Anda di halaman 1dari 7

Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERCERAIAN DALAM


KEHIDUPAN KELUARGA

Agoes Dariyo
Dosen Fakultas Psikologi Universitas INDONUSA Esa Unggul, Jakarta
agoes_dariyo@yahoo.com

ABSTRACT
Nobody hope the divorce in their family. Everyone want to be the happy life in
their married. They always to try to build and develop the family interaction
system in order to create the dynamic of family relationship. If they have conflict
of emotional, problems of family, financial, educational, health etc, a couple try to
discuss, communicate or negotiate to the others. Communication is a way to reach
the problem solving in their family life. But sometime a couple of family can’t to
create the effective problem solving. Finally they choice the best way. They agree
to make a choice to solve their problems. They get the divorce. This article want
to describe and explain about the definition, divorce process and impact it.

Keywords: divorce, divorce process, family

Pendahuluan melalui berbagai cara dalam kehidupan


Definisi perceraian keluarga. Masing-masing tetap memper-
Perceraian (divorce) merupakan tahankan pendirian, keinginan dan
suatu peristiwa perpisahan secara resmi kehendak sendiri, tanpa berupaya untuk
antara pasangan suami-istri dan mereka mengalah demi tercapainya keutuhan
berketetapan untuk tidak menjalankan keluarga. Ketidakmauan dan ketidak-
tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. mampuan untuk mengakui kekurangan
Mereka tidak lagi hidup dan tinggal diri sendiri dan atau orang lain,
serumah bersama, karena tidak ada ikatan menyebabkan suatu masalah yang sepele
yang resmi. Mereka yang telah bercerai menjadi besar, sehingga berakhir dengan
tetapi belum memiliki anak, maka sebuah perceraian.
perpisahan tidak menimbulkan dampak Walaupun ajaran agama melarang
traumatis psikologis bagi anak-anak. untuk bercerai, akan tetapi kenyataan
Namun mereka yang telah memiliki seringkali tak dapat dipungkiri bahwa
keturunan, tentu saja perceraian perceraian selalu terjadi pada pasangan-
menimbulkan masalah psiko-emosional pasangan yang telah menikah secara
bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson & resmi. Tidak peduli apakah sebelumnya
DeFrain, 2003). Di sisi lain, mungkin saja mereka menjalin hubungan percintaan
anak-anak yang dilahirkan selama mereka cukup lama atau tidak, romantis atau
hidup sebagai suami-istri, akan diikut- tidak, dan menikah secara megah atau
sertakan kepada salah satu orang tuanya tidak, perceraian dianggap menjadi jalan
apakah mengikuti ayah atau ibunya terbaik bagi pasangan tertentu yang tidak
(Olson & DeFrain, 2003). mampu menghadapi masalah konflik
rumah tangga atau konflik perkawinan.
Perceraian merupakan sebuah Sepanjang sejarah kehidupan manusia,
fakta. perceraian tidak dapat dihentikan dan
Baik suka maupun tidak suka (like terus terjadi, sehingga banyak orang
or dislike), perceraian merupakan sebuah merasa trauma, sakit hati, kecewa,
fakta yang terjadi antara pasangan suami- depressi dan mungkin mengalami
istri, akibat perbedaan-perbedaan prinsip garigguan jiwa akibat perceraian tersebut.
yang tidak dapat dipersatukan lagi

Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004 94


Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

Faktor-faktor penyebab perceraian keuangan tersebut akan dapat


Perceraian sebagai sebuah cara menegakkan kebutuhan ekonomi
yang harus ditempuh oleh pasangan keluarganya. Sebaliknya dengan adanya
suami-istri ketika ada masalah-masalah kondisi masalah keuangan atau ekonomi
daiam huhungan perkawinan mereka tak akan berakibat buruk seperti kebutuhan-
dapat diselesaikan dengan baik. kebutuhan keluarga tidak dapat terpenuhi
Perceraian bukanlah tujuan akhir dari dengan baik, anak-anak mengalami
suatu perkawinan, akan tetapi sebuah kelaparan, mudah sakit, mudah
bencana yang melanda mahligai menimbulkan konfliks pertengkaran
perkawinan antara pasangan suami-istri. suami-istri, akhirnya berdampak buruk
Menurut para ahli, seperti Nakamura dengan munculnya perceraian (Nakamura,
(1989), Turner & Helms (1995), Lusiana 1990).
Sudarto & Henny E. Wirawan (2001), ada Di sisi lain, ada keluarga yang
beberapa faktor penyebab perceraian berkecukupan secara finansial, namun
yaitu a) kekerasan verbal, b) masalah atau suami memiliki perilaku buruk yaitu
kekerasan ekonomi, c) keterlibatan dalam berupaya membatasi sumber keuangan
perjudian, d)keterlibatan dalam penya- kepada istrinya. Hal ini dinamakan
lahgunaan minuman keras, e) perse- kekerasan ekonomi. Yang dimaksud
lingkuhan. Namun demikian, mereka dengan kekerasan ekonomi yaitu suatu
tidak memerinci secara jelas faktor-faktor kondisi kehidupan finansial yang sulit
penyebab tersebut. dalam melangsungkan kegiatan rumah
tangga, akibat perlakuan sengaja dari
Kekerasan verbal pasangan hidupnya, terutama suami.
Kekerasan verbal (verbal Walaupun seorang suami berpenghasilan
violence) merupakan sebuah penga- secara memadai, akan tetapi ia membatasi
niayaan yang dilakukan oleh seorang pemberian uang untuk kegiatan ekonomi
pasangan terhadap pasangan lainnya, rumah tangga, sehingga keluarga merasa
dengan menggunakan kata-kata, kekurangan dan menderita secara
ungkapan kalimat yang kasar, tidak finansial.
menghargai, mengejek, mencaci-maki,
menghina, menyakiti perasaan dan Masalah perilaku buruk seperti
merendahkan harkat-martabat. Akibat kebiasaan berjudi
mendengarkan dan menghadapi perilaku Perjudian (gambling) merupakan
pasangan hidup yang demikian, membuat aktivitas seseorang untuk memperoleh
seseorang merasa terhina, kecewa, terluka keberuntungan yang lebih besar dengan
batinnya dan tidak betah untuk hidup mempertaruhkan sejumlah uang tertentu.
berdampingan dalam perkawinan. Seorang suami seharusnya mengang-
garkan kebutuhan finansial untuk
Masalah ekonomi-finansial. keperluan keluarga secara bijaksana.
Salah satu faktor keberlangsungan Penghasilan yang diperoleh melalui usaha
dan kebahagiaan sebuah perkawinan atau bekerja, dipergunakan untuk
sangat dipengaruhi oleh kehidupan mencukupi kebutuhan keluarga dan
ekonomi-finansialnya. Kebutuhan-kebu- sebagian lagi ditabung (investasi) untuk
tuhan hidup akan dapat tercukupi dengan keperluan masa depan, seperti keperluan
baik bila pasangan suami-istri memiliki membeli rumah, mobil atau, pendidikan
sumber finansial yang memadai. Dalam anak-anak. Namun ketika seorang suami
masyarakat tradisional maupun modern, melupakan atau mengabaikan kebutuhan
seorang suami tetap memegang peran keluarga, sehingga semua penghasilan
besar untuk menopang ekonomi keluarga, dipertaruhkan untuk kegiatan perjudian,
sehingga mau tidak mau seorang suami maka hal ini sangat mengecewakan bagi
harus bekerja agar dapat memiliki istri maupun anak-anak. Mereka tidak
penghasilan. Oleh karena itu, dengan dapat menikmati kehidupan yang

