Anda di halaman 1dari 15

TAHAP PERKEMBANGAN KELUARGA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkawinan dan Keluarga yang diampu
oleh Prof. Tina Afiatin

oleh

Chandrayani N. Mapurusa 16/398978/PS/07177

Lystianingtyas Alfani Putri 16/405703/PS/07282

Yogi Prayogo 13/394401/PS/07097

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
A. Penjelasan Teori

Teori Perkembangan Keluarga adalah kerangka konsep yang didesain untuk mendeskripsikan
dan menjelaskan proses-proses perubahan yang terjadi pada pasangan dan keluarga. Teori ini
mengasumsikan bahwa semakin efisien sebuah keluarga menyelesaikan tugas perkembangannya,
semakin berhasil pula perkembangan anggota di dalam keluarga tersebut.

Pencetus teori ini, Evelyn Duvall, menyatakan bahwa kelebihan dari Family Developmental
Framework adalah karena teori ini cenderung fokus pada perkembangan dan perubahan baik
pada individu maupun keluarga seiring waktu. Selain itu, teori ini juga mendukung perhatian
terhadap proses, dan tidak menganggap keluarga sebagai kelompok yang statis dan tidak berubah,
melainkan sebagai sebuah sistem yang dinamis.

Walau kerangka teori ini bermanfaat untuk membahas tahapan dalam kehidupan keluarga,
kompleksitas keluarga masa kini, yang cenderung tidak mengikuti pola menikah—punya anak—
mengasuh anak hingga dewasa—pensiun—menjadi kakek-nenek tidak dibahas di dalamnya.
Relevansi teori ini ditantang dengan kondisi saat ini, dimana keluarga sering dimulai tanpa
adanya pernikahan, atau bahkan adanya pernikahan yang berakhir dengan perceraian, serta
ditambah dengan adanya remarriage yang melibatkan anak-anak tiri dari salah satu atau kedua
belah pihak ke dalam keluarga yang nantinya juga dapat memiliki anak-anak sendiri.

Ada beberapa kontroversi terkait jumlah tepatnya dari tahapan perkembangan keluarga.
Duvall mengidentifikasi adanya 8 tahapan, namun beberapa ahli menyebutkan 4 hingga 24
tahapan. Urutan dari tahapan-tahapan ini dapat diaplikasikan dengan jelas dan mudah ketika
hanya ada satu anak dalam keluarga. Jumlah tahapan dan kompleksitas yang muncul dari tahapan
yang saling overlap akan meningkat jika ada lebih dari satu anak dalam keluarga, atau ketika
pasangan bercerai dan salah satu atau kedua pihak menikah lagi.

Tahapan beserta tugas perkembangan yang dipaparkan oleh Duvall adalah sebagai berikut:

1) Keluarga Baru (Beginning Family)

- Menentukan dan menegaskan identitas sebagai pasangan


Individu memilih pasangan, mengembangkan hubungan dan intimasi, hingga kemudian
menikah dan menjadi pasangan yang stabil.
- Menyesuaikan hubungan dengan keluarga besar untuk melibatkan suami/istri di
dalamnya
- Membuat keputusan tentang menjadi orang tua
Individu yang memilih untuk menjadi pasangan seharusnya telah memiliki otonomi
emosional dan kemandirian finansial dari orang tua masing-masing, serta memiliki
identitas yang matang di hadapan rekan sebaya dan rekan kerja. Pasangan suami-istri
memiliki kontrol penuh akan pilihan dan proses pembuatan keputusan keluarga mereka
(Rago, 2016).

2) Keluarga dengan Kelahiran Anak Pertama (Childbearing Family)

- Menambahkan anak ke dalam sistem keluarga tak luput dari beragam tantangan. Markey
(2005) mengklasifikasikan 4 tantangan dalam transisi suatu keluarga dengan adanya
kelahiran anak pertama, yaitu:
1. Menyesuaikan system perkawinan untuk menyediakan ruang bagi anak-anak
2. Adaptasi dengan aktivitas pengasuhan anak, serta perubahan finansial yang terjadi
3. Relasi dengan keluarga besar, seperti mengenalkan hubungan kakek-nenek
4. Menyeimbangkan perkawinan dan karier dengan tugas dan peran sebagai orang tua

