Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL PENELITIAN

PERCERAIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP ANAK YANG MENJADI NAKAL


DI KELURAHAN NUN BAUN DELHA KOTA KUPANG

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang

Oleh :

NICOLAUS KENSARIO NDUN


NIM : 1902010423

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
C. Keaslian Penulisan ........................................................................................................... 4
D. Manfaat dan Tujuan Penelitian.................................................................................... 5
1. Manfaat Penelitian ....................................................................................................... 6
2. Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 6
E. Metode Penelitian .......................................................................................................... 7
1. Jenis Penelitian ............................................................................................................ 7
2. Lokasi Penelitian ......................................................................................................... 7
3. Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................................................... 7
4. Aspek-Aspek Penelitian .............................................................................................. 8
5. Populasi, Sampel, dan Responden .............................................................................. 8
6. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 9
7. Pengelolahan dan Analilsis Data ................................................................................. 9
F. Kerangka Berpikir ......................................................................................................... 11
G. Tinjauan Pustaka........................................................................................................... 13
1. Tinjauan Tentang Perceraian....................................................................................... 13
2. Tinjauan Tentang Anak ............................................................................................... 15
3. Tinjauan Tentang Kenakalan Anak ............................................................................. 16
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 19

ii
A. Latar belakang

Anak-anak cenderung memiliki emosi yang tidak stabil yang muncul dalam

berbagai bentuk. Pada fase ini perilaku anak menjadi sulit diduga dan menjadi lebih

tidak terkontrol. Bentuk-bentuk emosi yang nampak dalam masa anak-anak sampai

dengan remaja antara lain marah, malu, takut cemas, cemburu, iri hati, gembira, sedih

dan rasa ingin tahu. Anak yang mampu mengendalikan emosinya dapat mendatangkan

kebahagian, namun anak yang belum mampu mengeontrol emosinya dapat berakibat

kurangnya pengendalian diri yang baik. Hal ini dapat mengakibatkan seorang anak

dalam menghadapi masalahnya merasa tidak aman, tidak senang, khawatir, dan

kesepian.

Anak-anak memiliki emosi yang cenderung labil, hal ini dikarenakan perubahan

emosi selama masa awal kanak-kanak sampai dengan remaja biasanya terjadi lebih

cepat. Anak yang mampu menguasai emosi dapat membuatnya sanggup menggontrol

emosi dalam banyak situasi. Penguasaan emosi yang baik dapat mendatangkan

kebahagian yang biasa disebut kematangan emosi. Kematangan emosi dapat diartikan

sebagai kemampuan individu untuk mengadakan tanggapan-tanggapan emosi secara

matang dan mampu mengontrol serta mengendalikan emosinya sehingga menunjukan

suatu kesiapan dalam bertindak. Kematangan emosi anak yang baik dapat terbentuk

karena beberapa faktor, salah satunya faktor yang mempengaruhi yaitu dalam

hubungannya dengan orangtua atau keluarga. Keluarga merupakan tempat yang

pertama dan utama bagi anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk

menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya. Keluarga pada awalnya

terbentuk karena adanya perkawinan. Dalam sebuah hubungan tidak jarang

1
menimbulkan harapan-harapan yang tidak realistik baik di pihak suami ataupun istri.

Hal ini tidak menutup kemungkinan perkawinan tersebut dapat mengalami kehancuran

atau perceraian.

Perceraian dapat diartikan sebagai berakhirnya hubungan suami istri karena ketidak

cocokan antara keduanya dan diputuskan oleh hukum. Perceraian merupakan peralihan

besar dalam penyesuaian dengan keadaan, anak akan mengalami reaksi emosi dan

perilaku karena kehilangan salah satu orangtuanya. Kata cerai bukan berarti hanya

menyangkut kedua belah pihak pasangan saja, yaitu ayah dan ibu.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dijelaskan hak-hak anak

mencakup; hak untuk kelangsungan hidup, hak untuk dilindungi, hak untuk diawasi

dan dibimbing tumbuh kembang optimalnya, dan hak partisipasi. 1 Sayangnya, tidak

banyak dari pasangan yang memperhatikan bagaimana dan apa yang sedang terjadi

pada anak ketika proses perceraian akan dan sedang berlangsung. Perceraian dijadikan

suatu alasan bagi orang tua untuk terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka

inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada

anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik

dari pada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan perkawinan yang

buruk. Pada saat inilah anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang

yang lebih besar untuk membantu mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa

sulit ini. Hubungan yang tidak rukun dengan orangtua akan lebih banyak menimbulkan

kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan

anak.

