Anda di halaman 1dari 16

A.

Broken Home
1. Pengertian Broken Home

Broken berarti ”Kehancuran”, sedangkan Home berarti ”Rumah”. Broken home memiliki arti adanya
kehancuran di dalam rumah tangga yang disebabkan kedua suami istri mengalami perbedaan pendapat.

Broken home disini memiliki banyak arti yang bisa di karenakan adanya perselisihan atau percekcokan
antara suami istri, akan tetapi tetap tinggal satu rumah. Bisa juga bisa juga broken home diartikan
kehancuran Rumah Tangga sampai terjadi perceraian kedua orang tua. Dari pengertian broken home di
atas dan dengan keadaan masih tinggal serumah ataupun yang sudah bercerai tetap saja memberikan
dampak yang buruk pada anak mereka, dimana sebetulnya anak masih memerlukan bimbingan orang
tua sampai ia lepas masa lajang. Akibat kondisi orang tua yang mengalami broken home, maka lebih
banyak anak belajar banyak hal dari lingkungan, teman sebaya, dan bukan dari kedua orang tuanya.
Menurut Hurlock, Broken home merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan
terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat
memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan
kebahagiaan tetapi tidak dia khiri dengan perpisahan. Hal ini dikarenakan perkawinan tersebut dilandasi
dengan pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasanalasan yang lain. Perpisahan atau
pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga
kasus dimana salah satu pasangan (suami, istri) meninggalkan keluarga.

Broken home dapat terjadi apabila antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan
untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga seutuhnya. Keadaan seperti ini terjadinya

broken home tidak secara tiba-tiba dan bukan proses yang mudah/ sederhana. Hal tersebut merupakan
titik akhir dari suatu proses. Yang berlangsung lama dan adanya penyesuaian diri yang ekstrim. Broken

home dapat dilakukan secara legal/ tidak, dimana salah satu pasangan (suami/istri) meninggalkan
keluarga tanpa pamit (minggat) dalam waktu lama. Broken home mengakibatkan status seorang laki-laki

sebagai suami maupun status seorang perempuan sebagai istri secara legal berakhir. Tetapi tidak
menghentikan status masing-masing sebagai ayah dan ibu terhadap anak-anaknya, karena hubungan
antara ayah/ ibu dengan anak-ana knya adalah hubungan darah tidak bisa diputus begitu saja lewat
pernyataan kehendak.

Broken home dapat diakibatkan karena adanya konflik, terhambat komunikasi, hilangnya kepercayaan
dan kebencian merupaka tahap awal yang sangat berpengaruh pada struktur perkawinan menjadi tidak

kokoh. Broken home dapat juga muncul karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam
memecahkan masalah yang dihadapi (kurang komunikasi dua arah), saling cemburu, ketidakpuasan

pelayanan suami/ istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang mampu menjalin
hubungan baik dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling
menuntut, dan ingin menang sendiri.
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi broken home
Faktor-faktor yang mempengaruhi broken home perceraian

merupakan hal yang pada dasarnya tidak diinginkan semua orang,

namun dengan berbagai sebab terpaksa perceraian di tempuh

sebagai alternative terahir pemecahan masalah dalam suatu ikatan

perkawinan.

a. Perbedaan usia pasangan yang terlalu jauh

b. Keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki

c. Perbedaan prinsip hidup

d. Perbedaan cara mendidik anak

e. Pengaruh dukungan social dari luar, baik dari tetangga saudara atau sahabat .19

b. Menurut undang-undang

Alasan-alasan perceraian menurut pasal 39 ayat 2 UU perkawinan No. 1 tahun 1974 dan pasal 19
peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 (dalam subekti dan Tritrusudibio,1992) adalah:

a. Salah satu istri atau suami melakukan zinah, mabuk, penjudi dan lain-lain.

b. Salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar.

c. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.