Beberapa solusi dapat dilakukan guna mengatasi tantangan-tantangan tersebut, seperti


dijelaskan di bawah

- Menemukan cara yang menguntungkan kedua belah pihak (suami-istri) dalam memenuhi
tanggung jawab mengasuh anak. Pembagian tugas dalam mengasuh anak juga penting
untuk dilakukan.
Perkembangan anak yang baik tergantung pada kemampuan orang dewasa (caretakers)
untuk menyediakan lingkungan yang teratur, aman, dan penuh cinta bagi mereka. Anak-
anak akan tumbuh dengan baik ketika orang tuanya memiliki hubungan yang kuat (Rago,
2016).
- Melebarkan hubungan dengan keluarga besar dengan cara menambahkan peran kakek-
nenek dalam pengasuhan anak.
Pasangan menambah jaringan sosial keluarga, termasuk hubungan yang baik dengan
orang tua mereka, agar mendapatkan dukungan emosional dan menyediakan konteks
sosialisasi yang lebih luas bagi anak-anaknya (Rago, 2016).

3) Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah (Families with Preschool Children)

Anak usia prasekolah di dalamnya termasuk anak usia batita (0-3 tahun) dan anak usia
balita (3-5 tahun). Dalam perkembangannya, terdapat tugas perkembangan anak menurut Setiono
(2011) dan tugas perkembangan orang tua menurut Goldenberg dan Goldenberg (2008).

Tugas perkembangan anak menurut Setiono (2011) ialah:


1. Menjalani aktivitas rutin keseharian yang sehat
2. Menguasai kebiasaan makan yang baik
3. Menguasai dasar-dasar toilet training
4. Mengembangkan keterampilan fisik sesuai dengan tahap motoriknya
5. Menjadi anggota keluarga yang ikut berpartisipasi
6. Mulai menguasai impuls dan menyesuaikan diri dengan harapan orang lain
7. Mengembangkan ekspresi emosi yang sehat untuk berbagai situasi
8. Belajar komunikasi efektif dengan meningkatnya jumlah orang lain
9. Mengembangkan kemampuan menangani situasi yang secara potensial
membahayakan
10. Belajar menjadi pribadi yang mandiri dengan inisiatif dan hati nurani sendiri
11. Meletakkan dasar untuk pemahaman makna kehidupan

Tugas perkembangan orang tua menurut Goldenberg dan Goldenberg (2008) adalah:

1. Memberikan ruang, fasilitas, dan peralatan untuk keluarga yang meluas


2. Mempersiapkan biaya yang sudah diperhitungkan dan biaya darurat sesuai dengan
kemungkinan kebutuhan anak sesuai dengan usianya
3. Berperan secara lebih matang dalam memperluas keluarga
4. Mempertahankan keintiman dalam komunikasi memuaskan antar suami-istri
5. Mengasuh dan merencanakan jumlah anak
6. Berhubungan dengan sanak saudara
7. Memanfaatkan sumber-sumber di luar keluarga
8. Memberi motivasi kepada anggota keluarga

4) Keluarga dengan Anak Usia Sekolah (Families with School-Aged Children)

Keluarga memasuki tahap ini saat anak berusia 6-12 tahun, atau usia masuk sekolah dasar.

- Membantu mengenalkan anak pada beragam institusi, seperti sekolah


- Membantu sosialisasi anak dengan tetangga, peer groups, sekolah, serta lingkungan
sekitar
- Mendukung capaian anak di sekolah dan memelihara hubungan yang baik antara anak
dengan teman-teman sebayanya
Orang tua perlu belajar untuk memberikan reinforcement positif terhadap usaha anak-
anaknya untuk mengembangkan kemampuan baru, seperti bekerja sama dengan anak-
anak lain, mengatur perilaku mereka sendiri, serta menghormati keragaman (Rago,
2016).
- Mempertahankan hubungan pernikahan yang memuaskan
- Memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga

5) Keluarga dengan Anak Usia Remaja (Families with Teenagers)

Menurut Duval dalam Setiono (2011), keluarga memasuki tahap perkembangan ini saat
anak tertua berusia 13 tahun sampai anak tertua tersebut meninggalkan rumah atau menikah.
Biasa berlangsung 6-7 tahun, tergantung apakah anak tersebut melanjutkan kuliah, menikah dini,
ataupun sudah bekerja dari usia 16 tahun dan tidak lagi melanjutkan pendidikan. Perubahan yang
dialami anak seputar pubertas, aktualisasi kewanitaan dan kejantanan, serta keinginan untuk
mulai lepas dari orang tua. Setiono (2011) merangkum tugas-tugas perkembangan orang tua
dengan anak remaja sebagai berikut:

1. Orang tua mulai melibatkan anaknya dalam pengambilan keputusan keluarga


2. Orang tua juga mulai melibatkan diri dalam keputusan yang terkait dengan tujuan hidup
anak
3. Remaja akan lebih mengarah pada dirinya sendiri dan anak akan semakin mengurangi
ketergantungan pada orang tua
4. Ayah memiliki lebih banyak tanggung jawab sebagai kepala keluarga
5. Ibu memiliki kesadaran bahwa anaknya yang beranjak remaja adalah peralihan untuk
menuju kedewasaan, hingga harus menghadapi kenyataan bahwa anak mulai menjauh
dari ibunya

Sesuai dengan tugas-tugas di atas, secara umum sebagai suatu keluarga dalam menghadapi masa
transisi ialah:

- Menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab seiring dengan pertambahan usia


dan hak otonomi anak remaja
- Menjembatani kesenjangan komunikasi antar generasi
- Kembalikan fokus pada masalah karir dan pernikahan

6) Keluarga dengan Anak Dewasa (Families Launching Young Adults)

Tahap ini biasa juga disebut sebagai tahap pelepasan, berawal dari anak pertama menikah
hingga anak terakhir meninggalkan rumah. Pada tahap ini, orang tua ditekankan untuk menerima
bahwa anak sudah lepas dan mandiri serta memiliki keluarga baru. Orang tua diarahkan untuk
meningkatkan fokus pada mempererat hubungan dengan pasangan selepas tanggung jawab
membesarkan anak. Walau begitu, orang tua pada tahap ini juga rentan untuk mengalami
perasaan kesepian, kehilangan tujuan, serta merasa bahwa kehidupannya kosong dan tidak
bermakna dikarenakan tidak ada lagi anak untuk diurus.

- Mengembangkan hubungan yang dewasa dengan anak-anak yang sudah mencapai usia
dewasa muda
- Melebarkan lingkaran keluarga dengan melibatkan anggota baru yang masuk melalui
pernikahan dengan anak-anak yang telah berusia dewasa
- Membantu atau merawat orang tua atau mertua yang sudah berusia lanjut
- Memperbarui atau menegosiasikan kembali hubungan pernikahan

7) Keluarga Usia Pertengahan (Middle-Aged Parents)

Pada tahap ini, orang tua biasa berusia dari 40-60 tahun. Orang tua akan mulai
mengalami penurunan fungsi tubuh, seperti menopause pada wanita. Pada tahapan ini tugas
perkembangan difokuskan pada mempererat hubungan pernikahan serta komunikasi antar
generasi muda dan generasi tua. Orang tua juga memiliki kesempatan untuk menata ulang rumah
tangga, menyesuaikan dengan tidak adanya anak di rumah. Bisa dengan mengubah pola hidup
menjadi lebih baik, mengatur ulang dekorasi rumah, memulai hobi baru, dan sebagainya.

8) Keluarga Orang Tua Usia Lanjut (Families in Later Years)

Masa ini dimulai saat orang tua menginjak usia 65 tahun ke atas menurut Santrock (1998).

- Mempertahankan kondisi hidup yang baik


- Menyesuaikan dengan pendapatan yang berkurang
- Mempertahankan hubungan perkawinan
- Terus mencari makna hidup pribadi
- Mempertahankan hubungan keluarga antargenerasi
- Menyesuaikan diri dengan kehilangan pasangan