95 Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004


Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

sejahtera dan selalu menderita secara mengarahkan anak-anak untuk tumbuh


finansial. Oleh karena itu, mereka protes dewasa. Namun akibat pengaruh
dan menggugat untuk bercerai dari suami, ketergantungan alkohol atau obat-obatan,
daripada hidup dalam penderitaan yang sehingga gambaran suami dan ayah yang
berkepanjangan. Sebab judi tak akan bijaksana tak dapat dipenuhi dengan baik,
pernah menyebabkan seseorang menjadi tetapi justru berperangai sangat buruk.
kaya-raya, tetapi selalu membawa Hal ini tentu menyebabkan penderitaan
kesengsaraan hidup. dan tekanan batin bagi isiri maupun anak-
anaknya. Dengan dasar pemikiran
Perselingkuhan tersebut, akhirnya seorang istri dapat
Perselingkuhan merupakan menggunggat untuk bercerai dari
sebuah perzinaan yang dilakukan oleh suaminya.
seseorang terhadap orang lain yang bukan
menjadi pasangan hidup yang syah, Pengalaman sebelum dan men-
padahal ia telah terikat dalam perkawinan jelang perceraian
secara resmi dengan pasangan hidupnya. Pasangan suami-istri yang akan
Jadi perselingkuhan sebagai aktivitas bercerai merasakan bahwa sebuah
hubungan sexual di luar perkawinan perkawinan yang dibina sejak awal
(extra-marital sexual relationship) seolah-olah tidak dapat dilanjutkan lagi
(Soesmaliyah Soewondo, 2001) dan karena terjadi ketidak-cocokkan yang
mungkin semula tidak diketahui oleh menyebabkan konflik, pertengkaran atau
pasangan hidupnya, akan tetapi lama percekcokkan terus menerus. Padahal
kelamaan diketahui secara pasti ketika mereka memutuskan untuk
(Satiadarma, 2001). Oleh karena itu, menikah, mereka merasa sudah cocok dan
seseorang akan merasa sangat kecewa, menganggap bahwa orang yang
sakit hati, sedih, stress dan depresi setelah dinikahinya adalah satu-satunya orang
mengetahui bahwa pasangan hidupnya yang dapat membahagiakan hidupnya.
melakukan parselingkuhan, sebab dirinya Mereka berjanji sehidup-semati di
telah dikianati secara diam-diam. Akibat hadapan penghulu, pengadilan agama atau
semua itu, kemungkinan seseorang di gereja. Mereka juga berjanji bahwa
memilih untuk bercerai dari pasangan hanya kematian-lah yang akan
hidupnya (Lusiana Sudarto & Henny E. memisahkan hubungan perkawinan
Wirawan, 2001). Perselingkuhan dapat mereka. Namun ketika mereka
dilakukan oleh siapa saja yaitu tergantung menyatakan bahwa mereka sudah tidak
siapa yang melakukannya apakah cocok lagi, maka berarti mereka
dilakukan oleh seorang suami atau inelakukan pengingkaran terhadap janji
seorang istri (Satiadarma, 2001) pernikahannya.
Konfliks suami-istri dapat men-
Penyalahgunaan narkoba jadi pemicu perceraian bila tidak
Banyak orang yang memiliki terselesaikan dengan baik-baik. Konfliks-
perilaku temperamental, agresif, kasar konflik tersebut juga dipengaruhi oleh
dan tidak bisa mengendalikan emosi, berbagai faktor yang mungkin
akibat penyalah-gunaan dan terakumulasi selama beberapa waktu
ketergantungan terhadap minum- sebelumnya, namun kurang mendapat
minuman keras atau narkoba (narkotika perhatian serius dan tidak terselesaikan
dan obat-obatan terlarang). Sebagai secara tuntas, akibatnya mempengaruhi
suami, seharusnya dapat bersikap bijak- perilaku emosional pasangan suami-Istri.
sana, sabar dan membimbing istrinya. Puncak konflik yang tidak dapat
Demikian pula, ketika berperan sebagai dibendung lagi akan menimbulkan
ayah, maka perilaku seorang laki-laki perseturuan terbuka dan seringkali harus
dewasa dapat menunjukkan pribadi yang melibatkan pihak ke tiga untuk proses
matang untuk membina, mendidik dan

Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004 96


Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

penyelesaiannya, seperti pihak lembaga Setelah bercerai, masing-masing


pengadilan. btkas pasangan suami-istri tidak lagi
memiliki kebersamaan dalam mendidik
Tahap-tahap proses perceraian anak-anak mereka, karena mereka telah
Paul Bahanon (dalam Turner & hidup terpisah dan sendiri lagi, seperti
Helms, 1995; Dariyo, 2003; Soesmaliyah sebelum menikah. Perceraian koparental
Soewondo, 2001), seorang ahli psikologi (coparental divorce) tidak mempengaruhi
keluarga mengungkapkan bahwa perceraian fungsi mereka sebagai orangtua yang
itu terjadi melalui sebuah proses. Perceraian tetap harus berkewajiban untuk mendidik,
yang dialami oleh pasangan suami-istri membina dan memelihara anak-anak
terjadi melalui beberapa tahap. Ini artinya mereka. Mereka tetap berkewajiban untuk
perceraian merupakan sebuah akhir dari mengajak komunikasi dan memberi kasih-
proses yang didahului dengan peristiwa- sayang kepada anak-anak, walaupun tidak
peristiwa tertentu sesuai dengan kondisi secara utuh. Untuk melaksanakan tugas
hubungan pasangan suami-istri, seperti pengasuhan pasangan yang sudah
adanya perselingkuhan, apakah bercerai, maka mereka akan melakukan
perselingkuhan dimulai oleh pasangan laki- perjanjian-perjanjian yang disepakati
laki atau wanita, maka proses perceraian bersama, agar anak-anak benar-benar
sedang terjadi, sehingga masing-masing merasakan kasih sayang dan perhatian
pasangan siap untuk berpisah antara satu dari orangtuanya.
dengan yang lain (Satiadarma, 2001). Lebih Dalam kenyataan, banyak
lanjut, Paul Bahanon menyatakan bahwa orangtua yang merasa kecewa, terluka
ada beberapa tahap dalam proses dan depressif, akibatnya tak mampu
perceraian. melaksanakan tugas koparental secara
utuh dan berkesinambungan. Peristiwa
Perceraian financial perceraian selalu membayangi pikiran dan
Perpisahan antara pasangan suami- perasaannya, sehingga sulit terlupakan,
istri signifikan dalam hal keuangan akibatnya komitmen koparental
(financial divorce), untuk memberi uang terbengkelai sehingga anak-anak semakin
belanja keluarga kepada istrinya. Demikian menjadi korban penelantaran dari
pula, istri tidak memiliki hak untuk orangtua biologis (Satiadarma, dalam
meminta jatah uang belanja keluarqa, Gunarsa, 2004). Hal ini sudah dapat
kecuali masalah keuangan yang ditebak akibatnya. Anak-anak pun
dipergunakan untuk memelihara anak- semakin terluka, kecewa, sedih dan sakit
anaknya. Walaupun sudah bercerai, namun hati atas perlakuan demikian. Ibaratnya
sebagai ayah, ia tetap berkewajiban untuk mereka sudah jatuh dari tangga dan
merawat, membiayai dan mendidik anak- kemudian tertimpa tangga lagi, sehingga
anak. semakin parah keadaannya. Jadi anakanak
Meski mereka sudah berstatus tumbuh dan berkembang dalam suasana
janda atau duda akibat perceraian, mereka dan situasi yang tidak menguntungkan,
tetap merupakan orangtua biologis terhadap sehingga menjadi manusia dewasa yang
anak-anak yang dilahirkan dalam sebuah tidak utuh dan mengalami keterbelahan
perkawinan yang sah sebagai anggota jiwa (gangguan keseimbangan jiwa).
keluarga. Adanya fakta tersebut membawa
konsekuensi kewajiban yang melekat Perceraian Hukum
secara alamiah bagi orangtua untuk tetap Perceraian secara resmi ditandai
memberikan biaya perawatan dan dengan sebuah keputusan hukum melalui
pemeliharaan terhadap anak-anak, sampai pengadilan (law divorce). Bagi mereka
mereka sudah mandiri atau menginjak yang beragama muslim, pengadilan
usia tertentu (misalnya usia 24 tahun, agama akan mengeluarkan keputusan
setelah lulus dari pendidikan sarjana). talak I, II dan III sebagai landasan hukum
Perceraian koparental perceraian antara pasangan suami-istri.
Sedangkan pasangan yang non-muslim;