Apapun sebabsebabnya suatu pertengkaran yang terus menerus antara suami istri didalam suatu
perkawinan membuat perkawinan itu menjadi tidak bahagia bahkan mungkin akan menimbulkan
kehancuran. Dari terjadi hal terahir ini nampaknya perceraian satu-satunya jalan untuk
menyelesaikannya.

d. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukumun yang berat setelah
pernikahan berlangsung.

Perceraian dalam suatu keluarga tidak selalu berdampak negatif. Sikap untuk menghindari situasi
konflik, rasa tidak puas, perbedaan paham yang terus menerus, maka peristiwa perceraian itu

satu-satunya jalan keluar untuk memperoleh ketentraman. Pengaruh perceraian pada setiap tingkat usia
Tiga puluh tahun yang lalu, perceraian yang terjadi dan merupakan peristiwa yang memalukan.

Zaman sekarang perceraian sudah merupakan hal yang biasa, lebih kurang separuh dari pernikahan
berakhir dengan perceraian dan mempengaruhi kurang lebih 1 juta anak setiap tahunnya.
Wade dan Travis, menjelaskan bahwa pada masa sekarang stigma sebagai anak-anak kelurga “broken
home” tidak lagi melekat pada diri anak-anak yang orang tuanya bercarai. Perceraian membawa
pengaruh yang sangat menyulitkan dan menyesakkan bagi diri anak tanpa peduli berapapun usia
mereka, perceraian meninggalkan goresan yang dalam terhadap emosi seorang anak.21

Menurut penelitian yang dilakukan Wallerstein (dalam Wade &Trais) dijelaskan bahwa faktor usia, jenis
kelamin dan reaksi langsung jangka panjang turut menentukan bagaimana akibat dari suatu perceraian
terhadap diri seseorang.

Dampak keluarga broken home pada anak Robert S. Feldman dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Psikologi memuat teori hierarki kebutuhan berbentuk piramida yang dikembangkan oleh Abraham
Maslow, dalam teori ini Maslow menyatakan bahwa pada diri setiap individu terdapat lima kebutuhan
dasar yang menuntut untuk dipenuhi, kelima kebutuhan tersebut dimulai dari tingkat yang paling bawah
hingga tingkatan teratas yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, kebutuhan akan
penghargaan, serta kebutuhan akan aktualisasi diri, yang mana kebutuhan yang berada ditingkat paling
bawah harus terpenuhi terlebih dahulu baru setelah itu seseorang dapat bergerak maju untuk
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya.

Selain itu perilaku remaja broken home lainnya dapat berupa sering membolos, terlibat kenakalan
(bahkan ditangkap/diadili), dikeluarkan atau di skors karena berkelakuan buruk (Aroma & Suminar,
2012) seringkali lari dari rumah (minggat), selalu berbohong, melakukan hubungan seks meski belum
akrab, mabuk miras dan pengguna narkotika, mencuri, merusak barang milik orang lain, prestasi rendah,
melawan otoritas, dan perkelahian dan“minggat” broken home menjadi salah satu tanda remaja yang
antisosial (Kartono, 2005). Menurut Supratiknya (1995) Ciri- ciri dari remaja broken home lainnya dapat
terlihat dari indikator masalah kesehatan mental pada remaja yang lainnya adalah : suka mengganggu
hak orang lain atau melanggar hukum, melakukan perbuatan yang dapat mengancam kehidupan pribadi
remaja, menghindari persahabatan atau senang hidup menyendiri, sering menampilkan perilaku yang
kurang baik atau melakukan kenakalan dan lain-lain.

B. Kecerdasan Emosional
Pengertian Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel
Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi berkaitan dengan perubahan
fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat
mengganggu perilaku intensional manusia.

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut
Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love
(cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear
(ketakutan), Rage (kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam emosi
yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:

a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati

b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa

c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan,
kasih

f. Terkejut: terkesiap, terkejut

g. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka

h. malu: malu hati, kesal

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan
respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan
Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah
menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan
memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu
dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles,
masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara
mengekspresikan.

