Anda di halaman 1dari 9

Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

Teknik REBT Dalam Mengatasi Perasaan Negatif Thingking Pada


Anak Broken Home

REBT Technique for Overcoming Negative Thinking in Broken Home Children

Cut Tarisa
Universitas islam negeri sumatera utara, medan, indonesia
Cuttarisa3@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini membahas penerapan Teknik Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)
dalam mengatasi perasaan negatif thinking pada anak-anak dari keluarga broken home.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kondisi anak-anak yang mengalami negatif thinking
dan menerapkan REBT untuk mengatasi perasaan negatif thinking ini. Penelitian ini
menggunakan metode library research, dimana library research untuk mengumpulkan data
dari berbagai literatur, seperti buku, jurnal, dokumen, dan sumber-sumber lainnya.
Kata-kata Kunci: REBT, negative thinking, anak broken home

ABSTRACT

This article discusses the application of Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)
techniques in overcoming negative thinking feelings in children from broken homes. This
study aims to determine the condition of children who experience negative thinking and
apply REBT to overcome these negative thinking feelings. This research uses the library
research method, where library research collects data from various literature, such as books,
journals, documents and other sources.

Keywords: REBT, negative thinking, broken home children

PENDAHULUAN
Kebahagiaan merupakan harapan bagi setiap orang termasuk remaja atau seorang anak.
Akan tetapi, perceraian antara kedua orang tua juga dapat berdampak pada kebahagiaan
seorang rejama atau anak. Keluarga adalah satuan terkecil yang ada dalam masyarakat yang
terdiri dari ayah dan ibu. Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting dalam

1
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan
wanita, perhubungan yang dimaksud sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan
membesarkan anak-anak. Didalam sebuah keluarga terdapat suami yang berperan sebagai ayah,
serta istri yang berperan sebagai seorang ibu, dan juga anak-anaknya. Disisi lain keluarga pada
umumnya, setiap anggota keluarga yang memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan
baik sebagai suami istri maupun pemenuhan hak dan kewajiban sebagai orang tua terhadap
anak dan anak terhadap orang tua, seperti halnya seorang ayah yang berkewajiban mencari
nafkah, mencukupi semua kebutuhan keluarga, dan seorang ibu yang menyusui anak dari usi
0-2 tahun, kemudian anak yang berkewajiban berbakti kepada orang tua.
Terdapat banyak persoalan-persoalan keluarga yang bermula dari ketidak harmonisan
dalam berkeluarga, dimulai dari percek-cokan, kekerasan dalam rumah tangga, yang berujung
pada perceraian. Perceraian sendiri adalah jalan terakhir yang diambil oleh suami istri setelah
berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaiakan permasalahan rumah tangga. Perceraian
atau talak adalah melepaskan ikatan pernikahan atau bercerai dari hubungan suami-istri.
Perceraian merupakan putusnya ikatan pernikahan antara suami-istri, yang mana ikatan
pernikahan sudah dirasa tidak dapat disambung dan diteruskan kembali sehingga keputusan
terakhir memilih untuk berpisah demi kebaikan keduanya.
Bagi seorang anak yang terpisah dari orang tuanya dan hal-hal secara potensial yang
dapat memisahkan kedua orang tua mereka, merupakan kondisi yang dapat mencemaskan
keadaan psikis maupun mental sorang anak. Anak-anak yang telah terpisah dari orang tuanya
berpisah akan membuat mereka sangat cemas, maka tidak jarang perceraian orang tua sangat
berdampak pada anak terutama pada emosional seorang anak. Tidak jarang pula anak merasa
cemas akan perpisahan orang tua sehingga mereka melampiaskan rasa cemasnya kepada hal-
hal yang salah, akan tidak terdapat pula anak yang mampu melampiaskan rasa cemasnya kepada
hal positif dan menjadikannya sosok anak yang mandiri.
Perceraian dapat menggangu psikologi anak, dimana dengan berjalannya waktu anak
akan merasa Berkurangnya perhatian orang tua yang semakin hari semakin sibuk dengan
urusan mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu tidak menutup kemungkinan pula orang tua
yang bercerai ini akan kembali menjalin Hubungan dengan orang baru dalam hidup mereka.
Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi seorang anak, maka akan munculah perasaan-
perasaan khawatir atau kecemasan yang berlebih serta pikiran-pikiran negatif yang tanpa
mereka sadari terbentuk dalam kepala mereka. Rasa cemas yang berlebihan inilah dapat
membuat anak merasa tidak dianggap atau tidak diperhatikan lagi sehingga dapat menjurus
kepada perilaku yang negatif. Bagi anak-anak orang tua yang berpisah merupakan kondisi yang

