Anda di halaman 1dari 33

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR

TERHADAP FENOMENA DISPENSASI NIKAH DINI RATUSAN


SISWA DI KABUPATEN PONOROGO JAWA TIMUR

Proposal Penelitian
Diajukan guna Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Metode Penelitian
Kuantitatif yang diampu oleh Drs. Edi Suhanda. M.Si

Oleh:

DIDO RISZKY PRATAMA


21.04.248
2G Pekerjaan Sosial

PROGRAM SARJANA TERAPAN


PROGRAM STUDI PEKERJAAN SOSIAL
POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan


segenap potensi yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga dapat di
lahirkan manusia seutuhnya (Abudin Nata, 2002). Pendidikan tidak hanya
menekankan pada segi pengetahuannya saja, namun juga harus menekankan
segi etika, budi pekerti, psikis, mental, sosial, dan spiritualnya. Pendidikan yang
hanya menekankan pada segi pengetahuan saja akan mengakibatkan anak didik
tidak dapat berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibatnya terjadi macam-
macam perilaku-perilaku mal adaptif seperti yang akhir-akhir ini terjadi:
kenakalan remaja, tawuran, pergaulan bebas, bullying, menyontek dan bahkan
pernikahan dini.

Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam


situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek yang di
pertimbangkan antara lain: Penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, perubahan
perilaku (Paul Suparno, 2002). Pendidikan merupakan suatu sistem yang teriri
dari Input, proses dan output. Input ialah pengetahuan ataupun pengajaran yang
diberikan pada peserta didik, sedangkan proses ialah kegiatan belajar dan
mengajar (Transfer Knowledge), dan outputnya sendiri ialah hasil dari
serangkaian proses tersebut.

Belajar merupakan proses dari pendidikan itu sendiri. Belajar memiliki


banyak faktor yang memengaruhinya. Dintaranya ialah faktor motivasi belajar
peserta didik yang berfungsi sebagai pendorong peserta didik dalam melakukan
proses pendidikan dan mencapai hasil atau output yang ditargetkan. Dengan
kata lain, jika peserta didik memiliki usaha yang tekun dan dilandasi oleh
motivasi yang kuat maka proses pendidikan akan berjalan dengan baik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, motivasi belajar merupakan faktor yang
sangat dalam menunjang tingkat pencapaian prestasi seorang peserta didik.
Motivasi dalam kegiatan belajar juga merupakan faktor yang bersifat non-
intelektual Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan semangat
untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang kuat, akan
mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar
merupakan daya penggerak dalam diri siswa sehingga menjamin kegiatan
belajar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Motivasi belajar juga bisa
dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun
dari luar siswa (dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan
kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah
pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu
dapat tercapai.