1
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak
Anak.
2
Berbagai macam kepedihan dirasakan anak korban perceraian seperti terluka,

bingung, marah, dan tidak aman. Sering pula mereka berkhayal akan rujuknya kedua

orangtua mereka. Realitanya diduga banyak anak dari keluarga yang bercerai memiliki

sikap bandel, nakal, pesimis, penakut, dan tidak konsentrasi dalam menerima pelajaran

di sekolah serta tidak percaya diri sehingga dalam bersosialisasi tidak dapat berjalan

dengan baik. Oleh karena itu keluarga merupakan bagian terpenting dalam

pembentukan kematangan emosi anak. hubungan yang baik dalam keluarga dapat

memberikan rasa aman dan percaya diri pada anak sehingga anak dapat menjalankan

tugas perkembangan masa remajanya dengan baik. Hubungan keluarga yang utuh di

asumsikan memberikan pengaruh yang besar terhadap kematangan emosi anak dalam

menghadapi berbagai macam kesulitan dalam bergaul dengan orang lain di luar rumah.

Sebagian besar anak-anak korban perceraian cenderung tidak dapat mengontrol emosi

dari orang tua mereka yang sudah bercerai, mengakibatkan keinginan untuk

melampiaskan rasa frustasi mereka dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan

peraturan misalnya saja memberontak dan sebagainya. Anak menjadi merasa kurang

diperhatikan, misalnya anak sering membolos, bertengkar dengan teman sebayanya,

jarang pulang ke rumah, mabuk-mabukan, geng motor, judi, perusakan fasilitas umum,

melanggar peraturan sekolah seperti ke sekolah terlambat, merokok di lingkungan

sekolah.2

Tingginya jumlah perceraian di Indonesia menjadi tolak ukur banyaknya anak-anak

yang menjadi korban perceraian. Menurut Data Badan Peradilan Agama selama

periode 2020 hingga 2022 terus mengalami peningkatan hingga 54% yaitu sebanyak

447. 743 kasus dan berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan oleh calon peneliti

2
Haris Yuliaji, 2018, Dampak Perceraian Orang tua terhadap Kondisi Emosi Anak. hlm 5-6.
3
di Kelurahan Nun Baun Delha, Kota Kupang Provinsi NTT bahwa jumlah kasus anak

nakal dengan rentang usia 17-21 tahun dari tahun 2020 sampai 2022 adalah sebesar

185 kasus. Tingginya angka perceraian ini, secara tidak langsung menunjukan

banyaknya anak-anak korban perceraian.

Berdasarkan peningkatan kasus serta fakta yang telah dijelaskan diatas, maka calon

peneliti ingin mengambil penelitian dengan judul “Perceraian dan Pengaruhnya

Terhadap Anak Yang Nakal di Kelurahan Nun Baun Delha Kota Kupang”.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengaruh perceraian terhadap anak yang menjadi nakal?

2. Bagaimanakah upaya orang tua dan pemerintah dalam mengatasi anak yang

menjadi nakal?

C. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penulusuran terhadap berbagai karya tulis yang berkaitan dengan

Perceraian dan Pengaruhnya Terhadap Anak yang Nakal, calon peneliti menemukan

ada beberapa penelitian terdahulu yaitu sebagai berikut:

1. Mahyuni (2005), Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarabiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatuallah dengan penelitian Pengaruh Perceraian Terhadap Kenakalan Remaja

(Study Kasus di Kelurahan Ketapang Tanggerang, Jakarta dengan rumusan

masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana tingkat kenakalan remaja di Kelurahan Ketapang?

b. Bagaimana pengaruh perceraian terhadap perkembangan anak setelah orang

tuanya bercerai?

c. Bagaimana peranan orang tua dalam mengantisipasi kenakalan remaja?

