Anda di halaman 1dari 4

Nama : Wafi Firdausi

NIM : 931107517

Matkul/Kelas : Konseling Keluarga Sakinah/C

Semester : V (5)

KONSEP KONSELING KELUARGA DENGAN PENDEKATAN SISTEM DARI


TINJAUAN KHASUS-KASUS YANG TERJADI DITENGAH MASYARAKAT

PEMBAHASAN

1. Konsep Konseling Keluarga Dengan Pendekatan Sistem


1.1 Perspektif Sistem dalam Keluarga
Teori sistem adalah istilah umum mengkonsepkan sekelompok elemen yang saling
berhubungan, misalnya orang yang berinteraksi sebagai satu entitas yang utuh, misalnya
keluarga atau kelompok. Sebagai sebuah konsep, teori sistem “lebih mirip pada suatu cara
berfikir daripada teori yang koheren dan standar”. Menurut teori sistem seorang ahli
biologi Ludwig Von Bertalanffly bahwa semua organisme yang hidup tersusun atas
komponen-komponen yang berinteraksi secara mutual, dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Fokus sistem teori secara umum adalah bagaimana interaksi dari bagian-bagian
dapat mempengaruhi operasi sistem tersebut secara keseluruhan.1
Dengan demikian, konseling keluarga adalah proses menganyam dari semua
anggota keluarga untuk tumbuh dan menemukan dirinya sendiri. Konseling keluarga
adalah proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai keseimbangan di
mana setiap anggota keluarga dapat merasakan kebahagiaan. Tujuan dari bimbingandan
konseling keluarga adalah membantu anggota keluarga dan keluarga sebagai satu
kesatuan untuk mencapai kesejahteraan keluarga.
Konseling dalan keluarga adalah konseling yang diberikan kepada anggota
keluarga yang mengganggu ketentraman dan kebahagiaan hidup keluarga itu. Fungsi
bimbingan dan konseling keluarga harus dibantu untuk melihat, menimbang,
memutuskan dan berbuat agar keluarga membuka mata dan hati mereka untuk

1
Gladding Samuel T., Konseling Profesi yang Menyeluruh (Jakarta : PT Indeks, 2012), hlm 274.
memperhatikan dan merasakan keadaan diri sendiri dan sesama manusia dengan suatu
sikap yang baru.
Untuk melaksanakan konseling dengan pendekatan sistem ini, maka konselor perlu
memahami konsep-konsep bawah ini :
a. Perbedaan setiap individu dalam keluarga. Dengan demikian, maka konselor akan
dapat modifikasi hubungan anggota keluarga.
b. Keseimbangan kemampuan, intelektual, dan emosi pada anggota keluarga. Hal ini
akan membantu konselor dalam memahami dan melihat sistem keluarga dlam
menghadapi masalah.
Menurut teori sistem ada dua perspektif yaitu sistem tertutup, (closed system) dan
sistem terbuka, (open system). Sistem tertutup adalah suatu sistem yang tidak terpengaruh
oleh dunia luer. Demikian pula ia tidak bisa mempengaruhi dunia luar, misalnya sistem
mesin mobil, motor mesin kereta api, dan sebagainya. Sedangkan sistem terbuka adalah
suatu sistem yang dapat dipengaruhi oleh dunia luar. sebaliknya mungkin saja dia dapat
mempengaruhi dunia luar tersebut. Sebagai contoh sistem keluarga, sekolah/universitas,
departemen dan sebagainya.
1.2 Konseling Struktural Keluarga
Teori dan teknik konseling keluarga struktural ini dikembangkan akhir tahun 1976
oleh Minuchin. Praktek konseling keluarga struktural berdasarkan konsep-konsep kunci
yaitu:
1. Keluarga sebagai sistem manusia yang mendasar, dan alternatif-alternatif yang
tersedia.
2. Nilai fleksibilitas sistem dan kapasitasnya untuk perluasan dan restrukturing
(pengstrukturan kembali) seperti dengan mengubah aliansi, koalisi sistem dan
subsistem dalam berespon terhadap perubahan keadaan.
3. Menguji daya resonansi (keadaan respon) sistem keluarga, kesensitifan terhadap aksi
anggota lain. Perilaku anggota keluarga bergerak dari amat
sensitif/mencurigai/mengawasi hingga membiarkan saja (mas bodoh) dengan kasi
(perkataan, perbuatan, kecemasan, keluhan dan lain-lai) anggota keluarga.
4. Meninjau suasana kehidupan keluarga, menganalisis faktor-faktor penunjang dan
faktor-faktor yang menimbulkan stres dalam ekologi keluarga.
5. Menguji tahap perkembangan keluarga dan penampilan keluarga dalam
melakukantugas sesuai dengan tahap tersebut (misalnya: tugas anak umur 12 tahun
tugas perkembangannya bagaimana seharusnya; tetapi kenyataannya tugas itu
mundur atau terlalu maju).
2. Kasus-Kasus
Pasangan suami istri yang menikah pada tingkat kematangan emosional yang sama
dibandingan dengan pasangan yang kurang matang, yang lebih rentan mengalami
permasalahan dalam hubungan pernikahan mereka, daripada yang lebih matang. Ketika
muncul gesekan besar dalam pernikahan, pasangan yang kurang matang cenderung
memperlihatkan tingkat fusi yang tinggi (emosi kebersamaan yang tidak terbedakan) atau
pemutusan (penghindraan psikologis atau fisik) karena mereka belum memisahkan diri dari
keluarga asalnya dengan cara yang sehat, dan belum membentuk konsep diri yang stabil.
Ketika ditekan sebagai individu dalam perkawinan, mereka cenderung melakukan triangulasi
(memfokuskan diri dari pihak ketiga). Pihak ketiga dapat berupa perkawinan itu sendiri, anak,
institusi atau sekolah atau bahkan keluhan somatic. Bagaimanapun juga, hal tersebut
mengarah pada interaksi pasangan yang tidak produktif.2 Mengenai kasus keluarga, banyak
juga ditemukan di sekolah seperti siswa yang menyendiri, dan suka bermenung. Dan memang
belakngan diketahui ternyata keluarganya berantakan, misalnya ayah ibu bertengkar dan
bercerai.
Dalam problematika yang dialami sebuah keluarga sangat berpengaruh kepada kondisi
sosial disekitar terutama yang mengacu kepada anak. Seperti halnya perasaan beban yang
terpikirkan disuami atau istri tersebut mau tidahk mau hati atau pikiran sang anak juga ikut
terbebani. Hal ini dapat menyebabkan pemikiran anak menjadi tidak menentu dan mudah ikut
dalam keadaan sekitar. Seperticontohnya anak tersebut berpikir bahwa apa yang terjadi dalam
sebuah keluarga merupakan hak sebuah keluarga meskipun hal tersebut berbentuk kekerasan,
jadi saat sudah pada usia kawin anak tersebut menikah tanpa dasar membentuk keluarga
sakinah. Hal tersebut yang menyebabkan problem dalam rumah tangga tetap ada dan berlanjut
sampai saat ini.
Dalam menyelesaikan problem suatu keluarga diharap setiap individu menanyaka
kepada konselor keluarga apa yang merupakan tanggung jawab dan hak dalam sebuah

2
Gladding Samuel T., Konseling Profesi yang Menyeluruh, hlm 275-276
keluarga. sebelum maupun sesudah membina sebuah keluarga. Meskipun seberat apapun
masalah yang dialami sebuah keluarga, dengan menanyakan problem yang ada dalam
keluarga kepada konselor dibidangnya masalah bisa diatasi dengan cara yang paling aman.
Dalam proses perkembangan konseling keluarga terdapat dua dimensi orientasi: 1)
orientasi praktis, yaitu kebenaran tentang perilaku tertentu diperoleh dari pelaksanaan proses
konseling di lapangan. Gaya kepribadian konselor praktis dengan gaya konduktor,
kepribadiannya hebat, giat, dapat menguasai audence sehingga mereka terpana. Selamjutnya
dengan gaya reaktor, yaitu kepribadian konselornya cenderung tidak menguasai,
menggunakan taktik secara dinamika kelompok dikeluarga. 2) orientasi teoritis, cara yang
ditempuh adalah dengan mengadakan penelitian.

REFERENSI
S. Wilis, Sofyan. 2017. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung: Alfabeta.
Samuel T. Gladding. 2012.Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. Jakarta : PT Indeks.

Anda mungkin juga menyukai