Namun pada kenyatannya di lapangan, ditemukan bahwa masih masif


proses pendidikan tidak berjalan sesuai dengan tujuannya. Dimana hal tersebut
disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar para peserta didik. Terlebih di
masa transisi dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi pembelajaran tatap
muka di sekolah. Masih banyak siswa terpengaruh dengan sistem pembelajaran
jarak jauh yang cenderung lebih santai dan fleksibel. Disaat mereka kembali ke
sekolah, merasakan dinamika pembelajaran dengan bertatap muka, mereka
terlihat kurang bersemangat. Di sisi lain, banyak dari mereka yang justru
memutuskan untuk putus sekolah dan memilih untuk menikah dini, walupun
ada juga yang masih ingin tetap melanjutkan sekolah dengan tetap
melaksanakan pernikahannya. Banyak dari mereka yang beralasan malas
sekolah sehingga memilih jalan untuk menikah dini selain karena untuk
mencegah perzinaan ataupun karena terlanjur memiliki anak diluar pernikahan.
Makna Dispensasi nikah adalah pemberian izin nikah oleh pengadilan
kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk
melangsungkan perkawinan. Menurut WHO, pernikahan dini (early married)
adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan
masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19
tahun. Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa
pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi atau
tidak resmi yang dilakukan sebelum usia 18 tahun. Menurut UU RI Nomor 1
Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Apabila masih di bawah umur tersebut, maka dinamakan
pernikahan dini.
Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan institusi
agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu
ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan
antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-
perubahan cepat disegala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk
badan, sikap,dan cara berfikir serta bertindak,namun bukan pula orang dewasa
yang telah matang. Pernikahan dibawah umur yang belum memenuhi batas usia
pernikahan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda atau anak-anak yang
ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dikategorikan masih anak-anak,
juga termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan
pernikahan tegas dikatakan adalah pernikahan dibawah umur.
Sedangkan pernikahan dini menurut BKKBN adalah pernikahan yang
berlangsung pada umur di bawah usia reproduktif yaitu kurang dari 20 tahun
pada wanita dan kurang dari 25 tahun pada pria. Pernikahan di usia dini rentan
terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti meningkatkan angka kesakitan
dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi prematur dan
berat bayi lahir rendah serta mudah mengalami stress. Menurut Kementerian
Kesehatan RI, pernikahan adalah akad atau janji nikah yang diucapkan atas
nama Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan awal dari kesepakatan bagi calon
pengantin untuk saling memberi ketenangan (sakinah) dengan
mengembangkan hubungan atas dasar saling cinta dan kasih (mawaddah wa
rahmah). Pernikahan adalah awal terbentuknya sebuah keluarga.
Motivasi belajar yang kurang mereka jenuh dan bosan, sehingga
memutuskan untuk menempuh jalan hidup yang baru yaitu menikah, dengan
alasan mereka menganggap bahwa kehidupannya akan sejahtera dan terjamin
setelah menikah. Perkawinan anak dapat memiliki efek negatif yang serius dan
bertahan lama. Ketika seorang remaja perempuan hamil, hal ini dapat
berdampak signifikan pada pendidikan, kesehatan (akibat komplikasi dari
persalinan), dan kesempatan kerja, yang memengaruhi kehidupan dan
pendapatannya di masa depan.
Rendahnya tingkat pemahaman orang tua mengenai dampak dari
pernikahan dini mengakibatkan mereka memilih untuk menikahkan anaknya
selepas lulus dari SLTA bahkan SLTP. Berbagai alasan menjadi faktor
terjadinya fenomena ini. Pertama, orang tua dari anak perempuan masih
memiliki pemikiran kuno bahwa seorang anak perempuan setinggi apapun
pendidikan yang dimiliki pada akhirnya tetap hanya akan menjadi ibu rumah
tangga dan mengurusi dapur. Kedua, kondisi perekonomian masyarakat yang
rata-rata menengah kebawah membuat orang tua ingin segera melepas
tanggung jawab untuk menagkahi anaknya dan berpikir bahwa jika mereka
menikahkan anak perempuannya maka suaminya lah yang akan menanggung
semua kebutuhan anak mereka. Ketiga, kurangnya motivasi dan minimnya
pemikiran tentang kesuksesan di dunia luar pada remaja mengakibatkan mereka
memilih untuk bekerja dan menikah setelah lulus jenjang SLTA tanpa
memikirkan mimpi yang besar untuk kehidupan mereka.
Remaja merupakan masa transisi dari anak menuju masa dewasa. Pada
masa ini begitu pesat mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik itu fisik
maupun mental. Banyak remaja mengalami maturity-gap yaitu perbedaan
kematangan secara fisik dan mental. Perbedaan kematangan ini dapat
mendorong remaja untuk melakukan hal-hal yang beresiko (Aprianti et al.,
2018). Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender
dan seksualitas Universitas Indonesia pada tahun 2015, terungkap angka
pernikahan dini di Indonesia menduduki peringkat ke 2 teratas di kawasan Asia
Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia 15 tahun telah
menikah dini dan putus sekolah. Jumlah tersebut diperkirakan akan naik
menjadi 3 juta orang pada tahun 2030 mendatang (Dema, 2019). Tren
pernikahan anak perempuan di Indonesia, baik yang melangsungkan
perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun, menunjukkan
penurunan pada periode tahun 2008 sampai 2018, namun penurunannya masih
dikategorikan lambat. Masih sekitar 1 dari 9 perempuan berusia 20–24 tahun
melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun (BPS, 2020).
Dispensasi nikah merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan
kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan
perkawinan. Kewenangan pengadilan untuk memberikan dispensasi kawin
tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dengan perubahan usia minimal perkawinan bagi perempuan dari
16 tahun menjadi 19 tahun sebagai hasil pelaksanaan putusan Mahkamah
Konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perkara
permohonan dispensasi kawin dapat dipastikan meningkat secara signifikan.
Selama kurun waktu 3 tahun terakhir 2019 s.d 2021 angka permohonan
dispensasi nikah pada PA Ponorogo meningkat. Walaupun mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2021 jumlah perkara dispensasi kawin masih
tetap tinggi di Tahun 2022 yaitu 184 perkara.
Pilihan menikah di usia yang masih sangat dini bukanlah hal yang
mudah untuk dihadapi dan dijalankan. Banyak resiko yang harus ditanggung
oleh remaja itu sendiri, seperti akan terjadinya KDRT, resiko pada saat
melahirkan karena belum maksimal kesiapan alat reproduksi, serta resiko
kematian dari ibu atau bayi. Keluarga yang terbentuk tanpa kematangan usia
dan kesiapan dari segala arah, biasanya dari segi fisik tidak terpenuhi dengan
baik karena belum mendapatkan pekerjaan yang baik dan ekonomi keluarganya
tidak tercukupi. Dari segi psikologis yang belum memiliki kesiapan dalam
membangun sebuah keluarga, menjadi seorang ibu, kemudian hamil dan
menjalankan proses persalinan sehingga rentan terjadi kematian pada ibu dan
bayi serta kelahiran premature. Dari segi sosial yang tidak bisa diterima oleh
masyarakat karena pernikahan yang terjadi bisa disebabkan adanya kehamilan
sebelum menikah atau married by accident. Menurut ilmu kesehatan pasangan
yang ideal menikah itu dari segi umur yang matang ialah antara umur 20-25
tahun bagi wanita dan umur 25-30 tahun bagi pria. Masa ini adalah masa yang
paling baik untuk berumah tangga, karena pada usia itu baik pria maupun
wanita sudah cukup matang dewasa. Dewasa dalam bertindak dan matang
dalam berpikir (Khairunnas, 2013: 26).
Bagi remaja yang menikah muda, proses penyesuaian diri tentunya
lebih banyak seperti dalam hal menghadapi perubahan dirinya baik secara
frisik, emosi dan sosial. Selain itu perubahan juga terjadi pada lingkungan
keluarga, baik dari keluarga istri maupun keluarga dari pihak suami. Remaja
yang mengalami pernikahan muda harus pula menyesuaikan diri terhadap peran
baru yang dimilikinya yaitu sebagai seorang suami dan istri agar mempermudah
bersosialisasi dalam lingkungannya baik lingkungan keluarga maupun
masyarakat. Pernikahan tanpa memiliki kesiapan dan pembekalan mengenai
sebuah pernikahan dalam membangun rumah tangga memiliki banyak resiko
sehingga ada beberapa pasangan yang bisa mempertahankan pernikahannya
dan ada juga yang gagal dalam pernikahannya yang menyebabkan terjadinya
perubahan status menjadi single parents. Pernikahan yang terjadi tanpa adanya
kesiapan usia dan pembekalan pernikahan sebelum membentuk sebuah
keluarga rentan terjadinya konflik antar anggota keluarga sedangkan untuk
mempertahankan ketahanan keluarga membutuhkan proses di dalam sebuah
keluarga. Seperti adanya saling keterbukaan antar pasangan, memiliki waktu
yang banyak, saling berbagi, melakukan segala aktivitas bersama.
Permasalahan lain yang dialami pasangan suami istri belia adalah
rentannya praktik kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena belum
mampu mengelola emosi. Perkawinan anak menimbulkan masalah baru pada
keluarga besar karena banyak orang tua yang terpaksa membantu mengurusi
cucu. Pada kasus perkawinan anak dengan pasangan yang belum siap secara
finansial, maka akan menggantungkan beban pada keluarga besarnya. Anak
yang dilahirkannya juga berisiko kematian pada saat bayi, stunting, dan
rendahnya berat badan lahir (Buentjen & Walton, 2019)
Berdasakan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui
pengaruh motivasi belajar terhadap fenomena mengajukan nikah dini ratusan
siswa di Kabupaten ponorogo Jawa Timur. Untuk itu, peneliti akan melakukan
penelitian yang berjudul “Pengaruh Motivasi Belajar Siswa terhadap
Fenomena Pengajuan Dispensasi Nikah Dini Ratusan Siswa di Kabupaten
Ponorogo Jawa timur” menggunakan metode penelitian kuantitatif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah


peneliti ini “Pengaruh Motivasi Belajar Siswa terhadap Fenomena Dispensasi
Nikah Dini di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur”. Selanjutnya penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Apa saja faktor pendorong peningkatan pernikahan dini?


1.2.2 Bagaimana analisis faktor pendukung dan faktor pendorong sebagai
indikator peningkatan pernikahan dini?
1.2.3 Bagaimana pengaruh motivasi belajar siswa dengan dispensasi nikah
dini?
1.2.4 Bagaimana peran yang harus dilakukan oleh sekolah dan keluarga
(orang tua) dalam mencegah pernikahan dini?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah:

1.3.1 Mengetahui dan memahami faktor pendorong peningkatan pernikahan


dini?
1.3.2 Mengetahui dan memahami faktor pendukung dan faktor pendorong
sebagai indikator peningkatan pernikahan dini?
1.3.3 Mengetahui dan memahami pengaruh motivasi belajar siswa dengan
dispensasi nikah dini?
1.3.4 Mengetahui dan memahami peran yang harus dilakukan oleh sekolah
dan keluarga (orang tua) dalam mencegah pernikahan dini?

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua sisi

1.4.1 Manfaat teoritis

Mahasiswa Pekerjaan Sosial mampu mengetahui faktor-faktor


peningkatan pernikahan dini yang menjadi indikator peningkatan
pernikahan dini, serta kaitannya dengan motivasi belajar para siswa.

1.4.2 Manfaat praktis


Mahasiswa Pekerjaan Sosial mampu mengetahui dan
memahami peran yang harus dilakukan oleh sekolah dan keluarga
dalam mencegah pernikahan dini.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan menjabarkan tentang latar belakang masalah,


perumasan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematik penulisan.

BAB II KAJIAN KONSEPTUAL

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang mendukung


penelitian ini dan juga berisi tentang refrensi yang dianggap
representatif dalam bidang pembahasan dan teori-teori yang
relevan untuk menjelaskan variabel-variabel yang akan diteliti
(terdiri dari kerangka pikir dan dipotesis.

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai metedologi penelitian yang


terdiri dari lokasi dan waktu penelitian, metode pengumpulan
data, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode
analisis dan definisi operasional variabel.
BAB II

KAJIAN KONSEPTUAL

2.1 Penelitian Terdahulu

Menurut penelitian yang dilakukan oleh D. E. Pratiwi tentang “Faktor-

faktor Penyebab Terjadinya Perkawinaan Usia Muda Dikalangan Remaja Desa

Tembung Kec. Percut Sei Tu”, faktor-faktor pendorong terjadinya perkawinan

pada usia muda di lokasi penelitian ini antara lain: faktor ekonomi, faktor

keluarga, faktor pendidikan, faktor kemauan sendiri, dan faktor adat setempat.

Faktor ekonomi, keluarga yang masih hidup dalam keadaan sosial ekonominya

rendah/belum bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor pendidikan,

karena rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak,

akan pentingnya pendidikan. Faktor keluarga yaitu orang tua mempersiapkan

atau mencarikan jodoh untuk anaknya. Faktor kemauan sendiri, karena

pergaulan bebas sehingga mereka melakukan pernikahan. faktor adat yang

menyebabkan terjadinya pernikahan usia muda karena ketakutan orang tua

terhadap gunjingan dari tetangga dekat. Apabila anak perempuan belum takut

anaknya dikatakan perawan tua. Remaja yang memutuskan untuk menikah di

usia muda pada umumnya beranggapan bahwa pendidikan bagi mereka adalah

formalitas, sehingga mereka lebih mementingkan untuk berumahtangga

daripada melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan kebanyakan dari

remaja yang menikah di usi muda rela meninggalkan bangku sekolah.


Dari segi dampak, menurut penelitian yang dilakukan oleh Marmiati M.

tentang “Problematika Perkawinan di Bawah Umur”, Dampak pernikahan di

bawah umur bagi orangtua dilihat dari aspek agama secara hukum formal

sudah dapat terpenuhi dan terhindar dari dosa dan perzinaan. Status bayi yang

dikandung jelas, beban orangtua berkurang karena sudah ada yang

bertanggung jawab terhadap anaknya. Secara sosial orangtua terlepas dari

malu yang telah ditanggungnya dan nama baiknya dapat diperbaiki. Secara

ekonomi tangung jawabnya bertambah karena perekonomian anaknya belum

mapan, terutama pihak perempuan karena setelah menikah anaknya tinggal

serumah. Bagi pasangan perkawinan di bawah umur rentan ter jadi

perselisihan karena secara psikologis maupun ekonomi kebanyakan belum

mapan. Masyarakat memandang pernikahan di bawah umur karena terpaksa,

keluarga menjadi malu, merugikan orangtua, secara psikis belum siap/ egonya

tinggi, masih kekanak-kanakan dan secara ekonomi belum mapan sehingga

rentan terhadap percekcokan dan bisa berlanjut ke perceraian.