2
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

amat sangat mencemaskan, maka tidak jarang perceraian Orang tua berdampak pada anak
terutama emosional anak.
Anak yang broken home cenderung identic dengan kategori anak yang selalu memiliki
permasalahan di Sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Kebanyakan orang memiliki
pikiran negatif terhadap anak broken home, akan tetapi tidak semua anak yang broken home
dengan dengan image tersebut. Masih bisa kita jumpai Anak yang mengalami broken home
memiliki prestasi di bidang akademik maupun non akademik seperti dalam hal belajar,
olahraga, seni budaya dan masih banyak lagi yang lainnya. Penyebab seorang anak broken
home Yang melakukan perilaku negatif biasanya karena adanya pengaruh ketidak adaannya
perhatian dari orang tua mereka.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Menurut Brun dalam (Beda, 2018) menjelaskan bahwa pikiran negatif berasal dari
perasan negatif atau maladatif yang tidak disadari. Pikiran negatif timbul akibat penilaian yang
negatif terhadap stimulus yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.
Broken home adalah kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih
saying dari orang tua dan retaknya struktur dalam keluarga yang disebabkan oleh kurangnya
perhatian orang tua kepada anak maupun perceraian sehingga anak hanya dapat tinggal
bersama satu orang tua kandung yakni antara ayah atau ibu nya. (Sakinah, 2018).
Negative thinking merupakan pola atau cara berpikir seseorang yang lebih condong
pada sisi yang negatif sehingga sulit bagi individu tersebut untuk melihat sesuatu dalam sisi
positif, rasional, dan realistis. Negative thinking dapat diartikan sebagai pemikiran tidak layak
seseorang terhadap suatu hal baik itu orang atau masalah. Individu yang memiliki pola pikir
negatif cenderung merasa mudah tersinggung, cenderung memiliki cara pandang yang salah,
dan memiliki keyakinan negatif akan suatu hal.

METODE PENELITIAN
Metode pada artikel ini menggunakan studi pustaka (library research) yaitu metode
dengan pengumpulan data dengan cara memahami dan mempelajari teori-teori dari berbagai
literatur yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Studi pustaka atau kepustakaan dapat
diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian ( Zed, 2003:3).
Studi kepustakaan juga dapat mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian
sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah
yang akan diteliti (Sarwono:2006). Studi kepustakaan juga berarti teknik pengumpulan data

3
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

dengan melakukan penelaahan terhadap Buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang
berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan (Nazir:1988). Sedangkan menurut ahli lain
studi kepustakaan merupakan kajian teoritis, referensi serta literatur ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti
(Sugiyono:2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Definisi Broken Home
Broken home berasal dari dua kata yaitu broken dan home. Broken berasal dari kata
break yang berarti keretakan, sedangkan home mempunyai arti rumah atau rumah tangga. Arti
broken home dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perpecahan dalam keluarga. Broken
home dapat juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan
layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta
perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Sebenarnya anak
yang broken home bukan hanya anak yang berasal dari orang tua yang bercerai, tetapi juga anak
yang berasal dari keluarga yang tidak utuh atau tidak harmonis. Terdapat banyak faktor yang
melatar belakangi anak yang broken home, antara lain percekcokan atau pertengkaran orang tua,
perceraian, kesibukan orang tua. Menurut kardawati (2001) beberapa penyebab dari Timbulnya
keluarga yang Broken Home antara lain sebagai berikut:
1. Orang tua yang berpisah atau bercerai.
Kasus seperti percerian menunjukkan bahwa suatu kenyataan dari kehidupan suami dan
istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang atas dasar-dasar perkawinan yang telah terbina
bersama dari awal dan kini telah goyah dan tidak mampu menompang dan mempertahankan
keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan antara suami dan istri
tersebut semakin lama akansemakin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak
sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama Sekali.
2. Kebudayaan yang bisu dalam keluarga.
Kebudayaan yang bisu ini bisa ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar
anggota keluarga. Masalah yang biasa muncul dalam kebudayaan ini tersebut justru terjadi dalam
komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Masalah tersebut tidak akan bertambah
berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi
yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Sebuah keluarga Yang tanpa adanya dialog dan
komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Hal ini

4
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

biasanya terjadi ketika kedua orang tua sudah tidak lagi bersama, hal ini sering dirasakan oleh
anak-anak Broken Home.
3. Perang dingin yang terjadi di dalam keluarga.
Bisa juga dikatakan perang dingin kasusnya bisa lebih berat dari pada kebudayaan bisu.
Sebab di dalam perang dingin ini, selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa
perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Inilah yang penulis maksudkan dari saling
menjatuhkan antara suami dan istri. Hal itu akan menyebabkan anak tidak akan betah dirumah,
karena bila orang tua bertemu akan saling berargumen dengan nada tinggi sehingga anak-anak
menjadi tidak ingin berada ditempat seperti itu.

B. Faktor Penyebab Broken Home


Faktor penyebab broken home bisa berasal dari dalam maupun dari luar, namun apapun
yang dating dari luar sebenarnya bisa dihadapi apabila factor dari dalam sudah berhasil diatasi.
Faktor penyebab broken home terdiri atas tertutupnya komunikasi, egosentris, ekonomi,
kesibukan, rendahnya pemahaman dan adanya pihak ketiga. Untuk mempermudah pemahaman
tentang penyebab broken home, dibuat gambar sebagai berikut:
1. Gangguan Komunikasi
Komunikasi dalam keluarga menduduki posisi penting sebagai pembuka jendela
informasi yang bisa diguinakan menganalisis dan mendeteksi apabila ada gangguan dalam
keluarga. Apabila komunikasi ini tidak lancar, maka akan terjadi ketertutupan informasi sehingga
banyak terjadi Ketakutan, kecurangan dan juga kebohongan karena keinginan untuk menutup
diri. Keluarga yang normal selalu ingin agar terjalin komunikasi intensif dan harmonis serta dua
arah dengan anggota keluarganya, namun bagi keluarga broken home kemunikasi yang terjadi
justru bisa menjadi Petaka karena tiadanya saling pengertian dan keperecayaan.
2. Egosentris
Sikap egosentri orang tua berpengaruh terhadap keutuhan keluarga, selain itu juga
berpengaruh pada kepribadian anak. Egosentris merupakan sifat yang mementikan diri sendiri
dan menganggap benar pendapat dan tindakannya sendiri sehingga sulit mengakui kebenaran
dari orang lain. Apabila suami-istri mempunyai sifat ini dan tidak ada saling pengertian dan saling
mengalah maka benih-benih broken home telah ada dan akan semakin membesar suatu saat.
3. Ekonomi
Ekonomi keluarga jelas memberi pengaruh pada keharmonisan rumah tangga.
Kemiskinan merupakan salah satu factor penyebab broken home karena seringkali percekcokan,
pertikaian suami-istri diawali dari persoalan ekonomi. Keluarga bisa rusak apabila factor ekonomi
ini tidak dikendalikan, kerusakan itu bisa terjadi pada orang yang kekurangan maupun kelebihan
ekonomi, namun kekurangan ekonomi lebih berbahaya dari pada kelebihan ekonomi.
5
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

4. Kesibukan
Sibuk merupakan kata-kata yang paling sering diucapkan ketika tidak bisa menghadiri
atau Menjumpai situasi tertentu. Kesibukan suami atau istri yang sampai tiap hari pulang larut
malam Akan mempengaruhi kondisi keluarga. Ujung-ujungnya anak jadi korban karna kurang
kedekatan, kurang kasih sayang dan kurang perhatian. Kurangnya perhatian terhadap suami atau
istri karena kesibukanakan menjadi dasar munculnya problem komunikasi dalam keluarga.
Rendahnya Pemahaman dan Pendidikan Pendidikan seseorang berpengaruh pada pemahaman
yang dimiliki, apalagi ketika sudah berkelurga. Suami atau istri yang berpendidikan rendah
cenderung kurang dari sisi pemahaman dan pengertian serta tugas dan kewajiban sebagai
suami/istri. Jadi jelas bahwa pemahaman dan Pendidikan merupakan salah satu factor yang bisa
memicu broken home karena dengan tiadanya Saling pengertian, saling memahami akan terjadi
konflik terus-menerus yang bisa berujung pada berakhirnya ikatan dalam rumah tangga.
5. Gangguan Pihak Ketiga
Pihak ketiga yang dimaksud dalam arti kelini adalah orang yang dengan sengaja atau tidak
Sengaja menjadi penyebab adanya krisis dalam rumah tangga. Krisis ini bisa saja dalam bentuk
krisis kepercayaan baik dari sisi ekonomi, hubungan personal maupun lainnya. Pihak ketiga juga
terkadang menyebabkan kecemburuan sehingga muncul krisis kepercayaan (trust) bagi suami
atau Istri. Selain itu pihak ketiga juga bisa datang dari orang tua yang selalu intervensi terhadap
Kehidupan anak-anaknya padahal sudah berumah tangga.

C. Dampak Broken Home


Semua orang mendambakan keluarga yang bahagia, namun tidak jarang keluarga yang
dalam prosesnya ternyata mengalami kegagalan sehingga terjadi keretakan hubungan keluarga
inti. Tentu yang terdampak adalah anak-anak yang masih kecil maupun yang sudah dewasa,
diantara dampak itu adalah menurunnya prestasi belajar anak. Prestasi belajar anak turun karena
orang tuanya tidak lagi memperhatikan perkembangan akademik anaknya.
Dampak lainnya adalah adanya perilaku agresif. Beberapa kasus kekerasan merupakan
manifestasi dari perilaku agresif, baik kekerasan secara verbal maupun non-verbal. Perilaku
agresif juga disebabkan oleh adanya kecemasan anak dan kesepian. Jadi untuk menghindari
adanya Sikap agresif perlu dengan merekayasa factor-faktor yang menjadi penyebabnya ini.
Dalam rangka mengantisipasi kekerasan ini perlu menggunakan pendekatan khusus seperti
pendekatan biologis, sosiologis, situasional dan pendekatan humanis. Namun apapun
pendekatan yang digunakan, akan gagal apabila akar masalahnya tidak terselesaikan. Perilaku ini
muncul sebagai bentuk Keinginan anak untuk mendapatkan perhatian dari orang lain karena

6
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

tidak ia dapatkan di rumah. Selain itu juga karena kurangnya pengawasan dan pembiasaan akhlak
yang baik dari orang tuanya.
Keluarga yang broken home juga mempunyai dampak pada kenakalan anak, kurangnya
bekal Ilmu agama bagi anak. Dampak ini bisa dampak langsung atau pun tak langsung sebagai
alam Bawah sadar si anak.

D. Penerepan Teknik REBT Dalam mengatasi perasaan Negatif Thingking pada Anak
Broken Home
REBT adalah singkatan dari Rational Emotive Behavior Therapy, sebuah bentuk
psikoterapi yang didasarkan pada prinsip bahwa pikiran, emosi, dan perilaku saling memengaruhi.
REBT bertujuan untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah keyakinan irasional
yang menyebabkan stres, kecemasan, depresi, atau perilaku merugikan. REBT Sendiri
pendekatan psikoterapi yang membantu klien mengubah keyakinan irasional yang menyebabkan
perasaan negatif menjadi keyakinan irasional yang lebih sehat dan positif.
Anak broken home adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, misalnya
karena perceraian, kematian, atau kekerasan. Anak broken home dapat mengalami perasaan
negatif thinking, yaitu pola pikir yang cenderung melihat segala sesuatu dari sisi buruk,
meragukan diri sendiri, atau menganggap diri tidak berharga.
Studi tentang efektivitas pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) dalam
mengatasi negative thinking pada anak-anak dari keluarga broken home menunjukkan hasil yang
menjanjikan. Teknik REBT digunakan karena tujuannya adalah untuk mengatasi negative
thinking pada anak-anak dari keluarga broken home. Hasil penelitian menunjukkan bahwa REBT
efektif dalam mengatasi negative thinking pada anak-anak broken home, dengan melibatkan
identifikasi, evaluasi, dan restrukturisasi kognisi serta menekankan pada berfikir, menilai,
menganalisis, dan bertindak. Selain itu, REBT juga dapat membantu anak-anak broken home
dalam mengatasi perasaan negatif dan mengembangkan pola pikir yang lebih positif. Oleh karena
itu, penerapan teknik REBT dapat menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam membantu
anak-anak dari keluarga broken home mengatasi perasaan negatif thinking.
Teknik REBT (Rational Emotive Behavior Therapy) dapat membantu mengatasi
perasaan negative thinking pada anak broken home. Teknik ini melibatkan pengenalan dan
pengubahan pola pikir yang salah atau irasional yang mungkin dimiliki anak tersebut. Anak
broken home seringkali memiliki pemikiran negatif karena adanya pengaruh dari kondisi keluarga
yang tidak harmonis. Penyebab perilaku negatif pada anak broken home biasanya karena
kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua, serta adanya perasaan tidak aman dan

