Anda di halaman 1dari 7

Komunikasi Keluarga dalam Situasi Pandemi terhadap Kesehatan

Mental Remaja

Disusun oleh:
Devita Puspasafira Srilankawati Hardijanto
072011533016

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
I. Abstrak

Komunikasi keluarga adalah tentang bagaimana setiap anggota keluarga harus


berkomunikasi satu sama lain dan membuat suatu pola komunikasi keluarga. Skema
hubungan keluarga menjelaskan suatu kognisi dan peran komunikasi keluarga. Di essay ini,
penulis menganalisis dan mendiskusikan komunikasi keluarga terutama pada isu kesehatan
mental dalam pola komunikasi yang ada di dalamnya pada situasi pandemi COVID-19 yang
sedang berlangsung. Kesulitan komunikasi di kalangan anggota keluarga sangat berdampak
pada struktur dan kesehatan mental dalam hubungan keluarga. Menghubungkan koneksi-
koneksi orientasi komunikasi keluarga dengan perilaku serta psikososial yang dihasilkan dari
komunikasi keluarga.

Kata kunci: Komunikasi keluarga; Pandemi; Kesehatan mental

II. Pendahuluan

Meningkatnya pasien COVID-19 di berbagai negara menyebabkan terjadinya


lockdown untuk menghindari virus tersebut. Virus ini menyebar dengan sangat cepat dan
pemerintah mengambil kebijakan ini karena tidak ada alternatif lain. Wabah ini menciptakan
sebuah krisis dalam cara kita berkomunikasi dengan kerabat mengingat bahwa kita harus
menjaga jarak sosial dan perlunya isolasi (Marra et al., 2020:297). Komunikasi dengan cara
ini efektif dalam keadaan darurat kesehatan COVID-19 (Mohamad & Azlan, 2020:2).

Secara umum, komunikasi keluarga selalu dikategorikan menjadi salah satu aspek
besar dalam hubungan interpersonal dinamika hubungan keluarga (Zarnagash et al.,
2012:405). Melalui lockdown ini diberikan kesempatan besar untuk memahami lebih lanjut
secara emosional setiap anggota keluarga (Monin et al., 2020:1300). Memfokuskan hal ini
pada kesehatan mental merupakan kajian yang sangat penting. Komunikasi keluarga telah
berubah dari stress jangka pendek menjadi sebuah ketakutan dan ketidakpastian jangka
panjang.

III. Diskusi

Waktu yang dihabiskan dalam keluarga lebih berbeda hari ini karena kita terjebak di
tempat dengan orang yang sama. Jika kita berbicara tentang komunikasi keluarga khususnya
waktu pandemi, sangatlah penting bagi anggota keluarga menganggap remaja sebagai teman.
Mendengarkan menjadi peralatan dan komponen terpenting dalam komunikasi keluarga.
Pastikan ketika remaja hendak mengeluarkan ekpresi dan pikiran mereka, anggota keluarga
harus berkontak mata dengannya serta gerakan kecil seperti mengangguk dapat memberikan
remaja tersebut sebuah penghargaan. Sangatlah penting juga memberi tahu keluarga tentang
ruang pribadi remaja dengan anggota keluarga agar remaja merasa nyaman di rumah.

Dalam lockdown pandemi, komunikasi keluarga terlalu mengontrol dan menekan


kehidupan anak dari sebelumnya yang nanti akan menambahkan tingkat depresi, perilaku
self-harm, serta menarik diri dari lingkungan sosial (Yeh, 2011:236). Remaja merasa kurang
berdaya dalam keluarga mereka karena mereka cenderung bersikap negatif dan agresif dalam
sebuah percakapan (Clark, 2015:3). Belum lagi, adanya tekanan tugas online dan keluarga
kurang suportif dalam setiap komunikasi ketika remaja ingin mengekspresikan perasaan
mereka.

Menurut Keating et al (2013:163),

Percakapan yang sulit digambarkan sebagai diskusi yang bermuatan emosional


ditandai dengan ketidakpastian. Dalam lingkungan medis, percakapan yang
sulit mungkin tentang keputusan akhir hidup tentang orang yang dicintai atau
tentang pasangan prognosis serius. Dalam konteks keluarga, percakapan yang
bermuatan emosional seperti itu mungkin tentang kondisi kesehatan orang tua
atau pilihan perilaku kesehatan anak. Topik komunikasi keluarga lainnya yang
cenderung dicirikan oleh emosi dan ketidakpastian yang telah ditemukan
dalam penelitian sebelumnya melibatkan orientasi seksual anak-anak,
keputusan pekerjaan, atau hubungan asmara dan persahabatan.

Tinggal di tempat yang relatif kecil dengan anggota keluarga dalam situasi pandemi
akan membuat suasana tidak positif. Dilihat dari sudut pandang lain, hal ini jelas dapat
mempersatukan anggota keluarga, tetapi sayangnya akan ada tantangan dan akan lebih sulit
lagi untuk mendukung anggota keluarga secara individual ketika mereka membutuhkannya.
Hal tersebut dapat menunjukkan fungsi dan komunikasi keluarga dengan gejala depresi
sangat terkait di berbagai titik waktu remaja, terutama dalam unit keluarga (Freed et al.,
2016:505).

Komunikasi merupakan sebuah kekuatan. Konteks yang sangat membantu


pengendalian emosi kita, terutama di situasi pandemi. Tetapi, adanya ketidakpastian dalam
komunikasi keluarga menyebabkan suasana tidak nyaman. Pengabaian komunikasi yang
didapat dalam keluarga tidak hanya menempatkan remaja dalam penurunan kinerja sekolah
tetapi juga memiliki jangka panjang kesehatan mental yang serius seperti perasaan harga diri
rendah, anxiety, post traumatic stress disorder (PTSD), dan depresi (Rizvi & Najam,
2014:257).

Tingkat stress dan depresi yang dirasakan individu remaja bergantung pada persepsi,
penilaian kognitif, dan penafsiran dari pemicu stress (Widyastuti, 2017:1026). Adanya
tekanan tersebut dari komunikasi keluarga di masa pandemi dapat menciptakan
ketidakseimbangan. Keluarga harus mengetahui bahwa individu remaja memiliki tekanan
yang berat. Hal ini seharusnya memungkinkan suatu keluarga untuk membuka tangannya
agar remaja dapat membuka diri tanpa dihakimi dan membantu remaja dalam tekanan yang
dialami.

IV. Kesimpulan

Umumnya, keluarga terlalu sensitif dan tidak siap untuk memeluk proses penyakit dan
perawatan mental (Pompeo et al., 2016:2). Justru hal tersebut akan membuat tingkat depresi
remaja khususnya dalam masa lockdown meningkat. Penyakit mental yang dimiliki remaja
haruslah diberikan kemudahan komunikasi dan divalidasi secara efektif (Maina et al., 2016).
Dari hal tersebut, diupayakan meningkatkan kualitas hidup fungsional keluarga sebagai
sistem dukungan harus difokuskan dalam wawasan serta keterampilan terkait kesehatan
mental (Nebhinani & Subodh, 2017).

Komunikasi keluarga sangatlah penting dalam setiap aspek untuk menanggapi efek
kesehatan mental setiap remaja (Abbasi-Asl et al., 2017). Jadi, di saat seperti ini, fokus
komunikasi keluarga harus membangun sebuah fondasi dan mengurangi adanya penyakit
mental. Menyebarkan hal positif, komunikasi yang suportif, dan mengurangi konflik dapat
membuat nyaman komunikasi keluarga serta membantu komunikasi tersebut bertahan dalam
waktu pandemi.
DAFTAR PUSTAKA

Abbasi-Asl, et al. (2017). Mediating Role of Emotional Intelligence Between Family

Communication Patterns and Achievement Motivation Among High School Students.


International Journal of School Health, 4(3), 1-7. DOI: 10.5812/intjsh.41910

Clark, A.M. (2015). Family Communication Patterns and Adolescent Emotional Well-being:

Cross Classification of Mother-child and Father-child Interactions (doctoral


dissertation). Corvallis, OR: Oregon State University.

Freed, et al. (2016). The Relationship Between Family Functioning and Adolescent

Depressive Symptoms: The Role of Emotional Clarity. Journal of Youth and


Adolescence, 45(3), 505-519. DOI 10.1007/s10964-016-0429-y

Keating, et al. (2013). Family Communication Patterns and Difficult Family Conversations.

Journal of Applied Communication Research, 41(2), 160- 180.


doi:10.1080/00909882.2013.781659

Maina, et al. (2016). Anxiety and Depression. Journal of Psychopathology, 22, 236-250.

Diakses dari https://www.jpsychopathol.it/

Marra, et al. (2020). How COVID-19 pandemic changed our communication with families:

losing nonverbal cues. Critical Care, 24(1), 297. DOI: 10.1186/s13054-020-03035-w

Mohamad, E. & Azlan, A.A. (2020). COVID-19 and Communication Planning for Health
Emergencies. Malaysian Journal of Communication, 36(1), 1-3. Diakses dari
http://ejournal.ukm.my/

Monin, et al. (2020). Family Communication in Long-Term Care During a Pandemic:

Lessons for Enhancing Emotional Experiences. International Journal of Education


Research, 28(12), 1299-1307. DOI: 10.1016/j.jagp.2020.09.008

Nebhinani, N. & Subodh, B.N. (2017). How Mental Illness Affects the Family – Different

Worlds, Similar Suffering. Indian Journal of Social Psychiatry, 33(3), 187. DOI:
10.4103/ijsp.ijsp_65_17

Pompeo, et al. (2016). Strategies for coping with family members of patients with mental

disorders. Revista Latino-Americana de Enfermagem, 24, 1-8. DOI: 10.1590/1518-


8345.1311.2799

Rizvi, S.F. & Najam, N. (2014). Parental psychological abuse toward children and mental

health problems in adolescence. Pakistan Journal of Medical Sciences, 30(2), 256-


260. DOI: 10.12669/pjms.302.4593

Widyastuti, T. (2017). RESILIENCE OF A CHILD FROM BROKEN-HOME FAMILY: A

PHENOMENOLOGY STUDY. International E-Journal of Advances in Social


Sciences, 3(9), 1024-1034. DOI: 10.18769/ijasos.370052

Yeh, K. H. (2011). Mediating effects of negative emotions in parent-child conflict on

adolescent problem behavior. Asian Journal of Social Psychology, 14(4), 236– 245.
DOI: 10.1111/j.1467-839X.2011.01350.x

Zarnagash, et al. (2012). The relationship between family communication patterns and mental

health. Procedia Social and Behavioral Sciences, 84, 405-410. DOI:


10.1016/j.sbspro.2013.06.575

Anda mungkin juga menyukai