Sedangkan dari dampak kejiwaan maupun biologis sendiri menurut

penelitian yang dilakukan oleh Reza, dkk. tentang Pernikahan Dini dan

Problematikanya, Pernikahan dini berdampak pada kejiwaan maupun biologis

pasangan pernikahan. Pernikahan dini memiliki beberapa dampak yang terjadi

setelah pernikahan yaitu:

1. Kurang bisa mengatur manajemen konflik dalam rumah tangga.

2. Saling menyalahkan ketika terdapat masalah yang dihadapi.


3. Pertengkaran sering terjadi disebabkan masalah ekonomi.

4. Suami cenderung menyalahkan istri karena emosi masih belum stabil.

5. Suami banyak yang kurang bertanggung jawab dalam nafkah.

6. Cepat mengambil keputusan hanya karena masalah sepele.

7. Istri cenderung menanggung beban lebih berat ketimbang suami.

8. Pertikaian kecil cenderung diselesaikan dengan dengan cerai.

Pernikahan dini juga berdampak kepada anak pasangan dini. Masalah

yang ditimbulkan diantaranya:

1. Masalah kesehatan pada anak yang lahir dari ibu muda (dibawah 20

tahun (Riska Afriani : 2016).

2. Anak lebih mengenal kakek atau nenek karena kebanyakan pasangan

usia dini tinggal bersama orang tua.

3. Kondisi psikologis anak kurang sehat karena sering melihat orang

tuanya bertengkar.

4. Kesehatan anak kurang terjamin karena ekonomi orang tua masih

lemah.

2.2 Teori yang Relevan dengan Penelitian

2.2.1 Konsep Motivasi


Menurut James O Whittaker mengenai pengguaan istilah “motivation”
dibidang psikologi. Ia mengatakan, bahwa motivasi adalah kondisi-kondisi
atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada makhluk
untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh motivasi
tersebut. Apa yang dkemukakan oleh Whittaker mengenai motivasi diatas,
berlaku untuk umum, baik pada manusia maupun hewan. Pendapat-
pendapat berikut ini erat hubungannya dengan hal belajar murid.
(Soemanto, 2006).
2.2.2 Konsep Motivasi Belajar
Menurut Ghuthrie mengenai motivasi dalam belajar, memandang
motivasi dan reward sebagai hal yang kurang penting dalam belajar.
Menurut Ghuthrie, motivasi hanyalah menimbulkan variasi respons pada
individu, dan bila dihubungkan dengan hasil belajar, motivasi tersebut
bukan instrumental dalam belajar. (Soemanto, 2006). Menurut Sardiman,
2007 menyebutkan motif dapat diartikan sebagai daya upaya yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan
sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan
aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat
dikatakan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata
motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah
menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila
kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak.
1) Teori kebutuhan Maslow
Motivasi sangat berkaitan dengan anggapan bahwa apapun yang
dilakukan manusia adalah dengan tujuan untuk memenuhi segala
kebutuhan, baik kebutuhan secara fisik maupun psikis. Berkaitan erat
dengan pandangan Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar tertentu
harus dipuaskan dahulu sebelum memuaskan kebutuhan yang lebih
tinggi. Kebutuhan tertinggi dan sulit dalam hierarki Maslow diberi
perhatian khusus yaitu aktualisasi diri. Menurut hirarki kebutuhan
Maslow, kebutuhan individual harus dipuaskan dalam urutan sebagai
berikut:
a. Fisiologis
b. Keamanan
c. Cinta dan rasa memiliki
d. Harga diri
e. Aktualisasi diri

Kebutuhan dan dorongan / motivasi istilah yang digunakan


secara bergantian dalam psikologi , namun kebutuhan lebih mengacu
pada kebutuhan fisiologis dan dorongan atau motivasi mengacu pada
kebutuhan yang bersifat psikologis dari suatu kebutuhan. (Shaleh dan
Wahab, 2005).