Menurut Mayer dalam Goleman, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan
mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan dan pasrah. Dengan melihat
keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup
lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong
individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun
dari luar dirinya.

HUBUNGAN ANTARA PRESTASI BELAJAR DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL

Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey
dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-
kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan
kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai, “Himpunan bagian dari kecerdasan social
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.”
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah
setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat
mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Keterampilan EQ bukanlah lawan
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada
tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan. Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind, dalam Goleman mengatakan bahwa,
bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan,
melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.Kecerdasan ini dinamakan
oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan
emosional. Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur
kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Faktor Kecerdasan Emosional


Goleman mengutip Salovey menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam defenisi
dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi
lima kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi

menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Menurut Mayer dalam Goleman, kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran
tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan
dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan
salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap
dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi
yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,
yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini
mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-
perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan
untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Goleman, kemampuan seseorang
untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang
orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan
isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah
bergaul, dan lebih peka. Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu
membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang
mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka
pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan

orang lain.

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan
kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauanorang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun.
Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-
orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya
berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif
bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa
berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

C. Anak
C. Defnisi Anak

1. Pengertian Anak

Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan
berpotensi sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik,mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan
memberkan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan
maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai.
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak menurut peraturan perundang-
undangan, begitu juga menurut para pakar ahli. Namun di antara beberapa pengertian tidak ada
kesamaan mengenai pengertian anak tersebut, karna di latar belakangi dari maksud dan tujuan masing-
masing undangundang maupun para ahli. Pengertian anak menurut peraturan perundangundangan
dapat dilihat sebagai berikut :

a) Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

b) Menurut Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Yang disebut anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin (Pasal 1 butir 2).12

c) Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut :

"Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”. Dari beberapa
pengertian dan batasan umur anak sebagaimana tersebut di atas yang cukup bervariasi tersebut, kiranya
menjadi perlu untuk menentukan dan menyepakati batasan umur anak secara jelas dan lugas agar
nantinya tidak terjadi permasalahan yang menyangkut batasan umur anak itu sendiri. Dalam lingkup
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undnag tentang Perlindungan Anak sendiri

ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan, dan belum pernah menikah.

2. Hak-hak Anak

Hak-Hak Anak Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembangdan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dandiskriminasi. Dalam UUD
1945 sudah dijelaskan bahwa, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari isi yang terkandung dalam UUD
1945 menjelaskan bahwa perlindungan dan kedudukan anak adalah hal yang penting, yang harus di
lakukan oleh setiap warga negara Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari. Selain kedudukan dan
perlindungan anak, dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dijelasakan mengenai, hak-
hak anak di Indonesia secara umum yang terkandung dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18, hak-hak
anak tersebut antara lain:

a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tua sendiri.

e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial.

f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya
dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

g) Bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

h) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

i) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreas sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya

demi pengembangan diri.

j) Terhindar dari kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidak adilan, dan perlakuan salah lainnya.

k) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.

l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik,
pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan.

m) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

n) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

o) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

p) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi
dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya
secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri serta memperoleh
keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

q) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan denga hukum
berhak dirahasiakan.

r) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya.
D. Proses pembelajaran/ proses belajar
Pengertian Belajar Mengajar dan Pembelajaran.

