BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angan-angan masa muda bagi bujangan maupun gadis yang belum
menikah menganggap bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sangat indah.
Namun perlu dipahami bahwa menjalani penikahan adalah suatu hal yang
tidak mudah. Karena pada dasarnya pernikahan adalah menyatukan dua insan
yang berbeda baik sifat, perilaku maupun cara berpikir.
Atas dasar tersebut maka dipernikahan sering mengalami banyak masalah
yang harus dipecahkan bersama-sama anggota keluarga. Karena pada dasarnya
keluarga adalah susunan sosial yang terkecil. Di dalamnya terdapat benyak
perbedaan baik antara pasangan maupun dengan anak. Maka dari itu terkadang
kerap terjadi konflik dalam keluarga karena perbedaan tersebut yang tak
jarang membuat sebuah keluarga berantakan karena tidak bisa mengatasinya.
Maka dari itu pada bab ini akan dijelaskan mengenai konflik keluarga agar
kelak kita bisa menghadapinya bersama seluruh anggota keluarga agar tercipta
keluarga yang saling menguatkan diantara anggotanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konflik keluarga?
2. Bagaimana penyebab konflik keluarga?
3. Bagaimana karakteristik konflik keluarga?
4. Bagaimana bentuk terjadinya konflik keluarga?
5. Bagaimana pengelolaan konflik keluarga?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian konflik keluarga.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebab konflik keluarga.
3. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik konflik keluarga.
4. Untuk mengetahui bagaimana bentuk terjadinya konflik keluarga.
5. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan konflik dalam keluarga.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Tahniatul Alawiyya , Skripsi : Konflik Terselubung Dalam Keluarga : Studi Kasus
Perseteruan Antara Sumai Istri Di Desa Prasung Tambak Kecamatan Buduran Kabupaten
Sidoarjo. (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2017)
2
Damayanti Wardyaningrum, “KOMUNIKASI UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK
DALAM KELUARGA”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol.2, No.1. Maret 2013,
52.
3
3
Evi Meizara Kusuma Dewi Basti, Konflik Perkawinan dan Penyelesaian Konflik Pada
Pasangan Suami Isteri, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, Jurnal Psikologi Volume
2, No. 1, Desember 2008, 47.
4
Sri lestari. Psikologi sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2012), 99.
4
kemsyarakatan dan lain sebagainya. Konflik dalam keluarga akan tetap ada
karena manusia tidak akan pernah lepas dari masalah.5
1. Perasaan Kurang Dihargai
Perasaan kurang dihargai bisa muncul ketika seorang suami atau istri
tidak terlalu diindahkan kata-katanya, keinginannya atau hasil
pekerjaannya oleh pasangan.
2. Cemburu Berlebihan
Cemburu dalam hubungan merupakan hal yang wajar. Namun akan
menjadi masalah ketika seseorang tidak mampu mengontrol perasaan
cemburu.
3. Kurangnya Keterbukaan Dalam Masalah Keuangan
Bagaimanapun masalah keuangan merupakan suatu yang sangat
penting dalam keluarga, suami seharusnya terbuka tentang penghasilan
yang diperoleh, dan sebaliknya istri hendaknya memberikan informasi
kemana uang itu dimanfaatkan sehingga tidak timbul rasa curiga diantara
keduanya.
4. Masalah Hubungan Intim
Hubungan intim adalah pelekat perjalanan rumah tangga. Ketika
urasan ini terganggu maka bisa menimbulkan konflik. Masalah hubungan
intim bisa terjadi akibat ketidak pengertian satu belah pihak. Bisa istri
yang tidak peduli dengan keinginan suami, atau sebaliknya suami tidak
mampu memenuhi keinginan sang istri.
5. Masalah Privasi Masing-Masing
Setiap orang mempunyai privasi yang tidak ingin dingangu oleh orang
lain, sekalipun dengan pasangannya. Jadi ketika seseorang sedang ingin
menikmati privasi, maka hendaknya pasangannya dapat memahami.
Privasi bisa berupa Hobi sejak kecil, atau kebiasaan bersifat positif.
Misalnya suami punya kebiasaan ngumpul sama teman-temannya tentu
akan merasa jengkel ketika kebiasaanya dipermasalahkan oleh sang istri.
5
Darosy Endah, “PERAN KELUARGA DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK”.
Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No. 2, Oktober 2011, 146.
5
salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik; (5) tawar-
menawar atau negotiation, ketika pihak-pihak yang berkonflik saling bertukar
gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan
yang menguntungkan masing-masing; (6) perceraian; dan (7) campur tangan
pihak ketiga atau thirdparty intervention, ketika ada pihak yang tidak terlibat
dalam konflik, menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-
pihak yang berkonflik.
Menurut Firtzpatrick (dalam Theresia, 2002), ada empat cara pasangan
dapat menyelesaikan konflik dalam perkawinan, yaitu menghindari konflik,
mengalah, diskusi, dan kompetensi. Menghindari konflik dilakukan dimana
pasangan memunculkan perilaku yang dapat menghindari mereka dari konflik
yang berkelanjutan, dengan cara mengalihkan pembicaran dari permasalahan
yang sedang dibahas.