4
2. Taufikurahman, Hery Cahyono dan Maulana Akbar, (2015) Mahasiswa Prodi

Hukum Keluarga, Institut Agama Islam Negeri Antasari, dengan penelitian

Pengaruh Perceraian Orang Tua Terhadap Kenakalan Remaja di Kota Banjarmasin,

dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa bentuk kenakalan anak (remaja) yang orang tuanya bercerai di Kota

Banjarmasin?

b. Apakah perceraian orang tua mempengaruhi perilaku (anaknya) remaja di

Kota Banjarmasin?

c. Bagaimana sikap orang tua (yang bercerai) ketika mengetahui (anaknya)

remaja bersikap nakal?

3. Nicolaus Kensario Ndun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana,

(2022)

Sebagai calon peneliti dengan judul Perceraian Pengaruhnya Terhadap

Anak yang Nakal di Kelurahan Nun Baun Delha Kota Kupang, dengan rumusan

masalah:

a. Apakah pengaruh perceraian orang tua terhadap anak yang menjadi nakal?

b. Bagaimanakah upaya orang tua dan pemerintah dalam mengatasi anak

yang menjadi nakal?

Beberapa penelitian yang dijabarkan calon peneliti merupakan dua dari sekian

banyak tidak ditemukan kesamaan baik dalam judul maupun rumusan masalahnya. Dan

yang menjadi persamaan hanya pada objek penelitian yaitu Kenakalan Remaja.

Perbedaannya terdapat pada locus/tempat penelitian dari ketiga peneliti. Peneliti

pertama mengkaji mengenai tingkat kenakalan remaja, pengaruhnya terhadap kenakalan

5
remaja dan peran orang tua dalam mengatasi kenakalan remaja. Peneliti kedua mengkaji

mengenai bentuk kenakalan remaja, pengaruhnya terhadap perilaku remaja dan sikap

orang tua terhadap anak sebagai korban perceraian. Serta calon peneliti mengkaji

mengenai perceraian dan pengarunya terhadap anak yang nakal.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaruh perceraian terhadap anak yang menjadi

nakal.

b. Untuk mengetahui upaya orang tua dan pemerintah dalam mengatasi

anakyang menjadi nakal.

2. Manfaat

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini membahas tentang perceraian dan

pengaruhnya terhadap anak yang menjadi nakal, diharapkan melalui

penelitian ini bisa menambah dan memperkaya ilmu pembaca dibidang

hukum, khususnya tentang perceraian.

b. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi pasangan

suami-istri yang telah berkeluarga dalam mengambil keputusan untuk

bercerai.

6
2. Bagi masyarakat luas semoga dengan adanya penelitian ini dapat

memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakt berkaitan

dengan faktor dan akibat perceraian.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum

empiris. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada

dalam praktek di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Nun Baun Delha, Kota Kupang

3. Jenis dan Sumber Data

a. Data Primer

Jenis data ini adalah data yang diperoleh secara langsung dari narasumber

melalui wawancara dilokasi penelitian.

b. Data Sekunder

Jenis data ini adalah data yang dijadikan penulis sebagai landasan teori dalam

memecahkan dan menjawab. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka berupa

buku, dokumen, peraturan perundang-undang, karya ilmiah, jurnal dan literatur

yang berhubungan dengan objek penelitian yang akan dikaji oleh penulis.

c. Data Tersier

Jenis data ini adalah data yang diperoleh dari kamus, ensiklopedia dan undang-

undang.

