Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL WAWANCARA:

“PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA BROKEN HOME”

DISUSUN OLEH :
M. CATUR DAFFA RENARA 1724090036
DEVINDI PUTRI 1724090038
ATHAYA RANA 1724090039
RANIAH IMANI PUTRI 1724090045
ILHAM ADHADA 1724090119

Kelas: Selasa, 9.30 – 12.00


Dosen: Dian Ariyana, S.Psi., M.Psi

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I.


JALAN PANGERAN DIPONEGORO NO. 74, RT.2/RW.6, KENARI,
SENEN,KOTA JAKARTA PUSAT, DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA, 10430

2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerimaan diri merupakan kesadaran dan kemauan individu untuk hidup


dengan kekurangan dan kelebihan dalam dirinya terlebih keluarga merupakan
lembaga pertama dan utama bagi anak, peranan orangtua sangat penting dalam
pembentukkan kepribadian dan tumbuh kembang anak misalnya mendapat
bimbingan dan pendidikan melalui orangtua. Melalui keluarga kita dapat
mengenal arti hidup. Namun, pada kenyataannya tidak semua keluarga dapat
menjalankan kehidupan berumah tangga dengan baik sebab begitu banyak
kasus perceraian yang terjadi di dunia.

Keretakan sebuah keluarga terutama yang berujung pada perceraian senantiasa


membawa dampak yang mendalam, seperti memicu stres, tekanan, dan depresi
sehingga dapat menimbulkan perubahan fisik dan psikologis pada seluruh
anggota keluarga (Dagun, 1990). Konflik yang terjadi juga membawa
perubahan dalam komposisi keluarga, peran, hubungan, masalah ekonomi,
serta membawa dampak yang signifikan pada fungsi suatu keluarga. Quensel,
Paul, Aoife, Auke, Bloom, Johnson, dan Kolte (2002) menggunakan istilah
broken home untuk menggambarkan kondisi keluarga yang tidak harmonis
dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun akibat sering terjadi konflik,
keadaan labil, dan komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak
ada.

Penerimaan diri adalah sikap yang mencerminkan perasaan senang sehubungan


dengan kenyataan yang ada pada dirinya, sehingga seseorang yang dapat
menerima dirinya dengan baik dan akan mampu menerima kelemahan dan
kelebihan yang dimiliki (Chaplin, 2000).

2
1.2 Fenomena Masalah
Mencari tahu penyebab seperti apa yang di alami oleh remaja broken home,
lalu seberapa parah yang ia alami dan bagaimana ia menyikapinya. Juga untuk
mengetahui pengaruh psikologis pada anak remaja broken home dan
bagaimana penerimaan terhadap dirinya yang sebagai remaja broken home di
lingkungan keluarga dan teman.

1.3 Hasil Peneltian Terdahulu


 Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan melalui
wawancara dan observasi dengan lima orang responden dan satu orang
informan, diperoleh beberapa faktor yang memengaruhi terbentuknya
dinamika penerimaan diri pada remaja broken home di Bali. Adapun
faktor-faktor yang ditemukan tersebut merupakan faktor eksternal
yang secara garis besar dapat dikelompokan sebagai faktor keluarga
dan faktor sosial.

a. Faktor keluarga terdiri dari kesempatan dan harapan orangtua rujuk,


serta praktik pengasuhan yang membentuk gaya kelekatan antara
remaja dengan orangtua

b. Faktor sosial terdiri dari tiga jenis yaitu budaya, dukungan sosial,
serta stresor dan stimulus lingkungan. (Ida Ayu Shintya Dewi dan
Yohanes Kartika Herdiyanto Program Studi Psikologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana).

 Hasil data di lapangan menunjukkan bahwa subjek yang dibesarkan


dari kondisi orangtua yang bercerai merasa bahwa dirinya tidak
seberuntung teman-temannya yang lain. Korban perceraian yang
terjadi pada remaja menjadikan subjek kecewa dengan salah satu
orangtuanya. Reaksi penerimaan diri subjek yang mengetahui orang
tuanya akan bercerai hanya berdiam, sedih, murung, dan pasrah pada
keadaan namun subjek perlahan dapat menerima kejadian bahwa

3
orangtuanya telah bercerai. Menerima diri bukanlah berarti pasrah apa
adanya, melainkan menerima segala bentuk kenyataan yang menimpa
diri sendiri dengan alasan untuk memperbaiki diri (Ubaedy, 2008).
Penelitian Tentama (2012) tentang manfaat penerimaan diri pada
difabel yaitu sebagai pendorong untuk mengembangkan diri meskipun
kemampuan yang dimiliki terbatas. Tentama (2011) dan Tentama
(2012) dalam hasil penelitian yang lain bahwa kemampuan penerimaan
diri dapat menurunkan inferioritas pada difabel sehingga menerima
keadaan diri secara realistis. Remaja yang berada dalam masa transisi
diharapkan dapat menumbuhkan penerimaan diri yang baik. Remaja
dengan kondisi orangtuanya yang bercerai tidak ingin mendapatkan
rasa iba dari orang sekitar tentang statusnya sebagai anak korban
perceraian orangtua. Subjek mempunyai harapan yang besar agar suatu
saat dapat menjadi orang yang sukses, dapat membahagiakan ibunya,
dan subjek juga berharap dapat bertemu ayahnya dikemudian hari.
Penerimaan diri pada remaja tersebut ingin diwujudkan dengan tekad
yang kuat agar dapat mencapai kesuksesan di masa depan. (Ubaedy,
2008) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah sebuah tekad untuk
mempersiapkan diri dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik. Penerimaan diri terbentuk berdasarkan beberapa faktor yang
mempengaruhinya, antara lain aspirasi yang realistis, keberhasilan,
wawasan diri, wawasan sosial, dan konsep diri yang stabil (Hurlock,
1999). Penelitian Tentama (2010) pada anak difabel ditemukan bahwa
kemampuan menjalani hidup dengan nyaman serta dapat mengatasi
problematika hidup dikarenakan adanya pikiran positif meski
mengalami kenyataan bahwa kondisi fisiknya yang serba kekurangan.
Penelitian Tentama (2014) juga menunjukkan adanya hubungan positif
yang sangat signifikan antara berpikir positif dengan penerimaan diri.
Tentama (2011) Adapun hubungan penerimaan diri dengan inferioritas
pada seseorang berdifat negatif, semakin tinggi penerimaan diri maka
semakin rendah inferioritas seseorang. (Leidy Karunia Sari Fakultas
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta).

4
 Penelitian dan Pembahasan Secara garis besar keseluruhan subjek
remaja pada penelitian ini mengalami dampak dari perceraian orang
tuanya, yaitu dampak pada kondisi psikologis dan prilaku para subjek
remaja pada penelitian ini dan akhirnya hal tersebut mempengaruhi
proses penerimaan diri dari keempat subjek remaja kemudian subjek
remaja pada penelitian ini berusaha mengatasi masalah penerimaan diri
mereka akibat perceraian orang tunya dengan melakukan strategi
coping. Seluruh subjek remaja dalam penelitian ini lebih cenderung
menggunakan strategi emotion focused coping, yaitu strategi yang
berfokus pada emosi, hal ini sesesuai dengan apa yang dirasakan
keempat subjek remaja pada penelitian ini, bahwa subjek yang
mengalami perceraian orang tua pada masa remaja cenderung
menggunakan emotion focused coping, yaitu coping escapism,
minimization dan coping seeking meanin. Berdasarkan hasil
wawancara dan pernyataan masing-masing subjek, bahwa subjek
menggunakan strategi emotion focused coping yang ditunjukkan
dengan beberapa sikap seperti, subjek menggunakan cara menyangkal
atau bertingkah seakan-akan tidak adanya permasalahan dalam diri
dengan menyangkal bahwa tidak ada masalah seperti tidak adanya
keinginan untuk mencampuri urusan perceraian (escapism), lebih
banyak tidak ingin memikirkan permasalahan orangtuanya, merasa
bentuk pengalihan perhatian seperti menghindar adalah cara terbaik
dan bentuk pengalihan perhatian itu seperti, menghindar berada di
rumah karena merasa tidak nyaman, mengisi waktu dengan bersenang-
senang bersama teman, bermain di luar rumah bersama teman dengan
bermain game online, jalan ketempat tujuan yang ingin dikunjuungi,
shopping, hangout dan mengisi waktu dengan hobby yang disukai
tujuannya agar dapat melupakan hal yang membuatnya stres seperti
masalah perceraian orang tuanya (minimization). Subjek juga merasa
ada sisi positif dari perceraian orangtua subjek yaitu adanya
kepasrahan dan keyakinankan nasib yang diberikan Tuhan YME dan

5
mengambil hikmah juga nilai positif dari masalah yang telah terjadi
orangtuanya (coping seeking meaning). (Dwi Winda Lestari)

1.4 Tujuan dan Manfaat


I. Tujuan
 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang
bagaimana penerimaan diri terhadap remaja broken home dan
sikap yang bisa kita ambil dari penelitian ini.
 untuk mengetahui bagaimana anak broken home, khusus nya
remaja menerima keadaan dan bisa bersikap dalam keadaan
tersebut.
 untuk mengetahui efek penerimaan diri pada remaja broken home.

II. Manfaat
1. Menambah wawasan tentang penerimaan diri pada remaja dan
bagaimana peran orangtua dalam masalah broken home.
2. Memberi pandangan baik kepada orang lain bahwa tidak semua
remaja broken tidak menerima keadaan mereka.

6
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Variable Penelitian dan Defisni Operasional


I. Variable Penelitian
Variabel merupakan sesuatu yang menjadi objek
pengamatan penelitian, sering juga disebut sebagai faktor yang
berperan dalam penelitian atau gejala yang akan diteliti. Menurut
Kerlinger (2006: 49). variabel adalah konstruk atau sifat yang akan
dipelajari yang mempunyai nilai yang bervariasi. Variable dibagi
menjadi dua, bebas dan terikat. Dalam penelitian ini variable nya
adalah Penerimaan diri terhadap remaja broken home.

II. Definisi Penerimaan Diri


Penerimaan diri atau self-acceptance bisa di definisikan dalam
beberapa pengertian dari beberapa sumber referensi yang ada. antara
lain adakah salah satunya Menurut Chaplin (2004), penerimaan diri
adalah sikap pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri,
kualitas-kualitas, bakat-bakat sendiri dan pengakuan akan
keterbatasan-keterbatasan diri. Lalu ada pun menurut Hurlock
(2006), penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan
keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya.
Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu
yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki
beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak
memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan atau
bisa juga penerimaan diri adalah menerima semua segi yang ada
pada dirinya, termasuk kelemahan-kelemahan dan kekurangan-
kekurangan serta tidak menyerah kepada kelemahan-kelemahan dan
kekurangan-kekurangan tersebut (Schultz, 1991). Dan menurut
Germer (2009), penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk

7
dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa dirinya yang
sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya,
melainkan harus dikembangkan oleh individu.

c. Aspek-aspek Strategi
Menurut Jersild (1978), terdapat beberapa aspek dalam penerimaan
diri, yaitu sebagai berikut:
-Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Individu
yang memiliki penerimaan diri berpikir lebih realistis tentang
penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam pandangan orang lain.
-Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang
lain. Individu yang memiliki penerimaan diri memandang
kelemahan dan kekuatan dalam dirinya, lebih baik dari pada
individu yang tidak memiliki penerimaan diri.
-Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri. Seseorang
individu yang terkadang merasakan inferioritas atau disebut
dengan infiriority complex adalah seseorang individu yang tidak
memiliki sikap penerimaan diri dan hal tersebut akan menunggu
penilaian yang realistis atas dirinya.
-Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki
penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian ia
mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat
mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
-Keseimbangan antara real self dan ideal self. Individu yang
memiliki penerimaan diri mempertahankan harapan dan tuntutan
dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan
dapat diraih.
-Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Hal ini berarti apabila
seorang individu menyayangi dirinya, dan mampu menerima
segala kekuatan dan kekurangan diri, maka akan lebih

8
memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain dan
menerima orang lain dengan baik.
-Menuruti kehendak dan menonjolkan diri. Apabila seorang
individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia
memanjakan dirinya, akan tetapi ia akan menerima bahkan
menuntut kelayakan dalam kehidupannya dan tidak akan
mengambil yang bukan haknya, individu dengan penerimaan diri
menghargai harapan orang lain dan meresponnya dengan bijak.
-Spontanitas dan menikmati hidup. Individu dengan penerimaan
diri mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal
dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati
sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak
atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
-Aspek moral penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri
bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang
tidak mengenal moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam
pengaturan hidupnya.
-Sikap terhadap penerimaan diri. Individu yang dapat menerima
hidupnya akan menunjukkan sikap menerima apapun kekurangan
yang dimilikinya tanpa harus malu ketika berada di lingkungan
sosialnya.

9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan penelitian


penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara
holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.Menurut Sugiyono (2011),
metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan
snowball, teknik pengumpulan dengan tri-anggulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

3.2 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode wawancara, Menurut
Esterberg (dalam Sugiyono, 2016), wawancara adalah pertemuan
antara dua orang yang dilakukan untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam
suatu topik tertentu. Melalui wawancara, peneliti akan mengetahui
hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi serta fenomena yang terjadi dan hal ini
tidak bisa ditemukan melalui observasi (Stainback dalam
Sugiyono, 2016). Secara garis besar, wawancara yang dilakukan

10
dalam penelitian ini adalah wawancara individual dan wawancara
kelompok.

Pertanyaan :
1. Kapan anda mengalami hal ini? 2017 awal
2. Pada usia berapa anda mulai mengalami broken home? 15 tahun
3. Pada saat mengetahui hal ini, bagaimana perasaan anda? Dan
bagaimana anda menyikapinya? Relatif menerima keadaan, sikap
nya seperti menjalani kehidupan biasa
4. Siapa yang merawat anda dari awal kejadian hingga saat ini? Ibu dan
mbah / mba (kaka)
5. Bagaimana anda menyikapi diri ketika orang lain tahu bahwa anda
adalah anak broken home? Biasa aja tetep jadi diri sendiri
6. Bagaimana respon anda ketika mengalami kritikan atau penolakan
di lingkungan anda?
7. Apakah anda pernah memiliki sikap tidak menerima diri terhadap
kondisi anda sekarang? Menjadi berkah karena saat sebelum orang
tuanya berpisah, keadaan rumah tidak kondusif.
8. Bagaimana cara anda menikmati hifup dengan kondisi sekarang?
Bersyukur
9.

11
Lampiran

HASIL WAWANCARA

Interviewer (Daffa) & Interviewee (M. Darel, 17 tahun, Laki-laki).

Interviewer: “halo, perkenalkan diri anda terlebih dahulu, silahkan”.


Interviewee: “nama saya Muhammad Darel, jenis kelamin laki-laki, usia 17
tahun”.
Interviewer: “baik, kita langsung mulai ke pertanyaan pertama ya. Kapan anda
mengalami hal ini atau keadaan broken home?”
Interviewee: “pada tahun 2017 awal”
Interviewer: “pada usia berapa anda mulai mengalami broken home?”
Interviewee: “17 tahun, sorry-sorry..maksudnya 15 tahun saat itu”
Interviewer: “pada saat mengetahui hal ini, bagaimana perasaan anda dan
bagaimana anda menyikapi hal ini, kejadian broken home ini?”
Interviewee: “saya relatif menerima keadaan…terus, sikap saya seperti menjalani
kehidupan biasa saja, normal saja”
Interviewer: “ooh, jadi gaada kejadian sesuatu hal yang berubah kan dari
kejadian ini?”
Interviewee: “tentunya yang berubah pasti kondisi keluarga dan tempat tinggal
juga berubah, tapi itu semua gak mempengaruhi banyak ke diri saya”.
Interviewer: “setelah itu, siapa yang merawat anda dari setelah kejadian itu
hingga saat ini?”
Interviewee: “ibu. ibu saya. ”
Interviewer: “hanya ibu anda?’
Interviewee: “dan mbah saya juga”
Interviewer: “itu dua orang yang berpengaruh yaa?”
Interviewee: “iya, sangat berpengaruh”
Interviewer: “hmm oke, selanjutnya bagaimana anda menyikapi diri saat teman
atau lingkungan luar tau bahwa anda adalah anak broken home? Cara nyikapinnya
tuh gimana?”
Interviewee: “pada saat teman saya tau? Gimana maksudnya nyikapin?”
Interviewer: “kayak misalkan teman anda atau orang tau terus bertanya, eh kamu
ada broken home ya?nah nyikapin Itu gimana?”
Interviewee: “ya saya akan jadi diri saya, saya biasa aja. Gak ada perubahan
signifikan di diri saya dari masalah broken home ini”
Interviewer: “terus bagaimana respon anda saat mengalam kritikan atau
penolakan di lingkungan anda, kan ada tuh biasanya kayak eh broken home ya
takut ada pengaruh gimana gimana.. itugimana?
Interviewee: “beruntungnya tuh saya dari kecil emang ada kepribadian tertutup ga
banyak main jadi gaadca yaa gaada gimana yaa resiko terjerumus ke kenalakan
remaja dan lain itu gaada lah”
Interviewer: “ibarat tuh Kritikan di dalam hidup tuh gaada atau belum terlalu
gimana gimana?
Interviewee:“gaada krtitikan yag signifikan sih, gaada kritikan tajem juga?