2) Teori Motivasi Belajar


(Purwa, 2012) Teori motivasi belajar tidak dapat dilepaskan
dengan pembahasan tentang teori belajar Koneksionisme S-R dan teori
Belajar Kognitif (Teori Gestalt). Dalam membicarakan soal motivasi
belajar, hanya akan dibahas dari dua sudut pandang, yakni motivasi
yang berasal dari dalam diri pribadi seseorang yang disebut “motivasi
intrinsik” dan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang yang
disebut “motivasi ekstrinsik” menurut W.S Winkel, 1997 dalam
Sardiman 2012 yaitu:
a. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam
diri siswa sendiri yang dapat mendorong melakukan tindakan
belajar. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam
diri seseorang atau motivasi yang erat dengan tujuan belajar.
Intrinsik:
- Keinginan untuk menjadi orang ahli dan terdidik
- Belajar yang disertai dengan minat
- Belajar yang disertai dengan perasaan senang
b. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi
karena adanya perangsang dari luar. Motivasi belajar dikatakan
ekstrinsik bila anak didik menempatkan tujuan belajarnya di luar
faktor-faktor situasi belajar (resides in some factors outside the
learning situation). Anak didik belajar karena hendak mencapai
tujuan yang terletak di luar hal yang dipelajarinya.. (Sardiman,
2012) Ekstrinsik:
- Belajar demi memenuhi kewajiban
- Belajar demi memenuhi kebutuhan
- Belajar demi memperoleh hadiah
- Belajar demi meningkatkan gengsi
- Belajar demi memperoleh pujian dari guru, orang tua, dan teman
- Adanya ganjaran dan hukuman
2.2.3 Masalah Motivasi Siswa dalam Belajar
Menurut pengamatan Hilgard dan Russell, ternyata tidak ada obat yang
mujarab untuk menyembuhkan segala “penyakit mental” yang didapati
pada anak-anak yang berada di dalam lingkungan sekolah yang tidak cocok
bagi mereka. Apabila terdapat kesimpulan penelitian yang kiranya
membantu guru, ternyata kemudian tidak diketahui prosedur yang pasti
untuk memotivasi semua murid pada setiap saat. (Soemanto, 2006).
2.2.4 Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar
Menurut De Decee dan Grawford, 1974 dalam Djamarah 2002. Ada empat
fungsi guru sebagai pengajar yang berhubungan dengan cara pemeliharaan
dan peningkatan motivasi belajar anak didik, yaitu guru harus dapat
menggarahkan anak didik, memberikan harapan yang realistis, memberikan
insentif, dan mengarahkan perilaku anak didik ke arah yang menunjang
tercapainya pengajaran. Adapun upaya untuk meningkatkan motivasi
belajar yaitu:
1) Menggairahkan anak didik
Untuk dapat meningkatkan kegairahan anak didik, guru harus
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai disposisi awal setiap
anak didiknya.
2) Memberikan harapan realistis
Seorang guru harus memelihara harapan-harapan anak didik yang
realistis dan memodifikasi harapan-harapan yang kurang atau tidak
realistis. Untuk itu guru perlu memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai keberhasilan atau kegagalan akademis setiap anak didik di asa
lalu.
3) Memberikan insentif
Bila anak didik mengalami keberhasilan, guru diharapkan memberikan
hadiah kepada naka didik (dapat berupa pujian, angka yang baik, dan
sebagainya) atas keberhasilannya, sehingga anak didik terdorong untuk
melakukan usaha lebih lanjut guna mencapai tujuan-tujuan pengajaran.
4) Mengarahkan perilaku anak didik
Cara mengarahkan perilaku anak didik adalah dengan memberikan
penugasan, bergerak mendekati, memberikan hukuman yang mendidik,
menegur dengan sikap lemah lembut dan dengan perkataan yang ramah
dan baik.

Para ahli lainnya seperti Gage dan Berliner (1979), French dan Raven
(1959) menyarankan sejumlah cara meningkatkan motivasi anak didik
tanpa harus melakukan reorganisasi kelas secara besar-besaran, antara lain:

1) Menggunakan pujian verbal


2) Pergunakan tes dan nilai secara bijaksana
3) Membangkitkan rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi
4) Melakukan hal yang luar biasa
5) Merangsang hasrat anak didik
6) Memanfaatkan apersepsi anak didik
7) Menerapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam konteks yang
unik dan luar biasa
8) Meminta anak didik untuk mempergunakan hal-hal yang sudah
dipelajari sebelumnya
9) Menggunakan simulasi dan permainan
10) Memperkecil daya tarik sistem motivasi yang bertentangan
11) Memperkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan.
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Menurut Syah, 2003 dalam Puspitasari, Devi Brantaningtyas, 2012. faktor-
faktor yang mempengaruhi motivasi belajar adalah :
1) Guru
Guru berperan penting dalam mempengaruhi motivasi belajar siswa
melalui metode pengajaran yang digunakan dalam menyampaikan
materi pelajaran. Guru juga harus bisa menyesuaikan efektivitas suatu
metode mengajar dengan mata pelajaran tertentu. Pada pelajaran
tertentu guru harus menggunakan metode mengajar yang sesuai
dengan materi yang akan disampaikan karena hal ini sangat
berpengaruh terhadap salah satu tujuan dari belajar itu sendiri.
2) Orang tua dan keluarga
Tidak hanya guru di sekolah, orang tua atau keluarga di rumah juga
berperan dalam mendorong, membimbing, dan mengarahkan anak
untuk belajar. Oleh karena itu orang tua dan keluarga harus bisa
membimbing, membantu dan mengarahkan anak dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan yang kemungkinan
dihadapi dalam belajar. Saat merasa dapat memahami konsep-konsep
dalam pelajaran, anak akan termotivasi untuk belajar.
3) Masyarakat dan lingkungan
Masyarakat dan lingkungan berpengaruh terhadap motivasi belajar pada
anak masa sekolah. Masyarakat dan lingkungan berpengaruh terhadap
motivasi belajar pada anak masa sekolah. Lingkungan yang sangat
berpengaruh terhadap motivasi belajar adalah pengaruh dari teman
sepermainan. Seorang anak yang rajin melakukan kegiatan belajar
secara rutin akan mempengaruhi dan mendorong anak lain untuk
melakukan kegiatan yang sama.
2.2.5 Konsep Pernikahan Dini
Pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini sangat populer di
kalangan masyarakat muslim, termasuk di Indonesia khususnya Lombok
Nusa Tenggara Barat. Tidak hanya populer, istilah tersebut bahkan menjadi
suatu praktik yang sangat mapan di tengah kehidupan masyarakat muslim,
baik di kota maupun di desa. Bagi seseorang yang sudah masuk usia balig
acap kali diopinikan sebagai masa atau priode dewasa yang sudah layak
untuk melaksanakan suatu hukum, termasuk pernikahan. Alih-alih
mendapatkan pahala sebagai konsekuensi dari pernikahannya sekalipun
dilakukan di usia dini
Pernikahan di bawah umur dipahami sebagai praktek pernikahan yang
dilakukan oleh salah satu atau kedua mempelai yang tidak sesuai dengan
usia nikah, baik secara agama maupun peraturan perundang-undangan.
Secara agama misalnya, banyak alasan yang dikemukakan oleh sebagian
umat Islam yang melakukan pernikahan di bawah umur, salah satunya
antara lain adalah dengan merujuk pada pernikahan Nabi Muhammad saw.
Dengan Siti Aisyah yang populer dicatat sejarah ketika berusia sembilan
tahun. Dari sinilah kemudian nikah di bawah umur menjadi sebuah tradisi
dan berkembang luas sampai saat ini. Berbeda dengan perspektif agama,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tampaknya
membatasi batas minimum umur pihak yang hendak melangsungkan
pernikahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan
mensyaratkan batas minimum umur calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 (enam belas) tahun.
Batasan usia perkawinan yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas lebih tinggi jika dibandingkan
dengan ketentuan yang ada di dalam agama yang hanya membatasi dengan
usia baligh. Pembatasan usia minimum oleh Undang-Undang Perkawinan
ini nampaknya memberikan kesan bahwa prinsip dalam perkawinan adalah
calon suami dan istri harus telah matang jiwa dan raganya, sehingga
terbentuk keluarga yang berkualitas, kekal dan sejahtera. Pembatasan usia
perkawinan oleh Undang- Undang Perkawinan ini sekaligus mengantitesa
praktik pernikahan di bawah umur yang dapat membawa efek yang kurang
baik.
2.2.6 Faktor-faktor penyebab pernikahan dini
Menurut Bowner dan Spanier dalam Rahmi (2003) terdapat beberapa
alasan seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan ekonomi,
membentuk keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua,
melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, mempunyai
daya tarik seksual, untuk mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi
sosial dan prestise, dan karena cinta.
Faktor penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur dapat ditinjau
dari pelaku dan orangtua pelaku. Dari pelaku disebabkan karena pergaulan
bebas dan maraknya pornografi yang mudah diakses. Fenomena tersebut
mendorong para remaja untuk meniru, mereka pacaran dan melakukan
hubungan layaknya suami istri sehingga menyebabkan hamil. Faktor dari
orangtua kurang perhatian dari orangtua terhadap anak karena orangtua
sibuk bekerja, orangtua single parent karena perceraian dan orangtua
menikah lagi, minimnya pengetahuan agama dan pengamalan karena
lingkungan tempat tinggal kurang mendukung. Orangtua pihak perempuan
mendukung anaknya untuk melakukan apa saja untuk memenuhi
permintaan pacarnya karena takut tidak jadi dinikah, sementara laki-laki
tergolong sudah mapan dalam ekonomi dan orangtua merasa ada kecocokan
sehingga berharap anaknya dapat menikah dengan pacarnya. Sebaliknya
karena orangtua tidak setuju pihak laki-laki sengaja menghamili pacarnya
agar bisa menikah karena saling mencintai.
2.2.7 Dampak-dampak pernikahan dini
Dalam pandangan masyarakat modern, alibi untuk menolak pernikahan
di bawah umur dengan menyampaikan beberapa akibat negatif yang
ditimbulkan, antara lain :
1) Mengalami masalah yang terkait pendidikan seperti putus sekolah, dan
akan memilki keterampilan yang buruk sebagai orang tua.
2) Pelaku pernikahan di bawah umur, sebagian besar menghadapi problem
belum matang secara mental untuk siap menikah sehingga terjadi
peningkatan perceraian akibat pernikahan di bawah umur, yang inheren
dengan meningkatkan kegiatan prostitusi.
3) Secara medis, penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah
dini, lalu berhubungan seks (atau sebaliknya perempuan di bawah umur
berhubungan seks lalu menikah), dan harus hamil muda, sekitar 58%
mengalami atau terkena kanker rahim.

2.3 Kerangka Pemikiran

Motivasi belajar siswa sangat penting bagi suksesnya suatu pendidikan,


namun nyatanya banyak siswa yang justru tidak memiliki motivasi belajar yang
kuat sehingga menghambat dalam proses pembelajaran. Bahkan, dalam suatu
fenomena, ratusan siswa mengajukan dispensasi nikah dini, dikarenakan belum
cukupnya umur mereka untuk melakukan pernikahan yang sah secara hukum
negara. Banyak alasan yang melatarbelakanginya, dari persoalan ekonomi,
pergaulan bebas, dan kurangnya semangat untuk menempuh pendidikan. Jika
dilihat dari usianya, rata-rata mereka masih menginjak usia remaja. Dimana
pada masa itu, ketertarikan pada lawan jenis sangat tinggi. Dan mereka hanya
berfikir bahwa dengan menikah akan membuka pintu rezeki dan akan hidup
bahagia bersama tanpa berfikir panjang resiko apa yang akan terjadi
kedepannya. Perlu adanya perubahan perilaku yang ditujukan pada siswa dan
orang tua dalam hal ini.

2.4 Hipotesis

Dari penjelasan diatas, peneliti memberikan hipotesis bahwa motivasi


belajar memeiliki pengaruh terhadap fenomena dispensasi nikah dini di
Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Namun hipotesis ini mungkin lemah dan
selanjutnya akan dianalisa dan dibuktikan oleh penelitian.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional deskriptif dengan


pendekatan kuantitatif. Sukmadinata (2013: 56) menjelaskan bahwa penelitian
korelasional ditunjukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan
variabel lain yang dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi dan keberartian
(signifikansi) secara statistik. Arikunto (2013: 4) menjelaskan bahwa “penelitian
korelasional adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui
tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih, tanpa melakukan perubahan,
tambahan atau manipulasi terhadap data yang memang sudah ada”. Dalam
penelitian ini terdapat variabel bebas (X) yaitu Motivasi Belajar dan variabel terikat
(Y) yaitu Fenomena Dispensasi Nikah Dini

3.2 Sumber Data

Data menurut sumbernya dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang

akan diteliti (Responden), sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari

lembaga atau institusi tertentu, seperti Biro, Pusat Statistik, Departemen Pertanian

dan lain-lain.