7
4. Aspek yang diteliti
a. Perceraian dan pengaruhnya terhadap anak yang nakal.

b. Upaya orang tua dan pemerintah dalam mengatasi anak yang menjadi nakal

5. Populasi, Sampel dan Responden

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang terdiri dari manusia,

hewan, tumbuhan, peristiwa sebagai sumber data yang menilai karakteristik

tertentu dalam sebuah penelitian (Hermawan Rasito, 1990; 41). Dalam

penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pihak yang berhubungan

dan dapat dimintai keterangan tentang masalah yang diteliti pada Kelurahan

Nun Baun Delha Kota Kupang.

b. Sampel

Pada penelitian ini besarnya populasi tidak dapat diketahui secara pasti,

sehingga penulis memilih teknik pengambilan sampel mengguanakan teknik

Non Probability Sampling dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik Accidental Sampling (Convenience

Sampling). Teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan yakni siapa saja

yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat dijadikan sebagai sempel.

c. Responden

Yang menjadi responden dari penelitian ini adalah :

a. Kepala LSM Rumah Perempuan : 1 Orang

b. Kepala P2TP2A : 1 Orang

c. Pasangan suami-istri yang telah bercerai : 5 Pasang (10 Orang)

d. Anak dari orang tua yang telah bercerai : 5 Orang Anak

8
Total : 17 Orang

6. Teknik Pengumpulan Data

Tekni pengumpulan data yang digunakan dalam penelitinan ini terdiri dari 2 (dua)

cara yaitu :

a. Teknik Wawancara, yaitu untuk mendapatkan data yang lebih konkret, calon

penulis melakukan wawancara dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan

kepada narasumber terkait dengan masalah yang diangkat oleh calon peneliti.

b. Studi Kepustakaan, yaitu menelaah data sekunder berupa buku-buku literatur,

dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya

dan mendukung penelitian ini.

7. Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya peneliti mengelolah data

sebagai berikut:

1) Editing adalah pemilihan data yang diperoleh sehingga menjadi

terstruktur untuk memastikan data tersebut sudah lengkap untuk diolah

dan analisis.

2) Coding adalah pemberian kode terhadap data yang telah dikumpulkan

dengan memberikan tanda ceklis untuk data yang dibutuhkan.

b. Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer atau data sekunder akan dioleh dan

dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga

9
diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang simpulan atau hasil

penelitian penelitian yang dicapai. Data yang diolah kemudian disajikan secara

deskriptif, yaitu menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitanya dengan penelitian ini guna memberikan

pemahaman jelas dan terarah yang diperoleh dari hasil penelitian nantinya.

10
F. Kerangka Berpikir

Perceraian dan Pengaruhnya Terhadap


Anak yang Nakal di Nun Baun Delha
Kota Kupang

Pasangan Suami-Istri Anak yang Nakal


yang telah bercerai

Pengaruh Perceraian Terhadap Upaya Orang Tua dan Pemerintah


Anak yang Nakal di Kelurahan dalam mengatasi Anak yang Nakal di

Nun Baun Delha Kota Kupang? Kelurahan Nun Baun


Delha Kota Kupang?

Solusi

11
a. Penjelasan Kerangka Berpikir :
Perceraian diartikan sebagai berakhirnya hubungan suami istri karena ketidakcocokan

antara keduanya dan diputuskan oleh hukum. Perceraian sendiri merupakan peralihan besar

dalam penyesuaian dengan keadaan, anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena

kehilangan salah satu orangtuanya. Perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak,

meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik dari pada

membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan perkawinan yang buruk. Pada

saat inilah anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang yang lebih besar

untuk membantu mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa sulit ini. Hubungan

yang tidak rukun dengan orangtua akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan

kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan anak.

Sebagian besar anak-anak korban perceraian cenderung tidak dapat mengontrol emosi dari

orangtua mereka yang sudah bercerai, mengakibatkan keinginan untuk melampiaskan rasa

frustasi mereka dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan misalnya saja

memberontak dan sebagainya. Anak menjadi merasa kurang diperhatikan, misalnya jarang

pulang ke rumah, mabuk-mabukan, geng motor, judi, perusakan fasilitas umum, dsb.

