Anda di halaman 1dari 23

PROSES MEMAHAMI PENGALAMAN ORANGTUA UNTUK

MEMBERIKAN PENJELASAN MENGENAI PENCERAIAN KEPADA

ANAK

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun guna memenuhi tugas proposal mata kuliah metodoli penelitian kualitatif

Di susun oleh :

NAMA
NIM

JURUSAN .......
FAKULTAS .......
UNIVERSITAS ..........
2022
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai hubungan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

sakinah, mawadah dan warahmah, hidup bahagia serta tentram dalam

lindungannya. Kerukunan dan keharmonisan rumah tangga sangat

diperlukan dan dibutuhkan seorang anak untuk berkembang dan hidup

menjadi lebih baik, kerena keluarga merupakan satu-satunya tempat yang

pertama dan utama bagi seorang anak untuk menjadi anak yang berguna

bagi orang tua. Keluraga adalah lingkungan alami yang dapat dijadikan

untuk mendidik anak dengan baik dan benar, baik pendidikan jasamani

ataupun pendidikan rohani serta dapat menumbuhakan rasa kasih sayang

dan cinta dalam jiwanya. Namun, pada realitas yang ada banyak orangtua

yang melakukan perceraian pada ikatan pernikahan yang telah dibuat.

Perceraian tersebut tidak memperhatikan kondisi psikis anak. Dimana

pada proses perceraian yang terjadi banyak orang tua melakukan

perceraian disertai dengan pertikaian, konflik, bahkan kekerasan dalam

rumah tangga. Penyampaian dan pemahaman pada anak terkait kondisi

perceraian amatlah sangat penting, mengingat banyaknya anak yang

mengalami traumatik atas perceraian yang terjadi pada orang tua nya

(Ningrum, 2013).
Berdasarkan data yang penulis dapatkan pada tugas akhir yang

ditulis oleh (LY, 2015) didapatkan bahwa angka perceraian di Indonesia

mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 2009

angka perceraian sebanyak 216.286 peristiwa dari 2.162.286 peristiwa

pernikahan. Pada tahun 2010 angka perceraian sebanyak 285.184 peristiwa

dari 2.207.364 pernikahan. Pada tahun 2011 angka perceraian sebanyak

158.119 dari 2.319.821 pernikahan. Pada tahun 2012 angka perceraian

sebanyak 372.577 dari 2.291.265 pernikahan. Pada tahun 2013 angka

perceraian sebanyak 324.527 dari 2.218.130 pernikahan. Dari data tersebut

dapat terlihat dengan jelas bahwa tingkat perceraian di Indonesia

mengalami peningkatan, pada pendataan terakhir tahun 2013 mencapai

14,6 % dan ini menunjukan bahwa perceraian di Indonesia telah melewati

angka 10% dari setiap jumlah peristiwa pernikahan yang terjadi.

Berdasarkan data ini maka dapat disimpulkan bahwa angka

perceraian di Indonesia dapat dikategorikan tinggi dan mengalami

perkembangan setiap tahunnya. Dengan peningkatan perceraian yang

terjadi, maka resiko anak mengalami gangguan emosional dan psikis juga

turut beresiko. Maka dari itu, fokus penelitian yang akan penulis kaji

adalah bagaimana pentingnya proses pemahaman orang tua pada anak

tentang perceraian yang terjadi pada rumah tangganya.

B. Rumusan Masalah

Perceraian adalah suatu hal yang mampu mempengaruhi tidak

hanya terhadap kedua hubungan pasangan yang berpisah tetapi juga


terhadap psikologis anak, Pada dasarnya kondisi di mana saat orang tua

mengalami proses perpisahan atau penceraian, hal ini tidak boleh sampai

mempengaruhi psikologis anak melalui pendekatan yang tepat agar

perceraian tidak berimbas terhadap hal tersebut. Tetapi pada realitas yang

ada, banyak anak yang kemudian terjerumus ke dalam traumatic hingga

kenakalan remaja dikarenakan kurangnya pemahaman orang tua dalam

mengkomunikasikan dan memberikan penjelasan kepada anaknya.

Permasalahan yang kemudian didapatkan berupa :

1. Bagaimana kemudian proses pemahaman yang dilakukan oleh

orang tua atas perceraian yang terjadi dapat digunakan untuk

menjelaskan kepada anak.

2. Apakah upaya penjelasan yang dilakukan dapat mendapat

pemahaman dari anak?

3. Apakah orang tua benar memahami bagaimana proses

penjelasan perceraian kepada anak?

4. Bagaimana proses pemahaman perceraian orang tua untuk

memberikan penjelasan kepada anak dapat berjalan dengan baik serta

tidak mempengaruhi kondisi mental dan psikis pada anak ?

C. Tujuan Penelituan

Dari paparan diatas dilihat betapa pentingnya keluarga bagi anak dan

pentingnya keutuhan dalam suatu keluarga dan betapa berperan orang tua dalam

memberikan pengertian kepada anaknya terkait perceraian yang terjadi. Tujuan

dalam penelitian ini untuk menganalisis bagaimana proses orang tua


memberikan pemahaman yang tepat bagi anak terkait perceraian yang terjadi

kepada orang tua.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SIGNIFIKANSI PENELITIAN

1. Signifikansi Teoritis

Secara teoritis, peneliti memiliki harapan yang besar dimana

nantinya hasil penelitian yang ada dapat memberikan penjelasan lebih

lanjut mengenai proses yang dialami oleh orang tua saat memberikan

penjelasan terkait perceraian kepada anak-anaknya yang didasarkan

pada teori psikologis anak. Selain itu, penelitian ini juga menjajaki

terkait perkembangan anak yang menjadi salah satu aspek yang dapat

terdampak akibat adanya perceraian orang tuanya.

2. Signifikansi Praktis

Secara praktis, peneliti memiliki harapan yang besar dimana

penelitian ini dapat menjadi gambaran proses yang dialami oleh orang

tua saat akan memberitahukan anaknya perihal perceraian yang perlu

dipertimbangkan pula mengenai aspek psikologis dan perkembangan

anak tersebut. Selain itu, peneliti juga berhadap penelitian ini dapat

bermanfaat bagi banyak orang tua sebagai ilmu yang dapat diterapkan

kedepannya.

3. Signifikansi Sosial

Dari lingkup sosial, peneliti berharap bahwa penelitian yang

berbentuk jurnal atau artikel penelitian nantinya dapat memberikan


pengetahuan dan informasi baru kepada masyarakat mengenai peran

orang tua dalam pendidikan perihak perceraian.

B. Kerangka Teori

1. State of The Art

Untuk menanggapi anak yang terlibat dalam kasus perceraian

perlu adanya dukungan baik dari kedua orang tua maupun lingkungan.

Kedua orang tua, perlu menjelaskan mengenai perubahan yang kedua

orang tuanya alami sehingga anak tetap dapat berkembang dengan

baik. Menurut (Becher, 2019) dengan judul Positive Parenting and

Parental Conflict: Contributions to Resilient Coparenting During

Divorce, mengatakan bahwa penerapan co-parenting sebagai bentuk

pola asuh yang positif pada anak dengan konflik orang tua bercerai

memiliki dampak yang baik bagi anak. Ketika tingkat konflik yang

dimiliki tergolong rendah maka tingkat co-parenting yang dilakukan

semakin tinggi sehingga anak tidak akan merasa rendah diri dan dapat

berkembang dengan baik.

Hampir sama dengan penelitian sebelumnya, menurut W dari hasil

penelitiannya yang berjudul Co-Parenting Programs: A Systematic

Review and Meta-Analysis menyebutkan bahwa program co-parentng

pada keluarga dan anak dalam kasus perceraian memberikan pengaruh

terhadap kesejahteraan anak. Hal ini berhubungan dengan

kesejahteraan yang didapatkan oleh orang tua. Penelitian ini

memberikan hasil bahwa perlakuaan program ini dapat membantu


penyesuaian terhadap anak dan kualitas hubungan antar anak dan

orang tua. Terlepas dari heterogenitas program, beberapa kesamaan

diidentifikasi, seperti penggunaan psikoedukasi dan pelatihan

keterampilan.

Memberitahu anak mengenai perihal perceraian juga menjadi hal

yang cukup membingungkan dan sulit untuk dilakukan oleh orang tua.

Perlu waktu dan kata-kata yang baik agar anak mudah mengerti dan

bereaksi baik dalam menanggapi bab perceraian ini. Untuk membantu

menjelaskan kepada anak, (Oren & Hadomi, 2020) dalam

penelitiannya yang berjudul Let’s Talk Divorce - An Innovative Way of

Dealing with the Long-Term Effects of Divorce through Parent-Child

Relationships menggunakan sebuah inovasi game untuk membicarakan

perceraian pada anak. Permainan "Let's Talk Divorce" dibuat dengan

tujuan menggunakan hubungan antara orang dewasa dan anak untuk

proses penyembuhan. Permainan ini dirancang sebagai instrumen

untuk membantu mengatasi masalah perubahan, emosi, pikiran dan

perilaku, dengan disesuaikan pengalaman W.

Secara garis besar, memberitahu anak mengenai perihal perceraian

menjadi hal yang sulit bagi kebanyakan orang tua. Mereka tetap harus

memikirkan dampak yang akan terjadi kedepannya bila cara mereka

memberitahu anaknya tidak sesuai. Berdasarkan hasil kajian terdahulu,

sudah banyak sekali cara untuk orang tua untuk memberitahu anaknya

perihal perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya. Namun hasil
yang didapatkan belum dapat dilihat secara maksimal yang belum

diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini

peneliti bermaksud mengkaji lebih dalam lagi mengenai bagaimana

cara orang tua terutama di Indonesia dalam memberitahu anaknya

perihal perceraian.

2. Teori

a. Psikologis Anak

Psikologi anak adalah cabang psikologi yang mempelajari

perubahan dan perkembangan stuktur jasmani, perilaku, dan fungsi

mental manusia yang dimulai sejak terbentuknya makhluk itu

melalui pembuahan hingga menjelang mati. Psikologi anak sebagai

pengetahuan yang mempelajari persamaan dan perbedaan fungsi-

fungsi psikologis sepanjang hidup (mempelajari bagaimana proses

berpikir pada anak-anak, memiliki persamaan dan perbedaan, dan

bagaimana kepribadian seseorang berubah dan berkembangan.

Sedangkan perkembangan psikologi anak yang dimaksud dalam

skripsi ini adalah memberikan petunjuk mengenai perkembangan

psikologi anak setelah terjadinya perceraian orang tua.

Pada masa kanan-kanan yang biasa berlangsung pada usia

6-12 tahun, biasanya anak akan memasuki masa intelektual,

dimana anak-anak telah siap untuk mendapatkan pendidikan di

sekolah dan perkembangannya berpusat pada aspek intelek. Pada

umumnya, masa timbulnya “sense of accomplishment” pada anak-


anak akan membuat anak merasa siap untuk menerima tuntutan

yang dapat timbul dari orang lain dan

melaksanakan/menyelesaikan tuntutan itu. Kondisi inilah kiranya

yang menjadikan anak-anak masa ini memasuki masa keserasian

untuk bersekolah ran.

Anak yang sedang memasuki usia sekolah akan

mendapatkan berbagai paparan faktor lingkungan yang dapat

membentuk kepribadiannya. Faktor lingkungan yang berbengaruh

bisa dari keluarga, kebudayaan, dan sekolah. Keluarga memiliki

peran sebagai pintu utama yang membentuk kepribadian anak.

Pendekatan orang tua yang baik akan membuat kepribadian anak

jauh lebih baik. Selain itu, menurut Kluckhohn berpendapat bahwa

kebudayaan mengatur kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati

baik disadari maupun tidak disadari. Ditambah dengan faktor

sekolah yang dapat membentuk emosional, sikap, dan rasa

tanggung jawab yang anak miliki.

b. Perkawinan dan Perceraian

Sampai saat ini, perceraian merupakan hal yang cukup

banyak terjadi di Indonesia. Perceraian secara yuridis berarti

putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan

sebagai suami istri atau berhenti berlaki bini (suami istri). Menurut

Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Perceraian adalah putusnya ikatan

lahir batin antara suami istri yang mengakibatkan berakhirnya


hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.

Kebahagiaan dalam perkawinan merupakan tujuan setiap pasangan

yang menikah. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan bertujuan untuk melangsungkan kehidupan

manusia itu sendiri karena dengan lahirnya anak-anak mereka

sebagai hasil atau buah perkawinan. Proses seseorang dalam

menuju ke jenjang perkawinan beraneka ragam, ada yang sangat

mudah, tetapi ada pula yang penuh dengan liku-liku dan bahkan

mengalami kesulitan-kesulitan. Agar individu-individu memiliki

persiapan mental dan phisik atau materil dalam menaiki jenjang

perkawinan dan agar keluarga (rumah tangga) memiliki persiapan

daya tahan yang kuat dalam menghadapi goncangan-goncangan

dari pengaruh internal maupun eksternal.

Di era saat ini, banyak orang yang menikah kemudian dan

mempunyai seorang anak kemudian tidak dapat menemukan

kedamaian, rumah tangganya berjalan tidak stabil dan senantiasa

diamuk keguncangan. Percekcokan selalu terjadi antara istri dan

suami. Hubungan yang terjalin diantara mereka tidak bersedia cinta

kasih sayang sebagaimana mestinya, tetapi diwarnai saling dengki


dan fitnah memfitnah yang bisa saja terjadi bukan hanya

melibatkan suami istri, namun merembet pada pihak kedua

keluarga. Sebagai puncaknya terjadi perceraian yang

mengakibatkan nasib anak terabaikan, kemudian bagi anaknya

yang tinggal dengan seorang ibunya sekarang harus berusaha

mencari nafkah dengan daya yang dimiliki sendiri. Belum lagi

dampak psikologis yang akan diterima anak.

Berdasarkan berbagai penelitian, perceraian di masa

sekarang ini nampaknya telah menjadi suatu fenomena yang umum

di masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan perceraian

diantaranya yaitu sikap kurang dewasa diantara suami istri,

masalah ekonomi dan adanya pihak ketiga dalam rumah tangga.

Penyebab lain perceraian tersebut adalah kekerasan dalam rumah

tangga (KDRT). Gambaran yang terjadi di lapangan adalah

tingginya perkara perceraian disebabkan oleh kesadaran

masyarakat yang beranggapan gonta-ganti suami atau istri itu

sebagai sesuatu hal yang biasa.

c. Peranan Keluarga

Orang tua merupakan orang yang paling bertanggung jawab

dalam mendidik, membimbing dan mengarahkan tujuan hidup dan

pendidikan seseorang.”orang tua adalah orang dewasa yang

pertama memikul tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami


anak pada masa-masa awal berada ditengah ibu dan ayah. Keluarga

juga sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak. Terutama

dalam membina kepribadiannya, serta mengembangkan potensi-

potensi yang dimiliki anak. Jadi tanggung jawab orang tua terhadap

anaknya sangat berat. Oleh karena itu tugas ini harus diemban

sebaik mungkin, agar tercipta keluarga yang sakinah mawaddah

warrohmah. Untuk dapat menciptakan keluarga yang sakinah ini

perlu kerja sama antara orang tua dalam mendidik anak.

Apabila dalam suatu keluarga terjalin suatu hubungan yang

harmonis, saling perhatian kepada semua anggota keluarga, maka

hal ini dapat memberi dampak yang baik bagi anak-anak terutama

dalam bidang pendidikannya. Orang tua selalu memotivasi anak

agar anak menjadi orang yang baik dan terbaik, bagi keluarga

maupun lingkungan masyarakat dan sekolah. Jadi, kondisi keluarga

yang harmonis merupakan faktor utama dalam memotivasi belajar

anak yang berperan sebagai motivator adalah orang tua.

Dalam satu kondisi, keluarga adalah tempat sosialisasi

pertama bagi anak yang mendasari jenjang pembentukan

psikologis, mental, dan pendidikannya. Dalam hal ini anak tidak

hanya membutuhkan pendidikan saja, melainkan ia selalu

mendambakan tuntunan (bimbingan, pengarahan, perawatan,

perlindungan, tanggung jawab dan teladan yang baik dari orang


tuanya, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat di mana

anak berkembang).

Dalam kondisi yang berbeda, saat orang tua bercerai, anak

akan menjadi kurang bersemangat untuk belajar, anakpun akan

menjadi bingung dikarenakan orang tua mereka berpisah dan

mencari kesibukan masing-masing tanpa menghiraukan anak-

anaknya lagi. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya kondisi

psikis anak yang dapat berdampak pada berbagai bidang seperti

kekurangan kasih sayang, konsentrasi belajar anak yang menurun

dan mengurangi motivasi belajar anak sehingga anak kurang

mendapat pengawasan dari orang tua secara utuh.

Oleh karena itu, anak akan cenderung menghabiskan waktu

diluar lingkungan keluarga untuk hal-hal yang berupa kegiatan

yang tidak bermanfaat dan mengganggu proses belajar anak,

karena pergaulannya tidak memberikan kesan positif dan terkadang

mereka tidak dapat mengontrol diri hingga sering melakukan

perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran.

Tidak rukunnya orang tua dapat menyebabkan anak-anak

gelisah, takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah

keluarga yang retak. Anak-anak yang gelisah dan cemas itu

kemungkinan mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang

merupakan ungkapan dari rasa hatinya yang biasanya mengganggu

ketentraman orang lain. Demikian juga halnya anak- anak yang


merasa kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pemelihara

orang tua akan mencari kepuasan di luar rumah.

Menurut penelitian Mone (2021), mengatakan bahwa

banyak keluarga yang melakukan perceraian karena dengan

keegoisannya sendiri, tetapi tidak memperhatikan pendidikan

anaknya, itu dapat terlihat dari keseharian anak ketika disekolah

anak-anak mereka memang bersekolah tetapi mereka kurang

termotivasi dalam belajarnya atau rendahnya motivasi untuk

belajar, sehingga menyebabkan anak-anak malas belajar dan

prestasi belajarnya kurang baik. Hal ini menunjukkan masih

terdapat masalah dalam hal belajar atau mereka tidak menerapkan

prinsip belajar yang baik.

Hal ini juga disampaikan dalam penelitian (Hasanah, 2021)

yang mana mengatakan bahwa Pada kasus perceraian, pada

umumnya memang anak menyalahkan orang tua terhadap rasa

sakit yang timbul akibat perceraian. Namun pada kasus tertentu,

anak juga menyalahkan diri sendiri dan bahkan menganggap

dirinya sebagai bagian penyebab perceraian. Pada kondisi seperti

ini, anak menjadi kehilangan peran pengasuhan sesungguhnya dari

orang tua laki-laki maupun perempuan. Apabila anak tidak

mendapat pengasuhan yang baik dalam keluarga, maka

perkembanganya akan terhambat serta anak akan cenderung


berkelakuan kurang baik. Perceraian memberikan berbagai dampak

pada perkembangan anak.

Berdasarkan hasil riset, 25% anak hasil perceraian ketika

masa dewasa awal memiliki masalah serius secara sosial,

emosional atau psikologis dibandingkan 10% dari anak yang orang

tuanya tetap bersama. Anak dalam keluarga orangtua tunggal

melakukan dapat melakukan semua hal dengan baik, tetapi

cenderung tidak lancar dalam urusan sosial dan pendidikan

dibandingkan anak yang tinggal dengan kedua orangtua. Hal ini

berarti, Keluarga yang tidak stabil memungkinkan untuk terjadinya

perkembangan yang membahayakan. Anak cenderung memiliki

masalah perilaku, dan terjebak dalam kenakalan gg.

Dampak lain dari perceraian berupa pengontrolan emosi

yang rendah. Emosi merupakan sebuah pengaruh dari penyesuaian

pribadi dan sosial yang dimiliki oleh seseorang. Emosi juga bisa

menajdi sebuah bentuk komunikasi dalam mengungkapkan

perasaanya baik yang menyenangkan maupun tidak

menyenangkan. Dengan emosi, anak akan dapat mengubah

perilakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan

aturan yang ada di sekitarnya. Ketika seorang memiliki

kematangan emosi yang baik, maka iya dapat menyesuaikan antara

yang di inginkan dengan realita yang sedang dihadapi aa. Pada

sebagian besar anak korban perceraian memiliki lebih tinggi rasa


frustasi dan melampiaskan perasaannya dengan melakukan hal

yang berlawanan seperti memberontak, tempramen, merokok,

jarang di rumah dan lainnya.

Untuk mencapai kematangan secara emosional bagi anak

dan remaja menjadi tugas perkembangan yang sangat sulit dijalani.

Proses ini perlu didukung dengan kondisi sosial-emosional

lingkungan terutama dari keluarga yang paling dekat dan

lingkungan teman sebaya. Jika lingkungan yang dimiliki kondusif,

saling menghargai, saling percaya maka tingkat kematangan

emosional anak akan lebih mudah tercapai. Menurut (Mone, 2019),

Ciri-ciri kematangan emosional yang dapat dilihat seperti :

a) Dapat menerima dengan baik keadaan dirinya maupun keadaan

orang lain dengan apa adanya.

b) Tidak bersifat implusif atau dapat merespon stimulus dengan

cara berfisik yang baik dan dapat memberikan tanggapan

terhadap stimulus.

c) Dapat mengontrol emosi yang baik

d) Dapat berfikir secara objektif

e) Memiliki tanggung jaab yang baik dan tidak mudah frustasi.

Lain hal nya dengan anak yang memiliki kekurangan dalam

mendapatkan kasih sayang, kurangnya pengakuan teman sebaya,

lingkungan yang tidak kondusif akan membuat anak cenderung

cemas dan tertekan sehingga mengalami ketidaknyaman


emosional. Dampak perceraian pada anak akan lebih berat

dibandingkan pada orang tuanya. Terkadang anak akan mengalami

rasa marah, takut, cemas akan perpisahan, sedih, malu dan

sebagainya ketika terperangkat ditengah kondisi perceraian orang

tuanya. Yang akhirnya dapat mempengaruhi jiwa dan kondisi

fisiknya.
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Asumsi Penelitian

Perceraian merupakan hal yang banyak dilakukan oleh orang saat

sudah tidak dapat mempertahankan pernikahannya. Dengan kondisi seperti

ini akan memberikan dapak negatif untuk berbagai pihak. Pihak yang

paling banyak terdampak perceraian adalah anak. Berdasarkan banyaknya

literatur, anak dengan keluarga yang bercerai cenderung menarik diri dari

lingkugan sosial yang membuat mereka lebih lemah susah untuk

beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Di sisi lain, mereka akan

memiliki emosional yang tidak stabil dalam merespon sebuah masalah.

Namun, jika pendekatan yang diberikan oleh orang tua kepada anak bisa

terlaksana dengan baik, anak akan lebih mudah menerima keadaanya dan

emosional yang dimiliki akan lebih stabil.

Berdasarkan tinjauan, peneliti berasumsi bahwa saat orang tua

memiliki komunikasi yang baik terhadap anak, mereka akan lebih mudah

untuk mengedukasi anak mengenai perceraian yang telah terjadi pada

kedua orang tuanya dibandingkan dengan orang tua yang memilii

komunikasi yang kurang baik dengan anaknya. Selain itu, pemilihan

waktu yang tepat dapat menujang pemahaman anak dalam mencerna hal

yang dibicarakan.