3.2.1 Data primer yaitu data empirik yang diperoleh dari informan penelitian dan

hasil observasi partisipasi. Peneliti menggunakan sistem wawancara

purposive sampling. Informan ditentukan dengan purposive sampling,

artinya pemilihan sampel atau informan secara gejala dan kriteria tertentu.
Informan dipilih berdasarkan keyakinan bahwa yang dipilih mengetahui

masalah yang diteliti. Peneliti mempercayai informan yang dipilih dalam

memberikan pernyataan saat melakukan penelitian yakni masyarakat di

Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon dengan pertimbangan bahwa informan

tersebut mampu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

3.2.2 Sumber data skunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti

sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data yang

tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Dalam penelitian ini,

dokumentasi dan angket merupakan sumber data sekunder.

3.3 Definisi Operasional

Naiknya pernikahan dini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:

3.3.1 Terjadinya insiden hamil di luar nikah

Karena kurangnya pengawasan dari orang tua dan sekolah, anak

menyukai pergaulan dengan kekasihnya di luar rumah, karena kurangnya

edukasi di sekolah, mereka seringkali tidak memikirnya resiko atas apa yang

dilakukannya.

3.3.2 Kurangnya motivasi belajar

Kurangnya motivasi belajar merupakan salah satu faktor penyebab

pernikahan dini. Ketika seorang anak dianggap tak mampu lagi melanjutkan

pendidikannya, para orang tua akhirnya memilih untuk menikahkan anaknya


dengan harapan agar mendapat penghidupan yang lebih baik setelah

menikah.

3.3.3 Ekonomi keluarga

Para orang tua menggap bahwa pendidikan hanyalah mebebankan

perekonomian mereka, sehingga mereka memilih anaknya segera menikah

agar beban tanggungan keluarga berkurang dan anak dapat menghidupi atau

menghidupi dirinya sendiri dan/atau orang lain (suaminya).

3.4 Populasi dan Sampel

Sugiyono (2009: 117) mengemukakan bahwa populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya. Sedangkan Riduwan (2013: 54) berpendapat bahwa

populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan

memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi

dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa yang mengajukan pernikahan dini di

Kabupaten Ponorogo.

Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi”. Menurut Riduwan (2013:57) “teknik sampling adalah suatu cara

mengambil sampel yang representatif dari populasi”. Teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik probability sampling. Menurut

Sugiyono (2009: 120) “probability sampling ialah teknik pengambilan sampel yang
memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi

anggota sampel”.

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Data

3.5.1 Uji Validitas

Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah instrumen yang

digunakan benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas

diuji melalui analisa Faktor Konfirmatori. Jika loading factor dari indikator

> 0,50 indikator tersebut valid ( Ghozali, 2004 : 21 ).

3.5.2 Uji Reliabiltas

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat konsistensi

instrumen penelitian. Dalam penelitian ini diuji melalui analisa Faktor

Konfirmatori, dan jika nilai Cronbach’s alpha > dari nilai Cronbach’s

alpha if item deleted berarti instrumen tersebut reliabel ( Ghozali, 2004).

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan angket/kuesioner, dokumentasi, dan wawancara. Berikut

adalah penjelasan lebih lengkap:

1) Angket / Kuesioner
Widoyoko (2013: 23) mengemukakan angket atau kuesioner adalah

metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat

pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk diberikan respon

sesuai dengan permintaan pengguna. Sementara itu Sugiyono (2009: 199)

menyatakan bahwa kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau

pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Lebih lanjut Sugiyono

(2009: 199) menjelaskan bahwa angket cocok digunakan apabila jumlah

responden cukup besar dan tersebar di beberapa wilayah yang luas.

2) Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila

peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan

yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari

responden yang lebih mendalam dan jumlah responden sedikit/kecil (Sugiono,

2009: 194). Wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur.

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas di mana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan

lengkap untuk pengumpulan datanya (Sugiono, 2009: 197).

3. Dokumentasi

Riduwan (2013: 77) “dokumentasi ditujukan untuk memperoleh data

langsung dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan,


peraturanperaturan, laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter, serta data

yang relevan untuk penelitian”.

3.7 Teknik Analilsa Data

3.7.1 Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk

mendeskripsikan atau memberi gambaran objek yang diteliti melalui data

sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono 2013: 199).

Pengukuran pada variabel yang diungkap dilakukan dengan memberikan

skor pada jawaban angket yang telah diisi oleh responden.

Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran

umum mengenai variabel pernikahan dini (X) dan pandemi Covid-19 (Y).

Persentase skor kepemimpinan dihitung dengan rumus berdasarkan

penjelasan Riduwan (2013: 89) sebagai berikut:

Pp = x 100%

Keterangan:

Pp = Presentase kepemimpinan kepala sekolah

Sk = Jumlah keseluruhan yang diperoleh

Sm = Jumlah skor maksimal


3.7.2 Uji Prasyarat Analisis

Uji prasyarat analisis dilakukan untuk mengetahui apakah data yang

dikumpulkan memenuhi prasyarat atau tidak untuk dianalisis dengan teknik

yang telah di rencanakan. Uji prasyarat analisis dalam penelitian

menggunakan uji normalitas, uji linearitas. Berikut pembahasan secara

rincinya.

3.7.3 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji

normalitas ini bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel

yang akan digunakan dalam penelitian (Sujarweni, 2014: 52). Untuk itu uji

normalitas harus dilakukan terlebih dahulu. Bila data tidak normal, maka

statistic parametris tidak bisa digunakan, sehingga statistik yang bisa

digunakan adalah statistik nonparametris.