Mengalah dilakukan dengan cara salah satu pasangan mengalah terhadap
pasangannya tanpa menyelesaikan konflik yang terjadi. Diskusi dilakukan
dengan tujuan untuk mencari alternatif yang paling dapat memuaskan aspirasi
kedua bela pihak. Kompetensi salah satu pasangan akan berusaha agar
pendapat-nyalah yang digunakan dalam menyelesaikan konflik. Pada
kompetensi, salah satu pasangan mencari-cari kesalahan atau menyalahkan
pasangan, atau dapat juga dengan cara membujuk/merayu pasangan bahkan
dengan cara memaksa secara langsung, sehingga pada akhirnya pasangannya
akan mengalah.11
Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antar pribadi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu secara konstruktif dan destruktif. Pengelolaan
konflik secara destruktif dapat terjadi karena alasan antara lain:
1. Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang menganggap konflik
sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari konflik atau
menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang
demikian biasanya sering gagal mengenali pokok masalah yang menjadi
11
Dani, P.R, Konflik Pernikahan Ditinjau Dari Status Peran Istri, skripsi (Makassar:
Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, 2007), 86.
11
12
Uswatun Hasanah, Interaksi Keluarga Sebuah Kajian Teoritis dan Aplikatif, (Depok:
Karima, 2018), 80.
12
Dalam menangani konflik dengan anak orang tua juga harus mempunyai
cara jitu yang dapat mengembalikan kondisi seperti semula. Para orangtua
dalam menghadapi konflik di antara anak-anaknya menggunakan strategi
manajemen konflik tertentu agar konflik yang terjadi tidak mengarah pada
memburuknya hubungan antar saudara kandung. Sejumlah orangtua lebih
suka menghentikan konflik antar saudara kandung dengan cara memberi
hukuman kepada mereka, sementara sebagian orangtua lain lebih menyukai
menyelesaikan konflik antar saudara kandung dengan cara membiarkan anak-
anaknya menyelesaikan sendiri konfliknya. Sebagian orangtua meminta anak-
anaknya yang lebih tua untuk mengalah kepada saudaranya yang lebih muda
ketika terjadi konflik, sementara sebagian orangtua lainnya memilih
mengalihkan perhatian anak-anak yang sedang berkonflik pada hal-hal lain di
luar penyebab terjadinya konflik.
Strategi manajemen konflik merupakan strategi-strategi yang digunakan
orang tua dalam mengatasi konflik sebagai respon atas terjadinya konflik
dalam interaksi antar saudara kandung. Strategi manajemen konflik
merupakan prosedur yang digunakan orang tua dalam menangani konflik antar
saudara kandung.
Konflik orang tua-anak, selain berupa konflik dalam meregulasi
(memunculkan) perilaku dapat pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil
(dalam dan tersembunyi), yaitu terjadinya konflik nilai. Dalam menghadapi
situasi konflik nilai antara orang tua-anak, ada empat tahapan dalam
penyelesaian, yaitu:
1. Menentukan nilai yan ber-konflik, misalnya apa yang dianggap penting
bagi orang tua dan apa yang dianggap penting bagi anak.
2. Mencoba melakukan kompromi, misalnya masing-masing nilai
dipertahankan tetapi dikurangi kadarnya.
3. Mempertimbangkan lagi nilai apa yang paling penting.
4. Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai.13
13
Rachmadani Cherni, “Strategi Komunikasi Dalam Mengatasi Konflik Rumah Tangga
Mengenai Perbedaan Tingkat Penghasilan Di Rt.29 Samarinda Seberang”, e-journal ilmu
komunikasi , Volume 1 (1) 2013, 212-227.
13
BAB III
PENUTUP
14
A. Kesimpulan
Finchman (1999) mendefinisikan konflik perkawinan sebagai keadaan
suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinannya dan hal
tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis
ketika sedang menghadapi konflik. Sprey (Lasswell dan Laswell, 1987)
menyatakan bahwa konflik dalam perkawinan terjadi dikarenakan masing-
masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik
dan berbeda.
Perasaan Kurang Dihargai, Cemburu Berlebihan, Kurangnya Keterbukaan
Dalam Masalah Keuangan, Masalah Hubungan Intim, Masalah Privasi
Masing-Masing, Kurangnya Toleransi Dalam Pembagian Tugas Di Rumah,
Perbedaan agama.
Sifat konflik normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka vitalitas
hubungan dalam keluarga sangat tergantung respon masing-masing terhadap
konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada
hubungan yang berkualitas frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas hubungan
dapat memegaruhi cara individu dalam membingkai persoalan konflik.
Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan masalah
yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan
pemecahan masalah yang destruktif.
Bentuk terjadinya konflik keluarga sangat beragam, seperti konflik
ekonomi, pola asuh anak, keterbukaan, tingkat pendidikan anak, dan konflik
orang tua-anak.
Pemecahan maupun pengelolaan konflik keluarga pun sangat beragam.
Karena setiap keluarga mempunyai metode sendiri-sendiri dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA