan
pasangannya hidup dalam damai sejahtera (ayat 15b).8
Menurut Will Deming Paulus dan jemaat di Korintus berhadapan dengan dua
pandangan yang berbeda takni Stoa dan Sinik. Stoa memandang bahwa pernikahan adalah
sesuatu hal yang baik sebab pada dasarnya manusia di ciptakan untuk hidup sesaui dengan
naturnya supaya dapat memenuhi bumi. Sedangkan Sinik memandang pernikahan sebagai
ikatan yang harus di hindari, karena terhambat oleh segala ikatan dalam mengejar apa yang
utama dalam kehidupan. Dengan demikian menurut Deming perkataan Paulus dalam 1
Korintus 7:1b adanya kehadiran pandangan Sinik dalam pergumulan jemaat di Korintus. 9
Dengan kata lain melalui 1 Korintus 7 kita melihat kondisi yang reel di Korintus dalam
artian dalam hal ini Paulus berkonteks dengan kehidupan orang Korintus yang merupakan
kelompok Sinik yang cenderung mempersoalkan pernikahan dan mengusulkan perceraian
dengan demikian akan mendapatkan hikmat yang lebih efektif bila manusia melepaskan
diri dari ikatan (Pernikahan)10
Dalam hal ini terjadinya perkawinan campur yang terjadi di Korintus yang
sebagian besar penduduknya orang Yunani. Hal ini berlawanan dengan tradisi Israel-
Yahudi yang menolak perkawinan campur. Karena mereka yang bukan Yahudi akan
menajiskan Yahudi, sehingga anak yang di lahirkan maka tidak dapat menjadi anggota
bangsa Israel. Sebaliknya Paulus memiliki keyakinan bahwa kesucian orang Kristen atau
orang yang beriman akan menguduskan kenajisan orang yang tidak memiliki iman atau
bukan Kristen (1 Korintus 7:14-16).11 Di samping itu Paulus tidak memberikan peraturan
yang bersifat umum, tetapi secara khusus meninjau masalah ini dari sudut pandang
Kristen: dikatakan bahwa seorang Kristen yang telah menikahi seorang yang beragama
Kristen atau beragama lain.12
Kekebasan yang di maksudkan Paulus bukan karena pertobatan yang dilakukan
mereka sendiri, melainkan keadaan pasangannya yang tidak mau bertobat dan

8
Ibid, 149
9
Chandra Gunawan, “Etika Paulus Tentang Perceraian” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 14
no. 1 (2013): 88-89
10
Ibid, 91
11
Surip Stanislaus, “Melengkapi Menjadi Satu Daging” (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2021), 231
12
Pdt. Drs.Henk Ten Napel, “Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru” (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 5-6
ketidaksiapan pasangannya untuk tinggal bersama. Dengan sangat jelas ditegaskan Paulus
jika salah satu pasangan yang bukan beragama Kristen bersedia untuk tetap mau hidup
besama, “janganlah engkau menceraikan dia” dan “janganlah dia menceraikan laki-laki
itu” (ayat 12-13). Maka dari itu, apabila pasangan yang tidak menerima Injil ingin
melepaskan diri, “biarkanlah ia pergi” (ayat 15).
Pada dasarnya perceraian tidak diperkenankan oleh Allah. Dalam Kristen Allah
dengan tegas mengatakan bahwa “Apa yang telah di persatukan Tuhan tidak boleh
diceraikan oleh manusia”. Perpisahan yang dimaksudkan Paulus adalah jika salah satu
pasangan berkeinginan dari pasangan yang tidak seiman dan salah satu pasangan tidak
menerima Injil maka perceraian di perkenankan. Dengan demikian, pasangan yang Kristen
mempunyai hak untuk melanjutkan kehidupan keluarga yang baru dengan cara menempuh
hidup baru (pernikahan). Paulus mengindahkan perceraian pasangan suami istri oleh
karena salah satu pihak tidak mau menerima injil. Mereka diberikan kebebasan untuk
bercerai yaitu bila pihak yang tidak mempercayai menghendakinya.13

KESIMPULAN
Kesimpulan dari artikel ini adalah perceraian adalah sesuatu masalah yang tidak
bisa di pungkiri akan terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Tetapi untuk mencegah
semua itu terjadi adalah pasangan suami itu harus bersikap lebih dewasa dalam menangani
suatu masalah, memikirkan akibat apa saja yang akan terjadi jika perceraian itu terjadi
dalam kehidupan kita. Allah sendiri tidak mengindahkan perceraian akan terjadi dalam
kehidupan umat Kristen karena pernikahan merupakan sesuatu yang sakral di mata Tuhan.
Sah di mata Tuhan dan juga Negara.
Kembali Paulus memberi pemahaman bahwa perceraian boleh saja di lakukan
dengan pengecualian bahwa salah satu pasangan itu tidak mau menerima Injil dengan
demikian perceraian boleh saja di bolehkan mengingat Paulus ingin menekankan
kehidupan orang Kristen yang dipenuhi oleh damai sejahtera dari Allah sendiri.

Daftar Pustaka
13
Ibid, 150
Alkitab

Armansyah Matondang, “Faktor-Faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam


Perkawinan” Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik 2, no. 2 (2014): 142

Dr. Maimun & Dr Moh. Thoha, “Perceraian: Dalam Bingakai Relasi Suami dan Istri”
(Jawa Timur: Duta Media Publishing, 2018)
Beranda Agency, “Berfikirlah Sebelum Bercerai” (Yogyakarta: Bisa Kimia, 2015), 1
Drs. EB Surbakti ,“Sudah Siapkah Menikah?” (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 325
Kalis Stevanus, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali” Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama KristenI 4, no. 2 (2018): 43-44
Dr. Wendy Sepmady Hutahaean, “Kepemimpinan Keluarga Kristen” (Malang: Alhimedia
Press, 2021), 53-54
Donald Guthrie, “Teologi Perjanjian Baru 3” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 311
Chandra Gunawan, “Etika Paulus Tentang Perceraian” Veritas: Jurnal Teologi dan
Pelayanan 14 no. 1 (2013): 88-89
Surip Stanislaus, “Melengkapi Menjadi Satu Daging” (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2021), 231
Pdt. Drs.Henk Ten Napel, “Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru” (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), 5-6

Anda mungkin juga menyukai