B. Penerapan dan Contoh Kasus


1. Pasangan Pengantin Baru: Pasangan Pengantin Baru pada keluarga Jawa
Perkawinan di budaya Indonesia tidak hanya ikatan dua orang saja (Kertamuda,
2009), melainkan ikatan dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan perempuan.
Meski begitu, perubahan zaman tetap membawa pergeseran nilai-nilai bagi
pernikahan di Indonesia. Tidak lagi pernikahan dianggap sesuatu yang sakral dan
harus dipertahankan sampai maut memisahkan, melainkan merupakan sebuah pilihan
berdasar pertimbangan matang dan rasional antar kedua mempelai. Terkhusus dalam
adat Jawa, terkadang masyarakat modern salah mengartikan budaya othak-athik
mathuk sebagai pengambilan keputusan yang tidak rasional dan hanya mengandalkan
rasa saja (Irmawati, 2013). Padahal othak-athik mathuk ini justru sangat
melambangkan budaya Jawa yang penuh isyarat dan maksud terselubung. Calon
mempelai perempuan Jawa bisa menunjukkan keputusannya menerima atau menolak
perjodohan melalui gerak gerik atau mimik wajah, isyarat yang kemudian dipahami
orang tua si perempuan tanpa terang-terangan diketahui oleh pihak laki-laki. Terlalu
terus terang dalam menyampaikan maksud dan tujuan justru dalam budaya Jawa
dianggap kurang pintar bertutur dan menempatkan diri. Maka dari itu seringkali tutur
orang Jawa dinilai penuh teka-teki karena memang tujuannya tidak dapat langsung
diketahui.
Selanjutnya, usai pesta pernikahan dilaksanakan untuk mengukuhkan hubungan
suami-isteri di depan orang tua kedua mempelai, mulailah tahapan penting berupa
tawar-menawar identitas dan penegakkan batas-batas keluarga. Suami dan istri harus
saling memahami peran masing-masing untuk kemudian memulai negosiasi terkait
aturan rumah tangga, visi dan misi bersama, penyatuan budaya yang berbeda, urusan
finansial, cara mendidik anak, dan sebagainya. Dalam proses negosiasi ini, perlu
adanya pemahaman mendalam mengenai karakter suami dan istri masing-masing agar
dapat terjadi komunikasi efektif dan positif, sehingga memulai awal keluarga baru
dengan baik. Adat Jawa disini hanya berperan dalam prosesi pernikahan serta
beberapa tradisi selama proses lamaran maupun pemberkatan rumah baru.

2. Memiliki Anak Usia Batita, Balita, dan Pra-sekolah: Penanaman Karakter Sikap
Menghormati pada Keluarga dengan Anak Prasekolah Asal Yogyakarta
Keluarga sebagai lingkungan social terkecil dan terdekat bagi anak memiliki
peran penting dalam pembentukan karakter. Pembentukan karakter dalam keluarga
Jawa kaya akan ajaran budi pekerti luhur seperti saling menghormati, sopan santun,
kejujuran, dan kerukunan (Nurani, Puspadewi, Apriliani, & Moordiningsih, 2012).
Terkhusus dalam budaya Jawa ialah karakter rukun dan hormat. Rukun diartikan
sebagai keadaan selaras tanpa perselisihan dan pertentangan, sedangkan hormat
berarti kesadaran akan tempat dan tugas sehingga tercipta kesatuan yang selaras
(Mudjijono, 1996).
Ungkapan mikul dhuwur mendhem jero (memikul yang tinggi, memendam yang
dalam) yang artinya menghormati orang tua dan orang yang dituakan juga diajarkan
dalam keluarga narasumber yang tinggal di Yogyakarta. Narasumber juga
mengatakan bahwa hubungan suami istri dalam keluarganya itu setara, segala
keputusan dibuat bersama-sama. Keluarga tersebut juga terbiasa mengenalkan agama
sejak dini, menjadikan aktivitas agama sebagai kegiatan sehari-hari. Bagi orang Jawa,
keluarga memang merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan, keluarga
adalah prioritas setiap anggota keluarga. Setiap anggota keluarga diajarkan untuk
saling menjaga satu sama lain.
Dalam menghadapi tantangan membesarkan anak usia prasekolah, pasangan Jawa
tersebut fokus untuk sebisa mungkin memberikan lingkungan social yang nyaman
namun aman bagi anak untuk belajar. Mengerucutkan tayangan media social dan
televisi sesuai dengan tingkat keamanan untuk ditonton, seleksi sekolah yang sesuai
dengan visi misi keluarga merupakan beberapa usaha memantau asupan penyerapan
anak tanpa terlihat mengekang agar nantinya anak dapat lebih terbuka dengan orang
tua.
Anak juga dikenalkan dengan sosok kakek-nenek atau pakdhe budhe dari
keluarga besar, untuk menanggulangi apabila suatu saat keluarga kecil tidak bisa
menyelesaikan permasalahan sehingga anak tidak akan kaget apabila keluarga besar
turut membantu.
3. Memiliki Anak Usia Sekolah: Penanaman Kearifan Lokal “Unggah-Ungguh”
Masyarakat Jawa
Definisi keluarga secara sederhana adalah kelompok orang yang ada hubungan
darah atau perkawinan (Carter dan McGoldrick dalam Goldenberg dan goldenberg
2008). Keluarga sbagai sebuah sistem yang anggotanya berasal dari berbagai generasi
yang berbeda.(suami, isteri, anak, kakek , nenek dan sebagainya). Dengan anggota
yang berbefa generasi tersebut tentu adanya pengaruh yang berbeda antar generasi
terhadap generasi lainnya. Interaksi inilah yang menjadi tolak ukur untuk
keberhasilan hubungan keluarga yang harmonis dan bahagia karena interaksi ini
kunci dari berfungsi dengan baik tidaknya peran keluarga ini. Indikator keberfungsian
keluarga telah dikemukakan oleh alhli psikologi keluarga yang terdiri dari 6 dimensi
yaitu:

a) pemecahan masalah
b) komunikasi
c) peranan
d) rasa bertanggungjawab
e) keterlibatan secara aktif
f) kontrol perilaku
Salah satu jenis kearifan lokal yang ada di Indonesia adalah Unggah-Ungguh
yang berada di masyarakat jawa. Unggah memiliki arti naik dan Ungguh memiliki
arti pantas sehingga yang dimaksud Unggah Ungguh merupakan sebuah
pembelajaran dalam bersikap kepada yang seumuran ataupun kepada yang lebih tua.
Unggah Ungguh mengajarkan anak sopan santun dalam berbahasa dan bersikap
sehingga anak dapat diterima dimasyarakat.
Terdapat 3 tugas utama perkembangan keluarga dengan anak usia sekolah yaitu:
1. membantu sosialisasi aak dengan tetangga, sekolah dan lingkungan
2. mempertahankan keintiman pasangan
3. memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang makin meningkat, termasuk
kebutuhan untuk mningkatkan pendidikan dan kesehatan anggota keluarga.
Dalam tahap perkembangan ini komunikasi sangatlah penting dalam
mengembangkan hubungan keluarga hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan
keterikatan emosi antara anak dan orang tua. Unggah-Ungguh mengajarkan anak
bagaimana berkomunikasi yang baik dan benar terhadap teman sebaya dan juga yang
lebih tua daripada dia sehingga anak dapat dilihat pantas oleh tetangga dan
lingkungan sekitar. Kepantasan tersebut berpengaruh pada penerimaan anak di
lingkungan sekitar.

4. Memiliki Anak Remaja: Dinamika Keluarga dengan Anak Remaja pada Suku
Manggarai
Menurut Duval (Setiono,2011), keluarga memasuki tahapan perkembangan
keluarga dengan remaja bila anak tertua berusia 13 tahun. Anak remaja, sebagai anak
yang dalam perkembangannya menuju ke masa dewasa mengalami sebuah masa
peralihan yang mencakup berbagai macam perubahan seperti perubahan badan serta
perubahan yang tidak mudah diamati orang lain (gunarsa & Gunarsa, 2012). Menurut
Erickson (hall & Lindzey, 1993) selama masa remaja erjadi konflik identity versus
role confusion dimana pada masa ini remaja merasakan ketidakpastian pada dirinya
sendiri sehingga mereka cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya.
Pada fase ini juga peran orang tua penting dalam menjaga relasinya dengan anak
remajanya karena ketiadaan relasi yang baik antara eduannya menjadi salah satu
penyebab munculnya konflik. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa teugas perkembangan keluarga remaja terdiri dari:
a) memberikan fasilitas terhadap anggota keluarga yang memiliki berbagai macam
kebutuhan
b) mengatasi masalah keuangan remaja.
c) Berbagi tanggung jawab dalam kehidupan keluarga
d) menjaga relasi perkawinan tetap utama
e) menjebatani kesenjangan komunikasi antar generasi
f) tetap menjaga relasi sanak saudara
g) memperluas wawasan remaja dan orang tua
h) memelihara aturan etis dan moral yang diperlukan
Dalam Budaya manggarai, laki laki biasanya kalau mau memilih satu perempuan
dikampungnya sebelumnya harus membantu calon keluarga tersebut bekerja dikebun
atau mencari kayu bakar. Hal ini digunakan untuk mengenal calon menantu laki laki
tersebut. Setelah itu akan ada proses pertunangan yaitu tukar cincin yang dilaksanakn
di rumah perempuan. Kemudian akan dilanjutkan dengan roko yaitu prosesi
pengantaran wanita dengan cara diarak bersama sama menuju rumah ada di kampung
laki laki. Setelah sampai di rumah adat laki laki dilangsungkan pernikahan secara adat
dirumah adat tersebut. Setelah itu mereka telah sah menjadi suami istri secara adat.
Adapun untuk pernikahan secara gama akan dilakukakn beberapa waktu setelahnya.
Didalam adat budaya manggarai juga dikenal yang namanya belis. Belis merpakan
prosesi saat pihak keluarga laki laki membayarkan kepada pihak keluarga wanita
sejumlah hewawn peliharaan, juga barang atau uang sebagai pemberian kepada pihak
keluarga wanita

5. Masa Tengah Baya: “Konsep Keluarga” dalam Sudut Pandang Kearifan Lokal
Masyarakat Dayak Taman Kalimantan
Definisi populer dalam melihat usia tengah baya biasanya diartikan sebagai usia
diantara 35-65 tahun dimana setiap pasangan suami istri tidak lagi melihat umur
sebagai seberapa lama dia sudah hidup melainkan berganti menjadi memikirkan
berapa lama ssa waktu hidup mereka. Rata rata pada masa ini pasangan suami istri itu
mengalami perubahan menjadi seorang kakek-nenek saat mereka mendapatkan cucu
dari kehamilan anak pertama mereka. Perubahan status tersebut juga memberikan
peran yang berbeda dimana pada kakek dan nenek memiliki peran yaitu:

(a) sejarawan
(b) mentor
(c) model peran yang membantu sosialisasi cucu
(d) ahli menggunakan imajinasi mereka untuk menyenangkan cucu
(e) pengasuh menjadi bagian dalam sstem dukungan sosial cucu
Suku dayak taman tinggal dirumah panjang yang merupakan kesatuan dari
ruangan ruangan dari keluarga keluarga dimana satu dengan lain masih berkerabat.
Setiap ruang/bilik adalah tempat tinggal rumah tangga, sementara mereka yang
tinggal dalam satu bilik rumah disebut satindo’an. Komposisi satindo’an terdiri dari
satu keluarga inti saja dimana ada suami istri, anak yang sudah kawin, anak yang
belum kawin serta cucu baik yang sudah kawin dan belum kawin serta cicit mereka.
Oleh karena itu didalam satu rumah terdiri atas eberapa rumah tangga yang mana
biasanya ditandai dengan adanya dapur masing masing yang bermakna bahwa
keluarga tersebut dapat mengurus ekonomi keluarga sendiri. Salah satu anak dari
pasangan suami istri ditunjuk sebagai patio’toa yaitu anak yang ditunjuk untuk
mengurus orang tuanya pada hari tua dan waktu sakit, termasuk urusan meninggal.
Adanya patio’toa ini dianggap sebagai faktor protektif dalam keluarga pada tahap
paruh baya.
Sistem satindo’an ini dapat mengurangkan rasa kekosongan yang biasanya
dilanda oleh pasangan paruh baya dikarenaka keluarga mereka kumpul menjadi satu
dirumah panjang tersebut. Pasangan paruh baya juga berfungsi menjadi mentor dalam
mempersiapkan penerus dari keluarga mereka yang disebut pati’toa. Dimana mereka
belajar bagaimana mengurus keluarga mereka agar tetap terjaga keharmonisannya.

