1) Teknik assertive
Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian individu dalam mengekspresikan
perilaku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan atau meniru
model-model sosial. Maksud utama teknik latihan asertif adalah: mendorong
kemampuan individu untuk mengespresikan berbagai hal yang berhubungan
dengan emosinya.
2) Teknik-Teknik Emotif (afektif)
Teknik Behavioristik
1. Reinforcement (memberi penguatan)
Teknik untuk mendorong individu ke arah perilaku yang rasional dan logis
dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman
(punishmen). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan
keyakinan yang irasional pada individu dan menggantinya dengan sistem
nilai yang positif. Dengan meberikan reward ataupun punisment, maka
individu akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan
2. Social Modeling
Teknik ini untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada individu. Teknik
ini dilakukan agar individu dapat hidup dalam suatu model sosial yang
diharapkan dengan cara imitasu (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan
dirinya dan menginternalisasikan norma-noma dalam sistem model dengan
masalah tertentu yang telah disipakam oleh terapis
Ellis berbendapat bahwa keyakinan tidak rasional sering mengambil bentuk kata
harus dan semestinya, seperti keyakinan bahwa kita harus selalu memperoleh persetujuan
dari orang-orang penting dalam kehidupan kita. Ellis memperhatikan bahwa kendati
keinginan untuk disetujui dan dimengerti adalah keyakinan yang tidak rasional bila kita
akan selalu meperoleh persetujuan atau bahwa tidak bisa bertahan hidup tanpanya. REBT
mendorong para klien untuk mengganti keyakinan irasional dengan alternatif yang
rasional dan untuk menghadapi mereka secara rasional. ( Jeffrey S. Nevid h.1088)1
Menurut Ellis, reaksi emosional negatif, seperti kecemasan dan depresi tidak
dihasilkan secara langsung dari kejadian yang tidak menyenangkan, yang oleh Ellis
disebut juga sebagai “Activating Event” (peristiwa pemicu). Melainkan, mereka berasal
dari keyakinan irasional yang kita anut mengenai pengalaman hidup. Keyakinan irasional
1
Jeffrey S. Nevid, Psikologi Konsepsi dan Konsep, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2017)
adalah tidak logis karena mereka bertumpu pada penilaian yang terdistorsi dan
berlebihan terhadap situasinya, bukan bertumpu pada fakta-fakta yang dihadapi. Ellis
menggunakan pendekatan “ABC” untuk menjelaskan penyebab tekanan emosional.
( Jeffrey S. Nevid h.1088)2
Kita harus memperoleh kasih sayang dan persetujuan dari hampir semua orang
yang penting bagi kita
Kita harus benar-benar cakap disemua kegiatan kita untuk bisa meresa berharga
Sungguh menakutkan dan gawat jika kehidupan berjalan tidak sesuai dengan
yang kita inginkan
Semuanya menjadi tidak menyenangkan ketika kita tidak memperoleh pilihan
pertama kita
Orang harus saling berlaku adil satu sama lain, dan tak terbayangkan jika mereka
tidak begitu
Amat berat dan menderita rasanya ketika masalah hidup tidak bisa dipecahkan
dengan tegas atau cepat
Masa lalu kita pasti terus membekas pada diri kita dan menentukan perilaku kita.
Diadaptasi dari Ellis 1991 dalam ( Jeffrey S. Nevid h.1090)
Para teoretisi kognitif percaya bahwa cara orang menafsirkan peristiwa turut
menyumbang pada gangguan emosional seperti depresi dan kecemasan. Sejalan
dengan itu aaron Beck Distorsi kognitif
Salah satu akibat dari keluarga yang retak adalah perceraian, yang pada umumnya
diawali dengan ketegangan-ketegangan atau konflik yang jika tidak bisa diselesaikan
dengan baik dan memuaskan bagi kedua belah pihak akan memasuki tahap perpisahan
yang emosional.3 Konflik terbuka menjelang perceraian suami-istri seringkali terjadi
dihadapan anak-anak mereka sehingga realitas dan perilaku orangtuanya itu menjadi
stimulus yang harus di respon meskipun hal itu merupakan pengalaman yang kurang
menguntungkan bagi anak-anak.
Ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan masalah juga dapat
menyebabkan Broken home. Menurut Echolid (wardhani, 2016:3), broken home adalah
suatu kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua
yang disebabkan oleh beberapa hal, seringkali karena perceraian, sehingga anak hanya
hidup dengan satu anak kandung. Keluarga broken home cenderung membekali anak
dengan masalah dan mempengaruhi tumbuh kembang anak, terutama pada
perkembangan agama dan moral anak.