Berbicara mengenai pendidikan, hampir semua aktifitas yangbelajar. Para psikolog saling berbeda dalam
menjelaskan mengenai cara aktifitas itu berlangsung. Akan tetapi dari beberapa penyelidikan dapat
ditandai, bahwa belajar kemajuan tertentu yang terbentuk dari pola pikir dan berbuat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa aktifitas belajar ialah memperoleh kesuksesan dalam pengembangan potensi-
potensi seseorang. Beberapa aspek psikologis aktifitas belajar itu misalnya motifasi, penguasaan
keterampilan dan ilmu pengetahuan, serta pengembangan kejiwaan. Bahwa setiap saat dalam
kehidupan mesti terjadi suatu proses belajar, baik disengaja atau tidak, disadari maupun tidak. dari
proses ini diperoleh suatu hasil yang pada umumnya disebut sebagai hasil belajar. Tapi untuk
memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja dan
terorganisasi dengan baik dan rapi. Atas dasar ini, maka proses belajar mengandung makna yaitu proses
internalisasi sesuatu ke dalam diri subyek didik, dilakukan dengan sadar dan aktif dengan segenap panca
indera ikut berperan. Suryabrata menjelaskan pengertian belajar dengan mengidentifikasikan ciri-ciri
yang disebut belajar, yaitu: “Belajar adalah aktifitas yang dihasilkan perubahan pada individu yang
belajar (dalam arti behave kemampuan baru, yang berlaku yang relatif lama; perubahan itu terjadi
karena usaha.” Menurut Hilgard dalam Sadiman belajar adalah ‘learning in process by wich and activity
originates or is changed trough training procedures wheter in laboratory or in natural invironment as
distinguished from changes by factorsnot atributable to training’. Yang berarti: “belajar adalah suatu
proses yang menghasilkan suatu aktifitas baru atau yang mengubah aktifitas dengan perantara latihan
baik di dalam laboratorium maupun di lingkungan alam, yang berbeda dengan perubahan-perubahan
yang tidak disebutkan dalam latihan.” Chaplin (dalam Dictionary of Psicology)membatasi belajar dengan
dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi ‘....acquistion of any relatively permanent change in
behavior as a result of practice and experience’ (belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang
relative menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman). Rumusan keduanya adalah “proces of
acquiring responses as aresult of special praktice” (belajar adalah proses memperoleh respon-respon
sebagai akibat adanya latihan khusus).

Dalam pendahuluan Teaching for learning : The view fromcognitive physycology mendefinisikan belajar
dalam tiga macam rumusan, yaitu rumusan kuantitatif; instruksional; kualitatif. Secara kuantitatif belajar
berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya.
Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai peserta didik.
Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan)
terhadap penguasaan peserta didik atas materi-materi yang telah dipelajari. Pengertian belajar secara
kualitatif adalah belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang
berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi peserta didik.
Belajar adalah suatu proses yang komplek yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur
hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seorang telah belajar
sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut
menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan dan keterampilan maupun yang menyangkut
nilai dan sikap.

Belajar menurut Gagne merupakan kegiatan yang komplek. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah
belajar orang yang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut

adalah dari:

1. Stimulasi yang berasal dari lingkungan.

2. Proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar.

Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan,
melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru, 24 sedangkan menurut Gagne dalam Dimyati
dan Mudjiono belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal; kondisi internal; hasil
belajar. Menurut Walker dikatakan bahwa “belajar adalah perubahan perbuatan sebagai akibat dari
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran.

Pengertian ini didukung dan lebih ditegaskan oleh Joni yang mengatakan bahwa “belajar adalah
perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses menjadi matangnya seseorang atau perubahan

insingtif atau yang bersifat temporer”.26 Sunaryo mengatakan bahwa pengertian mengajar dapat
ditelusuri dari peranan guru dalam proses belajar mengajar. Apa yang diperbuat oleh guru dalam proses
belajar mengajar adalah mengajar. Pada awal perkembangan proses belajar mengajar, peranan seorang
guru terutama sebagai penyebar informasi. Guru berceramah kepada peserta didik, memelihara

disiplin di kelas dan mengevaluasi tiap-tiap peserta didik secara hati-hati dengan tanya jawab.