7
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

kehilangan rasa percaya diri. Dampak dari kondisi broken home pada anak antara lain rendahnya
rasa percaya diri dan kurangnya perhatian dari orang tua.
Teknik REBT dapat digunakan untuk mengatasi perasaan negatif thinking pada anak
broken home dengan cara berikut:

1. Mengajak anak untuk berbicara tentang masalahnya dan mendengarkan dengan empati.
2. Membantu anak untuk menyadari keyakinan irasional yang mendasari perasaan negatifnya,
seperti “Saya tidak dicintai”, “Saya tidak pantas bahagia”, atau “Saya tidak bisa berubah”.
3. Menantang keyakinan irasional tersebut dengan memberikan bukti rasional yang menunjukkan
bahwa keyakinan tersebut tidak benar, tidak logis, atau tidak berguna.
4. Menggantikan keyakinan irasional dengan keyakinan rasional yang lebih sehat, positif, dan
realistis, seperti “Saya berharga”, “Saya memiliki potensi”, atau “Saya dapat mengatasi kesulitan”.
5. Mendorong anak untuk mengubah perilakunya sesuai dengan keyakinan rasionalnya, misalnya
dengan mencari dukungan sosial, mengembangkan hobi, atau menetapkan tujuan

SIMPULAN
Kesimpulan dari Teknik Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) dapat diterapkan
untuk mengatasi negative thinking pada anak-anak dari keluarga broken home. Penelitian
menunjukkan bahwa pendekatan REBT efektif dalam mengurangi perilaku negatif dan
negative thinking pada anak-anak broken home. Pendekatan ini melibatkan latihan untuk
mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak diinginkan melalui identifikasi, evaluasi, dan
restrukturisasi kognisi. Selain itu, teknik REBT juga melibatkan aspek emosional dan perilaku,
serta menekankan pada berfikir, menilai, menganalisis, dan bertindak. Dengan demikian,
penerapan REBT dapat membantu anak-anak broken home dalam mengatasi negative
thinking dan mengembangkan pola pikir yang lebih positif. Serta Penerapan teknik REBT
dapat menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam membantu anak-anak dari keluarga
broken home mengatasi perasaan negative thinking.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, M. Y. (2018). "Konseling Keluarga dalam Mengatasi Perilaku Negative Thinking Anak
Pada Ayahnya di Desa Sembibulu Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo".

Aryani, N. D. (2015). "Hubungan orang tua-anak, penerimaan diri dan keputusasaan pada remaja dari
keluarga broken home". Dalam Jurnal Sains dan Praktik Psikologi.

8
Artikel Ilmiah Konseling Traumatik

Dini, dkk. (2014). "Hubungan antara Kesepian dengan Perilaku Agresif pada Anak Didik di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Blitar". Dalam Psikologi Kepribadian Dan Sosial

Gintulangi, dkk. (2018). "Dampak Keluarga Broken Home Pada Prestasi Belajar Pkn Siswa Di Sma
Negeri I Tilamuta Kabupaten Boalemo". Dalam Jurnal Pascasarjana.

Hafiza S. (2010). “Pola Komunikasi Antara Orangtua Dan Anak Dalam Keluarga Broken Home Di
Surabaya”. Dalam Jurnal Ilmu Komunikasi.

Khusnul Khotimah. (2017). " Penerapan Rational Emotive Behavior Therapy Untuk mengurangi
Perilaku Agresif Siswa Dari Keluarga Broken Home". Skripsi

Lusmawati. (2022). "Penerapan Konseling Islam Dengan Pendekatan Rational Emotive Theraphy
Dalam menangani Pemikiran Negatif Anak Broken Home( Studi kasus di Dess Sumber
Malang Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso)”. Skripsi

Muttaqin Imron. (2019). " Analisis Faktor Penyebab Dan Dampak Keluarga Broken Home. Dalam
jurnal studi gender dan anak”. Vol 6 No 2

Norhandayani. Dkk. (2021). “REBT Mengatasi Negative Thinking Pada Anak Broken Home"

Pratiwi, dkk. (2013). "Pengaruh Keluarga terhadap Kenakalan Anak. Pengaruh Keluarga Terhadap
Kenakalan Anak".
Setiani Fatimah, dkk. (2019). " REBT Mengatasi Negatif Thingking Pada Anak Broken
Home". Dalam jurnal Paedagogie. Vol 7 No 2

Wiwin Mistiani. (2018). " Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Psikologis Anak”.
MUSAWA. Vol 10 No 2

Anda mungkin juga menyukai