Zaman Sekarang
Iramaya
Abstrak
Abstract
Divorce ia a problem that often occurs in married life. It can’t be denied that this
problem is something that has often been heard and has become a common thing to do in
today’s world. Usually the factors that cause the husband and wife have not found
compatibility in their household, there is domestic violence, husband and wife are having
an affair or vice versa and so on. Usually in a household there are problem’s whether it’s a
small problem or a big one. Usually if it is said that small problems can stdill be resolved
between the husband and wife, but if the problem is big then the only way they take is
divorce.
The Bible clearly does not justify a separation in marriage. Because marriage
something legal in the eyes of God. The Bible it self says that what God has joined
together, no man should separate. But looking at the reality now people don’t seem to care
and feel that separating is the best way is the road to happiness without thinking about the
effects of a divorce. The method used in writing this article is a qualitative method with a
literature review approach.
PENDAHULUAN
Namun demikian tidak bisa dipungkiri juga berbagai masalah sering terjadi dalam
kehidupan berumah tangga, tentu dalam kehidupan tidak hanya berjalan mulus pasti ada
yang menjadi sandungan yaitu sebuah masalah. Hal yang sama pun terjadi dalam
kehidupan rumah tangga, mungkin awal pernikahan masih baik-baik saja tetapi seiring
berjalannya waktu adanya percekcokan yang terjadi, perbedaan pemahaman, atau salah
satu diantaranya kedapatan selingkuh atau adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga
yang dilayangkan sang suami untuk istri.
Di era zaman sekarang ini maraknya kasus perceraian terjadi dimana-mana seakan
beranggapan bahwa hal sangat wajar untuk dilakukan. Mereka merasa jika mereka
melakukan hal tersebut mereka akan terbebas dari hal-hal yang membuat mereka tidak
bahagia. Mereka tidak menyadari dampak apa saja yang akan mereka hadapi kedepannya.
Contoh dibalik kasus perceraian tersebut ada anak yang terlantar ana mereka menjadi
bingung ia akan diasuh oleh ayahnya atau ibunya, bahkan psikologis ana menjadi
terganggu. Kedua belah pihak keluarga menjadi bersitegang, yang awalanya harmonis
menjadi sungkan dan sering adu cekcok. Dampak yang paling mendasar dalam sebuah
perceraian adalah dosa.
Salah satu cara untuk tidak terjadinya suatu perceraian adalah dengan menanggapi
masalah dengan dewasa baik suami maupun istri, menumbuhkan cinta kasih,
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan saling mengingatkan bahwa sejatinya
Alkitab tidak membenarkan suatu perceraian tetapi jika masih tetap dilakukan akan
berdampak dosa.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini merupakan metode
kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka. Dengan metode ini lebih fokus
mengumpulkan data-data seputar perceraian yang terjadi dan kajian pustaka mendukung
lewat teori-teori yang ada.
PEMBAHASAN
1
Armansyah Matondang, “Faktor-Faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan”
Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik 2, no. 2 (2014): 142
2
Dr. Maimun & Dr Moh. Thoha, “Perceraian: Dalam Bingakai Relasi Suami dan Istri” (Jawa
Timur: Duta Media Publishing, 2018), 1
Dengan penjelasan tersebut bahwa sebuah pernikahan yang awalnya memiliki
tujuan untuk membangun suatu keluarga yang bahagia dan harmonis tetapi jika telah
terjadi perceraian tidaklah hal itu membuat bahagia dan tentu tidak akan kekal. Pada
dasarnya pernikahan di dasarkan karena adanya perasaan cinta antara pasangan suami istri
tidak ada unsur pasangan dan benar-benar dilandaskan karena adanya kasih antara
keduanya. Kepercayaan juga adalah salah satu landasan dalam sebuah keluarga. Jika tidak
ada lagi cinta kasih dan kepercayaan lebih baik memilih untuk menetukan jalan masing-
masing untuk pasangan tersebut.
Terjadinya sebuah masalah tentu ada faktor mempengaruhi terjadinya hal tersebut.
Berikut ini adalah faktor-faktor terjadinya perceraian:
a. Faktor ekonomi. Faktor ini sering menjadi alasan utama pasangan suami istri
bercerai. Biasanya terbatasnnya penghasilan sedangkan kebutuhan terus meningkat
akhirnya tidak sanggup hidup serba terbatas akhirnya memilih untuk bercerai
b. Perselingkuhan. Zaman sekarang terkenal dengan istilah pelakor. Istilah
digambarkan jika suami sang istri tersebut berselingkuh dengan wanita lain, jika
terjadi perselingkuhan tentu tidak terjalin lagi cinta kasih dalam sebuah rumah
tangga karena pasangan mereka sudah berkhianat.
c. Perbedaan pendapat. Seringkali perbedaan pendapat membuat rumah tangga
tersebut bersitegang. Sama-sama bersih keras untuk mepertahankan pendapat
masing-masing tanpa ada salah satu yang mengalah akhirnya terjadilah
pertengkaran
d. Kurangnya komunikasi. Biasanya kurangnya komunikasi terjadi pada sepasang
suami istri yang sama-sama mempunyai karir. Biasanya mereka akan masing-
masing disibukkan oleh pekerjaan mereka bahkan bisa bekerja sampai di luar kota
sehingga komunikasi serta waktu dirumah bersama dengan pasangan menjadi
kurang.
e. Ikut campur mertua. Tidak bisa dipungkiri bahwa ikut campurnya mertua bisa
menyebabkan perceraian. biasanya mertua terlalu banyak mengatur dalam
kehidupan rumah tangga anaknya.
f. Kekerasan dalam rumah tangga. KDRT adalah tindak kekerasan yang dilakukan
dalam hubungan rumah tangga. Biasanya suami melakukan tindak kekerasan
kepada sang istri, karena tidak tahan terus menerus mendapat tindakan fisik
akhirnya bercerai
g. Tidak adanya keturunan. Kehidupan rumah tangga tidak akan lengkap tanpa
adanya anak yang menjadi buah cinta mereka. Maka dari itu jika mereka tidak
mempunyai keturunan maka mereka lebih memilih untuk berpisah.3
Mengenai Khotbah Yesus dibukit Matius 5:31 “Tetapi Aku berkata kepadamu:
Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya
berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.
Dalam Matius 19:1-9 Yesus juga berbicara mengenai perceraian, tetapi hal tersebut hanya
menanggapi pertanyaan orang-orang Farisi tentang perceraian. Sedangkan dalam Matius
5:32 bukan karena menjawab pertanyaan melainkan Yesus sengaja melakukannya. Karena
perceraian memang menjadi masalah umum dalam masyarakat umu zaman dahulu. 5
3
Beranda Agency, “Berfikirlah Sebelum Bercerai” (Yogyakarta: Bisa Kimia, 2015), 1
4
Drs. EB Surbakti ,“Sudah Siapkah Menikah?” (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 325
5
Kalis Stevanus, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali” Jurnal Teologi
dan Pendidikan Agama KristenI 4, no. 2 (2018): 43-44
Dalam Matius 19:6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena
itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah tdak boleh diceraikan oleh manusia”. Jelas
dalam ayat ini ikatan sebuah pernikahan Kristen merupakan pernikahan seumur hidup.
Dalam proses penyatuan terlihat jelas Allah menjadi inisiatiff yang pertama kenapa
pernikahan itu bsa terjadi dan meneguhkan pernikahan melalui lembaga gereja. Apabila
adanya perceraian maka mencederai apa yang telah diberikan Tuhan dengan menjadikan
pernikahan sebagai sesuatu yang sacral dan sekali seumur hidup.
Allah tidak pernah menghendaki sebuah perceraian dalam kehidupan rumah tangga
Kristen. Secara tegas dikatakan dalam ayat diatas bahwa perceraian adalah sesuatu
perxinahan. Kenapa dikategorikan zinah karena masih hidup tetapi bukan suami atau istri
yang sah di mata Tuhan dan juga gereja, meskipun pemerintah sekalipun mengizinkan
perceraian tersebut dilakukan. Sampai kapanpun, gereja tidak akan membiarkan
peneguhan untuk kedua kalinya di dalam sebuah pernikahan.6
8
Ibid, 149
9
Chandra Gunawan, “Etika Paulus Tentang Perceraian” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 14
no. 1 (2013): 88-89
10
Ibid, 91
11
Surip Stanislaus, “Melengkapi Menjadi Satu Daging” (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2021), 231
12
Pdt. Drs.Henk Ten Napel, “Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru” (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 5-6
ketidaksiapan pasangannya untuk tinggal bersama. Dengan sangat jelas ditegaskan Paulus
jika salah satu pasangan yang bukan beragama Kristen bersedia untuk tetap mau hidup
besama, “janganlah engkau menceraikan dia” dan “janganlah dia menceraikan laki-laki
itu” (ayat 12-13). Maka dari itu, apabila pasangan yang tidak menerima Injil ingin
melepaskan diri, “biarkanlah ia pergi” (ayat 15).
Pada dasarnya perceraian tidak diperkenankan oleh Allah. Dalam Kristen Allah
dengan tegas mengatakan bahwa “Apa yang telah di persatukan Tuhan tidak boleh
diceraikan oleh manusia”. Perpisahan yang dimaksudkan Paulus adalah jika salah satu
pasangan berkeinginan dari pasangan yang tidak seiman dan salah satu pasangan tidak
menerima Injil maka perceraian di perkenankan. Dengan demikian, pasangan yang Kristen
mempunyai hak untuk melanjutkan kehidupan keluarga yang baru dengan cara menempuh
hidup baru (pernikahan). Paulus mengindahkan perceraian pasangan suami istri oleh
karena salah satu pihak tidak mau menerima injil. Mereka diberikan kebebasan untuk
bercerai yaitu bila pihak yang tidak mempercayai menghendakinya.13
KESIMPULAN
Kesimpulan dari artikel ini adalah perceraian adalah sesuatu masalah yang tidak
bisa di pungkiri akan terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Tetapi untuk mencegah
semua itu terjadi adalah pasangan suami itu harus bersikap lebih dewasa dalam menangani
suatu masalah, memikirkan akibat apa saja yang akan terjadi jika perceraian itu terjadi
dalam kehidupan kita. Allah sendiri tidak mengindahkan perceraian akan terjadi dalam
kehidupan umat Kristen karena pernikahan merupakan sesuatu yang sakral di mata Tuhan.
Sah di mata Tuhan dan juga Negara.
Kembali Paulus memberi pemahaman bahwa perceraian boleh saja di lakukan
dengan pengecualian bahwa salah satu pasangan itu tidak mau menerima Injil dengan
demikian perceraian boleh saja di bolehkan mengingat Paulus ingin menekankan
kehidupan orang Kristen yang dipenuhi oleh damai sejahtera dari Allah sendiri.
Daftar Pustaka
13
Ibid, 150
Alkitab
Dr. Maimun & Dr Moh. Thoha, “Perceraian: Dalam Bingakai Relasi Suami dan Istri”
(Jawa Timur: Duta Media Publishing, 2018)
Beranda Agency, “Berfikirlah Sebelum Bercerai” (Yogyakarta: Bisa Kimia, 2015), 1
Drs. EB Surbakti ,“Sudah Siapkah Menikah?” (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 325
Kalis Stevanus, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali” Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama KristenI 4, no. 2 (2018): 43-44
Dr. Wendy Sepmady Hutahaean, “Kepemimpinan Keluarga Kristen” (Malang: Alhimedia
Press, 2021), 53-54
Donald Guthrie, “Teologi Perjanjian Baru 3” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 311
Chandra Gunawan, “Etika Paulus Tentang Perceraian” Veritas: Jurnal Teologi dan
Pelayanan 14 no. 1 (2013): 88-89
Surip Stanislaus, “Melengkapi Menjadi Satu Daging” (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2021), 231
Pdt. Drs.Henk Ten Napel, “Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru” (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), 5-6