Proses adalah kata yang berasal dari bahasa Latin processus yang berarti “berjalan ke depan’. Kata ini
mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan.
Dalam psikologi belajar, proses berarti cara atau langkah khusus yang dengannyabeberapa perubahan
ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu

Menurut Sadiman dkk, mengatakan “bahwa proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses
komunikasi”, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui media tertentu ke penerima

pesan. Pesan, sumber pesan, media dan penerima pesan adalah komponen proses komunikasi. Pesan
yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun didikan yang ada dalam kurikulum

Tahap-Tahap dalam Proses Pembelajaran.

a. Menurut Bruner.
Karena belajar itu merupakan aktifitas yang berproses, sudah tentu di dalamnya terjadi perubahan-
perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang antara

satu dengan yang lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional.

Dalam proses pembelajaran peserta didik menempuh tiga tahap yaitu :

1) Tahap informasi (tahap penerimaan materi).

2) Tahap transformasi (tahap pengubahan materi).

3) Tahap evaluasi (tahap penilaian materi).

Tahap informasi, pada tahap ini seorang peserta didik yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara informsi yang diperoleh itu ada yang

sama sekali baru dan berdiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus dan
memperdalam pengetahuan yang sebelumnya tidak dimiliki.

Tahap kedua adalah tahap transformasi, pada tahap ini informasi yang di peroleh itu dianalisis, diubah,
atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya
dapat dimanfaatkan dalam hal-hal yang lebih luas.

Setelah memasuki kedua tahap tersebut, peserta didik memasuki tahap yang terakhir yaitu tahap
evaluasi, dimana seorang peserta didik menilai sendiri sejauh mana informasi yang telah
ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang
dihadapi.

b. Menurut Witting.

Menururt Witting dalam bukunya Psichology of Learning, setiap proses belajar selalu berlangsung dalam
tiga tahapan yaitu:

1) Acquistion (tahap perolehan informasi).

2) Storage (tahap penyimpanan informasi).

3) Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)

Tingkatan acquistion merupakan tahapan, dimana seorang peserta didik mulai menerima informasi
sebagai stimulus dan melakukan respon terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku
baru dalam keseluruhan perilakunya. Proses ini dalam belajar merupakan tahapan yang paling
mendasar. Kegagalan pada tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap berikutnya. Penerimaan
informasi kemudian dilanjutkan pada tahap penyimpanan informsi atau tahap storage, dimana seorang
peserta didik secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang
ia peroleh ketika menjalani proses acquistion.
Proses selanjutnya yaitu masuk pada tingkatan retrieval, dimana seorang peserta didik akan
mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau
memecahkan masalah. Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dala
mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori berupa informasi,

simbol, pemahaman dan perilaku tertentu sebagai respon atas stimulus yang dihadapi.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran.


Semua kegiatatan, secara alami memiliki beberapa faktor yang bias mempengaruhi, baik itu yang
bersifat menghambat ataupun sebaliknya.

Proses pembelajaranpun mempunyai faktor yang mempengaruhinya.

Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran dapat digolongkan menjadi
dua bagian besar, yaitu

• Faktor internal.

• Faktor eksternal

Yang tergolong faktor internal adalah segala faktor yang bersumber dari dalam diri subyek yang belajar.
Seperti faktor fisiologis dan faktor psikologis, sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah segala
faktor yang bersumber dari luar diri subyek yang belajar. Seperti faktor lingkungan belajar dan faktor
sistem instruksional

a. Faktor Internal

1) Faktor fisiologis.

Yang tergolong dalam faktor fisiologis antara lain adalah penglihatan, pendengaran dan kondisi
fisiologis. Apabila penglihatan dan pendengaran terganggu maka hal ini akan dapat menghambat subyek
dalam belajar. Gangguan ini antara lain di dalam memperoleh atau mencari informasi, dalam mencari
catatan atau buku, sewaktu melakukan pengamatan atau observasi. Baiknya fungsi panca indera
merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung dengan baik. Dalam sistem persekolahan dewasa ini
diantara panca indera itu paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Karena itu
adalah menjadi kewajiban bagi setiap pendidik untuk menjaga, agar panca indera anak didiknya dapat
berfungsi dengan baik, baik penjagaan yang bersifat preventif, seperti dengan adanya pemeriksaan
dokter secara periode, penyediaan alat-alat pelajaran serta perlengkapa yang memenuhi syarat, dan
penempatan murid-murid secara baik di kelas (pada sekolah-sekolah), dan sebagainya.