Kondisi yang kacau dan tidak harmonis dalam keluarga dapat menghambat
perkembangan moral anak. Dalam hal ini interaksi dan kebersamaan dalam keluarga
berkurang, sedangkan anak akan merasa tidak diperhatikan sehingga anak juga akan
sering mendengar suara verbal dan nonverbal serta teriakan. Pengalaman sejak kecil
selama keluarga yang penuh dengan konflik dan kurangnya bimbingan spiritual, nilai
moral dan nilai moral akan berdampak negatif pada peristiwa nilai agama dan moral
anak bahkan hingga dewasa. Broken home khususnya bagi seorang anak sangat tidak
3
Machasin, Perubahan Perilaku dan Peran Agama Pada Remaja Keluarga Bercerai Studi Kasus di Semarang
( Semarang: Kementrian Agama Institute Agama Islam Negri walisongo Semarang, 2012), h.24
baik untuk pertumbuhan atau perkembangan mereka sehingga menjadi jenuh dengan
kehidupannya sendiri dan kurangnya perhatian orang tua.4
Menurut Hurlock, Broken Home merupakan kulminasi dari penyesuaian
perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari
cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari
bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagian tetapi tidak diakhiri
dengan perpisahan. Hal ini dikarenakan perkawinan tersebut dilandasi dengan
pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan-alasan yang lain. Perpisahan
atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum maupun dengan diam-diam
dan kadang ada juga kasus dimana salah satu pasangan (suami,istri) meninggalkan
keluarga.5 Remaja dari keluarga yang bercerai akan mengalami masa sulit jika dia belum
bisa menyesuaikan dengan kenyataan bahwa ibu dan bapaknya tidak lagi bersama.
Perceraian seringkali dianggap penyelesaian yang tepat untuk mengakhiri
hubungan rumah tangga yang ditidak kondusif, dan tidak sedikit suami istri yang
mengakhiri jalinan mereka dengan perceraian. Bennet(dalam Dewi, 2006)
mengemukakan, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan yang dilakukan
secara legal (hukum). Sepertiga perkawinan pertama dalam sepuluh tahun terakhir
berujung pada perceraian. Konsekuensi dari tingginya angka perceraian tersebut adalah
ditemukannya lebih dari satu juta anak terlibat dalam situasi perceraian setiap tahunnya.6
Angka perceraian di Indonesia juga menunjukan peningkatan yang signifikan.
Bahkan dilansir dari lokadata.id pada tahun 2020 presentasi perceraian di indonesia naik
menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan. 7 Tidak
hanya itu, selama masa pandemi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pun
meningkat.jumlah laporan kekerasan menanjak pada tahun 2020 hingga mencapai 2.389
laporan.8 Kedua hal ini pada akhirnya mengorbankan anak dan meningkatkan angka
broken home.
4
Qurrata A’yuni, dkk, “Pola Pendidikan Agama Islam Pada Anak Keluarga Broken Home”, Jurnal Imtiyaz Vo;. 5
No. 2 . September 2021. Hal. 65
5
Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan Kehidupan, Edisi IV, (Jakarta:Erlangga,
1990),h. 310
6
Dewi, M. (2006), Gambaran Proses Memaafkan Pada Remaja yang Orang tuanya Bercerai. Jurnal Psikologi
Vol, 41 (1), 1
7
Anindhita Maharrani, Lokadata.id perceraian di indonesia terus meningkat. Di akses melalui
https://lokadata.id/artikel/perceraian-di-indonesia-terus-meningkat 15/04/2021 pada tanggal 13 Januari 2022
pada pukul 01.24
8
Miris, Kasus KDRT melonjak selama pandemi, Anindhita Maharani 22/05/2021
https://lokadata.id/artikel/miris-kasus-kdrt-melonjak-selama-pandemi 15/04/2021 pada tanggal 13 Januari
2022 pada pukul 01.24
Rasa cemas tidak hanya dirasakan oleh dewasa, namun juga anak-anak serta
remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Remaja adalah mereka yang mengalami masa transisi(peralihan) dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, yaitu antara usia 12-13 tahun hingga usia 20-an.9
Menurut WHO remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 hingga 19 tahun,
sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 25 tahun 2014 remaja adalah
penduduk dalam rentang usia 10 hingga 18 tahun. 10 Kelompok ini juga masih dapat
disebut anak (0-18 tahun) sesuai dengan definisi Undang-Undang Perlindungan Anak
Indonesia.
Remaja adalah mereka yang mengalami masa transisi(peralihan) dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, yaitu antara usia 12-13 tahun hingga usia 20-an.11
Pada kadar yang rendah kecemasan membantu untuk bersiaga mengambil
langkah-langkah untuk mencegah bahaya atau untuk memperkecil dampak meningkatnya
performa. Namun apabila kecemasan sangat besar, justru akan sangat mengganggu.
Masa remaja adalah masa dimana timbulnya berbagai kebutuhan dan emosi serta
tubuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas serta daya pikir menjadi lebih
matang. Namun masa remaja penuh dengan berbagai perasaan yang tidak menentu,
cemas dan bimbang dimana berkecamuknya harapan dan tantangan, kesenangan dan
kesengsaraan yang harus dilaluinya dengan perjuangan menuju masa dewasa yang
matang.12 Remaja yang keluarganya mengalami keretakan sehingga berakibat perceraian
pada orang tuanya akan menimbulkan kecemasan dalam dirinya.
