Anda di halaman 1dari 20

STRATEGI COPING STRESS REMAJA DENGAN ORANG TUA

BERCERAI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Universitas Islam Negeri
Raden Fatah Palembang

RANI RAHMIJA
1820901102

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
a. Latar Belakang 1
b. Pertanyaan Penelitian 3
c. Tujuan Penelitian 3
d. Manfaat Penelitian 3
e. Keaslian Penelitian 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5
a. Dampak Perceraian terhadap anak 5
b. Perkembangan Psikologis Anak Korban Perceraian 7
c. Remaja 8
d. Coping Stress 10
BAB III. Metode Penelitian 14
a. Metode Penelitian 14
b. Sumber data 15
c. Metode Pengumpulan Data 16
d. Analaisis Data 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama bagi anak, yaitu tempat
bersosialisasi yang memegang peranan penting bagi perkembangan kepribadian,
dalam keluarga untuk pertama kali anak mengenal arti hidup, cinta kasih, simpati,
mendapatkan bimbingan dan pendidikan serta terciptanya suasana yang aman,
sehingga dapat dikatakan keluarga memegang peranan penting untuk membentuk
kepribadian. Pada kenyataanya, tidak semua keluarga dapat menjalankan
fungsinya dengan baik.
Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para anggota keluarga
seringkali keseimbangan akan terganggu dan membahayakan kehidupan keluarga
yang mengakibatkan keluarga tidak akan merasakan kebahagiaan. Istilah
perceraian sering terdengar dalam kehidupan saat ini, di Indonesia banyak
perkawinan berakhir dengan perceraian, banyak berita yang memaparkan tentang
perceraian selebriti Indonesia baik di televisi, di koran-koran dan majalah-majalah
yang membahas public figure seperti para artis.
Berdasarkan hasil penelitian, Jumlah perceraian di samarinda telah
mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat, 3 tahun belakangan ini kasus
perceraian makin meningkat yaitu dari tahun 2009 sampai 2011. Di tahun 2009
kantor pengadilan agama mendapat perkara sejumlah 2.138 dan di tahun 2010
pengadilan agama kota samarinada mendapat 2.063 perkara. Angka perkara yang
paling drastis adalah di tahun 2011 pengadilan agama samarinda telah menerima
2.310 perkara. Umumnya orang tua yang bercerai lebih siap menghadapi
perceraian di bandingkan dengan anak anak. Berapapun usia anak-anak ketika
orang tua bercerai, mereka akan menjadi tertekan, jika anakanak itu dewasa,
penderitaan mereka akan lebih sedikit berbeda dengan anak yang memasuki
remaja mereka akan sulit menerima keadaan yang sesungguhnya bahwa
keluarganya telah bercerai. Perceraian merupakan guncangan bagi remaja sebab
pikiranya akan terkuras pada masalah perceraian orang tuanya sehingga akan