Demikian pula halnya dengan kondisi fisiologis, yaitu kesegaran jasmani, keletihan, kekurangan gizi,
kurang tidur, kesehatan yang diderita hal ini mempengaruhi dalam prosesbelajar mengajar termasuk
pendengaran dan penelihatan pada waktu belajar jugaa dipengaruhi oleh kondisi fisiologis.

Keadaan tonus (tegangan otot) jasmani pada umumny dapat dikatakan melatar belakangi aktifitas
belajar, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar.
Nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani,
yang membawa pengaruh seperti kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah dan sebagainya. Beberapa
penyakit kronis sangat mengganggu belajar, seperti pilek, influinza, sakit gigi, batuk dan sejenisnya,

penyakit tersebut biasanya diabaikan karena dianggap tidak cuikup serius untuk mendapatkan perhatian
dan pengobatan, akan tetapi pada kenyataannya penyakit seperti ini sangat mengganggu aktifitas
belajar.

2) Faktor Psikologis.

Suryabrata mengatakan bahwa hal-hal yang mendorong seseorang untuk belajar adalah:

a) Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.

b) Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalau maju.

c) Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru dan teman-teman.

d) Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan
kooperasi maupun dengan kompetisi.

e) Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran

f) Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar.

Faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar mengajar antara lain: tingkat kecerdasan, sikap
peserta didik, bakat peserta didik, minat peserta didik dan motifasi peserta didik.

b. Faktor Eksternal.

1) Faktor lingkungan belajar.

Yang tergolong dalam faktor lingkungan belajar adalah factor lingkungan belajar di dalam sekolah dan di
luar sekolah. Lingkungan belajar di dalam sekolah terdiri dari :

a) Lingkungan alam.

Seperti suhu, pertukaran udara dan cahaya, penerangan serta tumbuh-tumbuhan di dalam areal
lingkungan sekolah.

b) Lingkungan fisik.

Seperti gedung, instalasi, konstruksi, dan tata letak serta perlengkapan belajar yang digunakan.

c) Lingkungan sosial.

Seperti suasana hubungan timbal balik antara semua elemen yang terlibat dalam kegiatan belajar teman
sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar peserta didik. Dampak dari lingkungan alam di dalam
sekolah yang menyenangkan dapat mempertinggi ketekunan dan semanga peserta didik dalam belajar.
2) Faktor sistem instruksional

a) Kurikulum.

Perubahan kurikulum yang terlalu cepat atau berubah-ubah dalam waktu yang relatif pendek akan
membawa dampak yang negatif bagi peserta didik.

b) Bahan ajar.

Bagaimana derajat kesukaran bahan, aspek yang mau dikembangkan atau domain tingkah laku, jenis
bahan, luas dan jumlah bahan perlu diperhatikan dan dipertimbangkan bagi peserta didik.

c) Metode penyampaian.

Apabila dalam memilih metode penyajian tidak sesui dengan hakekat tujuan pengajaran, bahan belajar
yang disajikan dan tingkat perkembangan peserta didik hal ini akan mempersulit bagi peserta didik yang
belajar.