Dalam ilmu Psikologi kecemasan lebih dikenal dengan anxiety, yakni memiliki
pengertian kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran. Secara istilah kecemasan merupakan
kekhawatiran yang kurang jelas atau tidak mendasar. Ketika merasa cemas, individu
merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka
padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi.13
Kecemasan terdiri dari pikiran, perasaan dan perilaku serta hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan genetis. Simtom-simtom yang
9
Singgih D. Gunarsa, Seri Psikologi Bunga Rampai Psikologi Perkembangan: dari Anak sampai Usia Lanjut
( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004), 196
10
Diananda, 2019 dalam Ira Nurmala, Mewujudkan Remaja Sehat Fisik, Mental dan Sosial (Model Intervensi
Health Educator for Youth) (Surabaya: Airlangga University Press, 2020), 11
11
Singgih D. Gunarsa, Seri Psikologi Bunga Rampai Psikologi Perkembangan: dari Anak sampai Usia Lanjut
( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004), 196
12
Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan ( Jakarta: CV Ruhana, 1994) hlm 13
13
Kartini Kartono dan Dali Gulo, Kamus Psikologi (Bandung: Pionir Jaya, 1987), hal. 24.
ditunjukkan berbeda-beda pada setiap individu dan situasi. Kecemasan seringkali
mengakibatkan keadaan mood negatif yang dicirikan dengan simtom-simton tubuh dari
tekanan fisik, dan ketakutan tentang masa depan. 14
Perasaan-perasaan ini menandakan bahwa mereka memiliki kekhawatiran yang
berlebihan terhadap sesuatu sehingga hal ini memicu munculnya gejala-gejala
kecemasan. Selain itu muncul pula keyakinan irasional pada akhirnya akan
memunculkan emosi-emosi negatif terhadap diri mereka sendiriRasa cemas akan
memberikan respon pada tubuh untuk cepat melalakukan perlindungan untuk
memastikan keamanan. Reaksi emosi ini positif dan baik apabila dirasakan dan direspon
sewajarnya. Tetapi apabila direspon secara berlebihan akan menyebabkan terganggunya
aktivitas sehari-hari bahkan dapat menyebabkan gangguan cemas (ansietas).
Masalah perceraian memang tidak hanya dirasakan oleh orang tua yang
mengalaminya, hal ini tentunya juga memiliki dampak terhadap anak terutama di masa
remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Remaja adalah mereka yang mengalami masa transisi(peralihan) dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, yaitu antara usia 12-13 tahun hingga usia 20-an. 15
Menurut WHO remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 hingga 19 tahun,
sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 25 tahun 2014 remaja adalah
penduduk dalam rentang usia 10 hingga 18 tahun. 16 Kelompok ini juga masih dapat
disebut anak (0-18 tahun) sesuai dengan definisi Undang-Undang Perlindungan Anak
Indonesia.
Anak-anak selalu lahir dari pasangan setiap saat setiap masa. Data Unicef
menyebut 395.050 anak yang lahir di hari pertama bulan januari. Dan di Indonesia 13
ribu anak lahir di hari pertama bulan januari. Tapi setiap jam terjadi 40 kasus perceraian
di Indonesia. Kalau sehari ada 24 jam maka dalam sehari bisa terjadi 960 perceraian.
Data BPS memastikan dari setiap lima pernikahan terjadi satu perceraian.17
14
15
Singgih D. Gunarsa, Seri Psikologi Bunga Rampai Psikologi Perkembangan: dari Anak sampai Usia Lanjut
( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004, 196
16
Diananda, 2019 dalam Ira Nurmala, Mewujudkan Remaja Sehat Fisik, Mental dan Sosial (Model Intervensi
Health Educator for Youth) (Surabaya: Airlangga University Press, 2020), 11
17
Webinar, Perlindungan Anak Korban Perceraian, diakses melalui merdeka-io.com/2021/02/20/nasib-anak-
korban-perceraian/
Santrock, menjelaskan remaja dari keluarga yang bercerai lebih rentan
mengalami masalah penyesuaian diri, akademis, kurang memiliki tanggungjawab sosial,
berhubungan dengan teman sebaya yang antisosial, putus sekolah, menggunkan obat-
obatan dan aktif secara seksual di usia dini, jika dibandingkan dengan remaja dari
keluarga utuh18.
Rasa cemas tidak hanya dirasakan oleh dewasa, namun juga anak-anak serta
remaja. Pada kadar yang rendah kecemasan membantu untuk bersiaga mengambil
langkah-langkah untuk mencegah bahaya atau untuk memperkecil dampak meningkatnya
performa. Namun apabila kecemasan sangat besar, justru akan sangat mengganggu.
Menurut Echolid (wardhani, 2016:3), broken home adalah suatu kondisi
hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua yang
disebabkan oleh beberapa hal, seringkali karena perceraian, sehingga anak hanya hidup
dengan satu anak kandung. Keluarga broken home cenderung membekali anak dengan
masalah dan mempengaruhi tumbuh kembang anak, terutama pada perkembangan agama
dan moral anak. Kondisi yang kacau dan tidak harmonis dalam keluarga dapat
menghambat perkembangan moral anak. Dalam hal ini interaksi dan kebersamaan dalam
keluarga berkurang, sedangkan anak akan merasa tidak diperhatikan sehingga anak juga
akan sering mendengar suara verbal dan nonverbal serta teriaka. Pengalaman sejak kecil
selama keluarga yang penuh dengan konflik dan kurangnya bimbingan spiritual, nilai
moral dan nilai moral akan berdampak negatif pada peristiwa nilai agama dan moral
anak bahkan hingga dewasa. Broken home khususnya bagi seorang anak sangat tidak
baik untuk pertumbuhan atau perkembangan mereka sehingga menjadi jenuh dengan
kehidupannya sendiri dan kurangnya perhatian orang tua. Pendidikan sangat minim
sehingga timbul beberapa konflik di lingkungan sekitar.19
Menurut pendekatan REBT bahwa melalui proses reedukasi klien belajar cara
mengaplikasikan pikiran yang logis pada penyelesaian masalah dan perubahan emosi.