Dalam penelitian ini calon peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai perceraian dan

pengaruhnya terhadap anak yang nakal serta upaya yang dilakukan orangtua dan pemerintah

dalam mengatasi kasus anak yang nakal di Kelurahan Nun Baun Delha. Calon peneliti

berharap dengan diadakan penelitian ini pada akhirnya akan membuahkan solusi yang baik

bagi orang tua serta anak.

12
G. Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Tentang Perceraian

Perceraian berasal dari kata cerai, yang berarti pisah dan talak, kata cerai

berarti berpisah, sedang kata talak artinya sama dengan cerai. Kata mentalak

berarti menceraikan.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi Ketiga

“Perceraian” adalah perpisahan, sedangkan kata cerai adalah putus hubungan

sebagai suami istri, dengan penjelasan perpisahan antara suami istri selagi kedua-

duanya masih hidup. ”Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan,

perceraian adalah salah satu sebab putusnya ikatan perkawinan dan perceraian itu

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 3

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberikan pengertian

perceraian secara umum namun hanya pengertian perceraian dapat terjadi karena

talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Berdasarkan Pasal 117 KHI mengatur

pengertian talak bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan

agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara

sebagaimana dimaksud Pasal 129, Pasal 130, dan Pasal 131.4

Menurut Subekti, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan

putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan. Kemudian Ali

Afandi dalam Subekti mengatakan bahwa perceraian adalah salah satu sebab

bubarnya perkaawinan. Sudarsono juga menjelaskan bahwa perceraian

3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 38.
4
Kompilasi Hukum Islam. Pasal 117, Pasal 129, Pasal 130, Pasal 131.
13
sama halnya dengan meninggalkan pihak lain tanpa izin dan alasan yang sah atau

hal lain diluar kemampuannya.5

Perceraian (divorce) merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak

direncanakan dan dikehendaki kedua individu yang sama-sama terikat dalam

perkawinan. Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau

kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka

berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami-istri. Selain itu, perceraian

adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan.6

Selain itu perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan,

menyempurnakan cinta antar suami istri.7 Perceraian bagi kebanyakan orang

adalah sebagai masa transisi yang penuh kesulitan terutama jika dikaitkan dengan

harapan-harapan masyarakat tentang perceraian. Jika masyarakat memandang

perceraian sebagai suatu yang tidak patut, maka dalam proses penyesuaian

kembali seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi.

Perceraian dapat terjadi apabila pasangan suami isteri sudah tidak mampu

menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi diantara mereka.

Sebenarnya dapat dikatakan bahwa perceraian tidak selamanya menjadi hal buruk,

kadang perceraian memang jalan terbaik bila melihat dampak yang akan terjadi

pada anak maupun anggota keluarga lain apabila pernikahan tetap dilanjutkan.

5
Subekti, 1985, Pokok-pokok hukum perdata, Jakarta: Intermasa, hlm 42.
6
Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : Ghalia Indonesia. hlm 160.
7
Badrus, 2003. Memahami Pola Pengasuhan Orangtua pada remaja. Jurnal Intelektual. I (II). hlm 45.
14
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa perceraian adalah

titik akhir dari berbagai konflik dalam perkawinan yang tidak dapat diselesaikan,

dan sebenarnya tidak direncanakan dan tidak dikehendaki.

B. Tinjauan Tentang Anak


Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara

pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu

ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri.

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif

di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau

person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur

(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang

dibawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi batasan mengenai

pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum

berumur 21 (dua puluh satu) tahun, seperti yang dinyatakan dalam pasal 330 yang

berbunyi belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua

puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.8

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang

yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.9

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, anak adalah setiap manusia yang

8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 330.
9
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979. Pasal 1 angka 2.
15
berusia dibawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang lain

yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan anak adalah orang yang

dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.10

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia

dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih

dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.11

Sementara Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.12

Dengan demikian maka pengertian anak (juvenile) pada umumnya adalah

seorang yang masih di bawah umur tertentu, yang belum dewasa dan belum

pernah kawin.