3.7.4 Uji Linearitas

Tahap selanjutnya setelah uji normalitas adalah uji linieritas. Uji

linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah dua variabel yaitu variabel X

(pernikahan dini) dan variabel Y (pandemi Covid-19) mempunyai hubungan

yang linear atau tidak secara siginifikan. Kalau tidak linier maka analisis

regresi tidak dapat dilanjutkan. Uji linieritas dilakukan pada masing- masing

variabel bebas dan variabel terikat. Perhitungan uji linieritas dalam


penelitian ini dilakukan peneliti dengan program SPSS versi 20 dengan

menggunakan Test For Linearity.

3.7.5 Analisis Korelasi

Analisis korelasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencari

derajat hubungan atau menguji hubungan dari kedua variabel (dependen dan

independen). Dalam analisis korelasi, digunakan rumus Pearson Product

Moment. Untuk menganalisis korelasi, peneliti menggunakan bantuan

program SPSS. Langkah-langkah dalam analisis korelasi menggunakan

program SPSS adalah sebagai berikut: Klik Start > All Program > IBM

SPSS Statistics > IBM SPSS Statistics 20 maka akan muncul halaman

program SPSS 20. Pilih Variable View, pada kolom Name isikan X, kolom

Decimals isikan 0, dan kolom Measure isikan Scale. X mewakili

kepemimpinan kepala sekolah. Kemudian isikan kembali kolom Name

dengan Y, kolom Decimals dengan 0, dan Measure dengan Scale. Y

mewakili variabel kinerja guru. Kemudian klik Data View.

Pada kolom X, kolom tersebut diisi dengan jumlah skor setiap guru

yang menjadi sampel yang diperoleh dari angket kepemimpinan kepala

sekolah, sedangkan pada kolom Y diisi dengan jumlah skor dari angket

kinerja guru. Setelah semua data sudah dimasukkan, lalu klik Analyze >

Correlate > Bivariate. Selanjutnya, pindahkan semua data X dan Y ke


dalam kotak Variabels, checklist Pearson, pilih Two-tailed, dan Checklist

Flag significant correlations. Langkah selanjutnya yaitu klik OK.

3.8 Jadwal dan Langkah Penelitian

Langkah-langkah penelitian dibuat dan ditentukan agar penelitian berjalan sesuai

dengan jadwal yang ditetapkan. Adapun langkah-langkah dalam penelitian yaitu:

1) Mencari isu penelitian

2) Melakukan studi literatur untuk mendapatkan gambaran tentang permasalahan

yang akan diangkat menjadi judul penelitian.

3) Penjajakan penelitian di Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon untuk

mengetahui kondisi lapangan tempat penelitian.

4) Pengumpulan data penelitian dilakukan berdasarkan instrumen yang telah

dibuat.

5) Pengelolalaan dan analisis data mengenai Pengaruh Pademi Covid-19 Terhadap

Meningkatnya Praktik Perkawinan Di Bawah Umur di Kecamatan Harjamukti

Kota Cirebon.

6) Hingga penyususnan laporan penelitian.

Berikut merupakan matriks garis besar jadwal dan langkah-langkah dalam

penelitian “Motivasi Belajar Siswa dengan Dispensasi Pernikahan Dini di

Kabupaten Ponorogo”.
April 2023
No. Rencana Kerja Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5
TAHAP PERSIAPAN
1. Uji coba instrumen
Membuat daftar
2.
calon responden
TAHAP PELAKSANAAN
3. Inisiasi sosial
a. Kontak awal
b. Membangun relasi
dan kontrak
Menyepakati jadwal
4.
wawancara
Pelaksanaan
5.
wawancara
5. Menyebar kuisioner
Mei 2023
No. Rencana Kerja Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5
TAHAP ANALISIS DATA WAWANCARA DAN KUISIONER
Pengumpulan data
6.
kuisioner
Analisis data
7.
kuisioner
Pembuatan
8.
kesimpulan data
TAHAP PASCA LAPANGAN
10. Penyusunan laporan
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Andina, E. (2021). Meningkatnya Angka Perkawinan Anak Saat Pandemi Covid-19. Jurnal
Isu Aktual dan Strategis, XIII(4), 14-16.
Halik, A. (2017, Des). Pernikahan di Bawah Umur: Studi Kasus terhadap Praktik Pernikahan
di Kota Mataram. Jurnal Schemata, 6(2), 185-209.
Lestari, R. P. (t.thn.). Hubungan antara Pernikahan Usia Remaja dengan Ketahanan Keluarga.
Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, 2(2), 85-91.
Mawardi, M. (2012, Jul - Des). Problematika Perkawinan Di Bawah Umur. Jurnal Analisa,
19(02), 201-212.
Muslim, M. (2020). Manajemen Stress Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Mnajemen
Bisnis, 23(2), 192-201.
Reka, d. (2021, Agt-Jan). Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Peningkatan Jumlah. Jurnal
Mahasiswa, 3(1), 673-682.
Reza, d. (2021). Pernikahan Dini dan Problematikanya pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal
Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah, 3(2), 76-89.
Tania, R. A. (2021, Nov). Upaya Pencegahan Meningkatnya Angka Pernikahan Dini Melalui
Pemberian Motivasi dan Pengalihan Energi Selama Pandemi Covid-19 pada Remaja
di Desa Cisantana. Jurnal Proceedings, I(XXI), 142-149.
Triyanto, W. (2013). Dampak Pernikahan Di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam
dan UU Nomor 1 Tahun 1974. Jurnal Lex Privatum, I(3), 71-80.
Yudi Firmansyah, F. K. (t.thn.). Pengaruh New Normal Ditengah Pandemi Covid-19 terhadap
Pengeolahan Sekolah dan Peserta Didik. 4(2), 99-112.

Anda mungkin juga menyukai