Dryden dan Ellis 1988 dalam corey yang dikutip abdul hayat mengemukakan bahwa agar
bisa menciptakan perubahan psikologis, individu perlu berbuat sbb:
18
Santrock, J.W. (2007). Remaja edisi 11 jilid 1. Jakarta: Erlangga
19
Qurrata A’yuni, dkk, “Pola Pendidikan Agama Islam Pada Anak Keluarga Broken Home”, Jurnal Imtiyaz Vo;. 5
No. 2 . September 2021. Hal. 65
b. Memahami bahwa masalah kepribadian mereka berasal terutama dari keyakinan yang
irasional serta berpsrinsip mutlak dan bukan dari keadaan yang sesungguhnya.
c. Belajar mendeteksi keyakinan irasional mereka dan mempertanyakan semuannya itu
sampai ke suatu titik dimana mereka mau memanfaatkan alternatif yang rasional
d. Melibatkan diri pada pekerjaan dan praktek menuju internalisasian falsafah yang baru
dan praktek rasional dengan menggunakan metode perubahan yang kognitif, dan
behavioral.20
Hidup dalam keluarga broken home sangat berdampak buruk terhadap kemajuan
anak dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun tumpuan pola berpikir
yang positif untuk keluar dari permasalahan orangtua yang berpisah maupun masalah
lingkungan.
Salah satu metode yang paling penting sebagai tindakan penanganan adalah memberikan
bimbingan kepada mereka untuk kembali mengajarkan agama sebagai wujud keimanan
kepada Allah SWT. Yang memiliki peranan besar dalam kehidupan manusia. Agama
merupakan salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap individu
yang merindukan ketentraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah tidak akan terpenuhi kecuali dengan agama dengan kembali
kepada fitrah-Nya. 21Fitrah yang dimaksud disini adalah fitrah sebagai unsur-unsur dan sistem
yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia, unsur-unsur itu mencakup jasmani, rohani
dan nafs dimana fitrah berupa ‘iman kepada Allah’ menjadi intinya. 22
Agama dan psikologi umumnya mencakup bidang yang berbeda, tetapi landasan
teoritis psikologi berhubungan dengan idealisme agama. Pentingnya budaya masyarakat
dan latar belakang keluarga dalam pengembangan praktik keagamaan sangat diakui. Ini
menunjukkan bagaimana REBT selaras dengan beberapa keyakinan agama yang penting
dan dapat digunakan secara efektif oleh banyak klien yang memiliki filosofi mutlak
tentang Tuhan dan agama.23
20
Abdul hayat II hal 8-9
21
A. F. Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Amzah, 2000),h. 77-78
22
Suyoto, A 2013Bimbingan dan Konseling islami (teori dan praktek). Yogyakarta: Pustaka Pelajar 24
Kecemasan yang mengganggu performa ini yang harus diminimalisir bahkan
dihilangkan, salah satu caranya dengan cara mengelola pikiran dan kembali kepada
fitrahnya. Fitrah yang dimaksud disini adalah fitrah sebagai unsur-unsur dan sistem yang
dianugerahkan Allah kepada setiap manusia, unsur-unsur itu mencakup jasmani, rohani
dan nafs. Setiap individu meliki kendali penuh untuk mengelola pikirannya. Pikiran itu
sendiri menentukan emosi yang menjadikan seseorang melakukan sebuah perilaku
tertentu.
23
Yatiman bin Karsosikromo, Keperluan Penerapan dan cadangan unsur keislaman dalam terapi rasional emosi
tingkah laku (REBT).
24
25
N., Sam M.S., “Broken Home,” in PsyychologyDictionary.org, April 7, 2013,
https://psychologydictionary.org/broken-home/ (accessed january 25,22)
Namun dalam kehidupan keluarga tidak dari badai kehidupan yang turut
mempengaruhinya sehingga membuat kondisi keluarga menjadi disharmonis bahkan
berujung pada perpisahan atau perceraian.
Namun ada kondisi yang membuat emosional anak tidak terpenuhi. Sebagai
contoh pertengkaran orang tua, kekerasan dan pola komunikasi keluarga broken home
yang membuat anak tidak bisa mengekspresikan perasaannya.
Jika saya sengsara, jika saya marah, kesal itu adalah tanggung jawab saya.
Karena itu berdasarkan apa yang saya pikirkan atau yakini pada saat itu. Bukan dunia
luar yang menyebabkan saya merasakan ini, apa yang saya lakukan di sini yang membuat
saya memiliki reaksi itu, dan jika saya masalahnya, saya juga solusinya
itu juga menjadi persoalan yang kadang-kadang sumber konfliknya berasal dari
perbedaan pendapat antara ayah dan ibu. Hal ini mempengaruhi tumbuh kembang anak
yang diasuh dengan orangtua uang dipisahkan oleh konflik.