12
“pernah gak anda memiliki sikap tidak menerima diri terhadap kondisi anda saat
ini, kayak nolak kecewa kenapa egini?”
Interviewee: ‘saya merasa dgn adanya kejadian. Ini berkah karena dgn adanya
kejadian ini bikin lebih baik dantenang. Karean saat ortu saya masih bareng
Bersama kondosi rumah gak kondsif sering berntem dan terjadi perkelahian dan
ustru membuat mental saya turun,tp setelah merka berdua pisah saya tenang.
Interviewer: “jadi ini keputusan terbaik menurut anda?
Interviewee: “sebenernya ini keputusan kami bertiga. Saya, ibu saya, bapa saya.
Jadi saya pun memiliki andil dalam proses perceraian ini jadi saya bisa penerima
denga baik. Kedua keluarga juga menerima jadi tidak ada masalah”
Interviewer: “gimna cara anda menikmati hidup dengan kondisi sekarang?
Caranya tuh gimana? Biar bisa enjoy lagi dengan keadaan yang sekarang.
Interviewee: “ya bersyukur, bersyukur melihat banyak orang orang disana, diluar
sana yang ada juga di beberapannya temen saya yang memiliki kondisi seperti
saya cuman mereka kurang beruntung karena mungkin orangtuanya berpisah
secara tidak baik, mereka tidak diberi perhatian yang cukup oleh orangtuanya atau
orangtua baru mereka. Sedangkan saya memiliki nasib yang jauh lebih baik dari
mereka, banyak orang yang sayang sama saya dirumah ada ibu dan mbah dan om
yang cinta sama saya jadi saya merasa memiliki nasib yang jauh lebih beruntung
jauh jauh lebih beruntung dari temen temen saya yang lain.”
Interviewer: “ okey jadi dari semua pertanyaan, broken home ini tuh ngga terlalu
yang berpengaruh banyak dari kehidupan anda saat ini terus anda hanya
mengalami seperti biasa dan enjoy seperti biasa gitu kan?”
Interviewee: “ perubahan yang terjadi menurut saya justru kearah yang lebih baik,
saya mengalami perubahan dan itu perubahan yang baik. Karena saya merasakan
adaya ketenangan dalam diri saya setelah proses perceraian itu. Setelah saya
menyandang predikat broken home. Justru saya merasa lebih baik”
Interviewer: “okey gitu aja terimakasi hatas waktunya dari darel teleh membantu
kita dari tugas ini, sekian terimakasih.”

13
Saat proses wawancara dengan narasumber berlangsung.

14
Foto Bersama narasumber saat sesi wawancara berakhir.

DAFTAR PUSTAKA

Psikologi, P. S., Kedokteran, F., & Udayana, U. (2018). DINAMIKA


PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA BROKEN HOME DI BALI Ida
Ayu Shintya Dewi dan Yohanes Kartika Herdiyanto, 5(2), 434–443.

‫ ن‬.‫ ح‬.‫ م‬,‫بخت‬. (n.d.). No Title‫سرگرمی های مردم تهران در دورۀ قاجار‬.

Lestari, D. W. (2014). Penerimaan Diri Dan Strategi Coping Pada. Journal


Psikologi, 2(1), 1–13.

15

Anda mungkin juga menyukai