B. Defisini Operasional
Menurut Sugiyono (2012:31) definisi operasional adalah

penentuan konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi

variabel yang dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu

yang digunakan untuk meneliti dan mengoperasikan konstrak, sehingga

memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk melakukan replikasi

pengukuran dengan cara yang sama atau mengembangkan cara

pengukuran konstrak yang lebih baik. Sedangkan menurut Nani

Darmayanti (dalam Mushlihin 2013) definisi operasional adalah rumusan

tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok

pembahasan dan penelitian karya ilmiah.

Penelitian ini akan mencari tahu bagaimana proses yang dilalui

oleh orang tua dalam memberikan pengertian dan informasi kepada anak-

anak perihal perceraian dan apakah proses pengalaman yang didapatkan

oleh orang tua sudah memperhatikan aspek psikologis dan tumbuh

kembang pada anak-anak.

Guna menjaga sisi psikologis anak dan perkembangan anak akan

informasi baru yang diberikan oleh orang tua, maka Hasanah (2021)

mengatakan bahwa saat terdapat berbagai strategi yang perlu orang tua

perhatikan dalam mengedukasi anak mengenai perceraian, yaitu :

1. Menggunakan komunikasi efektif

Komunikasi yang efektif perlu diterapkan dalam memberitau

perihal perceraian kepada anak. Karena hal yang didengar oleh


anak adalah hal yang baru, maka orang tua perlu menggunakan

kata-kata yang mudah diterima dan di cernah oleh anak.

2. Pemilihan waktu yang tepat

3. Menghindari adanya menjelekan satu sama lain

Walaupun perceraian menjadi hal yang tidak

menyenangkan bagi kedua belah pihak, namun didepan anak

orang tua perlu memperlihatkan sikap yang baik agar anak

tetap merasa memiliki orang tua yang lengkap dan tidak merasa

akan kehilangan kasih sayang orang tuanya.

4. Memberikan rasa aman dan sayang

Memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak tetap

harus diperlihatkan dan ditunjukan agar anak tau bahwa apapun

yang telah terjadi tidak akan mengurangi rasa sayang yang

diberikan oleh kedua orang tuanya. Hal ini untuk

meminimalisir adanya penarikan diri pada anak.

Dalam penelitian ini, definisi operasional yang akan dijadikan

batasan dalam meneliti adalah mengenai pengelaman orang tua dalam

memberikan penjelasan terkait perceraian kepada anaknya. Peneliti hanya

akan berfokus pada pengalaman yang sudah responden alami dan apa saja

penjelasan terkait perceraian yang dijelaskan kepada anaknya. Sehingga

wawancara yang dilakukan akan tetap sesuai dengan variabel yang

ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Becher. (2019). Positive Parenting and Parental Conflict: Contributions to


Resilient Coparenting During Divorce. Interciplinary Journal of Applied
Family Science, 68(1), 150–164.
Hasanah, U. (2021). Implementasi Metode Resitasi Untuk Memperdalam
Pemahaman Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Kelas IX Di SMP Islam Darul
Karomah Larangan Luar Pamekasan (Vol. 7, Issue 2). Institut Agama Islam
Negeri Madura.
LY, T. (2015). Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tua.
Mone, H. F. (2019). Dampak perceraian orang tua terhadap perkembangan
psikososial dan prestasi belajar. Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS,
6(2), 155–163. https://doi.org/10.21831/hsjpi.v6i2.20873
Ningrum, P. R. (2013). Perceraian Orang Tua Dan Penyesuaian Diri Remaja”
(Studi Pada Remaja Sekolah Menengah Atas/Kejuruan Di Kota Samarinda).
Journalk Psikologi, 1(1).
Oren, D., & Hadomi, E. (2020). Let’s Talk Divorce - An Innovative Way of
Dealing with the Long-Term Effects of Divorce through Parent-Child
Relationships. Journal of Divorce and Remarriage, 61(2), 148–167.

Anda mungkin juga menyukai