Perceraian seringkali dianggap penyelesaian yang tepat untuk mengakhiri
hubungan rumah tangga yang ditidak kondusif, dan tidak sedikit suami istri yang
mengakhiri jalinan mereka dengan perceraian. Bennet(dalam Dewi, 2006)
mengemukakan, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan yang dilakukan
secara legal (hukum). Sepertiga perkawinan pertama dalam sepuluh tahun terakhir
berujung pada perceraian. Konsekuensi dari tingginya angka perceraian tersebut adalah
ditemukannya lebih dari satu juta anak terlibat dalam situasi perceraian setiap tahunnya.27
26
Santrock, J.W. (2007). Remaja edisi 11 jilid 1. Jakarta: Erlangga
27
Dewi, M. (2006), Gambaran Proses Memaafkan Pada Remaja yang Orang tuanya Bercerai. Jurnal Psikologi
Vol, 41 (1), 1
Masalah perceraian memang tidak hanya dirasakan oleh orang tua yang
mengalaminya, hal ini tentunya juga memiliki dampak terhadap anak terutama di masa
remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa
dewasa.
Anak-anak selalu lahir dari pasangan setiap saat setiap masa. Data Unicef
menyebut 395.050 anak yang lahir di hari pertama bulan januari. Dan di Indonesia 13
ribu anak lahir di hari pertama bulan januari. Tapi setiap jam terjadi 40 kasus perceraian
di Indonesia. Kalau sehari ada 24 jam maka dalam sehari bisa terjadi 960 perceraian.
Data BPS memastikan dari setiap lima pernikahan terjadi satu perceraian.
Santrock (2007) menjelaskan, remaja dari keluarga yang bercerai lebih rentan
mengalami masalah penyesuaian diri, akademis, kurang memiliki tanggungjawab sosial,
berhubungan dengan teman sebaya yang antisosial, putus sekolah, menggunakan obat-
obatan dan aktif secara seksual di usia dini, jika dibandingkan dengan remaja dari
keluarga utuh28.
Dengan kondisi keluarga yang kurang harmonis, mereka melakukan penilaian
terhadap situasi yang dialminya sehingga akan menghasilkan berbagai bentuk emosi-
emosi negatif yang tidak sehat seperti marah disertai perasaan cemas. Merasa diri tidak
mampu dan tidak berdaya jika menghadapi suatu permasalahan walaupun menurut orang
lain masalah yang dihadapinya itu ringan, terasa sulit bagi mereka untuk
mengendalikannya. Perasaan-perasaan ini menandakan bahwa mereka memiliki
kekhawatiran yang berlebihan terhadap sesuatu sehingga hal ini memibu munculnya
gejala-gejala kecemasan. Selain itu muncul pula keyakinan irasional pada akhirnya akan
memunculkan emosi-emosi negatif terhadap diri mereka sendiri.
Rasa cemas tidak hanya dirasakan oleh dewasa, namun juga anak-anak serta
remaja. Pada kadar yang rendah kecemasan membantu untuk bersiaga mengambil
langkah-langkah untuk mencegah bahaya atau untuk memperkecil dampak meningkatnya
performa. Namun apabila kecemasan sangat besar, justru akan sangat mengganggu.
Menurut Echolid (wardhani, 2016:3), broken home adalah suatu kondisi
hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua yang
disebabkan oleh beberapa hal, seringkali karena perceraian, sehingga anak hanya hidup
dengan satu anak kandung. Keluarga broken home cenderung membekali anak dengan
masalah dan mempengaruhi tumbuh kembang anak, terutama pada perkembangan agama
dan moral anak. Kondisi yang kacau dan tidak harmonis dalam keluarga dapat
28
Santrock, J.W. (2007). Remaja edisi 11 jilid 1. Jakarta: Erlangga
menghambat perkembangan moral anak. Dalam hal ini interaksi dan kebersamaan dalam
keluarga berkurang, sedangkan anak akan merasa tidak diperhatikan sehingga anak juga
akan sering mendengar suara verbal dan nonverbal serta teriaka. Pengalaman sejak kecil
selama keluarga yang penuh dengan konflik dan kurangnya bimbingan spiritual, nilai
moral dan nilai moral akan berdampak negatif pada peristiwa nilai agama dan moral
anak bahkan hingga dewasa. Broken home khususnya bagi seorang anak sangat tidak
baik untuk pertumbuhan atau perkembangan mereka sehingga menjadi jenuh dengan
kehidupannya sendiri dan kurangnya perhatian orang tua. Pendidikan sangat minim
sehingga timbul beberapa konflik di lingkungan sekitar.29
Broken home merupakan kurangnya perhatian dari anggota keluarga maupun
kerangnya perhatian orangtua kepada anak akibat sibuknya orangtua dalam pekerjaan
maupun orangtua yang berpisah atau bercerai.
