TENTANG
HOME LEST (KEADAAN PESIKOLOGIS SEORANG ANAK YANG MEMILIKI
ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI
DOSEN PENGAJAR : ERNI FATURRAHMAH, SST, M., Kes
`Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenaan-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
Makalah yang berjudul “Home Lest (Keadaan Pesikologis Seorang anak yang
memiliki orang tua yang telah bercerai “ merupakan tugas mata kuliah Askeb II
PERSALINAN.Makalah ini sesuai dengan bahan dan sumber yang telah penulis peroleh.
Namun demikian,saya selaku penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan kami
dalam menyusun makalah ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,kami juga
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak terutama dari para Dosen dan teman-
teman sekalian untuk menyempurnakan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua yang akan menuju kedalam
kesuksesan.
Atas perhatiannya,saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis K-1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan tempat hangat yang mampu dan bersedia menerima setiap
kekurangan dan kelebihan yang dimiliki.Kelurga adalah tempat pulang yang selalu
dirindukan oleh siapapun. Namun, berbeda hal nya dengan kasus yang akan dibahas kali ini
yakni perceraian. Perceraian dalam Indonesia sudah tidak asing lagi didengar.Seperti sebuah
hal yang kian hari semakin bertambah jumlah orang yang melayangkan gugatan
perceraian.Data perceraian di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2015-2018)
kecenderungan perkara putusan (inkracht) perceraian di Pengadilan Agama seluruh Indonesia
saja mengalami peningkatan.Kecenderungan perkara perceraian yang diputus dalam 3 tahun
terakhir di kisaran 353.843 hingga 374.516 perkara.
Dari data yang dijelaskan diatas dapat kita ketahui bahwasannya di Indonesia angka
perceraian kian meningkat.Dampak yang timbul dari kasus perceraian ini pula tidak hanya
dirasakan oleh sepasang suami istri namun juga dialami oleh anak dan kedua keluarga.
Sepasang suami istri yang mengalami perceraian pun akan mengalami dampak buruk nya
seperti sulit memberi kepercayaan pada orang lain, ada banyak omongan disekeliling, dan
psikis nya yang tersakiti. Sedangkan dampak yang dialami oleh anak nya itu terdapat impact
yang berbeda-beda sesuai umur anak tersebut. Jika, pasutri itu berpisah dan memiliki anak
yang masih balita kemungkinan dampak negative nya masih tidak begitu besar tapi jika anak
nya telah memasuki fase anak-anak atau remaja akan lebih mendapat pengalaman yang tak
baik dan kenangan yang pahit.
Hal ini dapat mengubah sikap anak-anak mereka dari yang pendiam menjadi brutal,
aktif menjadi lebih menarik diri dari sekeliling, anak yang berprestasi semakin menurun, dan
anak yang tidak pernah kenal alcohol akan memilih alcohol ketika mendengan kedua orang
tua mereka bercerai dan masih banyak sekali dampak-dampak buruk yang dialami oleh buah
hati yang merasakan perceraian. Walaupun jika, sepasang suami istri ini berpisah secara baik-
baik dan tetap menjalin silaturahmi yang baik tetap saja psikis dan memori anak tidak akan
pernah bisa menyangkal nya. Namun, kadangkala ada anak yang mampu bangkit dari
keterpurukan fakta perceraian kedua orangtuanya.
B. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
A. PERCERAIAN
Perceraian adalah keputusan sepasang suami istri untuk saling berpisah, tidak lagi
tinggal satu atap, dan memutuskan ikatan suci pernikahan.Terdapat beberapa faktor pemicu
timbulnya keputusan untuk bercerai.Dariyo (2008) mengatakan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya perceraian diantaranya ialah masalah keperawanan, perselingkuhan,
kebutuhan finansial, tidak memiliki keturunan, perbedaan prinsip agama dan perbedaan
ideologi.Hal-hal yang telah disebutkan diatas dapat memicu sepasang suami istri untuk
memutuskan berpisah.