6. Masa Pelepasan — Kearifan Lokal Budaya Pariaman Melepaskan Anak untuk


Menikah
Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal yang menganggap ibu sebagai
sumber utama perkembangan hidup baik. Salah satu aspek yang terpengaruh oleh
sistem ini adalah aspek perkawinan pada masyarakat Minang-Pariaman. Sistem
matrilokal yang diterapkan membuat laki-laki Minang yang menikah dengan
perempuan Minang statusnya sebagai urong sumando atau Pendatang di rumah
keluarga istrinya, dan dikenai nilai moral datang karano dipanggia, tibo karano
dijapuik (datang karena dipanggil, tiba karena dijemput) (Yunita, Syaiful, & Basri,
2012).
Sejalan dengan nilai moral yang diterapkan tadi, pada adat pernikahan di Padang
Pariaman terdapat tradisi bajapuik atau penjemputan pengantin laki-laki. Prosesi ini
mensyaratkan adanya uang japuik yang harus dibayar pihak perempuan kepada pihak
laki-laki sebelum akad nikah dilangsungkan. Penetapan uang japuik ini ditetapkan
pada acara sebelum perkawinan dilaksanakan, dan akan kemudian dipersiapkan oleh
keluarga pihak perempuan.
Konsep pernikahan adat yang dilakukan di Padang Pariaman menggambarkan
peran orang tua yang sangat dibutuhkan saat melepas anak mereka, dimana mereka
harus membayar uang japuik sebagai mahar. Hal ini sesuai dengan tugas
perkembangan orang tua pada tahap ini, yaitu tanggung jawab untuk menikahkan
anak, membangun hubungan yang luas dengan anggota keluarga baru (menantu dan
besan). Namun, dalam konteks budaya Minang-Pariaman, proses pelepasan anak ini
tidak sempurna, karena orang tua diharuskan membayar uang japuik, sementara
situasi idealnya adalah saat anak sudah bisa melepaskan ketergantungannya terhadap
orang tua.

7. Masa Lansia: Sipakatau – Eksistensi dan Pelayanan Lansia dalam Etnis Bugis
Etnis Bugis menjunjung tinggi perilaku tolong-menolong yang tersirat dalam
ajaran Sipakatau, atau manifestasi ajaran perilaku sehari-hari, sopan santun, dan tata
krama yang sesuai dengan adat Bugis yang ramah, solider, dan pantang menyerah.
Ajaran Sioakatau ini mengajarkan nilai sopan santun dan kekeluargaan yang
dapat menjadi sumber dan potensi untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan
mengoptimalkan fungsi lansia sesuai tuntutan agama dan nilai luhur budaya. Ajaran
ini menjadi relevan dalam topik pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan. Pada
pelayanan lansia berbasis kekerabatan, para kerabat atau orang sedarah
(consanguineal kin), kerabat angkat (adoptive kin), dan kerabat karena kawin mawin
(affinal kin) menjadi aktor utama dalam pelayanan individu lanjut usia.
Pelayanan ini menjadi salah satu bentuk manifestasi dari Sipakatau, dimana pada
adat Bugis, memelihara lansia dianggap sebagai bentuk rasa berbakti dan mengabdi
pada orang tua. Para lansia pun diizinkan untuk melakukan aktivitas ringan, namun
tidak diperkenankan bekerja keras, serta harus dihormati, dihargai, dan dijaga oleh
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Duvall, E. M., & Miller, B. (1985). Marriage and Family Development. New York: Harper &
Row.

Friedman, M. M. (1998). Family Nursing Theory and Practice. Connecticut: Appleton & Lange.

Goldenberg, H. & Goldenberg, I. (2008). Family therapy: An overview (8th Ed.). Belmont, USA:
Brooks/Cole Cengage Learning.

Irmawati, W. (2013). Makna simbolik upacara siraman pengantin adat Jawa. Walisongo, 21(2).
309-330.

Kertamuda, F. E. (2009). Konseling pernikahan untuk keluarga Indonesia. Jakarta: Penerbit


Salemba Humanika

Markey, B. (2005). The life stages of a marriage. A colloquium of social scientist and theologist,
1-17.

Mudjijono (1996). Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nurani, dkk. (2012). Pembentukan karakter dalam keluarga Jawa. Center for Islamic and
Indigenous Psychology (CIIP). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Olson, D. H., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2011). Marriage and Families: Intimacy, Diversity,
and Strength. New York: McGraw-Hill.

Rago, M. (2016). Family Development Theory. Encyclopaedia of Family Studies, 1-6.

Santrock, J.W. (1998). Adolescence. Washington DC: Mc Graw Hill.

Setiono, K. (2011). Psikologi keluarga. Bandung: PT. Alumni.

Anda mungkin juga menyukai