Dalam Al-Quran, aktifitas berpikir dan merasa dihubungkan dengan apa yang
disebut dengan nafs (jiwa), qalb (hati), bashirah (hati nurani) dan aql (akal). Manakala
ke empat unsur itu bekerja secara optimal dalam kerangka sistem nafsani seseorang,
maka dalam keadaan seperti itulah seseorang dianggap memiliki kesehatan mental yang
prima, tetapi jika salah satunya apalagi semuanya terganggu maka manusia itu bisa
mengalami bias yang menyebabkan ia tidak mengenali dirinya dan tidak tahu yang harus
diperbuatnya. 30
Mengintegrasikan pendekatan REBT dengan bimbingan agama dilakukan
karena dalam teori REBT berorientasi pada keyakinan (cara berpikir), begitu pula dengan
agama (Islam) yang menjadikan keyakinan (keimanan) sebagai pondasi dalam
kehidupan. Hal ini menunjukkan bagaimana REBT selaras dengan beberapa keyakinan
agama yang penting dan dapat digunakan secara efektif oleh banyak klien yang memiliki
filosofi mutlak tentang Tuhan dan agama.31
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, Jilid 5, (Cairo, Mesir: Darusy Syuruq, 1985), h. 235 dalam Jamil
Abdul Aziz, Potensi Manusia Perspektif Al-Quran dan Psikologi Behavioristik dan Humanisme Serta Implikasinya
Dalam Pendidikan, Jurnal Qiro’ah Vol. 10 no 1. 2020. H.3
Hidup dalam keluarga broken home sangat berdampak buruk terhadap kemajuan
anak dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun tumpuan pola berpikir
29
Qurrata A’yuni, dkk, “Pola Pendidikan Agama Islam Pada Anak Keluarga Broken Home”, Jurnal Imtiyaz Vo;. 5
No. 2 . September 2021. Hal. 65
30
Aminullah Cik Sohar, Teori Bimbingan & Konseling Islam, Palembang: IAIN Raden Fatah Press 24
31
Yatiman bin Karsosikromo, Keperluan Penerapan Dan Cadangan Unsur Keislaman Dalam Terapi
Rasional Emosi Tingkah Laku (REBT).
yang positif untuk keluar dari permasalahan orangtua yang berpisah maupun masalah
lingkungan.
Agama dan psikologi umumnya mencakup bidang yang berbeda, tetapi landasan
teoritis psikologi berhubungan dengan idealisme agama. Pentingnya budaya rakyat dan
latar belakang keluarga dalam pengembangan praktik keagamaan sangat diakui. Ini
menunjukkan bagaimana REBT selaras dengan beberapa keyakinan agama yang penting
dan dapat digunakan secara efektif oleh banyak klien yang memiliki filosofi mutlak
tentang Tuhan dan agama.32
۟ ُصلِحًا ِّمن َذ َكر َأوْ ُأنثَ ٰى َوه َُو ُمْؤ ِم ٌن فَلَنُحْ ييَنَّهۥُ َحيَ ٰوةً طَيِّبَةً ۖ َولَنَجْ زيَنَّهُ ْم َأجْ َرهُم بَأحْ َسن ما َكان
وا َ ٰ َم ْن َع ِم َل
َ ِ ِ ِ ِ ٍ
َيَ ْع َملُون
Referensi: https://tafsirweb.com/4445-surat-an-nahl-ayat-97.html
Referensi: https://tafsirweb.com/4686-surat-al-isra-ayat-82.html
https://merdeka-io.com/2021/02/20/nasib-anak-korban-perceraian/
32
Yatiman bin Karsosikromo, Keperluan Penerapan dan cadangan unsur keislaman dalam terapi rasional emosi
tingkah laku (REBT).
َ}}}}}}}}وٓا َء ٱلَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُم}}}}}}}}ون
َ }}}}}}}}ر فَٱتَّبِ ْعهَ}}}}}}}}ا َواَل تَتَّبِ}}}}}}}} ْع َأ ْه
ِ َ }}}}}}}}َثُ َّم َج َع ْل ٰن
ك َعلَ ٰى َش}}}}}}}} ِري َع ٍة ِّمنَ ٱَأْل ْم
Referensi: https://tafsirweb.com
Kecemasan terdiri dari pikiran, perasaan dan perilaku yang dipengaruhi oleh
faktor biologis, psikologis, dan genetis. Simtom-simtom yang ditunjukkan berbeda-beda
pada setiap individu dan situasi. Dengan kondisi keluarga yang kurang harmonis, mereka
melakukan penilaian terhadap situasi yang dialaminya sehingga sering menghasilkan
berbagai bentuk emosi-emosi negatif pada diri mereka sendiri. Kecemasan seringkali
mengakibatkan keadaan mood negatif yang dicirikan dengan simtom-simton tubuh dari
tekanan fisik, munculnya keyakinan yang irasional dan ketakutan tentang masa
depan.33 /9510-surat-al-jatsiyah-ayat-18.html
Menurut Ancok dalam Abdul Hayat, kalau kita ingin menghasilkan suatu
