Oleh:
NIM 1830901137
Psikologi islam 4
FAKULTAS PSIKOLGI
TAHUN 2019
Masalah kejiwaan yang dihadapi seseorang sering mendapat reaksi negatif dari
orang-orang yang berada di sekelilingnya. Hal ini disebabkan keterbatasan pemahaman
masyarakat mengenai gangguan jiwa. Tradisi dan budaya yang menghubungkan kasus
gangguan jiwa dengan kepercayaan masyarakat setempat, menyebabkan sebagian
masyarakat tidak terbuka dengan penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah dan memilih
untuk mengenyampingkan perawatan medis dan psikiatris terhadap gangguan jiwa.
Pandangan Islam tentang gangguan jiwa tidak jauh berbeda dengan pandangan para ahli
kesehatan mental pada umumnya.
Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental
diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin
yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai
kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya
usaha peningkatan. (Ariadi Purmansyah, Maret 2013).
Perceraian
Perceraian dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga atau retaknya
struktur peran sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak dapat menjalankan
kewajiban peran secukupnya. Salah satu contoh macam utama kekacauan keluarga
adalah perceraian dimana terputusnya keluarga disini karena salah satu atau kedua
pasangan tersebut memutuskan untuk saling meninggalkan saat berhenti melaksanakan
kewajiban perannya (Goode, 2004). Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa
perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk
tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Perceraian berasal dari kata
kerja “cerai” yang dapat diartikan “berpisah” dan dikenal juga dengan istilah “broken
home”. Perceraian adalah berakhirnya sebuah ikatan pernikahan yang diakui secara
hukum. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan
yang resmi. (Kartika Ayu Primasti Aryani Tri Wrastari, Desember 2013).
Family Conflict
Forgiveness
Ryff & Singer (1998, 2000, dalam Ryan & Deci, 2001) telah melakukan
pendalaman terhadap masalah wellbeing dalam konteks perkembangan rentang hidup
seseorang (life span). Mereka terpengaruh oleh pandangan Aristotle, bahwa wellbeing
bukanlah hal yang sederhana seperti sebuah usaha untuk memperoleh kesenangan,
tetapi perjuangan untuk menjadi sempurna yang dicerminkan mewujudkan potensi diri
yang sejati (true potensial) (Ryff 1995, dalam Ryan & Deci, 2001). Ryff & Keyes
(1995) menyatakan bahwa untuk mengukur psychological wellbeing (PWB) seseorang
digunakan pendekatan multidimensi yang terdiri dari enam aspek yang berbeda dari
aktualisasi diri manusia: autonomy, personal growth, selfacceptance, life purpose,
enviromental mastery, dan positive relationship with others. Keenam konstruk ini
menjelaskan PWB baik secara teoritis ataupun operasional dan mereka
menghubungkanya dengan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik
(Ryff & Singer 1998, dalam Ryan & Deci, 2001 dalam jurnal Kartika Ayu Primasti
Aryani Tri Wrastari, Desember 2013).
Masa Dewasa
Istilah adult atau dewasa berasal dari bentuk lampu kata adultus yang berarti
telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Hurlock (2006) menyatakan bahwa masa dewasa dimulai pada usia 18 tahun, ketika
perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan
reproduktif. Sementara Santrock (2012) mengatakan bahwa individu yang berada pada
masa dewasa adalah individu yang telah berusia 20 tahun ke atas. Selanjutnya, Santrock
(2012) menjelaskan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin
hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya.
Masa dewasa awal diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa
yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging
adulthood. Pada masa ini, individu telah mengalami perubahan fisik dan psikologis
tertentu bersamaan dengan masalah serta harapan pada perubahan tersebut. (Fatima Nur
Azra, 2017).
Dampak positif
1. Menjadi lebih mandiri. Hal ini anak tidak tergantung dari orang tua karena
mereka dituntut untuk bisa berbuat tanpa pendampingan dari orang tua.
2. Menjadi terlatih, berupa mengerjakan pekerjaan rumah menjadi terlatih. Dan
akan menjadi cepat bangkit jika mengalami keterpurukan.
Dampak negative
Tetapi tidak semua anak korban perceraian mengalami hal seperti itu, bagi
subyek yang telah menemukan identitas dirinya sejalan dengan perkembangan psikis,
fisik, dan psikososialnya sehingga mampu mereaksi frustasi yang disebabkan oleh
problem keluarga dengan sikap positif. Hal inilah yang menyebabkan anak memiliki
sikap kematangan emosi dalam mengambil keputusan, keterbukaan menerima masalah,
bertanggung jawab, mandiri, dan percaya diri, tidak mudah terpancing emosinya, tidak
minum alkohol, mempunyai semangat untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di
sekolah, memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
secara matang dan rasional dengan menontrol emosi yang baik, tidak mudah terpancing
dan memiliki ketenangan.
Daftar Pustaka:
Amato, P.R. & Cheadle, J. 2005. The Long Reach of Divorce: Divorce and Child Well-
Being Across Three Generations. Journal of Marriage and Family. Volume 67.
Kartika Ayu Primasti & Aryani Tri Wrastari, Desember 2013. Jurnal Psikologi
Kepribadian dan Sosial Vol.02.
Ida Untari, Kanissa Puspa Dhini Putri, Muhammad Hafiduddin, 2018. Media Publikasi
Penelitian, Volume 15.