1
mengganggu apa yang seharusnya dia perhatikan sesuai dengan usianya yaitu
berkaitan dengan pembentukan identitas yang sehat, hal ini mempengaruhi remaja
korban perceraian dengan dirinya sendiri yaitu penerimaan dirinya.
Remaja tidak percaya bahwa ayah dan ibunya telah bercerai
ketidakpercayaan tersebut diiringi dengan sikap marah dan biasanya remaja
tersebut marah dengan dirinya sendiri atau dengan orang tuanya yang berpisah
dengan adanya permasalahan itu pikiran mereka akan menjadi tidak terarah,
sehingga sulit menerima kenyataan hidup dan pada akhirnya akan menimbulkan
masalah stres pada diri anak remaja tersebut karena belum dapat menerima
kejadian yang menimpa dirinya. Dalam hal ini Folkman dan Lazarus (1984)
mengungkapkan stres adalah suatu disebabkan karena individu dihadapkan pada
situasi internal dan eksternal yang menimpa dirinya. Pada saat individu di
hadapkan pada kondisi stres karena adanya suatu permasalahan, maka secara
otomatis individu tersebut berusaha untuk dapat mengurangi atau menghilangkan
perasaan stress yang dialaminya tersebut, dan hal itu juga yang dilakukan oleh
remaja yang mengalami perceraian orang tuanya.
Seperti diungkapkan oleh Radley (1994) istilah coping stres dapat diartikan
sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik,
mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutantuntutan yang ada yang
mengakibatkan stres (dalam Folkman dan Lazarus, 1984). Salah satu cara yang
membantu proses penerimaan diri dan meningkatkan penerimaan diri adalah
melakukan strategi coping. Folkman dan Moskowits (dalam santrock, 2007)
mendefinisikan coping adalah upaya untuk mengelola situasi yang membebani,
memperluas usaha untuk memecahkan masalah-masalah hidup, dan berusaha
untuk mengatasi atau mengurangi stres Folkman dan Lazarus (1984)
mengklasifikasikan strategi coping menjadi dua bentuk, yaitu problem focused
coping adalah coping yang berfokus pada masalah yang dialami seseorang serta
upaya untuk memecahkan masalah tersebut dan emotion focused coping adalah
coping yang berfokus pada emosi terhadap stres yang dialaminya. Sehingga
coping stress sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan remaja akibat
perceraian.

2
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang diajukan pada Penelitian ini
1) Strategi Coping Stress seperti apa yang dibutuhkan dalam permasalahan
Perceraian ?
2) Apa manfaat Coping Stress bagi remaja ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berikut adalah beberapa tujuan penelitian
1) Membantu remaja yang mengalami stress akibat perceraian
2) Memberikan solusi permasalahan yang timbul terkait permasalahan mental
remaja akibat perceraian
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut
1) Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam bidang keilmuan
psikologi dan psikis remaja. Dengan adanya penelitian ini dapat membantu
menambah wawasan keilmuan dari segi psikologi khusunya dalam
kesehatan mental remaja.
2) Secara Praktis
a) Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat memberikan
wawasan yang mendalam dan memberikan cara menamggulangi
stress terutama bagi anak yang mengalami stress akibat masalah
perceraian
b) Bagi Remaja
Penelitian ini memilki manfaat bagi remaja agar dapat
menyelesaikan permasalahan akibat perceraian sehiingga dengan
penelitaian ini diharapkan para remaja dapat menemukan solusi
yang terbaik dalam menghilangkan stress dengan bantuan coping
stress
c) Bagi Peneliti selanjutnya

3
Dapat meberikan gambaran serta kekurangan agar kedepannya
penelitian ini dapat diteliti lebih dalam

1.5 Keaslian Penelitian


Peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini, yaitu penelitian yang terkait dengan coping stress dan dukungan
sosial yang dilakukan oleh Sakti (2015) dengan judul “Hubungan antara
perceraian dengan Coping stress pada Siswa Akselerasi”. Subjek penelitian yang
digunakan adalah 55 siswa siswi SMA akselerasi wilayah Eks-Solo. Secara rinci
jumlah subjek adalah 17 siswa dari SMA Negeri 1 Klaten, 20 siswa dari SMA
Negeri 1 Boyolali dan 18 siswa dari SMA Negeri 1 Sukoharjo. Hasil peneltian
menunjukkan bahwa ada hubungan antara perceraian dan coping stress pada siswa
akselerasi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sutandi (2011) dengan judul
“Hubungan Perceraian dengan Coping stress di Jakarta”. Subjek dalam penelitian
ini adalah pria yang berada di Jakarta sebanyak 31 orang dengan rentang usia 18-
22 tahun dan pernah melakukan perceraian sebanyak 3 kali Hasil penelitian ini
adalah ada hubungan yang signifikan antara perceraian dan coping stress.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa memang
coping stress memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah stress di remaja
akibat permasalahan perceraian. Kemudian memang perceraian merupakan
masalah serius yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mental remaja.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dampak Perceraian Terhadap Anak


Anak menjadi korban yang paling utama dari suatu perceraian. Anak
merupakan korban yang paling terluka ketika orang tuanya memutuskan untuk
bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena kehilangan sosok ayah atau ibu
mereka, takut kehilangan kasih sayang orang tua yang kini tidak tinggal serumah.
Mungkin juga mereka merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai
penyebabnya. Prestasi anak di sekolah akan menurun atau mereka jadi lebih
sering untuk menyendiri. Anak-anak yang sedikit lebih besar bisa pula merasa
terjepit di antara ayah dan ibu mereka.
Salah satu atau kedua orang tua yang telah berpisah mungkin menaruh
curiga bahwa mantan pasangan hidupnya tersebut mempengaruhi sang anak agar
membencinya. Ini dapat mebuat anak menjadi serba salah, sehingga mereka tidak
terbuka termasuk dalam masalah-masalah besar yang dihadapi ketika mereka
remaja. Sebagai pelarian yang buruk, anak-anak bisa terlibat dalam pergaulan
yang buruk, narkoba, atau hal negatif lain yang bisa merugikan. Apalagi
khususnya bagi anak yang masih di bawah umur. Mereka bisa menjadi anak yang
mengarah pada emosional yang tidak terarah yang mengakibatkan anak menjadi
tidak menentu tujuan hidupnya. Salah satu dampak dari perceraian adalah
perkembangan psikologis anak.
Dampak pada anak-anak pada masa ketidakharmonisan, belum sampai
bercerai namun sudah mulai tidak harmonis:
1) Anak mulai menderita kecemasan yang tinggi dan ketakutan.
2) Anak merasa terjepit di tengahtengah. Karena dalam hal ini anak
sulit sekali memilih papa atau mama.
3) Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.
4) Kalau kedua orang tuanya sedang bertengkar, itu memungkinkan
anak bisa membenci salah satu orang tuanya.

5
Setiap terjadinya perceraian orang tua sudah barang tentu berdampak negatif
terhadap proses pendikan dan perkembangan jiwa anak, di karenakan anak usia
sekolah dasar pada umumnya masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian
penuh dari kedua orang tua. Hal ini akan dibuktikan nantinya dalam pembahasan
berkutnya, hal-hal yang berkaitan dengan 41 dampak yang dirasakan anak akibat
terjadinya perceraian kedua orang tuanya.
Perceraian orang tua merupakan problema yang cukup besar bagi anak-
anaknya terutama bagi anak-anak yang masih sekolah dasar, sebab anak-anak
pada usia ini masih sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.
Suasana rumah tangga memberi pengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan
anak usia Sekolah Dasar. Suasana keluarga yang berantakan dapat menyebabkan
anak tidak dapat belajar dengan baik bahkan membawa pengaruh yang negatif
terhadap perkembangan jiwa anak dalam masa pertumbuhannya, karena pribadi si
anak umumnya terjadi melalui pengalaman yang didapat diwaktu kecil.
Pengalaman yang diperoleh anak di waktu kecil baik pengalaman pahit maupun
menyenangkan semuanya memberi pengaruh dalam kehidupan anak nantinya.
Zakiah Drajad menyebutkan ada beberapa hal tanggung Jawab orang tua
terhadap anak-anaknya
a) Memperkenalkan nikmat dan karunia Allah
b) Membimbing anaknya dalam pengalaman ilmu agama
c) Memberi nama bagi anak
d) Memperjelas nasab ( keturunan )
e) Selalu mendo’akan kepada anaknya
1) Dalam bidang Emosional
a) Adanya rasa kasih sayang dan cinta kepada anak
b) Harus mencerminnkan keteladanan yang baik karena anaknya akan
selalu mengikuti jejak dan prilaku orang tuanya.
c) Mengikuti sagala tindak tanduk orang tuanya
d) Berbuat dan bersikap adil dalam keluarga
e) Bijak dalam membimbing
f) Meluangkan waktu untuk bergaul dan bermain dengan anaknya

6
Harus baik tidak kasar dan bijak dalam mengungkapkan kemarahannya terhadap
anak
a) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
b) Dalam Bidang Kesehatan Meliputi
c) Orang tua dan keluarga brtanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan
merawat anak sejak dalam kandungan hingga dewasa
Bila Orng tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut
maka pemerintah wajib mmemnuhinya. Dari ketentuan tersebut di atas dapat
diketahui, bahwa seorang anak mempunyai hak yang cukup menjamin terehadap
kelangsungan hidup dan kebahagiaan anak yang bersangkutan.
2.2 Perkembangan Psikologis Anak Korban Perceraian
Bagi anak keluarga sangatlah penting. Keluarga sebagai tempat untuk
berlindung, memperoleh kasih saying Peran keluarga sangatlah penting untuk
perkembangan anak pada masa-masa yang mendatang, baik secara psikologi
maupun secara fisik. Tanpa keluarga anak akan merasa sendiri, tidak ada tempat
untuk berlindung Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat
anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal
bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak. Pada masa
ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.
Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai
adalah:
1) Merasa tidak aman (insecurity).
2) Tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuannya yang pergi.
3) Marah Sedih dan kesepian.
4) Kehilangan, merasa sendiri, menyalahkan diri sendiri sendiri sebagai
penyebab orangtua bercerai
Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa
menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain.
Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah: Menyadari dan mengerti
bahwa orang tuannya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan

7
persatuan kedua orang tua, Dapat menerima rasa kehilangan, Tidak marah pada
orang tua dan tidak menyalahkan diri sendiri, menjadi dirinya sendiri.
Bagi semua anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat
membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan ada perceraian
dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena
adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan
harapan, cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada
keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam
menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau
ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik
tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang
dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati
dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa
mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian
orangtuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai
adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan
kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak
salah satu pihak yang sedang cekcok serta jangan sekalisekali melibatkan mereka
dalam proses perceraian tersebut. Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah
mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara
dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya.
Maksudnya, supaya anakanak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat
mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti
ketika belum ada perceraian.
2.3 Remaja
Piaget (dalam Hurlock, 2009: 206) mengatakan bahwa secara psikologis
masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak. Sedangkan menurut Santrock (2003: 31), masa remaja adalah masa

8
perkembangan transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif, dan sosial. Menurut Monks (2006: 262) remaja adalah individu
yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari
masa anak-anak ke masa dewasa. Monks membagi tahap masa perkembangan
remaja menjadi tiga, yaitu masa remaja awal antara usia 12-15 tahun, masa remaja
pertengahan antara usia 15-18 tahun, masa remaja akhir antara usia 18-21 tahun.
Havighurst (dalam Monks, 2006: 260) mengemukakan beberapa tugastugas
perkembangan remaja pada usia 12-18 tahun, antara lain adalah perkembangan
aspek-aspek biologis, menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan
masyarakat sendiri, mendapat kebebasan emosional dari orang tua dan/ atau orang
dewasa lainnya, mendapat pandangan hidup sendiri, dan merealisasi suatu
identitas sendiri, serta mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu
yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa.
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2009: 207 – 209) ciri-ciri masa remaja
antara lain :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting Remaja mengalami
perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua
perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan
pembentukan sikap, nilai, dan minat baru.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan merupakan perpindahan
dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya, dengan
demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan
meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan dating,
serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap
berikutnya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat
diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat.

9
Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga
menurun.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah Masalah masa remaja sering
menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak
perempuan.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Penyesuaian diri dengan
standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan
stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang
tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak,
menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak
simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja akan sakit hati dan
kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil
mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Semakin mendekatnya usia
kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip
belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir
dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan
dengan status dewasa yaitu merokok, minum - minuman keras,
menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka
menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka
inginkan.
2.4 Coping Stress
Menurut Taylor (dalam Smet, 1994: 143) mengemukakan bahwa coping
adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang
ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun
tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki
individu tersebut dalam menghadapi situasi stres. Lazarus dan Folkman (1984:
141) menyatakan bahwa coping sebagai upaya perilaku dan kognitif untuk

10
mengelola tuntutan eksternal atau internal khusus yang dinilai sebagai situasi yang
berat atau melebihi sumber daya individu.
Secara umum Lazarus dan Folkman (1984: 150) membedakan 2 (dua) fungsi
coping stress, yaitu:
1. Emotion-focused
coping berfokus pada penilaian bahwa tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mengubah kondisi lingkungan yang berbahaya, mengancam, atau
menantang. Bentuk usaha yang digunakan adalah individu mengatur atau
mengurangi respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini melalui
perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bermeditasi, melampiaskan
amarah, mencari dukungan emosional, dan meniadakan fakta-fakta yang
tidak menyenangkan melalui strategi kognitif, seperti menghindar,
minimalisasi, menjauh, fokus perhatian lebih selektif, dan mengambil nilai
positif dari situasi negatif (Lazarus dan Folkman, 1984: 150). Bila individu
tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung
mengatur emosinya. Salah satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud
(dalam Smet, 1994) yaitu mekanisme pertahanan diri (defense
mechanism). Strategi ini tidak mengubah situasi stres, hanya mengubah
cara orang memikirkan situasi dan melibatkan elemen penipuan diri.
2. Problem-focused coping Problem-focused coping berfokus pada
penerimaan terhadap perubahan. Untuk mengurangi stressor, individu
akan mengatasi dengan mempelajari caracara atau ketrampilan-
ketrampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini,
bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode atau fungsi
masalah ini lebih sering digunakan oleh para individu dewasa. Problem-
focused coping biasanya langsung mengambil tindakan untuk
memecahkan masalah atau mencari informasi yang berguna untuk
membantu pemecahan masalah (Lazarus dan Folkman, 1984: 152).
Dari kedua fungsi coping tersebut adapun strategi coping yang dijelaskan secara
lebih lanjut oleh Lazarus dan Folkman (dalam Pranandari, 2008) sebagai berikut :

11
1. Confrontive coping Confrontive coping adalah strategi yang ditandai oleh
usaha-usaha yang bersifat agresif untuk mengubah situasi, termasuk
dengan cara mengambil resiko. Hal ini dilakukan individu dengan cara
tetap bertahan pada apa yang diinginkan.
2. Planful problem-solving Planful problem-solving adalah strategi yang
menggambarkan usaha-usaha terpusat pada masalah yang dilakukan secara
hati-hati untuk mengatasi situasi yang menekan. Dalam menghadapi suatu
situasi yang menekan, individu mengetahui apa yang harus dilakukannya,
maka salah satu langkah yang ditempuhnya adalah melipat gandakan
usaha agar berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Langkah
lain dari strategi coping ini adalah membuat rencana dari hal-hal yang
akan dilakukan untuk mengatasi masalah dan secara konsekuen akan
menjalankan rencana tersebut.
3. Seeking social support (problem focused) Seeking social support adalah
strategi yang ditandai oleh usaha-usaha untuk mencari nasihat, informasi
atau dukungan emosional dari orang lain. Strategi ini dapatdilakukan
dengan cara membicarakan masalah yang dihadapi dengan orang lain yang
dapat memberi saran maupun alternatif pemecahan masalah secara
konkret.
Kemudian dilanjutkan dengan Distancing, Self Control , Accepting , dan Escape-
avoidance Escape-avoidance
1. Distancing Distancing adalah usaha yang bertujuan untuk menjaga jarak
antara diri sendiri dengan masalah yang dihadapi dan bertingkah laku
mengabaikan masalah yang sedang dihadapi tersebut. Individu yang
menggunakan strategi ini secara sadar menolak untuk memikirkan atau
larut dalam masalah dan menganggap seakan-akan tidak pernah terjadi
sesuatu.
2. Self-control Self-control adalah strategi yang menggambarkan usaha-
usaha yang dilakukan individu untuk mengatur perasaan-perasaannya
dengan cara menyimpan perasaan-perasaan tersebut. Umumnya individu