5. Broken Home
Broken home adalah suatu keadaan keluarga yang ditandai dengan perceraian orangtua, atau mereka
yang mempunyai orang tua tungga (Single Parent)”(Ikawati, n.d.). Broken home adalah keluarga yang
tidak normal”. Keadaan keluarga yang kurang menguntungkan dapat menyebabkan terganggunya
perkembangan remaja yang dapat menimpulkan kenakalan remaja dan gangguan psikologis seperti stres
(Barseli, Ifdil, & Nikmarijal, 2017; Sandra, & Ifdil, 2015), kecemasan dan depresi. Yang dimaksud kasus
Broken Home dapat dilihat dari dua aspek yaitu (1) keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh
sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai, (2) orang tua tidak
bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak di rumah, atau
tidak memperlihatkan kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu
tidak sehat secara psikologis. Hal tersebut juga menyebabkan ketidakberfungsiaan keluarga yang
menyebabkan broken home, pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya, retaknya struktur peran sosial
jika satu/beberapa anggotakeluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka dengan baik (Rahmi,
Mudjiran, & Nurfahanah, 2016)

Broken Home terjadi akibat dari perpecahan suatu unit keluarga, terputus atau retaknya struktur
keluarga, sehingga fungsi dari keluarga tidak bejalan dengan baik.“Keluarga broken home adalah
keluarga yang mengalami disharmonis antara ayah dan ibu”(Fahlevi, 2016) . bahwa “Broken Home
merupakan suatu kondisi keluarga yang tidak harmonis dan orangtua tidak lagi menjadi tauladan yang
baik untuk anak- anaknya”. Hal yang tidak kalah mengherankan adalah “broken home terjadi apabila
struktur keluarga itu tidak utuh lagi, misalnya karena kematian salah satu orang tua atau perceraian,
kehidupan keluarga tidak harmonis lagi”(Yunistiati, Djalali, & Farid, 2014).Jadi dapat disimpulkan bahwa
broken home adalah suatu keadaan yang tidak menguntungkan di dalam keluarga, seperti perceraian,
kematian pasangan, maupun kehidupan di dalam keluarga yang tidak harmonis lagi (Pratama, Syahniar,
& Karneli, 2016) Penyebab Broken Hom Menurut Sanusi (2006) sebab- sebab timbulnya kondisi keluarga
Broken Home yaitu:
(1)Perceraian yang memisahkan antara seorang istri dan seorang suami yang tidak tinggal dalam satu
rumah, menunjukkan tidak ada lagi rasa kasih sayang sebagai dasar perkawinan yang telah terbina
karena telah goyah dan tidak mampu menopang keutuhan keluarga yang harmonis.(2)Perselingkuhan,
baik yang dilakukan oleh suami maupun istri.(3)Maternal deprivation, ini bisa terjadi misalnya, kedua
orangtua bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah mereka tidak sempat bercanda dengan
anak- anak mereka. Kenyataan perceraian orang tua, tak dapat dihindari ketika terjadi masalah pada
orangtua, baik pada pihak bapak atau pihak ibu. Selain itu dapat pula perceraian disebabkan oleh
adanya pihak ketiga. Bagi anak, apapun penyebab perceraian orang tuanya merupakan pukulan
psikologis yang cukup berat, sehingga dapat menyebabkan disharmonisasi hubungan anak-orangtua dan

disorientasi anak (Baskoro, 2008)

Disharmonis itulah yang menyebabkan Perceraian sebagai tindakan yang akan diambil oleh pasangan
suami istri untuk memutuskan ikatan pernikahannya, baik secara bathin maupun lahir dan disahkan oleh
pihak pengadilan (Manjorang & Aditya, 2015), sehingga tidak adanya lagi tanggung jawab diantara
keduanya baik lahir maupun bathin.

6. Dampak Broken Home


Dampak dari perceraian orangtua: (1) anak kurang mendapat perhatian, kasih sayang, dan tuntunan
pendidikan orangtua, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta
konflik batin sendiri, (2) kebutuhan fisik maupun psikis remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan
harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapat kompensasinya, (3)
anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup
susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol diri yang baik (P. P. Sari, 2015).

