Anda di halaman 1dari 9

A.

Kenaikan dalam angka perceraian

alam kehidupan rumah tangga yang sering disebut berkeluarga bukanlah hal yang saat
dijalani dan akan selalu berjalan mulus dan lurus. terkadang yang biAsa kita lihat adalah hal
yang begitu romantis penuh dan kasmaran seakan akan masalah hidup tidak akan ada lagi
setelah kita menikah.

Ditinjau dari pelakunya, perceraian itu sendiri dibagi menjadi dua jenis. Pertama, cerai talak
adalah permohonan seorang suami yang beragama Islam untuk menceraikan istrinya kepada
pengadilan untuk melaksanakan sidang sebagai saksi ikrar talak.

Sementara itu, yang kedua adalah cerai gugat, yakni kondisi dimana gugatan cerai yang
diajukan oleh istri atau kuasanya yang sah di meja pengadilan. Ikrar cerai dapat diajukan ke
pengadilan oleh salah satu pelaku dengan memberikan beberapa alasan.

Aturan ini tercatat dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa pengajuan perceraian harus ada cukup alasan antara suami dan istri tidak
akan dapat hukum sebagai pasangan.

Bukan tanpa alasan, aturan hukum perceraian yang tertuang dalam Undang-Undang tersebut
sebagai bentuk perlindungan yang semakin marak di Indonesia. Terbukti dalam catatan
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui laporannya dengan judul “Statistik Indonesia 2022”
mengatakan, angka perceraian di Indonesia mengalami kenaikan.

Ada beberapa wilayah di Indonesia yang mendominasi terjadinya tingginya kasus perceraian
tersebut. BPS juga turut mencatat beberapa kasus perceraian didominasi oleh beberapa
penyebab. Kasus perceraian di Indonesia meningkat 53,5 persen

BPS dalam datanya menyebut, kasus perceraian di Indonesia kembali melonjak. Puncaknya
terjadi pada tahun 2021 yang meningkat 53,5 persen dari tahun sebelumnya, yakni mencapai
291.677 kasus.1

1
https://goodstats.id/article/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat-apa-penyebabnya-fqDyu
Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian 1. Masalah Ekonomi dan Keuangan Masalah
ekonomi dan keuangan dalam masyarakat merupakan salah satu pemicu yang dapat
menyebabkan perceraian, bahkan masalah ini bisa digolongkan dalam masalah utama
perceraian. Masalah ekonomi tentang mencari dan memberi nafkah kepada anak dan istri
serta cara mengatur keuangan dalam keluarga sering sekali mengakibatkan pertengkaran
antara suami istri terlebih lagi ketika keduanya sama sama dalam status mencari nafkah. Ada
hal-hal terkait dengan ekonomi dan keuangan yang kadang dianggap remeh namun kadang
memicu pertengkaran. a. Tidak terbuka soal keuangan, dalam hubungan suami istri dalam hal
ini membinah rumah tangga, kadang masing masing menginginkan keterbukaan untuk
mengelolah keuangan, baik dari penghasilan sampai dengan pengeluaran untuk kebutuhannya
yang terjadi dalam keluarga. Hal mengenai keuangan seharusnya dilakukan dengan
keterbukaan antar satu sama lain karena sekecil apapun rahasia mengenai keuangan sangan
rentan dalam memicu pertengkaran.

b. Punya uang atau tabungan rahasia, meski terlihat tak berbahaya, namun hal ini juga sangat
memicu faktor terjadinya pertengkaran. Apalagi jika memang sudah dibumbui dengan
masalah keluarga yang lain factor tersebut sangat menjadi alasan untuk saling menyalahkan,
berlandaskan atas kebohongan dan saling ketidakpercayaan akan membuat hubungan
keluarga menjadi renggang.

c. Banyak utang, rumah tangga memang terlalu sensitif terhadap keuangan apalagi jika salah
satu pihak memiliki banyak hutang. Dalam kondisi seperti ini, pasangan akan sering merasa
tertekan karena terlilit hutang dan suatu saat akhirnya emosi tidak dapat tertahan dan
akhirnya meledak. Dan celakanya, banyak kasus perceraian yang memang disebabkan gara
gara ekonomi dan keuangan dalam keluarga.

d. Terlalu boros atau terlalu hemat, boros akan membawa masalah dalam kehidupan keluarga,
ketika istri atau suami menghambur-hamburkan uang hanya untuk sikap konsumtif semata
tanpa memikirkan prioritas kadang salah satu pihak akan merasa kesal, apalagi jika sikap
boros ini di rangkaikan dengan berhutang untuk memenuhi sikap konsumtif tersebut.
Berhemat itu bukan hal yang salah, namun jika terlalu berhemat itu juga bukan hal yang baik,
kadang salah satu pasangan akan merasa tertekan jika suami/istri terlalu ketat dalam
keuangan Tidak punya tujuan jangka panjang, dalam membina rumah tangga menentukan
tujuan untuk masa depan adalah suatu hal yang penting, namun ada juga keluarga yang
kurang memperhatikan masalah arah tujuan jangka panjang dalam keluarganya, akibatnya
kontrol keuangan akan susah dan relative tidak terlihat seakan akan pengeluaran menguap
begitu saja

e. Perbedaan jumlah penghasilan, mungkin semua pasangan tidak mengalami hal ini, namun
ketimpangan antara penghasilan suami dan istri juga merupakan salah satu penyebab
retaknya rumah tangga.

2. Perselingkuhan

Dapat memiliki kehidupan hubungan rumah tangga yang bahagia serta harmonis adalah
impian semua orang yang membinah rumah tangga. Namun, layaknya pada seuntai cita-cita
hal ini tentu saja wajib dilengkapi dengan kerja keras yang besar, komitmen, kesabaran, dan
kuat pada masing masing pihak, hal ini karena pada bahtera rumah tangga akan banyak sekali
yang akan menguji rumah tangga sepanjang usia pernikahan sehingga kedua belah pihak
harus siap dan bisa menjaga rumah tangga dengan baik

Adapun faktor faktor yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan di dalam kehidupan


rumah tangga sebagai berikut:

a. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam yang membuat
terjadinya perselingkuhan dalam ikatan rumah tangga yang bisa menyebabkan
perceraian. Kurangnya nilai agama, agama sudah mengatur tentang semua sisi kehidupan
manusia. Termasuk didalamnya urusan rumah tangga. Kurangnya komitmen, komitmen
merupakan modal besar dalam membina rumah tangga. Kecewa dengan pasangan,
Perasaan kecewa sering muncul pada pasangan terutama bagi yang menikah dengan
dijodohkan atau bagi mereka yang tidak melakukan penjajakan dengan baik sebelum
menikah.
b. Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor dari luar yang menjadi penyebab
terjadinya perselingkuhan dalam rumah tangga dan sangat lebih rentan karena lebih
banyak pengaruh dari luar.

3. Campur tangan pihak ketiga Dalam rumah tangga

kadang akan ada hal yang tidak diinginkan tapi malah terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Contohnya adanya pihak ketiga yang ikut andil dalam bahtera rumah tangga, mungkin
sebagian orang mengatakan pihak ketiga adalah wanita/pria yang merusak hubungan keluarga
atau sering disebut pelakor akan tetapi bukan hanya unsur diatas yang dapat dikatakan pihak
ketiga.

4. Masalah seksual

Pernikahan bukan hanya semata tentang ikatan cinta, dalam rumah tangga juga sangat
berpengaruh unsur hubungan seksual namun kenyataannya sering muncul masalah tentang
seksual ini.

5. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah semua perilaku ancaman, pelecehan, dan
kekerasan baik secara fisik, psikologis, dan seksual antara dua orang yang terikat hubungan
personal ataupun kepada anggota keluarga lain.

Pola Pencegahan Terjadinya Perceraian

Pada dasarnya perceraian bisa dicegah dalam rumah tangga, oleh karena itu dalam
mengarungi bahtera rumah tangga kedua belah pihak mesti memiliki ilmu dan pengetahuan
yang baik dalam pengelolaan rumah tangga. Goode mengemukakan ada beberapa pola
pencegahan terjadinya perceraian: 1. Pola pertama adalah dengan cara merendahkan atau
menekan keinginan-keinginan individu tentang apa yang bisa diharapkan dari sebuah
perkawinan.

2. Pola kedua adalah dengan cara menanamkan nilai yang tidak mementingkan hubungan
kekerabatan daripada hubungan suami-istri dalam perkawinan. Biasanya pada sistem
keluarga yang demikian, anak laki-laki terutama memegang peranan sangat penting. Dialah
yang mengendalikan kehidupan keluarga luas.

3. Pola ketiga adalah dengan cara “tidak menganggap penting sebuah perselisihan

4. Pola keempat adalah mengajarkan anak-anak dan para remaja untuk mempunyai harapan
yang sama terhadap sebuah perkawinan.

B. Anak – anak dan perpecahan keluarga

Menurut T. O Ihromi bahwa reaksi anak terhadap perceraian sangat tergantung pada
penilaian mereka sebelumnya terhadap perkawinan orang tua mereka serta rasa aman di
dalam keluarga. Diketahui bahwa lebih dari sebagian anak yang berasal dari keluarga tidak
bahagia menunjukkan reaksi bahwa perceraian adalah yang terbaik untuk keluarganya.
Trauma yang dialami anak karena perceraian orang tua berkaitan dengan kualitas hubungan
dalam keluarga sebelumnya. Apabila anak merasakan adanya kebahagiaan dalam kehidupan
rumah sebelumnya maka mereka akan merasakan trauma yang sangat berat. Sebaliknya bila
anak merasakan tidak ada kebahagiaan kehidupan dalam rumah, maka trauma yang dihadapi
anak sangat kecil dan malah perceraian dianggap sebagai jalan keluar terbaik dari konflik
terus-menerus yang terjadi antara ayah dan ibunya.

Dampak dari perceraian menurut T. O Ihromi, adalah meningkatnya “perasaan dekat” anak
dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada
dalam asuhan dan perawatan ibu. Anak- anak yang orang tuanya bercerai merasa malu
dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior (merasa rendah diri) terhadap anak-anak
lain. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua
mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian
orang tua mereka .2

Akibat bentuk pengabaian terhadap dampak dari perceraian tersebut, anak menjadi
bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak
menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin
sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal, lalu
melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas
terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga.
Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan
perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus
neurotik dan tingkah laku a-susila.3

Efek perceraian sangat mempengaruhi perilaku anak-anak. Anak yang orang tuanya bercerai
akan merasa malu dan konsep dirinya akan rusak. Beberapa perilaku akan muncul pada anak
yang orang tuanya bercerai, yaitu:

1. Anak bisa saja membenci orangtuanya

2. Kebencian seorang anak terhadap orang tua bisa menimbulkan akibat lain, salah satunya
adalah kelainan seksual.

2
T. O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga…, hlm. 159-161.
3
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: Grafindo Persada), 2002, hlm. 42
3. Orang tua adalah contoh bagi anak. Bila orang tua bercerai, tentu saja tentu saja bukan
contoh yang baik. Bahkan anak akan cenderung melakukan hal yang sama ketika sudah
berumah tangga.

4. Anak merasa tertekan, stres, dan depresi. Perasaan tertekan seperti ini bisa membuat si
anak menjadi lebih pendiam, jarang bergaul, dan prestasi sekolahnya akan merosot.

5. Ada kemungkinan juga akan muncul perilaku yang sebaliknya, dimana anak sebagai
korban perceraian tidak selalu menjadi pendiam. Anak yang sedang depresi bisa
mengiringnya ke dalam pergaulan yang salah, seperti terlibat dalam pergaulan bebas,
penyalahgunaan narkoba, atau bahkan kriminalitas.

6. Trauma perceraian tidak hanya dirasakan oleh suami istri yang baru saja berpisah, tapi juga
berimbas pada si anak. Trauma yang terjadi pada anak bisa berupa timbulnya ketakutan untuk
menikah, atau takut menerima orang tua tirinya yang baru.4

Pada akhir masa kanak-kanak, ada waktu di mana anak sering mengalami emosi yang
hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya
emosi menjadi periode ketidakseimbangan, yaitu di mana anak menjadi sulit dihadapi. Setiap
perubahan yang menonjol dalam pola kehidupan anak, seperti perceraian orangtua akan
selalu mengakibatkan meningginya emosi.5

Perceraian yang berarti keterpisahan antara ibu, ayah, dan anak-anak apapun
penyebabnya, bisa memberi dampak buruk pada anak. Karena sebuah keluarga tidak lagi
utuh, dan umumnya yang terjadi adalah ibu bersama anak-anak disatu pihak, dan ayah hidup
sendiri. Akibatnya, anak kehilangan salah satu tokoh identifikasi mereka. Hal ini tentunya
menuntut penyesuaian diri lagi setelah anak mampu mengatasi kesulitan menghadapi
perceraian orangtua kandungnya.6

Anak korban perceraian akan merasa sedih, malu, minder karena orang tua yang
dibanggakannya ternyata berakhir cerai. Sebagai pelampiasan perasaan tersebut, anak
melampiaskan dengan:

1. Mengurung diri di kamar, tidak bergaul dengan teman-teman karena merasa malu,
sedih, dan minder
4
Nur „Aisyah, Plus Minus Perceraian Wanita Dalam Kacamata Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunah, (Jakarta:
Sealova Media, 2014), hlm. 115-117.
5
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta:
Erlangga, 2002), hlm. 155
6
Imam Musbikin, Mengatasi Anak-Anak Bermasalah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2008), hlm. 243
2. Keluyuran, sebagai tanda protes terhadap orangtua. Berharap dengan cara ini
orangtua akan rujuk kembali, tetapi dengan cara seperti itulah akan menjerumuskan anak ke
hal-hal yang negative

3. Aktif dalam kegiatan, pengalaman pahit karena perceraian orangtua justru memicu
semangat bekerja, belajar, dan melakukan aktivitas yang positif. Meski aktif dalam kegiatan
tetapi masih terbayang-bayang sedih, malu dan minder atas perceraian orang tua. Paling tidak
ada empat faktor yang mempengaruhi resiko yang akan dipikul anak akibat korban perceraian
yaitu bakat kepekaan anak terhadap pecahnya hubungan orangtuanya, latar belakang
kehidupan keluarga sebelum perceraian, kondisi keluarga setelah perceraian serta kestabilan
sebelah orangtua yang masih berada di rumah. Anak yang berbakat dan datang dari keluarga
yang depresif lebih mudah menjadi terganggu akibat perceraian orangtuanya, dibanding anak
yang tidak sepeka itu. Latar belakang keluarga yang sangat intim dan hangat akan dirasakan
anak sebagai kehilangan yang sangat berarti dibandingkan latar belakang keluarga yang
kurang akrab. Begitu juga sifat tabiat orangtua yang teguh dan tabah kurang membuat anak
menderita dibandingkan orangtua yang agak perasa7.

Menurut Sofyan S. Willis, anak korban perceraian akan mengalami krisis kepribadian,
sehingga perilakunya sering salahsuai. Mereka mengalami gangguan emosional dan bahkan
neurotik. Kasus keluarga broken home ini sering ditemui di sekolah, seperti anak menjadi
malas belajar, menyendiri, agresif, membolos dan suka menentang guru.8

Perpecahan keluarga merupakan fenomena faktual yang menyebabkan terjadinya


kesenjangan perkembangan anak kerena tidak lengkapnya orang tua dan dihayati oleh anak
sebagai ketidakhadirannya. Pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya
dipimpin oleh single parent adalah masalah anak. Anak akan merasa dirugikan dengan
hilangnya salah satu orang yang berarti dalam hidupnya. Anak dikeluarga yang hanya
memiliki orang tua tunggal (single parent) rata-rata cenderung kurang mampu mengerjakan
sesuatu dengan baik dibanding anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya utuh.

Anak yang mengalami ketegangan dalam keluarga, karena hanya mempunyai orang
tua tunggal, akan terpukul dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang
menjadi pemarah, suka melamun, bahkan suka menyendiri. Namun ada pula anak yang ketika
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak utuh menjadi seorang anak yang pemberani

7
Alex Sobur, Fungsi-Fungsi Emosi, (Jakarta: Rajawali, 2003), hlm. 42
8
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 66
dan mandiri. Ketegangan-ketegangan yang muncul sebagai akibat dari lingkungan keluarga
akan menunjukkan konflik pada anak dalam membentuk kepribadiannya.

REFERENSI

Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, Jakarta: Grasindo, 2008..

Dodi Ahmad Fauzi, Mengatasi Problem Keluarga, Jakarta: EDSA Mahkota,

2006.

Imam Musbikin, Mengatasi Anak-Anak Bermasalah, Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2008.

Laura A. king, Psikologi Umum, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010

Nur „Aisyah, Plus Minus Perceraian Wanita Dalam Kacamata Islam

Menurut Al-Qur’an dan As-Sunah, Jakarta: Sealova Media, 2014.

Setiyanto, Orang Tua Ideal dari Perspektif Anak, Jakarta: Grasindo, 2005.

Thohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Konseling Islami, Yogyakarta: UII

Press, 1992.

Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), Bandung: Alfabeta,

2011.

T. O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2004.

Www. Aceh Journal Pasifif.Com, diakses tanggal 23 Mai 2107.

Anda mungkin juga menyukai