pendekatan baru dalam khazanah pendekatan ilmu pengetahuan , maka langkah yang
tepat bukan memulainya dari nol, melainkan harus dimulai dari penemuan terakhir.34
Agama merupakan seperangkat ajaran yang berisi peraturan, perintah dan larangan. Dari
sedemikian banyak perintah, di antaranya adalah ibadah dan doa. Ibadah dan doa bisa
dijadikan metode dan teknik psikoterapi disebabkan beberapa hal
Agama diyakini merupakan manifestasi dari Firman Tuhan berupa perintah, larangan, ajaran
kehidupan, moral, berbagai informasi mengenai hal gaib, aturan yang mengatur hubungan
manusia dan Tuhan. Kumpulan firman ini kemudian disatukan dalam kitab suci yang menjadi
pedoman masyarakat beragama. Kepercayaan atas kemampuan Tuhan yang Maha segalanya
kemudian membuat agama memiliki pengaruh yang kuat. Selain itu kebutuhan manusia akan
hidup yang teratur dan selaras juga membuat manusia memiliki dorongan untuk beragama
dan menjalankan perintah Tuhan. Disisi lain, agama menginformasikan bahwa agama
menjamin segalanya jika aturannya dipatuhi dan dijalankan. Agama juga menginformasikan
bahwa tujuan agama adalah untuk menciptakan keteraturan hidup. Kondisi-kondisi ini
membuat manusia menginternalisasikan nilai-nilai agama kedalam dirinya. Pada titik ini
menjadi awal keterkaitan antara agama dan pembentukan kepribadian manusia. Agama yang
berisi nilai dan pedoman hidup yang kemudian diinternalisasikan secara mendalam membuat
manusia menggunakan agama sebagai pedoman bertindak dan berperilaku. Sampai pada titik
ini agama sudah berpengaruh terhadap kepribadian manusia. Ajaran agama tentang sikap,
perilaku dan kepribadian manusia ini kemudian dipercayai dan diyakini untuk selanjutnya
diinternalisasikan kedalam diri sehingga agama memengaruhi kepribadian manusia. 39
39
Ahmad Saifuddin, Psikologi Agma Implimentasi Psikologi untuk memahami Perilaku beragama. Jakarta:
Prenadamedia Group. 2019. Hal 151
Agama dalam hal ini dapat mengambil peran psikoterapi. Agama merupakan seperangkat
ajaran yang berisi peraturan, perintah dan larangan. dari sedemikian banyak perintah,
diantaranya berwujud ibadah dan doa. Di setiap agama, memberikan jaminan ketenangan dan
kebahagian jiwa dengan melakukan ibadah dan doa. Ini artinya ibadah dan doa bisa
digunakan sebagai metode dan teknik psikoterapi karena disebabkan beberapa hal,
diantaranya:
REBT menegaskan bahwa keyakinan yang kaku dan absolut dalam bentuk ‘mesti’,
‘seharusnya’, ‘harus’, dan sejenisnya, biasanya ditemukan pada inti gangguan
emosional. Kepercayaan tersebut berbentuk sebagai perintah atau tuntutan yang
diterapkan pada diri sendiri, orang lain, dunia. Ada tiga kesimpulan utama yang bisa
ditarik dari sikap ‘harus’, seharusnya’, dan sejenisnya. Yang pertama adalah
pemburukan, yaitu mendefinisikan peristiwa negatif begitu buruk sehingga bahkan
melampai pemahaman manusia. Kedua adalah toleransi frustasi yang rendah yaitu
ketikmampuan individu untuk memikul ketidaksenangan yang dipersepsikan untuk
bertahan terhadap terhadap ketidaknyamanan atau frustasi dalam kehidupan mereka.
Yang ketiga adalah pengutukan diri sendiri atau orang lain, yaitu memberikan label
negatif pada diri sendiri berdasarkan tindakan, peristiwa atau karakteristik kehidupan
tertentu yang bisa dilihat dalam sistem belief nya.
Keyakinan kaku seperti itu disebut irasional atau merugikan diri sendiri karena
dipandang tidak logis dan tidak realistis. Keyakinan itu menghambat atau
menginterferensi upaya klien untuk mencapai tujuan untuk berubah dan menghasilkan
gangguan emosional yang besar. Selanjutnya ganguan semacam itu menghalang atau
menghambat klien untuk berkembang dan mengimplementasikan keterampilan
pemecahan problem praktis.