Fenomena nikah muda juga dapat menjadi penyebab perpisahan antara sepasang
suami istri dikarenakanusia mereka yang masih belum matang dan emosional yang masih
belum dapat meregulasi dengan baik menjadikan cerai sebagai jalan keluar yang terbaik bagi
mereka berdua. Kondisi emosional anak pasca Masalah ini menjadi menarik dan penting
untuk diulas karena fenomena yang terjadi dalam Indonesia ini adalah tingkat perceraian
dalam Indonesia semakin tahun juga meningkat jumlah pasutri yang mengajukan perceraian
dimana dari keputusan yang besar itu dapat memberi dampak yang buruk bagi anak
mereka.Penulis memilih topik ini karena dirasa hal ini juga membutuhkan perhatian khusus
untuk menanganinya.
Dampak psikologis anak yang mengalami broken home atau perceraian kedua orang
tua diantaranya ialah sulit bergaul, wujud kasih sayang yang sedikit, gangguan mental, benci
kepada salah satu orang tua atau keduanya, anxiety disorder, memberontak, kasar atau dingin,
menarik diri untuk bersosial. Hal yang disebutkan diatas merupakan beberapa gejala
psikologis yang akan dialami oleh anak broken home. Namun, dalam artikel kali ini penulis
tetap tekankan bahwasannya tidak semua anak yang merasakan broken home akan
mengalami beberapa gejala atau gangguan psikologis. Ada beberapa juga anak yang broken
home namun, mereka mampu belajar dari pengalaman sebelumnya yang akhirnya ia mampu
menerima keadaan dan bangkit kembali dan masih mendapat dukungan yang penuh dari
kedua orang tua.
Teknik konseling untuk mengatasi permasalahan ini bagi anak yang merasakan
pengalaman pahit terkait broken home salah satunya menggunakan teknik rational emotive
behavior. Teknik ini bertujuan untuk mengubah persepsi-persepsi yang irrasional dalam
fikiran seseorang. Proses konseling rational emotive behaviortidak menekankan kepada
sejarah atau cerita masalalu seseorang melainkan lebih berfokus kepada masa
sekarang,mengubah pola pikir yang irrasional, pengalaman client yang dirasakan memberi
pengaruh pada kehidupan yang sekarang, sehingga seorang konselor tidak begitu terpacu
dengan kondisi masa lampau nya atau dalam artian tidak begitu fokus terhadap kejadian
masalalu yang kemudian dihubungkan dengan keadaan sekarang.
Tujuan teraupetik dalam (Ellis,. 1973. hal. 184) menunjukkan bahwa banyak jalan
yang digunakan dalam rational emotive behavior dan tiarahkan pada satu tujuan yaitu :
meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk
memperoleh filsafat hidup yang lebih realistic. Menurut Ellis, tujuan utama psikoterapis
adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi diri mereka masih merupakan sumber
utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka. Ringkasnya, porses
teraupetik ini terdiri atas penyembuhan irrasionalitas dengan rasional.Karena individu pada
dasarnya adalah makhluk rasional dank arena sumber ketidakbahagiaannya adalah
irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional.
Pemikiran irasional yang dimaksudkan diatas adalah seperti gagasan pemikiran anak
yang merasa tidak lagi mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya, merasa
menjadi anak yang serba salah, merasa tidak lagi mampu meraih cita-cita yang hilang kendali
akibat perceraian kedua orangtuanya.jika dapat dipahami penulis akan menjelaskan beberapa
tahapan teknik untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama seorang konselor akan
mereeduktif dengan mengajak klien untuk berpikir tentang bagaimana gagasan dasar yang
irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku, kemudian jika tahapan
tersebut selesai konselor akan menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya,
kemudian konselor menunjukkan ketidaklogisan pemikiran klien, menggunakan suatu
analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
Selanjutnya konselor menujukkan bahwa keyakinan itu tidak ada gunanya dan
menggambarkan keyakinan irasional itu dapat mengakibatkan gangguan-gangguan emosional
dan tingkah laku dimasa depan, menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi
irasionalitas pikiran klien, menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa
diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional dan memiliki dasar empiris, kemudian yang
terakhir mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir
sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan yang irasional.
Metode rational emotive yang lainnya adalah dengan menggunakan teori A-B-C.A
merupakan keberadaan suatu fakta, peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang.C adalah
konsekuensi atas reaksi emosional seseorang, reaksi bisa menjadi reaksi yang layak atau
reaksi yang tidak layak. B merupakan keyakinan individu terkait A yang menjadi penyebab,
C yang menjadi reaksi emosional dari penyebab. Misalkan seorang anak merasakan pengaruh
perceraian yang hebat untuk kehidupannya, anak ini merasa hancur dengan keputusan yang
dibuat oleh kedua orangtuanya.Sampai pada akhirnya anak ini merasakan kehilangan kedua
sayap pelindung dengan depresi, uring-uringan, dan terdapat gejala anxiety disorder.
Keyakinan anak itu tentang perceraian kedua orangtuanya sebagai suatu hal yang buruk,
kehilangan figure kasih sayang dalama satu atap, dan ia yakin akan bingung memilih antara
kedua orangtuanya. Setelah melewati metode ini seorang klien akan dapat mudah
mengidentifikasi hal apa saja yang harus dirubah terutama terkait persepsi yang ia tanamkan.
Dengan begitu klien mulai dapat menganalisa kesalahan-kesalahan pemikiran irasional yang
dapat memacu gangguan-gangguan mental.
Kesimpulan dari fakta yang telah disebutkan diatas perceraian memiliki dampak yang
besar bagi anak dan bagi sepasang suami istri.Hal ini ditandai dengan gejala-gejala yang
timbul pada anak pasca perceraian kedua orangtua dan juga perasaan bersalah karena tidak
berhasil menjadi orangtua yang baik dala sudut pandang orangtua.Saran yang diberikan oleh
penulis adalah jika terdapat kasus seperti yang telah dijelaskan diatas sangat diharapkan bagi
kedua orangtua tetap memberikan kasih sayang dan dukungan yang penuh untuk buah
hatinya, untuk lingkungan sekelilingnya juga sangat diharapkan selalu memberi dorongan
yang positif pada anak yang mengalami broken home.
Keluarga merupakan lingkungan utama pada setiap individu. Sebelum seorang anak
mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu dikenalkan dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang ada dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepibadiannya. Dalam
lingkungan keluarga, setiap anggota keluarga harus dapat merasakan perasaan dan suasana
anak dan anggota keluarga yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama
anggota keluarga. Sehingga terjalin rasa saling pengertian satu sama lain dalam
menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga. Keadaan keluarga yang tenang,
menyenangkan, dan harmonis akan membantu proses pembentukan kepribadian,
perkembangan dan pendidikan anak dengan baik, begitupun sebaliknya keadaan keluarga
yang tidak harmonis akan berpengaruh buruk terhadap proses pembentukan kepribadian,
perkembangan dan pendidikan anak. Fakta membuktikan kebanyakan anak yang cenderung
nakal disebabkan adanya pengaruh negatif dari ketidakharmonisan keluarga atau perpecahan
keluarga.
Dalam sebuah keluarga atau rumah tangga tentu tidak selamanya akan harmonis
sesuai dengan yang diharapkan. Namun, ada beberapa faktor yang menjadi penghambat
keharmonisan rumah tangga, baik itu faktor yang disengaja ataupun tidak disengaja. Faktor-
faktor tersebut akan memicu konflik yang akan menyebabkan putusnya hubungan rumah
tangga atau yang lebih dikenal dengan perceraian. Perceraian adalah hal yang diperbolehkan
dalam agama islam tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT karena mengakibatkan banyak
dampak buruk terhadap anak. Bagi seorang anak perceraian dianggap sebagai tanda kematian
keutuhan keluarganya, seperti separuh diri dari anak telah hilang, dan beranggapan bahwa
hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai serta mereka harus menerima
kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa
rindu yang mendalam terhadap ayah atau ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi.
