Anda di halaman 1dari 13

EFEKTIFITAS CINEMA THERAPY UNTUK MENINGKATKAN KEPERCAYAAN

DIRI ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA

Salis Khoiriyati
Eka Rizki Amalia
Dosen Institut Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto
Salis85.sk@gmail.com
Ekarizkiamalia2014@gmail.com

Abstract

This study aims to find out how effective cinema therapy is to


increase parents' trust. in this study, subjects were given intervention
by showing several films that had a storyline that was almost the
same as the subject's life. in the film there is a motivation that there
is nothing to worry about from parents' divorce. In addition,
psychoeducation is also given to families who care for children who
are victims of divorce

Keywords: Divorce, cinema therapy

A. PENDAHULUAN
Keluarga merupakan fondasi utama dalam mendidik seorang anak. Pola asuh yang berjalan
dalam suatu keluarga merupakan hal yang paling pokok dalam membentuk kepribadian dan
kemandirian seorang anak.
Keluarga adalah suatu sistem yang berkesinambungan. Menurut Goldenberg dan Goldenberg
1
mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem sosial yang almiah, artinya bahwa dalam keluarga
ada seperangkat aturan, peran masing-masing anggota, struktur kekuatan, pola komunikasi dan
cara-cara pemecahan masalah yang sudah terbentuk. Dalam keluarga adanya kekuatan, keeratan,
kesetiaan dan kelekatan emosional yang bersifat timbal balik sepanjang hidup.
Selain itu keberfungsinya sebuah keluarga sangatlah penting bagi pertumbuhan seorang
anak. Peran masing-masing orang tua juga sangat menentukan masa depan anak. Misalnya saja,
dalam keluarga Indonesia, pada umumnya seorang ayah berperan sebagai pencari nafkah dan
seorang ibu berperan sebagai pengatur rumah tangga dan merawat anak di rumah. Nah, ketika
peran tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka anak akan mengalami ambiguitas
mengenai peran orang tua. Ketika pola keluarga berjalan sesuai dengan norma yang ada atau
sesuai dengan aturan sosial, maka keluarga akan berjalan dengan baik.
Seperti halnya diatas, dalam keluarga yang berfungsional terjadi pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dasar. Sedangkan dalam keluarga disfungsional bila kebutuhan-kebutuhan masing-
masing anggota keluarga tidak terpenuhi. Jadi status keluarga yang fungsional atau disfungsional
tidak terletak pada ada atau tidaknya konflik tetapi pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan
masing-masing anggota keluarga. Konflik akan muncul bila tujuan keluarga tidak terpenuhi.
Di dalam keluarga fungsional dan disfungsional adanya aturan-aturan dalam keluarga yaitu
kesepakatan masing-masing anggota keluarga terhadap pengaturan interaksi diantara anggota
keluarga seperti pengaturan anggaran belanja ataupun pembagian tugas. Disamping itu adanya
homeostatis keluarga yaitu upaya keluarga untuk mengembalikan situasi yang tidak seimbang
yang dialami oleh setiap anggota keluarga untuk menjadi seimbang kembali. Ketika aturan dalam
keluarga tidak berjalan sebagai mana mestinya, maka perceraian akan terjadi.

1
Ratna Eiyawati; hand out Family Therapy; 2010; Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945; Surabaya

1
Menurut Hurlock2, perceraian merupakan kulminasi dari penyebab perkawinan yang buruk,
dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari penyelesaian masalah
yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak
membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut
didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan lainnya. Tetapi banyak
juga perkawinan yang diakhiri dengan perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun
dengan diam-diam dan juga yang salah satu (suami/istri) meninggalkan keluarga.
Dalam perceraian sebuah keluarga, korban yang paling terpuruk adalah anak. Seorang anak
dari korban perceraian akan mengalami trauma psikologis yang sangat berat. Mulai dari
kepercayaan diri yang menurun, depresi ringan sampai depresi berat, kenapa? Karena anak
merasa dirinya tidak akan mendapatkan kasih sayang yang utuh lagi., dan pertengkaran kedua
orang tua sebelum perceraian berlangsung cukup membuat kondisi psikologis anak terpuruk.
Dari permasalahan tersebut diatas, anak korban perceraian perlu mendapatkan penanganan
khusus dalam pemulihan kondisi psikologisnya karena apabila tidak ditangani dengan baik,
dampak perceraian akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya, baik itu di bidang pendidikan,
kepribadian, sosial dan pekerjaan.
Oleh sebab itu dewasa ini, banyak terobosan-terobosan bari dalam pemulihan psilokogis
seseorang. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Cinema Therapy dalam pemulihan
psikologis anak korban perceraian. Sedangkan Gilbert P. Mansergh 3 mendefinisikan bahwa film
adalah media representasi, yang melalui gaya dan isi yang melambangkan berbagai pola perilaku
(melalui tindakan karakter, plot, tema, editing, dll) yang dapat dianalisis daro perbedaan teori
psikologis dan modalitas mengajar.

B. KAJIAN TEORI

Keluarga adalah suatu sistem yang berkesinambungan. Menurut Goldenberg dan


Goldenberg4 mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem sosial yang almiah, artinya bahwa
dalam keluarga ada seperangkat aturan, peran masing-masing anggota, struktur kekuatan, pola
komunikasi dan cara-cara pemecahan masalah yang sudah terbentuk. Dalam keluarga adanya
kekuatan, keeratan, kesetiaan dan kelekatan emosional yang bersifat timbal balik sepanjang
hidup.
Dalam keluarga yang berfungsional terjadi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Sedangkan dalam keluarga disfungsional bila kebutuhan-kebutuhan masing-masing anggota
keluarga tidak terpenuhi. Jadi status keluarga yang fungsional atau disfungsional tidak terletak
pada ada atau tidaknya konflik tetapi pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masing-masing
anggota keluarga. Konflik akan muncul bila tujuan keluarga tidak terpenuhi.
Dalam teori Murray Bowen5 ada delapan kunci konsep yang berfungsi membentuk
keluarga, yaitu : 1). Diferensiasi diri, 2). Triangulasi, 3) Sistem emosional keluarga inti,
4). Proses proyeksi keluarga, 5). Emosi yang terhambat, 6). Proses transmisi multi
generasi, 7). Posisi saudara dimana adanya persaingan dan perasaan iri, 8). Regresi
masyarakat.
Menurut Hurlock6 perceraian merupakan kulminasi dari penyebab perkawinan yang
buruk, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa
banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan
perceraian karena perkawinan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi
ekonomi dan alasan lainnya. Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri dengan

2
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta
3
Gilbert P Mansergh; www.cinematherapy.com. Diakses tanggal 4 Agustus 2018
4
Ratna Eiyawati; hand out Family Therapy; 2010; Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945; Surabaya
5
M. Bowen. Family Therapy in Clinical Practice. Aronson. 1985 New York.
6
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta

2
perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-diam dan juga yang
salah satu (suami/istri) meninggalkan keluarga.
Ada berbagai kondisi yang mempengaruhi stabilitas perkawinan yang dapat dan
sering mengakibatkan perceraian. Tidak ada satu kondisipun yang penting, artinya
masing-masing alasan mempunyai akibat dan kedudukan yang sama untuk
memungkinkan terjadinya pisah ranjang, salah satu anggota keluarga meninggalkan
keluarga, atau akibat paling parah yaitu perceraian. Sehingga dengan demikian
komposisi dari sebab-sebab itulah yang memunginkan terjadinya gangguan terhadap
stabilitas keluarga7.
Efek traumatik dari perceraian biasanya lebih besar daripada efek kematian, karena
sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, erta
mengakibatkan cela sosial. Hotman dan Froiland8 menjelaskan tentang kesulitan dan
kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka mengatakan ada lima
tahap penyesuaian setelah perceraian, pertama menyangkal bahwa ada perceraian, kedua
timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat, ketiga
dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai, keempat
mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian
terhadap keluarga, kelima akhirnya mereka setuju untuk bercerai.
Efek perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak dari keluarga. Pada
umumnya anak yang orang tuanya bercerai atau menikah lagi mereka malu karena
mereka merasa berbeda. Hal ini sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila
mereka tinggal dalam lingkungan dimana sebagian besar dari teman bermainnya juga
berasal dari keluarga yang telah bercerai atau menikah lagi9. Biasanya anak akan merasa
terluka apabila loyalitasnya harus dibagi karena orang tuanya bercerai dan anak akan
sangat cemas karena ketidakpastian kehidupan mereka jika terjadi perceraian, mereka
akan tinggal dimana atau ikut siapa. Namun anak yang orang tuanya secara emosional
bercerai tetapi masih tinggal satu atap jauh lebih menderita dibandingkan anak yang
orang tuanya bercerai secara sah, karena konflik dalam keluarga lebih berbahaya bagi
anak dari pada perceraian itu sendiri10.
Cinema therapy merupakan metode penggunaan film untuk memberi efek positif
pada klien. Masalah yang bisa diatasi dengan menggunakan cinema therapy yaitu
motivasi, hubungan, depresi, kepercayaan diri, dsb. Namun tidak termasuk gangguan
jiwa akut. Ketika menonton film, individu merasa mengalami sendiri apa yang dirasakan
tokoh-tokoh dalam cerita. Melalui simbol-simbol yang biasanya ada dalam film, alam
bawah sadar lalu mencoba berkomunikasi dengan alam sadr. Meskipun film digunakan
untuk media terapi sebenarnya tidak memecahkan masalah yang sebelumnya, tapi di sisi
lain film membantu individu untuk memahami masalah yang sebelumnya belum
terpecahkan yang mungkin selama ini mempengaruhi cara pandang dalam hidup.
Alfred Hitchock (dalam Wolz) mendefinisikan bahwa film adalah ilusi kehidupan
yang dilakukan dengan kadang menghilangkan bagian tertentu dalam kehidupan
tersebut.11 Hesley (dalam Byrd,) mengidentifikasi tujuan cinema therapy atau
"videowork" sebagai potensi sarana untuk membuka diskusi dalam terapi. Film dapat

7
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta
8
ibid
9
ibid
10
ibid
11
Birgit Wols; E-Motion Picture Magic A Movie Lovers Guide To Healing Transformatiob. Colorado; 2004; Glendbridge
Publishing.Ltd.

3
"menunjukkan kehidupan biasa dan membiarkan klien menemukan panduan dalam
bekerja.
Berikut akan dijabarkan hal apa saja yang termasuk dalam proses menonton film
(Demir) :
1. Logika (alur cerita); menandakan bagaimana seseorang dapat memahami
setting alur cerita dalam film.
2. Bahasa (dialog); adanya pemahaman dialog atai isi cerita dalam film.
3. Visual spacial (gambar, warna, simbol); unsur gambar menjadi dasar sugesti
dengan adanya indera yang berperan untuk melihat yang kemudian membawa
informasi melihat ke dalam proses kerja otak dalam memaknai arti simbol atau
gambar.
4. Musik (suara & musik); efek musik juga berpengaruh untuk memberikan
sugesti ke dalam alam bawah sadar penonton. Penggunaan musik dalam film
adalah hal yang mendukung dalam proses pemberian sugesti.
5. Interpersonal; berkaitan dengan bagaimana diri dapat memahami keadaan
personal dari tokoh yang diveritakan dalam film.
6. Kinestetik; atau kata lainnya adalah seni atau keindahan. Kinestetik berkaitan
pula dengan gambar bergerak yang memberikan efek visual yang mendorong
penonton untuk dapat memahami arti alur film yang diceritakan.
7. Intar-psychic; merupakan keadaan jiwa personal, yang dapat membimbing
dalam penemuan makna dari film yang dijadikan metode dalam cinema
therapy.12
Memahami alur cerita dan karakter tokoh dalam sebuha film,
menimbulkan
proses kerja berikut :
a. Dengan melihat film, itu menandakan bahwa terjadi kerja aktif dalam otak
yang menunjukkan diri memahami isu-isu emosi yang ditandai dengan
timbulnya pemahaman dengan sebuah alur cerita dalam film.
b. Terapi dengan menggunakan film ternyata dapat membangkitkan semangat di
alam bawah sadar kita. Dengan menonton film luapan ekspresi emosi terjadi.
Penonton seperti terkena sihir, seolah berada di dalam alur cerita film.
c. Titik akhir dari cinema therapy adalah menemukan makna atau maksud dari
alur cerita film. Penemuan makna ini yang kemudian dapat mendorong untuk
tampil seperti apa yang semestinya, bisa berupa motivasi, hubungan depresi,
percaya diri.
Jadi teknik cinema therapy dapat menjadi salah satu alternatif dalam
upaya meningkatkan motivasi belajar karena dengan cinema therapy dapat
membangkitkan semangat diri bereksplorasi. Banyak hal yang dapat dipelajari
dengan menggunakan cinema therapy atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
sebagai terapi film.

C. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini mengunakan metode eksperimen kualitatif, subjek diberikan assesment
atau pemeriksaan oleh tim ahli Psikologi (Psikolog) untuk mengetahui kondisi psikologisnya.
Kemudian melalui hasil tes subjek diberikan intervensi, yaitu dengan cinema therapy. Cinema

12
Ilifsemen Demir; Cinema Therapy. Psychology Hurnal Of Metu; Cinema Therapy
http//psinema.metu.edu.to(makale/cinematherapy.pdf diakses tanggal 04 Agustus 2018

4
therapy merupakan metode penggunaan film untuk memberi efek positif pada subjek.
Masalah yang bisa diatasi dengan menggunakan cinema therapy yaitu motivasi,
hubungan, depresi, kepercayaan diri, dsb. Namun tidak termasuk gangguan jiwa akut.
Ketika menonton film, individu merasa mengalami sendiri apa yang dirasakan tokoh-
tokoh dalam cerita. Dalam penelitian ini, subjek diminta untuk menonton film yang
bercerita tentang betapa pentingnya seorang ayah dalam kehidupan individu, betapapun
buruknya seorang ayah tetap harus dihormati dan dihargai karena ayah merupakan
seorang yang berjasa pada kehidupan seorang anak. Selanjutnya, subjek diberikan
konseling dan motivasi untuk tetap bersemangat dalam menjalani hidup dan tidak
melupakan orang tuanya, terutama ayah.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Keluarga adalah suatu unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan
saling ketergantungan, mulai dari anak bergantung kepada ibu, ayah kakak, abang maupun
sebaliknya kesemuanya saling membutuhkan. Yusuf menyatakan keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi anak, sehingga kedudukan keluarga dalam perkembangan
psikologis anak sangatlah dominan.1
Menurut Bens 6 keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu;
a. Reproduksi; Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di dalam
masyarakat.
b. Sosialisasi/edukasi; Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap,
pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih
muda.
c. Penugasan peran sosial; Keluarga memberikan identitas pada para angotanya seperti ras,
etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.
d. Dukungan ekonomi; Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan dan jaminan
kehidupan.
e. Dukungan emosi/pemeliharaan; Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang
pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan
sehingga memberikan rasa aman pada anak.

Hasil penelitian karakteristik keluarga menunjukkan bahwa rata-rata usia ayah dan ibu pada
penelitian ini adalah 29,10 dan 25,60 tahun. Usia ini termasuk dalam kelompok usia dewasa
muda menurut Hurlock13, yang mana usia dewasa muda berada rentang usia antara 18 hingga 40
tahun. Rata-rata usia ayah dan ibu menikah yaitu 26,40 tahun dan 22,80 tahun. Rata-rata usia ibu
melahirkan yaitu pada usia 24, 40 tahun dengan usia minimum dan maksimum sebesar 16 tahun
dan 41 tahun.
Tugas-tugas perkembangan keluarga terjadi apabila keluarga sebagai sebuah unit berupaya
memenuhi tuntutan-tuntutan perkembangan mereka secara individual. Tugas-tugas perkembangan
keluarga juga diciptakan oleh tekanan-tekanan komunitas terhadap keluarga dan anggotanya untuk
menyesuaikan diri dengan harapan-harapan kelompok acuan keluarga dan masyarakat yang lebih
luas. 14
Pengertian keluarga adalah dua atau lebih individu yang bersama-sama diikat olah kedekatan
emosi dan kepedulian sesama dan tidak terbatas pada anggota keluarga yang ada hubungan
perkawinan, hubungan darah atau adopsi. Keluarga merupakan sistem yang paling dekat dengan
individu dan merupakan tempat individu belajar, mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan

13
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta
14
Rahmaita, dkk. “Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu Yang Baru Memiliki
Anak Pertama”. Jurnal keluarga dan Konseling. Vol 9, no. 1. ISSN 1907 – 6037 e-ISSN : 2502 – 3594. Terbit Januari 2016

5
perilaku. Agar keluarga memberikan dampak terhadap individu yang menjadi anggota keluarga
tersebut, maka diharapkan anggota keluarga dapat berfungsi dan berperan secara kondusif. 15
Dalam teori Murray Bowen16 ada delapan kunci konsep yang berfungsi membentuk keluarga,
yaitu : 1). Diferensiasi diri, 2). Triangulasi, 3) Sistem emosional keluarga inti, 4). Proses proyeksi
keluarga, 5). Emosi yang terhambat, 6). Proses transmisi multi generasi, 7). Posisi saudara dimana
adanya persaingan dan perasaan iri, 8). Regresi masyarakat.
Sejauhmana suatu diferensiasi diri terjadi dalam diri seseorang mencerminkan sejauhmana
orang tersebut mampu membedakan fungsi intelektual dari fungsi emosional. Seseorang yang telah
mampu membedakan pikiran dari perasaan, orang tersebut mengalami kesulitan membedakan diri
dari orang lain dan dengan demikian emosi apapun mendominasi keluarga. Kesatuan emosional
dalam keluarga menjadi simbiosis interdepedensi, misalnya hubungan antara ibu dan anak atau ayah
dan anak. Kadang-kadang kedekatan emosional bisa begitu dekat sehingga anggota keluarga tahu
perasaan masing-masing, pikiran, fantasi dan mimpi-mimpi. Keintiman ini mungkun akan
menimbulkan ketidaknyamanan diri karena adanya kedekatan berlebihan, menurut Bowen 17, pada
akhirnya akan terjadi tahap penolakan bersama antara dua anggota keluarga. Dengan kata lain dalam
sistem keluarga, bisa secara cepat terjadi serangkaian aliasi dan penolakan. Bowen 18 menekankan
pada pendewasaan dan kebutuhan aktualisasi diri bahwa seorang individu menjadi bebas dari
penyertaan emosional yang belum terselesaikan untuk keluarga asalnya.
Friedman mengidentifikasi 5 (lima) fungsi keluarga:
1) Fungsi afektif, berhubungan erat dengan pemenuhan aspek psikososial yang ditandai dengan
keluarga yang gembira , bahagia, akrab, merasa dimiliki, gambaran diri yang positif, yang
semua didapatkan melalui interaksi didalam keluarga. Setiap anggota keluarga saling
mengasihi, menghargai, dan mendukung. Kepedulian dan pengertian antar anggota keluarga
merupakan pemenuhan kebutuhan psikologis dalam keluarga 19. Perceraian, kenakalan anak,
masalah psikososial dan gangguan jiwa sering dijumpai pada keluarga yang fungsi afektifnya
tidak terpenuhi. Pasien perilaku kekerasan mungkin berasal dari keluarga yang kurang saling
menghargai, adanya permusuhan, kegagalan yang dipandang negatif. Kondisi afektif keluarga
yang dapat menimbulkan kekambuhan adalah ekspresi emosi yang tinggi seperti kritik
negatif, usil, permusuhan, atau terlalu mengatur.
2) Fungsi sosialisasi adalah proses interaksi dengan lingkungan sosial yang dimulai sejak lahir
dan berakhir setelah meninggal. Anggota keluarga belajar disiplin, budaya, norma melalui
interaksi dalam keluarga sehingga individu mampu berperan di masyarakat. Kegagalan
bersosialisasi dalam keluarga, terutama jika norma dan perilaku yang dipelajari berbeda
dengan yang ada di masyarakat dapat menimbulkan kegagalan bersosialisasi di masyarakat.
Individu dengan perilaku kekerasan, mungkin mendapat penguatan yang didapat dari anggota
keluarga. Peristiwa kekerasan dalam keluarga juga merupakan faktor risiko lain bagi perilaku
kekerasan individu.
3) Fungsi perawatan kesehatan adalah praktek merawat anggota keluarga, termasuk kemampuan
keluarga meningkatkan dan memelihara kesehatan. Keluarga menentukan apa yang harus
dilakukan jika sakit, kapan meminta pertolongan dan kepada siapa minta pertolongan..
4) Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan. Belum
ada penelitian tentang faktor perilaku kekerasan yang terkait dengan jumlah saudara kandung
dalam keluarga.
5) Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Asumsi krisis
ekonomi meningkatkan perilaku kekerasan secara kasat mata dapat dibuktikan.

15
Ibid
16
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta
17
M. Bowen. Family Therapy in Clinical Practice. Aronson. 1985 New York.
18
Ibid
19
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta

6
Ketika fungsi sebuah keluarga tidak terpenuhi, maka keluarga akan menjadi kurang harmonis.
Dalam keadaan keluarga yang kurang harmonis inilah sebuah keluarga akan sangat rentan
perpisahan atau perceraian.
Menurut Hurlock20 perceraian merupakan kulminasi dari penyebab perkawinan yang buruk, dan
terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari penyelesaian masalah yang dapat
memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan
kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut didasari oleh
pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan lainnya. Tetapi banyak juga perkawinan
yang diakhiri dengan perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-diam dan
juga yang salah satu (suami/istri) meninggalkan keluarga.
Ada berbagai kondisi yang mempengaruhi stabilitas perkawinan yang dapat dan sering
mengakibatkan perceraian. Tidak ada satu kondisipun yang penting, artinya masing-masing alasan
mempunyai akibat dan kedudukan yang sama untuk memungkinkan terjadinya pisah ranjang, salah
satu anggota keluarga meninggalkan keluarga, atau akibat paling parah yaitu perceraian. Sehingga
dengan demikian komposisi dari sebab-sebab itulah yang memunginkan terjadinya gangguan
terhadap stabilitas keluarga21.
Efek traumatik dari perceraian biasanya lebih besar daripada efek kematian, karena sebelum dan
sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial.
Hotman dan Froiland22 menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi
perceraian. Mereka mengatakan ada lima tahap penyesuaian setelah perceraian, pertama menyangkal
bahwa ada perceraian, kedua timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling
terlibat, ketiga dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai, keempat
mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian terhadap
keluarga, kelima akhirnya mereka setuju untuk bercerai.
Efek perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak dari keluarga. Pada umumnya
anak yang orang tuanya bercerai atau menikah lagi mereka malu karena mereka merasa berbeda. Hal
ini sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam lingkungan dimana
sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga yang telah bercerai atau menikah
lagi23. Biasanya anak akan merasa terluka apabila loyalitasnya harus dibagi karena orang tuanya
bercerai dan anak akan sangat cemas karena ketidakpastian kehidupan mereka jika terjadi
perceraian, mereka akan tinggal dimana atau ikut siapa. Namun anak yang orang tuanya secara
emosional bercerai tetapi masih tinggal satu atap jauh lebih menderita dibandingkan anak yang
orang tuanya bercerai secara sah, karena konflik dalam keluarga lebih berbahaya bagi anak dari pada
perceraian itu sendiri24.
Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Hierarki kebutuhan maslow ada 2, yaitu

1. Kebutuhan berkembang (Metaneeds), yaitu kebutuhan orang untuk menjadi yang seharusnya
sesuai dengan potensinya. Kebutuhan kreatif, realisasi diri, pengembangan self. Kebutuhan
harkat kemanusiaan untuk mencapai tujuan, terus maju, menjadi lebih baik. kebutuhan
berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman, pemakaian kemampuan kognitif secara positif,
mencari kebahagiaan dan pemenuhan kepuasaan alih-alih menghindari rasa sakit. masing-
masing kebutuhan berpotensi sama, satu bisa mengganti yang lainnya.
2. Kebutuhan karena kekurangan (basic need), dibagi menjadi 4 kebutuhan dasar manusia, yaitu :
a. Kebutuhan dasar Fisiologis, yaitu kebutuhan homeostatik (makan, minum, gula, garam,
protein, serta kebutuhan istirahat & seks)

20
Ibid
21
Ibid
22
Ibid
23
Ibid
24
Ibid

7
b. Kebutuhan keamanan (safety), yaitu kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur,
hukum, keteraturan, batas, bebas dari takut & cemas.
c. Kebutuhan dimiliki dan cinta (belongging & love), yaitu kebutuhan kasih sayang, keluarga,
sejawat, pasangan, anak. Kebutuhan menjadi bagian dari kelompok, masyarakat.
d. (penghargaan diri dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi penting, kehormatan
& apresiasi)

Menurut Maslow25, kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah harus relatif terpuaskan sebelum
menyadari atau dimotivasi oleh kebutuhan yang jenjangnya lebih tinggi. Jadi kebutuhan fisiologis
harus terpuaskan, baru muncul kebutuhan kasih sayang, begitu seterusnya sampai kebutuhan dasar
terpuaskan, baru akan muncul kebutuhan mental.
Pada umumnya kebutuhan yang lebih rendah mempunyai kekuatan atau kecenderungan yang
lebih besar untuk diprioritaskan. Namun bisa terjadi perkecualian, akibat sejarah perkembangan
perasaan, minat, dan pola berfikir sejak anak-anak, orang yang kreatif lebih mementingkan ekspresi
bakat khususnya alih-alih kepuasan self esteem diatas kebutuhan kasih sayang dan cinta, atau orang
memprioritaskan nilai-nilai/idea tertentu dan mengabaikan kebutuhan fisiologis dan rasa aman.
Perkecualian yang lain, kebutuhan itu tidak muncul berturutan dari rendah ketinggi, tetapi
kebutuhan yang lebih tinggi muncul lebih awal mendahului kebutuhan yang lebih rendah. Misalnya
pada orang tertentu kebutuhan esteem muncul lebih dahulu daripada kebutuhan cinta dan afeksi; dan
mungkin pada orang tertentu kebutuhan kreatifnya mendahului kebutuhan lainnya. Jika orang tidak
pernah kekurangan kebutuhan dasar mungkin orang cenderung menganggap ringan kebutuhan itu,
sehingga kebutuhan itu tidak menjadi motivator tingkahlakunya. Dia meloncat ke kebutuhan kasih
sayang yang menjadi sangat kuat karena kedua orang tuanya sibuk, tidak mempunyai waktu untuk
memberi dilaksanakan perhatian dan cinta kepada anaknya. Baru ketika terjadi bencana, muncul
kebutuhan fisiologis yang mungkin tidak segera mampu menanganinya.
Secara teoritis, seperti yang telah disebutkan diatas, anak korban perceraian mengalami trauma
psikologis yang sangat berat, mulai dari stres ringan, sampai depresi berat. Selain itu, trauma atas
perceraian orang tua bisa menyebabkan kepercayaan diri yang rendah. Hal tersebut disebabkan
karena mereka merasa tidak sama dengan anak yang lainnya. Mereka malu atas perceraian orang
tuanya, bahkan untuk orang tuanya sudah menikah lagi, mereka akan malu terhadap khalayak
umum. Nah dengan demikian anak korban perceraian harus mendapatkan intervensi, salah satunya
dengan mengedukasi keluarga, khususnya orang tua, bagaimana cara mendidik atau mengasuh anak
yang memiliki traumatis atas perceraian orang tuanya. Yang kedua untuk meningkatkan rasa
percaya dirinya, anak diberikan cinema therapy. Dimana film yang ditayangkan dalam cinema
therapy tersebut berisikan motivasi dalam meningkatkan kualitas hidup dan bagaimana seseorang itu
sangat membutuhkan kehadiran orang tua kandungnya.
Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi keluarga yang merupakan
bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi keluarga terdapat kolaborasi dari klinisi dengan
anggota keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa berat.
Tujuan dari program psikoedukasi adalah menambah pengetahuan tentang gangguan jiwa
anggota keluarga sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kambuh, dan meningkatkan fungsi
keluarga26. Tujuan ini akan dicapai melalui serangkaian kegiatan edukasi tentang penyakit, cara
mengatasi gejala, dan kemampuan yang dimiliki keluarga. Pekkala dan Merinder menemukan
bahwa program psikoedukasi menurunkan kambuh atau rawat ulang dari 9 bulan menjadi 18 bulan.
Sedangkan Dyck, et al27 menemukan bahwa kelompok keluarga yang mendapat program
psikoedukasi lebih efektif merawat gejala negatif daripada kelompok standar. Selain itu program
psikoedukasi berhasil mengurangi reaksi negatif dan kejenuhan keluarga yang merawat.
Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah sebagai berikut:

25
Ibid
26
Elyzabeth Hurlock; Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima); 1980; Penerbit Erlangga; Jakarta
27
Ratna Eiyawati; hand out Family Therapy; 2010; Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945; Surabaya

8
b) Komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan informasi tentang
penyakit dan sistem kesehatan jiwa.
c) Komponen ketrampilan, yang menyediakan pelatihan tentang komunikasi, penyelesaian
konflik, pemecahan masalah, asertif, manajemen perilaku dan manajemen stres
d) Komponen emosional, memberi kesempatan ventilasi (katarsis) dan berbagi perasaan disertai
dukungan emosional. Mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, khusus pada keadaan krisis
e) Komponen sosial, peningkatan penggunaan jejaring formal dan non formal. Peningkatan kontak
dengan jejaring sumber daya dan sistem pendukung yang ada di masyarakat akan
menguntungkan keluarga dan klien.
Hal – hal yang dilakukan pada saat melakukan psikoedukasi keluarga antara lain:
1) Mengidentifikasi bagaimana reaksi anggota keluarga terhadap keadaan pasien yang menderita
gangguan jiwa.
2) Mengidentifikasi faktor penyebab gangguan jiwa yang diderita oleh pasien.
3) Mengidentifikasi tanda dan gejala gangguan jiwa yang terjadi pada pasien.
4) Mengajarkan kepada keluarga bagaimana strategi koping yang dapat diterapkan. Menjelaskan
kepada keluarga tentang psikobiologi penyakit jiwa, diagnosis dan pengobatannya, reaksi
keluarga, trauma keluarga, pencegahan kambuh, guideline keluarga.
5) Melakukan pemecahan masalah secara terstruktur

Cinema therapy merupakan metode penggunaan film untuk memberi efek positif pada klien.
Masalah yang bisa diatasi dengan menggunakan cinema therapy yaitu motivasi, hubungan, depresi,
kepercayaan diri, dsb. Namun tidak termasuk gangguan jiwa akut. Ketika menonton film, individu
merasa mengalami sendiri apa yang dirasakan tokoh-tokoh dalam cerita. Melalui simbol-simbol
yang biasanya ada dalam film, alam bawah sadar lalu mencoba berkomunikasi dengan alam sadr.
Meskipun film digunakan untuk media terapi sebenarnya tidak memecahkan masalah yang
sebelumnya, tapi di sisi lain film membantu individu untuk memahami masalah yang sebelumnya
belum terpecahkan yang mungkin selama ini mempengaruhi cara pandang dalam hidup.

Alfred Hitchock28 mendefinisikan bahwa film adalah ilusi kehidupan yang dilakukan dengan
kadang menghilangkan bagian tertentu dalam kehidupan tersebut. Sedangkan Gilbert P. Mansergh 29
mendefinisikan bahwa film adalah media representasi, yang melalui gaya dan isi yang
melambangkan berbagai pola perilaku (melalui tindakan karakter, plot, tema, editing, dll) yang dapat
dianalisis daro perbedaan teori psikologis dan modalitas mengajar serta wawasan klien. Hesley
(dalam Byrd, 2006) mengidentifikasi tujuan cinema therapy atau "videowork" sebagai potensi sarana
untuk membuka diskusi dalam terapi. Film dapat "menunjukkan kehidupan biasa dan membiarkan
klien menemukan panduan dalam bekerja.

Berikut akan dijabarkan hal apa saja yang termasuk dalam proses menonton film30 :

8. Logika (alur cerita); menandakan bagaimana seseorang dapat memahami setting alur cerita
dalam film.
9. Bahasa (dialog); adanya pemahaman dialog atai isi cerita dalam film.
10. Visual spacial (gambar, warna, simbol); unsur gambar menjadi dasar sugesti dengan adanya
indera yang berperan untuk melihat yang kemudian membawa informasi melihat ke dalam
proses kerja otak dalam memaknai arti simbol atau gambar.
11. Musik (suara & musik); efek musik juga berpengaruh untuk memberikan sugesti ke dalam
alam bawah sadar penonton. Penggunaan musik dalam film adalah hal yang mendukung
dalam proses pemberian sugesti.

28
Birgit Wols; E-Motion Picture Magic A Movie Lovers Guide To Healing Transformatiob. Colorado; 2004; Glendbridge
Publishing.Ltd.
29
Gilbert P. Manserg. www.cinema therapy.com diakses tanggal 04 Agustus 2018
30
Elif Senem Demir; Cinema Therapy Psychology Jurnal Of Metu http//psinema.metu.edu.to(makale/cinematherapy.pdf

9
12. Interpersonal; berkaitan dengan bagaimana diri dapat memahami keadaan personal dari
tokoh yang diveritakan dalam film.
13. Kinestetik; atau kata lainnya adalah seni atau keindahan. Kinestetik berkaitan pula dengan
gambar bergerak yang memberikan efek visual yang mendorong penonton untuk dapat
memahami arti alur film yang diceritakan.
14. Intar-psychic; merupakan keadaan jiwa personal, yang dapat membimbing dalam penemuan
makna dari film yang dijadikan metode dalam cinema therapy.

Memahami alur cerita dan karakter tokoh dalam sebuha film, menimbulkan
proses kerja berikut :
a. Dengan melihat film, itu menandakan bahwa terjadi kerja aktif dalam otak yang menunjukkan
diri memahami isu-isu emosi yang ditandai dengan timbulnya pemahaman dengan sebuah alur
cerita dalam film.
b. Terapi dengan menggunakan film ternyata dapat membangkitkan semangat di alam bawah
sadar kita. Dengan menonton film luapan ekspresi emosi terjadi. Penonton seperti terkena
sihir, seolah berada di dalam alur cerita film.
c. Titik akhir dari cinema therapy adalah menemukan makna atau maksud dari alur cerita film.
Penemuan makna ini yang kemudian dapat mendorong untuk tampil seperti apa yang
semestinya, bisa berupa motivasi, hubungan depresi, percaya diri.

Jadi teknik cinema therapy dapat menjadi salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan
motivasi belajar karena dengan cinema therapy dapat membangkitkan semangat diri bereksplorasi.
Banyak hal yang dapat dipelajari dengan menggunakan cinema therapy atau dalam bahasa Indonesia
dapat diartikan sebagai terapi film.
Murty Lefkoe31 yang menyebutkan bahwa drama atau movie bisa meningkatkan kepercayaan diri
atau motivasi karena dalam menghayati drama, penonton seperti mempercayai sepenuhnya pada
drama. Ketika kepercayaan terbangun dalam diri orang tersebut maka dengan mudah tingkah laku
dan emosi dapat dapat terpengaruhi.
Alfred Hitchock32 mendefinisikan movie atau film adalah ilusi kehidupan yang dilakukan dengan
menghilangkan bagian tertentu dalam kehidupan tersebut. Senada dengan Hitchock, Graeme
Turner33 menjelaskan film sebagai media untuk menghadirkan kembali realita berdasarkan kode-
kode, konvensi serta idelogi dari kebudayaan. Film dijadikan media untuk melihat kembali realita
yang pernah terjadi di suatu tempat dengan menyesuaikan ideologi atau kebudayaan yang ada di
lingkungan tersebut. Menurut Suwasono (2014:1) Film adalah media komunikasi seseorang kepada
audiens yang sering diyakini mempunyai power untuk menghipnotis manusia sehingga dapat
menerima nilai budaya tertentu, atau bahkan secara tidak sadar audiens akan menginternalisasikan
nilai ideologi yang terkandung dalam sebuah film.
Menurut Suarez34 terapi film (cinema therapy) adalah proses menggunakan film dalam terapi
sebagai metafora untuk meningkatkan pertumbuhan dan wawasan klien. Cinema therapy sebagai
teknik terapeutik yang melibatkan pemilihan film untuk klien untuk menonton secara individual atau
dalam kelompok yang bertujuan untuk mencapai tujuan terapeutik tertentu (Demer&Hutchings
dalam Portadin, 2006: 5). Menurut Gary Solomon, terapi film adalah terapi yang memiliki efek
positif pada seseorang kecuali orang dengan kelainan jiwa. Tema dari film yang ditayang beragam
mulai dari pemecahan masalah, PTSD, depresi, hubungan dengan orang lain, motivasi atau
kebutuhan klien35. Berdasarkan pendapat para ahli yang sudah dijelaskan, terapi film merupakan
media komunikasi pada audiens yang memiliki kekuatan untuk memberi pengaruh positif pada

31
Ilifsemen Demir; Cinema Therapy. Psychology Hurnal Of Metu; Cinema Therapy
http//psinema.metu.edu.to(makale/cinematherapy.pdf diakses tanggal 04 Agustus 2018
32
ibid
33
Ibid
34
Ilifsemen Demir; Cinema Therapy. Psychology Hurnal Of Metu; Cinema Therapy
http//psinema.metu.edu.to(makale/cinematherapy.pdf diakses tanggal 04 Agustus 2018
35
Ibid

10
penonton sehingga penonton dapat menginternalisasikan nilai yang terkandung di dalam film dan
meniru peran yang dilakukan oleh tokoh utama.
Film mampu menyediakan sebuah alternatif yang dapat membuat perubahan pada perilaku tidak
mengancam serta mampu memberikan keuntungan pada manusia untuk mengakses ide-ide dan
tingkah laku dengan aman36. Terapi film memberikan efek yang dapat mengungkap masalah dengan
cara yang tidak mengancam 37. Dalam hal ini guru atau konselor dapat menggunakan film yang yang
selaras dengan permasalahan siswa, sehingga siswa dapat mengatasi masalah yang dialaminya.
Selain itu Wolz 38 menambahkan bahwa, film sebagai terapi tidak hanya mempengaruhi kita melalui
alur ceritanya saja, tetapi film juga memberikan emosi-emosi dengan menstimulasi perasaan kita
seperti dengan melihat pemandangan dari gambar, dan suara yang muncul di dalam film.
Terapi film mampu menyampaikan pesan kepada individu yang menonton dan memberi efek
positif. Dalam hal ini efek positif yang muncul seperti adanya ilmu pengetahuan, kebudayaan,
informasi-informasi baru dan juga sebagai media modeling.
Menurut Birgit Wolz39 film yang dapat digunakan sebagai terapi memiliki:
a. Alur cerita
Menurut Rahmat dan Hariyanto40 alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara
kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah.
b. Naskah dialog
Menurut KBBI41 naskah adalah karangan seseorang yang masih ditulis dengan tangan.
Sedangkan dialog adalah karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh
atau lebih.
c. Gambar, warna dan simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani sim-ballein atau symbolos. Simbol memiliki arti tanda
atau ciri yang memberitahukan sesuatu pada seseorang. Sementara itu, dalam KBBI simbol atau
lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan
sesuatu atau mengandung maksud tertentu42.
d. Suara dan musik
Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia contoh saat berbicara, bunyi binatang,
dan juga alat perkakas. Menurut Suwasono 43 suara adalah sistem tanda dalam film yang sangat
penting.
e. Pergerakan/ gerakan
Kesan hidup dalam film terjadi karena pergerakan frame yang ditampilkan dalam kecepatan
tertentu44.
f. Self reflection atau arahan sebagai demonstrasi terutama pada film-film inspirasional.

Di dalam penelitian ini film yang berkaitan dengan filkm keluarga yang menceritakan tentang
seorang anak yang diasuh oleh orang tua tunggal. Hal tersebut disebabkan karena orang tuanya
bercerai. Menurut Sudarwan Danim 45 film mempunyai nilai tertentu, seperti dapat melengkapi
pengalaman-pengalaman dasar, memancing inspirasi baru, menarik perhatian, penyajian lebih baik

36
Dermer & Hutchings. Utilizing Movies In Family Therapy. Applications for individuals coupes & Families.
2000. The American Journal of Family Therapy. Vol. 28. Hal 1
37
Gregerson. The cinematic mirror for psychology aand life coaching. 2010. New York; Springer Science &
Bussines media. Hal 91
38
Birgit Wols; E-Motion Picture Magic A Movie Lovers Guide To Healing Transformatiob. Colorado; 2004; Glendbridge
Publishing.Ltd. hal. 29
39
Ibid hal 31
40
Halimah. Pebelajaran Apresiasi Cerpen. 005. Universitas Pendidikan Indonesia. Jurnal Skripsi. Vol. 9 (2).
Hal. 3
41
Ibid hal 4
42
Alila Pramiyanti & Maylanny Christin. (2014). Makna Simbol Emotikon dalam Kaskus. Ilmu Komunikasi
Telkom University. Jurnal Sosioteknologi Vol. 13 (2). Hal. 120
43
Suwasono. (2014). Pengantar Film. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta. Hal 20
44
Ibid hql. 21
45
Sudarwan Danim. (2010). Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 19

11
karena mengandung nilai-nilai rekreasi, dapat memperlihatkan perlakuan obyek yang sebenarnya,
sebagai pelengkap catatan, menjelaskan hal-hal abstrak, mengatasi rintangan bahasa. Penelitian ini
mengacu pada indikator film menurut Sudarwan Danim yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Solomon46 film bermanfaat untuk memberikan efek positif pada individu yang
bermasalah. Sedangakan menurut Wolz47 (2004: 3) menjelaskan bahwa film memiliki kekuatan
besar sebagai alat untuk menceritakan sebuah cerita, mengkomunikasikan informasi, dan memberi
pengaruh budaya. Banyak orang merasa lega dengan menonton film pada saat terapi
(psicotheraphy). Selain itu film dapat memberikan kesehatan emosi serta dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang terhadap nilai yang terkandung dalam sebuah film sehingga penonton dapat
meniru perilaku yang diperankan oleh tokoh dalam film tersebut dan dapat menjalankan
pengetahuan baru yang diperoleh dari cerita dalam sebuah film.
E. KESIMPULAN
1. Efek perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak dari keluarga. Pada
umumnya anak yang orang tuanya bercerai atau menikah lagi mereka malu karena mereka
merasa berbeda. Hal ini sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal
dalam lingkungan dimana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga
yang telah bercerai atau menikah lagi
2. Anak korban perceraian mengalami trauma psikologis yang sangat berat, mulai dari stres
ringan, sampai depresi berat. Selain itu, trauma atas perceraian orang tua bisa menyebabkan
kepercayaan diri yang rendah. Hal tersebut disebabkan karena mereka merasa tidak sama
dengan anak yang lainnya. Mereka malu atas perceraian orang tuanya, bahkan untuk orang
tuanya sudah menikah lagi, mereka akan malu terhadap khalayak umum.
3. Cinema therapy sebagai teknik terapeutik yang melibatkan pemilihan film untuk klien untuk
menonton secara individual atau dalam kelompok yang bertujuan untuk mencapai tujuan
terapeutik tertentu.

46
Elif Senem Demir; Cinema Therapy Psychology Jurnal Of Metu http//psinema.metu.edu.to(makale/cinematherapy.pdf
hal. 1
47
Birgit Wols; E-Motion Picture Magic A Movie Lovers Guide To Healing Transformatiob. Colorado; 2004; Glendbridge
Publishing.Ltd. hal. 3

12
DAFTAR PUSTAKA

Bowen, M. 1985. Family Therapy in Clinical Practice. Aronson. New York.


Danim, Sudarwan. 2010. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Demir, Elif Senem. Cinema Therapy Psychology Jurnal Of Metu
http//psinema.metu.edu.to(makale/cinematherapy.pdf

Eliyawati, Ratna. 2010. hand out Family Therapy. Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.
Surabaya
Gunarsa, Singgih. 2000. Konseling dan Psikoterapi. BPK Gunung Mulia. Jakarta
Gregerson. 2010. The cinematic mirror for psychology aand life coaching. New York; Springer
Science & Bussines media.
Halimah. Pebelajaran Apresiasi Cerpen. 2005. Universitas Pendidikan Indonesia. Jurnal Skripsi.
Vol. 9 (2).
Hurlock, Elyzabeth. 1980. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Edisi ke lima). Penerbit
Erlangga. Jakarta
Hutching, Dermer. 2000. Utilizing Movies In Family Therapy. Applications for individuals coupes
& Families. The American Journal of Family Therapy. Vol. 28. Hal 1
Mansergh, Gilbert P. www.cinematherapy.com. Diakses tanggal 4 Agustus 2018
Pramiyanti, Alila & Maylanny Christin. 2014. Makna Simbol Emotikon dalam Kaskus. Ilmu
Komunikasi Telkom University. Jurnal Sosioteknologi Vol. 13 (2).
Rahmaita, dkk. 2016. “Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga Terhadap Kepuasan Perkawinan
Ibu Yang Baru Memiliki Anak Pertama”. Jurnal keluarga dan Konseling. Vol 9, no. 1. ISSN
1907 – 6037 e-ISSN : 2502 – 3594.
Suwasono. 2014. Pengantar Film. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Wols, Birgit. 2004. E-Motion Picture Magic A Movie Lovers Guide To Healing Transformatiob.
Colorado. Glendbridge Publishing.Ltd.

13

Anda mungkin juga menyukai