Untuk menangani problem emosioanal yang disebabkan diri sendiri dan untuk
mendapatkan kesehatan emosional, REBT menyarankan untuk mengembangkan
sistem keyakinan berdasarkan preferensi, keinginan, hasrat yang fleksibel dan tidak
absolut. Kepercayaan itu disebut rasional atau membentuk diri sendiri karena
dipandang logis dan realistik. kepercayaan itu membantu pencapaian tujuan dan
biasanya mengurangi tingkat tekanan emosi, sehingga memfasilitasi pemecahan
problem praktis. (Konseling dan Psikoterapi 502-503)
REBT menunjukan bahwa kita punya kecenderungan berbasis biologis untuk
memikirkan pikiran kita, yaitu merefleksikan secara rasional ide-ide irasional kita dan
selanjutnya melawan atau memimalkan dampak yang berpotensi merugikan pada
pikiran kita yang bias dan menyimpang. Dengan mengembangkan filsafat kehidupan
rasional, individu bisa belajar untuk memoderasikan perasaan-perasaan mereka yang
terganggu dan meningkatkan upaya mereka untuk mengaktualisasikan diri
(mewujudkan potensi seseorang). (Konseling dan Psikoterapi 504)
Ada tiga kesimpulan utama yang bisa ditarik dari sikap ‘harus, seharunya, dan
sejenisnya :
1. Pemburukan- mendefinisikan peristiwa negatif begitu buruk
sehingga bahkan melalmpaui pemahaman manusia
( misalnya ‘mengapa semua hal tak mengenakan ini terjadi
padaku. Seharusnya tidak seperti ini. Sungguh buruk)
2. Toleransi frustasi yang rendah- ketidakmampuan individu
untuk memikul ketidaksenangan yang dipersepsikan untuk
bertahan terhadap ketidaknyamanan atau frustasi dalam
kehidupan mereka (misalnya ‘mengapa semua orang ribut
tentangku yang seharusnya tak mereka lakukan. Aku tak
tahan lagi’)
3. Pengutukan diri sendri dan/ orang lain- ,memberikan label
negatif pada diri sendiri berdasarkan tindakan, peristiwa
atau karakteristik kehidupan tertentu. (konseling dan
psikoterapi 502)
Keyakinan kaku seperti itu disebut irasional atau merugikan
diri sendiri karena dipandang tidak logis dan tidak realistis.
Keyakinan itu menghambat atau menginterfensi upaya klien
untuk mencapai tujuan untuk berubah, dan menghasilkan
gangguan emosional yang besar. Salanjutnya gangguan
semacam itu menghalangi atau menghambat klien untuk
berkembang dan mengimplimentasikan ketrampilan
pemecahan masalah praktis.
Referensi : https://tafsirweb.com/7653-surat-al-ahzab-ayat-41.html
Aspek-aspek Kecemasan menurut Nevid dkk. Terbagi menjadi tiga aspek, yaitu:
a. Aspek Fisik
Gangguan yang terjadi pada fisik individu yang mengalami kecemasan meliputi
produksi keringat yang lebih banyak, gemetar, perasaan mual, panas dingin,
jantung berdetak kencang, sesak nafas, gelisah, perasaan lemas, diere dan buang
air kecil lebih sering dari biasanya.
b. Aspek Perilaku
Perilaku individu yang mengalami kecemasan akan menjadi berbeda dari
biasanya, meliputi perilaku menghindar, ketergantungan terhadap orang lain dan
individu cenderung menghindari atau meninggalkan situasi yang dapat memicu
timbulnya kecemasan.
c. Aspek Kognitif
Individu yang mengalami kecemasan akan merasakan kekhawatiran yang berlebih
terhadap sesuatu yang akan terjadi. Individu akan merasa terancam oleh seseorang
atau peristiwa yang akan terjadi, dan merasakan kebingungan serta kekhawatiran
akan ditinggal seorang diri
40
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota, 1990),h 661.
41
Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu, dalam arti
bahwa pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada
individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan
3) Lingkungan awal yang tidak baik
Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kecemasan
individu, jika faktor tersebut kurang baik maka akan menghalangi pembentukan
kepribadian sehingga muncul gejala-gejala kecemasan.
Menurut pendekatan REBT bahwa melalui proses reedukasi, individu belajar cara
mengaplikasikan pikiran yang logis pada penyelesaian masalah dan perubahan emosi. Dryden
dan Ellis 1988 dalam Corey yang dikutip Abdul Hayat mengemukakan bahwa agar bisa
menciptakan perubahan psikologis, individu perlu berbuat sbb:
1. Menerima kenyataan bahwa meskipun mereka menciptakan gangguan mereka sendiri,
mereka memang punya kemampuan untuk mengubahnya secara signifikan.
2. Memahami bahwa masalah kepribadian mereka berasal terutama dari keyakinan yang
irasional serta berpsrinsip mutlak dan bukan dari keadaan yang sesungguhnya.
3. Belajar mendeteksi keyakinan irasional mereka dan mempertanyakan semuannya itu
sampai ke suatu titik dimana mereka mau memanfaatkan alternatif yang rasional.
4. Melibatkan diri pada pekerjaan dan praktek menuju internalisasian falsafah yang baru
dan praktek rasional dengan menggunakan metode perubahan yang kognitif, dan
behavioral.42
٩﴿ ﴾ قَ ْد َأ ْفلَ َح َم ْن َز َّكاهَا٨﴿ ﴾ فََأ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا٧﴿ س َو َما َسوَّاهَا
ٍ ﴾ َونَ ْف
“Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya). Maka Allah mengilhamkam kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang
mensucikan jiwa itu” (QS. As-Syams: 7-9).
Sayid Quthub menjelaskan bahwa ayat diatas meggambarkan bahwa manusia adalah makhluk dwi
dimensi dalam tabiatnya.
Hartati dan Kania dalam Hany Paturrochmah menyebutkan REBT yang berbasis Islam lahir
sebagai upaya membantu memberdayakan kembali potensi yang ada di dalam diri individu
yaitu fitrah manusia yang telah diberikan aql, qalb, nafs dan ruh serta kembali mengaktifkan
keimanan dan ketakwaan hingga kembali berkembang dan berfungsi sebagaimana mestinya.