12
yang menggunakan strategi ini juga berusaha menyimpan keadaan atau
masalah yang sedang dihadapi agar tidak diketahui oleh orang lain.
3. Accepting responsibility Accepting responsibility adalah suatu strategi
yang pasif dimana individu mengakui atau menerima bahwa dirinya
memiliki peran dalam masalah tersebut. Dalam strategi ini individu akan
mengkritik diri sendiri bila ia sedang menghadapi masalah dan ia merasa
dirinyalah yang bertanggung jawab atas masalah yang timbul.
4. Escape-avoidance Escape-avoidance adalah strategi berupa perilaku
menghindar atau melarikan diri dari masalah dan situasi stres dengan cara
berkhayal atau berangan-angan juga dengan cara makan, minum, merokok,
menggunakan obat obatan. Dengan melakukan strategi ini individu
berharap bahwa situasi buruk yang dihadapi akan segera berlalu.
5. Positive reappraisal adalah strategi yang ditandai oleh usaha-usaha untuk
menemukan makna yang positif dari masalah atau situasi menekan yang
dihadapi, dan dari situasi tersebut individu berusaha untuk menemukan
suatu keyakinan baru yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi.
6. Seeking social support Seeking social support adalah stategi yang dipakai
individu untuk mendapatkan simpati dan pengertian dari orang lain.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping Stress Reaksi terhadap stres bervariasi
antara orang yang satu dengan yang lainnya atau dari waktu ke waktu pada orang
yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang
tampaknya dapat merubah stressor bagi individu. Menurut Smet (1994: 144)
faktor-faktor tersebut adalah:
1. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis
kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku,
kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.
2. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi
secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control,
kekebalan, ketahanan.
3. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan,
jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.

13
4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima,
integrasi dalam jaringan sosial.
5. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
situasi stres.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research. Jenis
penelitian ini biasa juga disebut penelitian kualitatif yang mana penelitian
dilakukan pada kondisi alami (Sugiyono, 2013:8). Tujuan yang ingin disasar yaitu
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
secara holistic/menyeluruh, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6). Menurut Milles dan Michael
sebagaimana dikutip oleh maslikhah (2013: 319) penelitian jenis ini akan
mendapatkan data kualitatif yang sangat menarik, memiliki sumber dari dekripsi
yang luas dan berlandaskan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses
yang terjadi dalam lingkup setempat. Penelitian ini dapat memahami alur
peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-
orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat serta
dapat memperoleh penemuan-penemuan yang tidak diduga sebelumnya untuk
membentuk kerangka teoritis baru. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap
fakta, keadaan, fenomena, variable dan keadaan yang terjadi saat penelitian
berjalan dan menyuguhkan data apa adanya. Penelitian ini menggungakan
pendekatan penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data. Penelitian deskriptif dan
kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi
yang terjadi, sikap pandanag yang terjadi dalam masyarakat, pertentangan dua

14
keadaan atau lebih, hubungan antara fariabel, perbedaan antar fakta, pengaruh
terhadap suatu kondisidan lain-lain. Dan yang terakhir adalah pendekatan
sosiologis, yaitu pendekata yang melandaskan pada fenomena atau gejala-gejala
yang berkembang ditengah-tengah masyarakat guna memahami hukum yang
berlaku dalam masyarakat (soekanto, 1999:45) Jenis penelitian deskriptif
kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan mencari atau
menelusuri penyebab terjadinya perceraian yang terjadi di lingkungan kerja dan
faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian yang terjadi pada
karyawan tersebut. Dalam penelitian kualitatif temuan atau data dapat dinyatakan
valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Kemudian arti reabilitas dalam
penelitian kualitatif ialah suatu realitas itu bersifat majemuk / ganda, dinamis /
selalu berubah, sehingga tidak ada yang konsisten, dan berulang seperti semula.
Selanjutnya untuk menetapkan keabsahan data diperlukan tekhnik pemeriksaan
(Moleong, 2014).
Penerapan Kriterium derajat kepercayaan (kredibilitas) pada dasarnya
menggantikan konsep validitas internal dari penelitian non-kualitatif. Kriterium
ini berfungsi : pertama, melaksankan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat
kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Kedua, menunjukkan derajat
kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada
kenyataan ganda yang sedang terjadi.
3.2 Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah observasi, wawancara,
dokumen, (dokumen sermi atau pribadi, dan foto). Sumber data dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu: a. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber
primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut (Amirin,
1990:132).
A. Data Primer
Macam macam data primer adalah sebagai berikut:
1. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk mendapatkan
informasinya tentang informasi dan kondisi latar belakang penelitian. Jadi