Beberapa dampak yang muncul dari seseorang yang mengalami broken home antara lain :Academic
Problem (Warga, 2014) seseorang yang mengalami Broken Home akan menjadi orang yang malas
belajar, dan tidak bersemangat serta tidak berprestasi, Behavioural Problem, mereka mulai
memberontak, kasar, masa bodoh, memiliki kebiasaan merusak, seperti mulai merokok, minum-
minuman keras, judi dan lari ketempat pelacuran.,Sexual problem, krisis kasih mau coba ditutupi dengan
mencukupi kebutuhan hawa nafsu,Spiritual problem, mereka kehilangan Father’s figure sehingga tuhan,
pendeta atau orang-orang rohani hanya bagian dari sebuah sandiwara kemunafikan (Pebrilian, 2015).

Dari segi kejiwaan ( psikologis ), seseorang yang mengalami broken home akan berakibat seperti :Broken
Heart, seseorang akan merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia sia
dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk si individu tersebut menjadi orang yang krisis kasih
dan biasanya lari kepada yang bersifat keanehan sexual.

Misalnya sex bebas, homo sex, lesbian, jadi simpanan orang, tertarik dengan istri atau suami orang lain
dan lain-lain (Amin, 2018), Broken Relation Seseorang merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di
hargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani (Astuti, 2015).
Kecenderungan ini membentuk si individu menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal
ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain, cenderung “semau gue”,
Broken Values (Prabandani & Santoso, 2017) seseorang kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar.
Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang
”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”, pokoknya apa saja yang menyenangkan saya
lakukan, apa yang tidak menyenangkan tidak saya lakukan.

Ciri- ciri Remaja Broken Home


Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata Belanda, adolescentia yang
berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Nasution, 2007). Istilah adolescence,
seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional,
spasial dan fisik. Masa Remaja adalah masa pencaharian suatu identitas menuju kedewasaan (Sumantri,
2014). remaja adalah masa peralihan dari anak- anak menjuu dewasa meliputi segala aspek baik aspek
fisik, mental, sosial, dan emosional yang berlangsung pada usia 12 tahun sampai 22 tahun (Anak, 1995).
Karakteristik umum perkembangan remaja: kegelisahan,pertentangan,aktivitas berkelompok,
menghayal kegelisahan,keinginan mencoba segala sesuatu (Sholiha, Narulita, & Mardhiah, 2014).

Tugas- tugas perkembangan remaja adalah: Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewa ,
mencapai kemandirian ekonomi , mengembangkan konsep dan kemampuan intelektual yang sanagt
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat, memahami dan menginternalisasi nilai-
nilai orang dewasa dan orang tua ,mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan,memahami dan
mempersiapkan berbagai tanggung (Aisyah & Ag, 2015).

Ciri- ciri Remaja Broken Home adalah sebagai berikut:

Berperilak nakal,Mengalami depresi,melakukan hubungan seksual secara aktif (free sex),kecenderungan


terhadap obat- obatab terlarang. Selain itu perilaku remaja broken home lainnya dapat berupa sering
membolos, terlibat kenakalan (bahkan ditangkap/diadili), dikeluarkan atau di skors karena berkelakuan
buruk (Aroma & Suminar, 2012) seringkali lari dari rumah (minggat), selalu berbohong, melakukan
hubungan seks meski belum akrab, mabuk miras dan pengguna narkotika, mencuri, merusak barang
milik orang lain, prestasi rendah, melawan otoritas, dan perkelahian dan“minggat” broken home
menjadi salah satu tanda remaja yang antisosial (Kartono, 2005). Menurut Supratiknya (1995) Ciri- ciri
dari remaja broken home lainnya dapat terlihat dari indikator masalah kesehatan mental pada remaja
yang lainnya adalah : suka mengganggu hak orang lain atau melanggar hukum, melakukan perbuatan
yang dapat mengancam kehidupan pribadi remaja, menghindari persahabatan atau senang hidup
menyendiri, sering menampilkan perilaku yang kurang baik atau melakukan kenakalan dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai