Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angan-angan masa muda bagi bujangan maupun gadis yang belum
menikah menganggap bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sangat indah.
Namun perlu dipahami bahwa menjalani penikahan adalah suatu hal yang
tidak mudah. Karena pada dasarnya pernikahan adalah menyatukan dua insan
yang berbeda baik sifat, perilaku maupun cara berpikir.
Atas dasar tersebut maka dipernikahan sering mengalami banyak masalah
yang harus dipecahkan bersama-sama anggota keluarga. Karena pada dasarnya
keluarga adalah susunan sosial yang terkecil. Di dalamnya terdapat benyak
perbedaan baik antara pasangan maupun dengan anak. Maka dari itu terkadang
kerap terjadi konflik dalam keluarga karena perbedaan tersebut yang tak
jarang membuat sebuah keluarga berantakan karena tidak bisa mengatasinya.
Maka dari itu pada bab ini akan dijelaskan mengenai konflik keluarga agar
kelak kita bisa menghadapinya bersama seluruh anggota keluarga agar tercipta
keluarga yang saling menguatkan diantara anggotanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konflik keluarga?
2. Bagaimana penyebab konflik keluarga?
3. Bagaimana karakteristik konflik keluarga?
4. Bagaimana bentuk terjadinya konflik keluarga?
5. Bagaimana pengelolaan konflik keluarga?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian konflik keluarga.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebab konflik keluarga.
3. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik konflik keluarga.
4. Untuk mengetahui bagaimana bentuk terjadinya konflik keluarga.
5. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan konflik dalam keluarga.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik Keluarga


Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the
presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua
pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua
belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat
memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya
kebutuhan dan tujuan masing-masing.1
Secara bahasa konflik identik dengan percekcokan, perselisihan, dan
pertengkaran. Adapun dalam bahasa Inggris conflict sebagai noun berarti a
serious disagreement or argument, sedangkan sebagai verb berarti be
incompatible or clash. Walaupun demikian, sebagai kajian menunjukkan
bahwa keberadaan konflik tidak selalu berakibat buruk. Selain dapat akibat
buruk, konflik juga dapat menumbuhkan hal-hal positif.2
Finchman (1999) mendefinisikan konflik perkawinan sebagai keadaan
suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinannya dan hal
tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis
ketika sedang menghadapi konflik. Sprey (Lasswell dan Laswell, 1987)
menyatakan bahwa konflik dalam perkawinan terjadi dikarenakan masing-
masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik
dan berbeda.
Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa konflik perkawinan adalah konflik
yang melibatkan pasangan suami istri di mana konflik tersebut memberikan
efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan. Lebih
lanjut Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena

1
Tahniatul Alawiyya , Skripsi : Konflik Terselubung Dalam Keluarga : Studi Kasus
Perseteruan Antara Sumai Istri Di Desa Prasung Tambak Kecamatan Buduran Kabupaten
Sidoarjo. (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2017)
2
Damayanti Wardyaningrum, “KOMUNIKASI UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK
DALAM KELUARGA”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol.2, No.1. Maret 2013,
52.
3

adanya persepsi-persepsi, harapan-harapan yang berbeda serta ditunjang oleh


keberadaan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka
anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan.
Jadi konflik perkawinan adalah pergumulan mental antara suami istri yang
disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan, tem-
peramen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu
dan menyebabkan pertentangan sebagai aki-bat dari adanya kebutuhan, usaha,
keinginan atau tuntunan dari luar dalam yang tidak sesuai atau bertentangan.3
Konflik mungkin akan menyebabkan munculnya emosi negatif seperti
jengkel, marah, atau takut. Namun hasil akhir dari keberadaan konflik, apakah
akan bersifat deduktif ataukah konstruktif, sangat tergantung pada strategi
yang digunakan untuk menanganinya. Dengan pengelolahan yang baik,
konflik justru dapat semakin memperkukuh hubungan dan meningkatkan
kepaduan dan rasa solidaritas. Konflik seepenuhnya merupakan bagian dari
kehidupan bermasyarakat yang harus dianggap penting yaitu untuk
merangsang pemikiran-pemikiran yang baru, mempromosikan perubahan
sosial, menegaskan hubungan dalam kelompok, membantu kita membentuk
perasaan tentang identitas pribadi, dan memahami berbagai hal yang kita
hadap dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana pendapat Wirawan (2012)
fungsi konflik antara lain: (1) sebagai alat untu memelihara solidaritas; (2)
membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain; dan (3)
mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi.4
B. Penyebab Konflik Keluarga
Dalam kenyataan sehari-hari tidak semua keluarga yang bahgia. Banyak
diantara keluarga mengalami masalah dalam berkeluarga seperti masalah
hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan

3
Evi Meizara Kusuma Dewi Basti, Konflik Perkawinan dan Penyelesaian Konflik Pada
Pasangan Suami Isteri, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, Jurnal Psikologi Volume
2, No. 1, Desember 2008, 47.
4
Sri lestari. Psikologi sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2012), 99.
4

kemsyarakatan dan lain sebagainya. Konflik dalam keluarga akan tetap ada
karena manusia tidak akan pernah lepas dari masalah.5
1. Perasaan Kurang Dihargai
Perasaan kurang dihargai bisa muncul ketika seorang suami atau istri
tidak terlalu diindahkan kata-katanya, keinginannya atau hasil
pekerjaannya oleh pasangan. 
2. Cemburu Berlebihan
Cemburu dalam hubungan merupakan hal yang wajar. Namun akan
menjadi masalah ketika seseorang tidak mampu mengontrol perasaan
cemburu. 
3. Kurangnya Keterbukaan Dalam Masalah Keuangan
Bagaimanapun masalah keuangan merupakan suatu yang sangat
penting dalam keluarga, suami seharusnya terbuka tentang penghasilan
yang diperoleh, dan sebaliknya istri hendaknya memberikan informasi
kemana uang itu dimanfaatkan sehingga tidak timbul rasa curiga diantara
keduanya.
4. Masalah Hubungan Intim
Hubungan intim adalah pelekat perjalanan rumah tangga. Ketika
urasan ini terganggu maka bisa menimbulkan konflik. Masalah hubungan
intim bisa terjadi akibat ketidak pengertian satu belah pihak.  Bisa istri
yang tidak peduli dengan keinginan suami, atau sebaliknya suami tidak
mampu memenuhi keinginan sang istri. 
5. Masalah Privasi Masing-Masing
Setiap orang mempunyai privasi yang tidak ingin dingangu oleh orang
lain, sekalipun dengan pasangannya. Jadi ketika seseorang sedang ingin
menikmati privasi, maka hendaknya pasangannya dapat memahami.
Privasi bisa berupa Hobi sejak kecil, atau kebiasaan bersifat positif.
Misalnya suami punya kebiasaan ngumpul sama teman-temannya tentu
akan merasa jengkel ketika kebiasaanya dipermasalahkan oleh sang istri.

5
Darosy Endah, “PERAN KELUARGA DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK”.
Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No. 2, Oktober 2011, 146.
5

Atau seorang istri ingin berkumpul dengan keluarganya dalam waktu


tertentu akan merasa kesal ketika keinginanya tidak dituruti suami.
6. Kurangnya Toleransi Dalam Pembagian Tugas Di Rumah
Dalam sebuah rumah tangga, terkadang kita tidak memiliki orang lain
yang mengerjakan tugas rumah. Maka ketika tidak ada toleransi dalam
melakukan pekerjaan di rumah bisa menimbulkan konflik. Maka
sebaiknya kedua belah pihak saling membantu untuk meringankan tugas
masing-masing.Misalnya suami membantu istri memasak, mengasuh anak,
atau hanya sekedar menemani, tentu ada perasaan berbeda ketika
pekerjaan dilakukan bersama. Hingga pekerjaan yang terasa berat akan
terasa ringan.
7. Perbedaan agama
Tak jarang di dalam sebuah keluarga terdiri dari anggota keluarga yang
memiliki keyakinan yang berbeda, perbedaan keyakinan tersebut mampu
menjadi pemicu terjadinya sebuah konflik jika masing-masing orang tidak
memiliki toleransi satu sama lain. Memeluk sebuah agama yang diyakini
adalah hak asasi tiap-tiap orang, kita tidak boleh memaksakan kehendak
kita terhadap orang lain, namun dalam prakteknya memang tidaklah
mudah. Bukanlah kita yang berhak menghakimi seseorang akan apa yang
dia percayai, toleransi adalah satu-satunya cara yang bisa kita andalkan
agar dapat terciptanya kerukunan dalam keluarga, meskipun terdiri dari
agama-agama yang berbeda.6
C. Karakteristik Konflik Keluarga
Konflik di dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan
dengan konflik dalam konteks sosial yang lain. Misalnya penelitian Adam dan
Laursen (2001) menemukan bahwa konflik dengan orang tua lebih sering
dialami remaja bila dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya (Rafaelli,
1997) mengungkapkan bahwa konflik dengan keluarga meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah kontak. Selain itu jumlah waktu yang
6
Agung Candra Setiawan, Konflik dalam Keluarga, Penyebab dan Cara
Menyelesaikannya. 0nline: https://keluarga.com/1146/konflik-dalam-keluarga-penyebab-dan-cara-
menyelesaikannya. (diakses pada tanggal 09 September 2019 21.10 WIB).
6

dihabiskan bersama lebih signifikan memprediksi konflik keluarga


dibandingkan dengan faktor usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan
variabel lainnya. Walaupun demikian penelitian Stocker Lanthier dan Furman
(1997) mengungkapkan bahwa meningkatnya interaksi keluarga berasosiasi
positif dengan persepsi terhadap kehangatan.
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal.
Orang tua akan selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada
istilah mantan orang tua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang
dirasakan dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan
seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalkan berupa
perceraian atau pergi dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik
tetap membekas. Konflik di dalam keluarga lebih sering dalam mendalam bila
dibandingkan dengan konflik dalam konteks sosial yang lainnya.
Oleh karena sifat konflik normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka
vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung respon masing-masing
terhadap konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya
pada hubungan yang berkualitas frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas
hubungan dapat memegaruhi cara individu dalam membingkai persoalan
konflik. Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan
masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan
menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.7
D. Bentuk Terjadinya Konflik Keluarga
Bentuk-bentuk konflik keluarga yang kerap terjadi adalah sebagai berikut:
1. Konflik Ekonomi
Konflik ekonomi adalah konflik yang paling sering dialami dalam
keluarga, konflik ekonomi dibagi menjadi tiga, yaitu
a. Biaya pendidikan anak.
b. Sumbangan jagong.
c. Memenuhi kebutuhan ekonomi.
2. Konflik Pola Asuh Anak
7
Lestari, Psikologi Sosial., 102.
7

Pola asuh anak dapat mengakibatkan konflik disebabkan karena


pemikiran pasangan antara suami isteri dalam mengasuh anak berbeda dan
menganggap bahwa pola asuh sendiri adalah yang terbaik bagi anaknya
dan menganggap pola asuh lain adalah tidak tepat.
3. Keterbukaan
Keterbukaan dalam keluarga disana sudah cukupp baik, memang ada
beberapa keluarga yang salah satu anggota keluarganya belum terbuka
dengan keluarga lain, namun hal ini masih bisa mereka selesaikan dalam
lingkup intern.
4. Kesempatan Pendidikan Anak
Setiap anak di desa Watusomo mempunyai kesempatan untuk
mengenyam pendidikan yang sama, tidak dibedakan apakah anak laki-laki
harus bisa menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dari anak perempuan
atau sebaliknya.8
5. Konflik Orang Tua-Anak
Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian
paling penting dalam hidupnya. Dalam posisi tersebut orang tua akan
berusaha mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Dengan
perspektif yang demikian seharusnya konflik orang tua-anak tidak akan
terjadi, karena orang tua akan senantiasa berkorban untuk anaknya. Namun
dalam hubungan orang tua-anak ssering kali juga mengandung perspektif
kekuasaan dan kewenangan. Selain terdapat aspek ketanggapan dalam
merespons kebutuhan anak, juga terdapat aspek tuntutan yang
mencerminkan harapan orang tua terhadap sikap dan prilaku anak.
Akhirnya hubungan orang tua-anak pun biasanya diwarnai dengan
berbagai perbedaan dan konflik. Sumber utama konflik pada umumnya
adalah ketidakcocokan antara perspektif anak dan perspektif orang tua.

a. Konflik pada Masa Kanak-kanak


8
Damar Adi Nugroho, Resolusi Konflik Dalam Keluarga Berbasis Kesetaraan Gender
(Studi Kasus Pada Keluarga di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri),
FISIP UNS, Jurnal Sosiologi DILEMA, Vol. 32, No. 1 Tahun 2017 ISSN : 0215/9635, 93.
8

Ketika bayi sudah lahir dan mengalami perkembangan diluar tubuh


ibu, salah satu konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang
tua-anak adalah konflik pada masa penyapihan (weading conflict),
biasanya setelah anaak berusia satu tahun. Proses penyampihan mulai
dialami anak oleh karena kehamilan bayi berikutnya, atau karena anak
dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk mlai mengalami
perpisahan sementara dengan ibunya.
Pada perkembangan berikutnya, yang banyak mendapat perhatian
dalam pengkajian konflik orang tua-anak adalah ketika anak
menginjak usia dua tahun ( toddler). Pada masa tersebut anak mulai
banyak mengalami perkembangan dalam keterampilan bahasa dan
motoric, dan mulai banyak mengalami masalah prilaku. Perilaku
eksternalisasi dan agresi merupakan masalah Perilaku yang banyak
mendapat perhatian pada masa perkembangan ini. Berbagai kajian
menyoroti tiga faktor yang menyebabkan munculnya masalah perilaku,
yaitu:
1) Faktor internal yang berupa gender, temperamen, dan proses
regulasi diri.
2) Faktor sosialisasi, yang terjadi dalam interaksi dan relasinya
dengan keluarga maupun teman sebaya.
3) Faktor eksternal, yang berupa status social ekonomi dan struktur
keluarga.
b. Konflik pada Masa Remaja
Konflik remaja dengan orang rua merupakan salah satu hal yang
banyak mengundang perhatian para peneliti. Area yang menjadi
perhatian para umumnya adalah frekuensi terjadinya konflik, topik
yang menjadi konflik dan cara yang digunakan untuk melakukan
resolusi konflik. Beberapa perhatian menunjukkan pola kurvalinier
pada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat pada remaja
awal, mencapai puncaknya pada remaja tengah, dan menurun pada
remaja akir. Sementara beberapa penelitian lain mengungkapkan
9

kecendrungan menurun seca linear dengan intensitas konflik lebih


tinggi terjadi pada remaja awal dan menurun pada remaja akhir.9
Dalam konflik keluarga juga terdapat bentuk tindakan-tindakan yang
dilakukan dalam proses konflik keluarga yaitu:
1. Pertengkaran
Merupakan racun bumbu dalam keluarga yang menimbulkan
terjadinya konflik dalam kluarga karena hubungan keluarga yang kurang
harmonis sehingga permasalahan yang ada didalam keluarga tidak baik.
2. Tidak Saling Menegur Antara Suami dan Istri
Karena suami sudah pun menyebabkan adanya permasalahan didalam
keluarga tersebut.
3. Tidak Saling Menghargai Sesama Pasangan.
Seorang istri merasa tidak dihargai karena suami selalu melukai hati
sang istri. Sehingga istri pun kurang menghormati sang suami dalam
memimpin keluarga.10
E. Pengelolaan Konflik Keluarga
Oleh karena konflik merupakan aspek normatif dalam suatu hubungan,
maka keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap
hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan
berdampak negatif bila tidak dikelola dengan efektif dan akan menjadi gejala
atau faktor yang menyumbang akibat negatif pada individu maupun keluarga
secara keseluruhan.
Pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara antara
lain: (1) penguasaan atau domination, ketika salah satu pihak berusaha
memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologis; (2)
penyerahan atau capitulation, ketika salah satu pihak secara sepihak
menyerahkan kemenangan pada pihak lain; (3) pengacuhan atau inaction,
ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung
membiarkan terjadinya konflik; (4) penarikan diri atau withdrawal, ketika
9
Nur Faizah Laela, Bimbingan Konseling Keluarga Dan Remaja (UIN Sunan Ampel
Press: Surabaya, 2015), 75.
10
William J.Goode, Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 89.
10

salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik; (5) tawar-
menawar atau negotiation, ketika pihak-pihak yang berkonflik saling bertukar
gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan
yang menguntungkan masing-masing; (6) perceraian; dan (7) campur tangan
pihak ketiga atau thirdparty intervention, ketika ada pihak yang tidak terlibat
dalam konflik, menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-
pihak yang berkonflik.
Menurut Firtzpatrick (dalam Theresia, 2002), ada empat cara pasangan
dapat menyelesaikan konflik dalam perkawinan, yaitu menghindari konflik,
mengalah, diskusi, dan kompetensi. Menghindari konflik dilakukan dimana
pasangan memunculkan perilaku yang dapat menghindari mereka dari konflik
yang berkelanjutan, dengan cara mengalihkan pembicaran dari permasalahan
yang sedang dibahas.
Mengalah dilakukan dengan cara salah satu pasangan mengalah terhadap
pasangannya tanpa menyelesaikan konflik yang terjadi. Diskusi dilakukan
dengan tujuan untuk mencari alternatif yang paling dapat memuaskan aspirasi
kedua bela pihak. Kompetensi salah satu pasangan akan berusaha agar
pendapat-nyalah yang digunakan dalam menyelesaikan konflik. Pada
kompetensi, salah satu pasangan mencari-cari kesalahan atau menyalahkan
pasangan, atau dapat juga dengan cara membujuk/merayu pasangan bahkan
dengan cara memaksa secara langsung, sehingga pada akhirnya pasangannya
akan mengalah.11
Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antar pribadi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu secara konstruktif dan destruktif. Pengelolaan
konflik secara destruktif dapat terjadi karena alasan antara lain:
1. Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang menganggap konflik
sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari konflik atau
menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang
demikian biasanya sering gagal mengenali pokok masalah yang menjadi

11
Dani, P.R, Konflik Pernikahan Ditinjau Dari Status Peran Istri, skripsi (Makassar:
Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, 2007), 86.
11

sumber konflik, karena perhatiannya sudah terfokus pada konflik sebagai


problem.
2. Perasaan marah. Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif dalam
suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah
dirasakan individu yang terlibat konflik. Mengumbar atau memendam
marah sama buruknya bagi kesehatan hubungan maupun mental individu.
Oleh karena itu, rasa marah harus dipahami sebagai gejala yang harus
diatasi dan dapat diubah, oleh karena itu hendaklah dikendalikan dengan
penuh hati-hati dan kesabaran.
3. Penyelesaian oleh waktu. Sebagai upaya menghindari munculnya perasaan
negatif dalam menghadapi konflik, misalnya marah, takut, sedih seringkali
individu memilih mengabaikan masalah yang menjadi sumber konflik.
Hatapannya adalah masalah tersebut akan selesai dengan sendirinya oleh
berjalannya waktu.
Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para paneliti dan
terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang umumnya digunakan
individu dalam mengelola konflik. Harriet Goldhor Lerner sebagaimana
dikutip oleh Olson dan Olson (2000), membedakan ada lima cara individu
dalam menyelsaikan konflik, yaitu: (1) pemburu atau disebut dengan pursuer
adalah individu yang berusaha membangun ikatan yang lebih kuat, dekat dan
harmonis; (2) penghindar atau disebut dengan distancer adalah individu yang
cenderung mengambil jarak secara emosi agar tidak menimbulkan konflik
baru; (3) pecundang atau disebut dengan underfunctioner adalah individu
yang gagal menunjukkan kompetensi atau aspirasinya; (4) penakluk atau
disebut dengan overfunctioner adalah individu yang cenderung mengambil
alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain; (5) pengutuk atau
disebut dengan blameradalah individu yang selalu menyalahkan orang lain
atau keadaan.12

12
Uswatun Hasanah, Interaksi Keluarga Sebuah Kajian Teoritis dan Aplikatif, (Depok:
Karima, 2018), 80.
12

Dalam menangani konflik dengan anak orang tua juga harus mempunyai
cara jitu yang dapat mengembalikan kondisi seperti semula. Para orangtua
dalam menghadapi konflik di antara anak-anaknya menggunakan strategi
manajemen konflik tertentu agar konflik yang terjadi tidak mengarah pada
memburuknya hubungan antar saudara kandung. Sejumlah orangtua lebih
suka menghentikan konflik antar saudara kandung dengan cara memberi
hukuman kepada mereka, sementara sebagian orangtua lain lebih menyukai
menyelesaikan konflik antar saudara kandung dengan cara membiarkan anak-
anaknya menyelesaikan sendiri konfliknya. Sebagian orangtua meminta anak-
anaknya yang lebih tua untuk mengalah kepada saudaranya yang lebih muda
ketika terjadi konflik, sementara sebagian orangtua lainnya memilih
mengalihkan perhatian anak-anak yang sedang berkonflik pada hal-hal lain di
luar penyebab terjadinya konflik.
Strategi manajemen konflik merupakan strategi-strategi yang digunakan
orang tua dalam mengatasi konflik sebagai respon atas terjadinya konflik
dalam interaksi antar saudara kandung. Strategi manajemen konflik
merupakan prosedur yang digunakan orang tua dalam menangani konflik antar
saudara kandung.
Konflik orang tua-anak, selain berupa konflik dalam meregulasi
(memunculkan) perilaku dapat pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil
(dalam dan tersembunyi), yaitu terjadinya konflik nilai. Dalam menghadapi
situasi konflik nilai antara orang tua-anak, ada empat tahapan dalam
penyelesaian, yaitu:
1. Menentukan nilai yan ber-konflik, misalnya apa yang dianggap penting
bagi orang tua dan apa yang dianggap penting bagi anak.
2. Mencoba melakukan kompromi, misalnya masing-masing nilai
dipertahankan tetapi dikurangi kadarnya.
3. Mempertimbangkan lagi nilai apa yang paling penting.
4. Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai.13
13
Rachmadani Cherni, “Strategi Komunikasi Dalam Mengatasi Konflik Rumah Tangga
Mengenai Perbedaan Tingkat Penghasilan Di Rt.29 Samarinda Seberang”, e-journal ilmu
komunikasi , Volume 1 (1) 2013, 212-227.
13

BAB III
PENUTUP
14

A. Kesimpulan
Finchman (1999) mendefinisikan konflik perkawinan sebagai keadaan
suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinannya dan hal
tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis
ketika sedang menghadapi konflik. Sprey (Lasswell dan Laswell, 1987)
menyatakan bahwa konflik dalam perkawinan terjadi dikarenakan masing-
masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik
dan berbeda.
Perasaan Kurang Dihargai, Cemburu Berlebihan, Kurangnya Keterbukaan
Dalam Masalah Keuangan, Masalah Hubungan Intim, Masalah Privasi
Masing-Masing, Kurangnya Toleransi Dalam Pembagian Tugas Di Rumah,
Perbedaan agama.
Sifat konflik normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka vitalitas
hubungan dalam keluarga sangat tergantung respon masing-masing terhadap
konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada
hubungan yang berkualitas frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas hubungan
dapat memegaruhi cara individu dalam membingkai persoalan konflik.
Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan masalah
yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan
pemecahan masalah yang destruktif.
Bentuk terjadinya konflik keluarga sangat beragam, seperti konflik
ekonomi, pola asuh anak, keterbukaan, tingkat pendidikan anak, dan konflik
orang tua-anak.
Pemecahan maupun pengelolaan konflik keluarga pun sangat beragam.
Karena setiap keluarga mempunyai metode sendiri-sendiri dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.


15

Hasanah, Uswatun. Interaksi Keluarga Sebuah Kajian Teoritis dan Aplikatif.


Depok: Karima, 2018.
Laela, Nur Faizah. Bimbingan Konseling Keluarga Dan Remaja. UIN Sunan
Ampel Press: Surabaya, 2015.
Lestari, Sri. Psikologi social. Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2012.
Alawiyya, Tahniatul. Skripsi: Konflik Terselubung Dalam Keluarga : Studi Kasus
Perseteruan Antara Sumai Istri Di Desa Prasung Tambak Kecamatan
Buduran Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2017.
P. R, Dani. Konflik Pernikahan Ditinjau Dari Status Peran Istri, skripsi.
Makassar: Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, 2007.
Basti, Evi Meizara Kusuma Dewi. Konflik Perkawinan dan Penyelesaian Konflik
Pada Pasangan Suami Isteri, Fakultas Psikologi Universitas Negeri
Makassar, Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008.
Cherni, Rachmadani. “Strategi Komunikasi Dalam Mengatasi Konflik Rumah
Tangga Mengenai Perbedaan Tingkat Penghasilan Di Rt.29 Samarinda
Seberang”, e-journal ilmu komunikasi , Volume 1 (1) 2013.
Endah, Darosy. “PERAN KELUARGA DALAM MEMBANGUN KARAKTER
ANAK”. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No. 2, Oktober 2011.
Nugroho, Damar Adi. Resolusi Konflik Dalam Keluarga Berbasis Kesetaraan
Gender (Studi Kasus Pada Keluarga di Desa Watusomo, Kecamatan
Slogohimo, Kabupaten Wonogiri), FISIP UNS, Jurnal Sosiologi DILEMA,
Vol. 32, No. 1 Tahun 2017 ISSN : 0215/9635.
Widyaningrum, Damayanti. “KOMUNIKASI UNTUK PENYELESAIAN
KONFLIK DALAM KELUARGA”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata
Sosial, Vol.2, No.1. Maret 2013, 52.
Setiawan, Agung Candra. Konflik dalam Keluarga, Penyebab dan Cara
Menyelesaikannya. 0nline: https://keluarga.com/1146/konflik-dalam-
keluarga-penyebab-dan-cara-menyelesaikannya. (diakses pada tanggal 09
September 2019 21.10 WIB).

Anda mungkin juga menyukai