C. Tinjauan Tentang Kenakalan Anak

Kenakalan anak diambil dari istilah Juvenale delinquency tetapi kenakalan

anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia delinquency diartikan sebagai tingkah laku yang

menyalahi secara ringan meliputi norma dan hukum yang berlaku dalam

10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pasal 1 angka 1
11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 angka 5
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal angka 1.
16
masyarakat.

Kenakalan anak menunjuk pada suatu bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan

norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Anak yang nakal itu disebut pula sebagai

anak cacat sosial. Para anak menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang

ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku anak dinilai oleh masyarakat sebagai suatu

kelainan dan disebut “kenakalan”.

Dalam segi hukum kenakalan anak digolongkan dalam dua kelompok yang

berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu :

(1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-

undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum;

(2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan

undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar

hukum bila dilakukan orang dewasa.13

Menurut Romli Atmasasmita, delinquency adalah perbuatan atau tindakan

yang dilakukan oleh seorang anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin yang dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang

berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat dirasakan serta ditafsirkan sebagai

perbuatan yang tercela.14

Kenakalan remaja menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat atau

dursila, kejahatan atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit

(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu

bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk

pengabaian menjadi tingkah laku yang menyimpang. Kartini Kartono menegaskan

13
Gunarsa, Psikologi Remaja. Gunung Mulya, Jakarta, 1988. Hal. 19.
14
Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama, hlm 67
17
bahwa deliquency selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan

dan keganasan yang dilakukan anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.15

Menurut Soedjono Dirjosisworo, mengatakan bahwa kejahatan dapat

ditinjau dari:

a. Menurut segi yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan

pelanggarannya diancam dengan sanksi;

b. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang

berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat.

c. Segi psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat

melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiawaan

dari perbuatan pelaku.16

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

delinquency merupakan perilaku anak yang menjerumus pada tindak pidana

karena mengganggu ketertiban, meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang hidup serta berkembang dalam masyarakat.

Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak istilah anak nakal tidak dikenal lagi tetapi digunakan istilah

anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: “Anak yang berkonflik

dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.”

15
Kartini Kartono 2010, Psikologi Sosial, Penerbit Rajawali Jakarta. hlm 6.
16
Soedjono Dirdjosisworo, 1977, Ilmu Jiwa Kesehatan, Bandung: Karya Nusantara. hlm 20.
18
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa.

Anonymous, 2015, Paduan Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
Badrus, 2003. Memahami Pola Pengasuhan Orangtua pada remaja. Jurnal Intelektual. I (II). hlm
45.
Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia

Kartini Kartono, 2010, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers.

Liza Agnesta Krisna, 2018, Hukum Perlindungan Anak: Panduan Memahami Anak Yang

Berkonflik Dengan Hukum, Yogyakarta: Deepublish.

Maidin Gulton, 2014, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di

Indonesia, Bandung: Refika Aditama.

P. N. H. Simanjuntak, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Pustaka

Djambatan.

Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta: Intermasa,1985).

Sarwono, S.W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soedjono Dirdjosisworo, 1977, Ilmu Jiwa Kesehatan, Bandung: Karya Nusantara.

Soekanto, Soerjono, 2012 Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta : Universitas Indonesia : Press.

Willis, Sofyan S. 2008, Remaja dan Masalahnya Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja

Seperti Narkoba, Free Sex Dan Pemecahnya. Bandung : Alfabeta.

Gunarsa, Singgih D. 2004. Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga, Cetakan. 7. Jakarta :

PT. Gunung Mulia.

19
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention

On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).

JURNAL

Dyah Ayu Retnowulan dan Hadi Warsito, 2013 “Penerapan strategi pengelolaan diri (self

management) untuk Mengurangi Kenakalan Remaja Korban Broken Home” Jurnal BK

Unesa, Vol.03, No. 01.

Paramitha Dhutu Anindyajati, 2013, “Status Identitas Remaja Akhir: Hubungannya dengan Gaya

Pengasuhan Orang Tua dan Tingkat Kenakalan Remaja” Character, Vol. 01, No. 02.

20

Anda mungkin juga menyukai