15
seorang informan harus banyak mempunyai pengalaman tentang latar
belakang penelitian. Seorang informan berkewajiban secara sukarela
menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informa
2. Sebagai anggota tim dengan kebaikanya dan dengan kesukarelaanya iya
dapat memberikan pandangandari segi orang dalam, tentang nilai-nilai
sikap, bangunan proses dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian
setempat (Moleong. 2002:90) dalam penelitian ini adalah karyawati yang
bekerja di PT. Morich Indo Fashion yang berlokasi di kecamatan karang
jati kabupaten semarang.
3. Dokumen adalahsetiap bahan tertulis atau film (Moleong. 2002: 161).
Sumber tertulis adalah sumber buku dan majalah ilmiah, sumber arsip,
dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong. 2002: 113).dalam
penelitian ini yang harus diambil adalah data karyawanti dan data
perceraian yang terjadi di lingkungan kerja PT.Morich Indo Fashion. Data
tersebut digunakan untuk memperoleh data tentang PT. Morich Indo
Fashion yang berada di kecamatan karang jati kabupaten semarang. Dan
data-data dan informasi yang menunjang atau memudahkan dalam
penelitian ini

B. Data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari dokumendokumen resmi, buku-buku yang
berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk
laporan, skripsi tesis, disertasi dan peraturan perundang-undangan (Ali,
2009: 106)
3.3 Metode Pengumpulan Data
A. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan (nazir, 1988: 211). Teknik dalam
penelitian ini adalah: a. Wawancara/interiew Wawancara adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewawawncara untuk memperoleh
informasidari terwawancara (Arikunto, 1998: 145).

16
B. Metode observasi atau pengamatan Dalam menggunakan metode observasi
cara yang paling efektif adalahmelengkapinya dengan formatatau blangko
pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi itemitem
tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi
(Arikunto. 2006. 229)
C. Metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara membaca dan
mengutip dengan dokumen-dokumen yang ada dan dipandang relevan.

3.4 Analisis Data


Analisis data adalah suatu proses menata, menyetrukturkan, dan memaknai
data yang tidak beraturan (Daymon & holloway, 2008:368). 28 Data yang berhasil
dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara
menguraikan dan mendeskripsikan kasus perceraian di lingkungan

17
DAFTAR PUSTAKA

1) Ali Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika.
2) Ali, zainuddin. 2009. Metode penelitian hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Amin
3) Summa, Muhammad. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam.Jakarta:
4) Rajawali Pers Amirin, Tatang. 1990. Menyusun Rencana Penelitian.
Jakarta: CV
5) Rajawali Arikunto. Suhaesimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu
pendekatan
6) Praktek. Jakarta :PT Rineka . Azzam, Abdul Aziz M & Abdul Wahhab
Syayyed
7) Hawas. 2009. Fiqh Munakahat (Khitbah Nikah dan Talak). Jakarta:
Amzah Azzam,
8) Abdul Aziz Muhammad. 2009. Fiqh Munakahat.Jakarta: Sinar Grafika
Basyir,
9) Ahmad Azhar. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.

18

Anda mungkin juga menyukai