Anda di halaman 1dari 11

MAKAALAH KESEHATAN MENTAL

DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA TERHADAP KESEHATAN MENTAL


ANAK

Oleh:

Nama: Karina Permata Putri

NIM 1830901137

Psikologi islam 4

Dosen pengampu: Eko Oktapiya Hadinata, S.Psi.,MA.Si

FAKULTAS PSIKOLGI

PRODI PSIKOLOGI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN 2019
Masalah kejiwaan yang dihadapi seseorang sering mendapat reaksi negatif dari
orang-orang yang berada di sekelilingnya. Hal ini disebabkan keterbatasan pemahaman
masyarakat mengenai gangguan jiwa. Tradisi dan budaya yang menghubungkan kasus
gangguan jiwa dengan kepercayaan masyarakat setempat, menyebabkan sebagian
masyarakat tidak terbuka dengan penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah dan memilih
untuk mengenyampingkan perawatan medis dan psikiatris terhadap gangguan jiwa.
Pandangan Islam tentang gangguan jiwa tidak jauh berbeda dengan pandangan para ahli
kesehatan mental pada umumnya.

Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental
diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin
yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai
kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya
usaha peningkatan. (Ariadi Purmansyah, Maret 2013).

Klasifikasi gangguan mental banyak dan berbeda-beda antara bidang-bidang


yang terkait, seperti Psikiatri, Psikologi, Sosiologi dan Antropologi. Pendekatan dari
masing-masing bidang ini juga tidak umum dan tidak menyeluruh. Hal yang
menimbulkan kesulitan juga ialah masalah-masalah yang berhubungan dengan
kesehatan mental begitu luas sehingga penyebab-penyebab dan perawatan-perawatan
gangguan mental tidak cukup diuraikan hanya dalam satu buku saja. (Semiun Yustinus,
2006).

Dalam pandangan islam kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang


memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional, dan spiritual yang optimal
dari seseorang yang perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Makna kesehatan mental memiliki sifat yang harmonis dan memperhatikan semua segi
dalam kehidupan manusia dengan tuhan dan sesama manusia. (Suhaimi, 2015).
Perceraian yang umum terjadi akan sulit untuk dimaafkan oleh anak korban
perceraian tersebut, khususnya ketika anak berada pada masa remaja. Anak korban
perceraian merasa bahwa mereka pantas mendapatkan banyak hal dan melihat bahwa
memaafkan merupakan sesuatu yang penuh resiko dan tidak adil, khususnya bila
mereka tidak menerima “ganti rugi” atau permintaan maaf apapun dari sang pelaku.
Oleh sebab itu, proses memaafkan memerlukan kerja keras, kemauan kuat dan latihan
mental karena terkait dengan emosi manusia yang fluktuatif, dinamis dan sangat reaktif
terhadap stimulan luar (Hasan, 2013 dalam jurnal Fatima Nur Azra, 2017).

Keharmonisan keluarga dapat membuat anak merasakan dan memahami arahan


serta bimbingan orang tua walaupun mereka tidak hadir secara fisik di hadapannya.
Gunarsa (dalam Nisfiannoor dan Yulianti, 2005) menyatakan bahwa anak dari keluarga
harmonis lebih memiliki benteng dalam mencegah perilaku agresif. Keluarga yang
hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication
dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental bagi anak.

Tingginya tingkat subjective well-being membuat individu dapat melakukan


adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan sehingga merasakan kehidupan
yang lebih baik di kemudian hari (Diener, Biswas-Diener, & Tamir, 2004). Hal ini
menunjukkan bahwa selanjutnya individu dapat melaksanakan tugas perkembangannya
dengan baik, termasuk individu dewasa awal yang memiliki pengalaman perceraian
orang tua. Secara fisik, seseorang dalam tahap dewasa menunjukkan pribadi yang
sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis
telah mencapai posisi puncak. Pada masa ini, individu telah mampu memecahkan
masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional. Pada
masa ini pula tugas perkembangan pada masa dewasa adalah menikah (Santrock, 2012).
Namun dengan pengalaman orang tua yang bercerai, individu merasa tidak memiliki
kepercayaan diri untuk berkomitmen pada tahap yang lebih serius yaitu pernikahan.
Beberapa remaja yang orangtua bercerai dan belum dapat menerima perceraian
orangtuanya akan memiliki keinginan yang sangat besar untuk mewujudkan keluarga
menjadi normal kembali dengan membujuk agar kedua orangtuanya rujuk. Pada
sebagian remaja mungkin ada yang melakukan cara-cara yang mengarah pada tindakan
merugikan diri sendiri karena merasa gagal menyatukan kedua orangtuanya kembali.
Adanya berbagai reaksi pada remaja terhadap perceraian orangtua berkaitan erat dengan
penerimaan individu terhadap perceraian (Aminah, Andayani & Karyanta, 2014 dalam
jurnal Media Publikasi Penelitian; 2018).

Jika seorang remaja mengalami permasalahan perceraian pada orang tuanya,


mereka akan cenderung mengalami luka, kesedihan, serta kemarahan ketika orang
tuanya bercerai, namun lebih mampu dalam penyesuaian pada halhal yang baru
dikedepannya seperti perubahan kondisi ekonomi, perubahan peran dalam keluarga
yang baru. Dampak dariperceraian orang tua tidak semata-mata menimbulkan dampak
yang negatif seperti tawuran, minum minuman beralkohol, judi sampai narkoba. Hal ini
disebabkan karena kontrol guru dan masyarakat terhadap lingkungan masih sangat kuat.
(Ahmad Al Yakin, November 2014).

Kerangka Dasar Teori

Perceraian

Menurut Dariyo (2007), perceraian merupakan titik puncak dari pengumpulan


berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir
yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan
lagi. Bagi anak, perceraian adalah tanda kematian keutuhan keluarganya, dimana anak
merasa separuh dirinya telah hilang karena hidup tak akan sama lagi setelah orang tua
bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang
mendalam, serta kehilangan konsentrasi dalam pembelajaran (Adrian, 2010 dalam
jurnal Fatima Nur Azra, 2017).

Perceraian dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga atau retaknya
struktur peran sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak dapat menjalankan
kewajiban peran secukupnya. Salah satu contoh macam utama kekacauan keluarga
adalah perceraian dimana terputusnya keluarga disini karena salah satu atau kedua
pasangan tersebut memutuskan untuk saling meninggalkan saat berhenti melaksanakan
kewajiban perannya (Goode, 2004). Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa
perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk
tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Perceraian berasal dari kata
kerja “cerai” yang dapat diartikan “berpisah” dan dikenal juga dengan istilah “broken
home”. Perceraian adalah berakhirnya sebuah ikatan pernikahan yang diakui secara
hukum. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan
yang resmi. (Kartika Ayu Primasti Aryani Tri Wrastari, Desember 2013).

Family Conflict

Konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-


tujuan yang hendak dicapai, baik yang ada dalam individu maupun dalam hubungannya
dengan orang lain (Killman & Thomas, dalam Lestari, 2012). Konflik sering kali
dipandang sebagai perselisihan yang bersifat permusuhan dan membuat hubungan tidak
berfungsi dengan baik. Thomas (1992, dalam Lestari 2012) mendefinisikan konflik
sebagai proses yang bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain
menggagalkan atau berupaya meninggalkan kepentingannya. Adapun McCollum (2009,
dalam Lestari 2012) mendefinisikan konflik sebagai perilaku seseorang dalam rangka
beroposisi dengan pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain. Keluarga merupakan salah
satu unit sosial yang hubungan antar anggotanya terdapat saling ketergantungan yang
tinggi karena itulah tak heran jika kehidupan keluarga tidak terlepas dari konflik.
Konflik keluarga dapat terjadi ketika dua atau lebih anggota keluarga merasa bahwa
keinginannya tidak sama dengan anggota lain. Biasanya konflik keluarga melibatkan
perilaku saling menyakiti satu sama lain. Konflik keluarga juga bisa berkembang karena
adanya perbedaan yang cukup besar dalam hal sikap dan nilai. Konflik juga timbul
ketika perilaku anggota keluarga yang lain dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Pada akhirnya, definisi family conflict atau konflik keluarga adalah ketidaksesuaian
yang diungkapkan oleh orang-orang yang memiliki keterikatan biologis, hukum atau
hubungan sekitar (Canary, 2013 dalam jurnal Kartika Ayu Primasti Aryani Tri Wrastari,
Desember 2013 ).
. Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis hubungan
yang sangat dekat dan memiliki intensitas yang sangat tinggi. Keterikatan antara
pasangan, orangtua-anak, atau sesama saudara berada dalam tingkat tertinggi dalam hal
kelekatan, afeksi, maupun komitmen. Kompleksitas yang dimaksud disini adalah
seberapa rumit konflik yang dialami dalam keluarga itu sendiri misalnya saja, konflik-
konflik seperti KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang akhirnya bisa saja
berakibat hingga ke pengadilan. Sedangkan durasi merupakan dampak yang dirasakan
dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya konflik
dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalnya berupa perceraian atau keluar dari
rumah, sisa-sisa dampak psikologis konflik tetap membekas.(Kartika Ayu Primasti
Aryani Tri Wrastari, Desember 2013)

Forgiveness

Forgiveness atau memaafkan menurut Gani (2011) adalah proses melepaskan


rasa nyeri, kemarahan, dan dendam yang disebabkan oleh pelaku. Perasaan-perasaan
sakit akibat perlakuan tidak menyenangkan ini secara perlahan dilepaskan melalui suatu
proses yang mungkin membutuhkan waktu lama. Apabila perasaan sakit ini secara
penuh terlepas dari diri, maka keadaan tersebut disebut memaafkan. Perilaku
memaafkan ini merupakan state of mind yang melibatkan pikiran, perasaan, dan
tindakan tertentu. Enright (2003) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
forgiveness, diantaranya adalah empati, penilaian terhadap pelaku dan kesalahannya
(perspective taking), tingkat kelukaan, karakteristik kepribadian, serta kualitas
hubungan. Enright (2003) turut menjelaskan tahapan memaafkan yang terdiri dari 4
tahap, yaitu mengungkap kemarahan, memutuskan untuk memaafkan, melakukan
pemaafan, serta penemuan dan pembebasan dari penjara emosional. (Fatima Nur Azra,
2017).
Subjective Well-Being

Subjective Well-Being (selanjutnya disebut SWB) merupakan evaluasi yang


dilakukan seseorang terhadap kehidupannya, dimana evaluasi tersebut bersifat kognitif
dan afektif. Evaluasi kognitif meliputi bagaimana seseorang merasakan kepuasan dalam
hidupnya. Sementara evaluasi yang bersifat afektif meliputi seberapa sering seseorang
merasakan emosi positif dan emosi negatif. Seseorang dikatakan mempunyai tingkat
SWB yang tinggi jika orang tersebut merasakan kepuasan dalam hidup, sering
merasakan emosi positif seperti kegembiraan dan kasih sayang serta jarang merasakan
emosi negatif seperti kesedihan dan amarah (Dewi & Utami, 2007). Diener & Biswas-
Diener (2008) menyatakan bahwa subjective well-being memiliki tiga bagian penting.
Pertama, penilaian subjektif berdasarkan pengalaman-pengalaman individu atas
kehidupannya. Kedua, mencakup penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif. Ketiga,
penilaian kepuasan global. Selanjutnya Diener menyatakan adanya dua komponen
umum dalam SWB, yaitu dimensi kognitif yang mencakup area kepuasan (domain
satisfaction) dan dimensi afektif yang merupakan reaksi individu terhadap kejadian-
kejadian dalam hidup, meliputi emosi (afek) yang menyenangkan dan emosi (afek) yang
tidak menyenangkan. (Fatima Nur Azra, 2017).

Ryff & Singer (1998, 2000, dalam Ryan & Deci, 2001) telah melakukan
pendalaman terhadap masalah wellbeing dalam konteks perkembangan rentang hidup
seseorang (life span). Mereka terpengaruh oleh pandangan Aristotle, bahwa wellbeing
bukanlah hal yang sederhana seperti sebuah usaha untuk memperoleh kesenangan,
tetapi perjuangan untuk menjadi sempurna yang dicerminkan mewujudkan potensi diri
yang sejati (true potensial) (Ryff 1995, dalam Ryan & Deci, 2001). Ryff & Keyes
(1995) menyatakan bahwa untuk mengukur psychological wellbeing (PWB) seseorang
digunakan pendekatan multidimensi yang terdiri dari enam aspek yang berbeda dari
aktualisasi diri manusia: autonomy, personal growth, selfacceptance, life purpose,
enviromental mastery, dan positive relationship with others. Keenam konstruk ini
menjelaskan PWB baik secara teoritis ataupun operasional dan mereka
menghubungkanya dengan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik
(Ryff & Singer 1998, dalam Ryan & Deci, 2001 dalam jurnal Kartika Ayu Primasti
Aryani Tri Wrastari, Desember 2013).

Masa Dewasa

Istilah adult atau dewasa berasal dari bentuk lampu kata adultus yang berarti
telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Hurlock (2006) menyatakan bahwa masa dewasa dimulai pada usia 18 tahun, ketika
perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan
reproduktif. Sementara Santrock (2012) mengatakan bahwa individu yang berada pada
masa dewasa adalah individu yang telah berusia 20 tahun ke atas. Selanjutnya, Santrock
(2012) menjelaskan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin
hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya.
Masa dewasa awal diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa
yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging
adulthood. Pada masa ini, individu telah mengalami perubahan fisik dan psikologis
tertentu bersamaan dengan masalah serta harapan pada perubahan tersebut. (Fatima Nur
Azra, 2017).

Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua

Dampak positif

Dampak yang akan muncul berupa:

1. Menjadi lebih mandiri. Hal ini anak tidak tergantung dari orang tua karena
mereka dituntut untuk bisa berbuat tanpa pendampingan dari orang tua.
2. Menjadi terlatih, berupa mengerjakan pekerjaan rumah menjadi terlatih. Dan
akan menjadi cepat bangkit jika mengalami keterpurukan.
Dampak negative

Dampak yang akan muncul berupa:

1. merasa malu dengan perceraian orang tua,


2. Merasa mudah marah jika orang lain tidak sesuai dengan keinginan saya,
3. Merasa sulit fokus terhadap sesuatu, merasa kehilangan rasa hormat terhadap
orang tua dan mudah menyalahkan orang tua
4. melakukan sesuatu yang salah
5. sering tidak peka terhadap lingkungan
6. tidak memiliki etika dalam bermasyarakat
7. tidak memiliki tujuan hidup
8. ingin menang sendiri
9. merasa tidak aman dengan lingkungan sekitar karena tidak ada orang tua
yang melindungi secara utuh.
Kesimpulan

Dampak perceraian orang tua menimbulkan dampak psikologis negatif maupun


positif. Dampak negatif lebih banyak timbul seperti malu dengan perceraian orang tua,
mudah marah jika orang lain tidak sesuai dengan keinginan saya, sulit fokus terhadap
sesuatu, kehilangan rasa hormat terhadap orang tua dan mudah menyalahkan orang tua,
melakukan sesuatu yang salah, sering tidak peka terhadap lingkungan, tidak memiliki
etika dalam bermasyarakat, tidak memiliki tujuan hidup, ingin menang sendiri, merasa
tidak aman dengan lingkungan sekitar karena tidak ada orang tua yang melindungi
secara utuh dan semua data bervaraisi dibandingkan dengan dampak positif berupa
menjadi lebih mandiri, terlatih dalam kegiatan keseharian, cepat bangkit jika mengalami
keterpurukan.

Tetapi tidak semua anak korban perceraian mengalami hal seperti itu, bagi
subyek yang telah menemukan identitas dirinya sejalan dengan perkembangan psikis,
fisik, dan psikososialnya sehingga mampu mereaksi frustasi yang disebabkan oleh
problem keluarga dengan sikap positif. Hal inilah yang menyebabkan anak memiliki
sikap kematangan emosi dalam mengambil keputusan, keterbukaan menerima masalah,
bertanggung jawab, mandiri, dan percaya diri, tidak mudah terpancing emosinya, tidak
minum alkohol, mempunyai semangat untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di
sekolah, memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
secara matang dan rasional dengan menontrol emosi yang baik, tidak mudah terpancing
dan memiliki ketenangan.
Daftar Pustaka:

Fatima Nur Azra, 2017. PSIKOBORNEO, Volume 5.

Amato, P.R. & Cheadle, J. 2005. The Long Reach of Divorce: Divorce and Child Well-
Being Across Three Generations. Journal of Marriage and Family. Volume 67.

Kartika Ayu Primasti & Aryani Tri Wrastari, Desember 2013. Jurnal Psikologi
Kepribadian dan Sosial Vol.02.

Ahmad Al Yakin, November 2014. Jurnal Pepatuzdu, Vol. 8.

Ida Untari, Kanissa Puspa Dhini Putri, Muhammad Hafiduddin, 2018. Media Publikasi
Penelitian, Volume 15.

Purmansyah Ariadi, Maret 2013. Syifa’MEDIKA, Vol. 3..

Anda mungkin juga menyukai