97 Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004


Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan tidak dapat dipercaya untuk
maupun Budha), pengadilan umum mengemban misi perkawinan. Akibatnya
negara atau kantor catatan sipil berperan komunitas tempat pekerjaan mengambil
untuk memutuskan dan mengesyahkan sikap atau menjaga jarak selama jangka
perceraian mereka. Dengan keluarnya waktu tertentu, sampai kemudian terjadi
keputusan resmi tersebut, maka masing- pemahaman yang benar terhadap
masing individu bekas pasangan suami- permasalahan yang menimbulkan
istri, memiliki hak yang sama untuk perceraian tersebut, sehingga terjadi
menentukan masa depan hidupnya sendiri pemulihan hubungan komunitas tempat
tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Kini pekerjaan.
mereka memiliki status yang baru yaitu
sebagai janda atau sebagai duda. Perceraian secara psiko-emosional
Oleh karena itu, mereka berhak Sebelum bercerai secara resmi,
untuk menikah lagi dengan orang lain adakalanya masing-masing individu
yang dianggap cocok dengan dirinya. merasa jauh secara emosional dengan
Mereka tidak perlu merasa takut terhadap pasangan hidupnya (psycho-emotional
siapapun dalam mengambil keputusan divorce), walaupun mungkin mereka
tersebut, karena telah bercerai resmi masih tinggal dalam satu rumah.
secara hukum. Dengan demikian, mereka Pertemuan secara fisik, tatap muka,
tidak dianggap sebagai suatu berpapasan atau hidup serumah; bukan.
perselingkuhan apabila berpacaran, tolok ukur sebagai tanda keutuhan
bertunangan dan maupun menikah dengan hubungan suami-istri. Masing-masing
orang lain. mungkin tidak bertegur-sapa,
berkomunikasi, acuh tak acuh, “cuek”,
Perceraian Komunitas tidak saling memperhatikan dan tidak
Menikah merupakan upaya untuk memberi kasih-sayang. Kehidupan
mengikatkan 2 (dua) komunitas budaya, mereka terasa hambar, kaku, tidak
adat-kebiasaan, sistem sosial-kekerabatan nyaman, dan tidak bahagia. Dengan
maupun kepribadian yang berbeda agar demikian, dapat dikatakan walaupun
menjadi satu. Mereka bukan lagi sebagai secara fisik berdekatan, akan tetapi
dua orang individu yang berbeda tetapi mereka merasa jauh dan tidak ada ikatan
telah menganggap dirinya sebagai satu- emosional sebagai pasangan suami-istri.
kesatuan yang utuh dalam keluarga. Apa Ikatan emosional yang telah
yang mereka miliki akan menjadi milik terbentuk sejak jatuh cinta dan
bersama. Namun ketika mereka telah berkembang dan ketika masing-masing
resmi bercerai, maka masing-masing pasangan mengucapkan ikrar kesetiaan
individu akan kembali pada komunitas dalam acara ritual perkawinan, sejak
sebelumnya. Jadi mereka mengalami terjadi perceraian, maka ikatan emosional
perpisahan komunitas (community tersebut telah hancur dan masing-masing
divorce). Mereka tidak lagi akan mencoba untuk merepress ke dalam alam
berkomunikasi, berhubungan atau sadar. Seolah-olah mereka tidak pernah
mengadakan kerja-sama dengan bekas melakukan suatu perkawinan yang resmi,
pasangan hidupnya, mertua, atau atau menganggap sebagai sebuah mimpi,
komunitas masyarakat sebelumnya. sehingga pikiran dan perasaan mereka
Tidak dapat dipungkiri bahwa mencoba untuk meniadakan unsur fakta
perceraian komunitas keluarga juga sejarah perkawinan yang pernah
mempengaruhi relasi dengan komunitas dialaminya.
tempat pekerjaan. Atasan maupun teman-
teman sekerja mempersepsikan hal-hal Perpisahan secara fisik
yang buruk terhadap seseorang yang Perpisahan secara fisik (physical
bercerai yaitu gagal dan tidak mampu divorce) ialah suatu kondisi di mana
mengurus keluarga, tidak sanggup masing-masing individu tidak lagi tinggal
membina cinta dengan pasangan hidup

Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004 98


Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

dalam satu rumah dan telah menjauhkan Dariyo, A, “Psikologi perkembangan


diri dari bekas pasangan hidupnya. dewasa muda”, Grasindo, Jakarta,
Masing-masing tinggal di rumah atau 2003.
tempat yang berbeda. Mereka benar-benar
tidak bertemu secara fisik dan tidak lagi ------------, ”Psikologi perkembangan
berkomunikasi secara intensif. Dengan remaja”, Ghalia Indonesia, Jakarta,
demikian, mereka tidak memperoleh 2004.
kesempatan untuk melakukan hubungan
sexual lagi dengan bekas pasangan Gunarsa, S. D, ”Konseling dan
hidupnya. Oleh karena itu, mereka harus psikoterapi”, (Cetakan ke-2), BPK
menahan diri untuk tidak menyalurkan Gunung Mulia, Jakarta, 1996.
libido sexual dengan siapa pun.
Perpisahan fisik terjadi setelah mereka --------------------, “Konseling sebagai
berpisah secara hukum melalui kegiatan untuk melakukan
pengadilan. perubahan perilaku”, Jurnal ilmiah
Proses perpisahan secara fisik, psikologi Arkhe, (6), 2, hal. 68-75,
diawa!i dengan suatu kondisi psiko- 2001.
emosional yang tidak seimbang dalam
diri masing-masing pasangan, sehingaa --------------------, ”Prospek kegiatan
mendorong seorang pasangan untuk tidak psikoterapi di masa depan”, Dalam
hertemu muka, tidak berkomunikasi dan makalah seminar psikoterapi
saling mendiamkan dengan partnernya. kerjasama antara Fak. Psikologi
Untar dengan Himpsi Jaya Jakarta.
Kesimpulan Makalah tidak diterbitkan Fak.
Perceraian merupakan sebuah Psikologi Untar, Jakarta, 2003.
fakta yang sering terjadi di tengah
masyarakat kita. Seringkali perceraian ----------------- (ed), ”Anak-anak telantar”,
tidak dapat dihindari oleh pasangan, Dalam bunga rampai psikologi
walaupun keduanya telah berupaya secara perkembangan dari anak sampai
baik-baik mengatasinya, namun tetap lanjut usia BPK Gunung Mulia,
gagal dan menemui jalan buntu. Jakarta, 2004.
Keduanya tentu sudah memikirkan segala
resiko yang harus diterima dan Gunarsa, S.D & Gunarsa, Yulia, S. D,
ditanggung bila keduanya bercerai. ”Psikologi untuk keluarga”,
Mereka menjadi janda atau duda, anak- Gunung Mulia, Jakarta, 2002.
anak tidak memiliki orangtua yang utuh,
hidup merasa tidak bahagia dan Gunarsa, S.D. Yulia, ”Asas-asas psikologi
sebagainya. keluarga idaman”, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2000.
Daftar Pustaka
Amato, P. R, “The consequences of divorce Levinson, D, “Encyclopedia of marriage
for adults and children”, Journal of and the family”, Simon & Schuster
marriage and the family. Vol. 62, Macmillan, New York, 1997.
No. 4. p. 1269-1287, November
2000. Masters, W. H, Johnson, V. E & Kolodny,
R. C, “Human sexuality”, ( 2nd
Atwater, E, “Psychology of adjustment. (2th edition), Little, Brown, Boston,
edition)”, Englevuood Cliffs: 1985.
Prentice Hall, New Jersey, 1983.
Moglia, R. F & Knoewles, J, “All about
sex: A family resource on sex and
sexuality”, Three Rivers Press,
New York, 1993.

99 Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004


Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga

Nakamura, H, “Perceraian orang Jawa”, Sudarto, Lusiana & Wirawan, Henny E,


Gadjah Mada University Press, ”Penghayatan makna hidup
Yogyakarta, 1990. perempuan bercerai”, Jurnal llmiah
Psikologi Arkhe (o), 2, ha1.41-57,
Neale, J.M, Davison, G. C & Haaga, D. A. 2001.
F, “Exploring abnormal
psychology”, John Wiley & Sons. Suryo, “Genetika manusia”, Gadjah Mada
Inc, New York, 1996. Press, Yogyakarta, 1990.

Olson, D. H & DeFrain, J, “Marriage and Turner, J. S & Helms, D. B, “Life-span


family: Intimacy, diversity and development”, (5th edition). Holt,
strengths”, (4"' edition), McGraw- Rinehart & Winston, New York,
Hill, Boston, 2003. 1995.

Papalia, D. E, Olds, S. W & Feldman, R. Walgito, B, ”Psikologi sosial”, Andi Offset,


D, “Human development”, (9"' Yogyakarta, 1987.
edition), McGraw-Hill, Boston,
2004. --------------, “Bimbingan dan konseling
perkawinan”, Penerbit Andi,
Powell, L. H & Cassidy, D, “Family life Yogyakarta, 2001.
education: An introduction”,
Montain View, Mayfield publishing Birch, R. W, “Your introduction to sex
company, California, 2001. therapy: What's it ail about”,
Datam http,_ralcare_s_convthe
Santrock, J. W, “Life-span development”, rapy.hmtl. (dicetak pada tanggal 1
(7th edition), McGrawHill, Boston, Juli 2004).
1999.

Satiadarma, M. P, ”Menyingkapi
perselingkuhan”, Pustaka Populer
Obor, Jakarta, 2001.

---------------------------. “Pertimbangan etika


psikoterapi”, Dalam makalah
seminar psikoterapi kerjasama Fak.
Psikologi Untar dengan Himpsi
Jaya, Jakarta, pada bulan Januari
2003. Makalah tidak diterbitkan,
Fak. Psikologi Untar, Jakarta, 2003.

Soewondo, Soesmaliyah, “Keberadaan


pihak ketiga. poligami dan
permasalahan perkawinan
(keluarga) ditinjau dari aspek
psikologi”, Dalam bunga rampai
Psikologi perkembangan pribadi
dari anak sampai lanjut usia,
Universitas Indonesia Press,
Jakarta, 2001.

Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004 100

Anda mungkin juga menyukai