Perceraian bukan lagi hal asing di Indonesia, karena sudah memasyarakat dan banyak
dipilih oleh pasangan suami istri dalam menyelesaikan permasalahan sebuah rumah tangga
tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi pada anak mereka. Tidak sedikit anak yang
menjadi nakal, prestasi belajarnya menurun, mengkonsumsi obat-obat terlarang, minum
minuman beralkohol, mengalami depresi, dan lain sebagainya karena pengaruh dari kasus
perceraian. Namun, perceraian dalam keluarga tidak selalu membawa dampak negatif. Sikap
untuk menghindari suatu konflik, rasa tidak puas, perbedaan paham yang terus-menerus,
maka peristiwa perceraian adalah satu-satunya jalan keluar untuk memperoleh ketentraman
diri. Dengan memperoleh ketentraman diri tersebut maka dapat dikatakan bahwa perceraian
hanya berdampak positif bagi pasangan suami istri telah bercerai, bukan untuk anak-anak
mereka.
Dalam keluarga manapun perceraian akan menjadi suatu penyesuian diri seorang anak
yang setelah perceraian hanya tinggal dengan salah satu dari orang tua mereka. Reaksi anak
terhadap perceraian orang tuanya sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku
sebelum, selama dan sesudah perceraian. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan, dan
kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialami
selama masa sulitnya. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam
bentuk perilaku, kesulitan belajar, atau berkurangnya interaksi dengan orang-orang di
lingungan sekitar tempat tinggalnya.
Dampak perceraian dapat dilihat dari tingkah laku anak yang sangat jauh berbeda
dengan sikapnya sebelum kedua orang tuanya bercerai. Tingkah laku mereka yang sering
ditunjukkan setelah orang tua bercerai tersebut antaralain suka mengamuk, menjadi kasar,
agresif, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak
berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi disekolah cenderung menurun, serta suka
melamun terutama mengkhayalkan orang tuanya akan bersatu lagi. Tidak dapat disangkal
bahwa anak akan sedih bila mereka menyaksikan perkelahian orang tuanya terlebih bila
pertengkaran tersebut menyebabkan perceraian. Kurangnya perhatian orang setelah
perceraian juga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Merasa kasih sayang orang tua
yang didapatkan tidak utuh, anak akan mencari perhatian dari orang lain atau bahkan ada
yang merasa malu, minder, dan tertekan. Anak-anak tersebut umumnya akan mencari
pelarian dan tidak jarang yang akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas. Hal yang paling
berat dalam kasus perceraian adalah bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik
dan menciptakan keakraban lagi antar kedua orang tua. Pengaruh orang tua dapat
menciptakan kekuatan pada diri anak. Meskipun demikian, kasus perceraian itu tetap
membawa dampak dalam perkembangan sosial dan emosi anak.
Menurut bapak caya tokoh desa menyatakan perlindungan anak merupakan perlindungan
yang mengupayakan agar setiap hak anak tidak dirugikan.Seorang anak tidak boleh dirugikan
hak-haknya mau orang tuanya sebelum bercerai ataupun sesudah bercerai. Namun,
kebanyakan orang tua (ayah) setelah bercerai dan hak asuhnya berada pada ibu maka secara
otomatis mereka tidak ada kewajiban lagi atas perlindungan anak.Pengertian inilah yang lebih
banyak di fahami oleh masyarakat Mekarsari pada umumnya.2
Carey Gerald,. (2013). Teori dan praktek konseling dan Psikoterapi, Theory and
practice of conseling and psychotherapy. PT. Refika. Bandung. 2013.
Gooh, M.L., Ku Suhaila, K.J., Zuria, M., Nasri, M.A., (2018).Sandtray for Children of
Divorced Parents.International Journal of Academic Research in Business and Social
Sciences. 8 (4): 1224-1234.