Anda di halaman 1dari 14

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH METODOLOGI-PENELITIAN-KUALITATIF

Disusun Oleh:

Idham Aldiansyah Maulana

0603517026

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Liana Mailani, S.Psi.,MA.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA

2020
1. Tentukan subjek Penelitian kualitatif dengan karakteristik subjeknya

Terkait dengan Subjek :

1) Subjek kami ini berjenis kelamin perempuan dan Berusia 20 tahun


2) Berasal dari keluarga Broken Home
3) Subjek cenderung mengalami keterpurukan
4) Belum pernah ke Psikolog

Mengenai Subjek yang kami angkat menjadi narasumber :

Subjek ini kami jadikan narasumber dikarenakan memenuhi kriteria subjek yang kami
tentukan. Subjek ini kami inisialkan dengan sebutan subjek S, subjek ini berusia 20 tahun
dan saat ini berkuliah pada universitas di wilayah ciputat dan sekarang di semester 4.

Subjek ini merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, subjek ini berjenis kelamin
perempuan. Subjek ini berasal dari keluarga Broken Home, dimana subjek ini pernah
hidup di tengah keluarga yang sering sekali konflik, pertengkaran dari kedua orang tua
pernah dialaminya.

Subjek ini pernah mengalami keterpurukan dimana konflik dalam keluarga memberikan
dampak yang timbul di kehidupan pribadi subjek S. Dampak yang terjadi meliputi
masalah Psikis dan kehidupan sosial sehari-hari subjek. Subjek S pun sampai saat ini
masih susah untuk menerima lingkungan baru sekitarnya. Subjek S lebih memilih
mengurung diri jika ada persoalan-persoalan muncul.

2. Reviuew 3 jurnal kualitatif yang memiliki kesamaan dengan subjek yang akan saudara
ambil sebagai subjek saudara

Jurnal 1 (PSIKOLOGIS KOMUNIKASI REMAJA BROKEN HOME TERHADAP


KONSEP DIRI DAN KETERBUKAAN DIRI)
Penelitian yang berjudul Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep
Diri dan Keterbukaan Diri: sebuah studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi
Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di
Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, ingin mengkaji mengenai
psikologis komunikasi remaja broken home terhadap konsep diri dan keterbukaan diri.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretif. Paradigma
Interpretif merupakan cara pandang yang bertumpu pada tujuan untuk memahami dan
menjelaskan dunia sosial dari kacamata aktor yang terlibat di dalamnya. Pemilihan
informan dilakukan dengan Purposive Sampling Technique. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga broken home memiliki perubahan
sikap dan komunikasi terutama didalam keluarga. Komunikasi mereka cenderung tertutup
dengan orang tua, memiliki sikap sensitif, egois, dan suka murung. Sementara pada
konsep diri, remaja yang termasuk dalam kelurga broken home cenderung memiliki
konsep diri negatif. Untuk keterbukaan diri sendiri mereka cenderung bebas namun tidak
terlalu menyalahgunakan makna kebebasan tersebut, mereka cenderung memiliki kasih
sayang yang lebih terhadap salah satu orang tua yang tinggal bersama mereka sehingga
ada keterikatan didalam hidup mereka.
Jurnal 2 (PENGALAMAN REMAJA KORBAN BROKEN HOME STUDI
KUALITATIF FENOMENOLOGIS)
Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama dengan
hubungan darah atau ikatan pernikahan. Perselisihan dalam keluarga dapat menimbulkan
keretakan keluarga atau krisis keluarga atau broken home. Keadaan keluarga yang krisis
dapat menimbulkan kerugian pada banyak pihak terutama pada anak. Penelitian ini
memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami pengalaman individu saat remaja yang
menjadi korban broken home serta memberikan gambaran mengenai bagaimana remaja
yang menjadi korban broken home dapat bertahan dan menjalani kehidupan. Metode
digunakan adalah metode penelitian kualitatif fenomenologis dengan metode analisis
eksplikasi data. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan wawancara
semiterstruktur. Partisipan dalam penelitian ini dipilih dengan teknik purposive.
Partisipan berjumlah tiga orang, partisipan merupakan perempuan dan berusia remaja
saat keadaan keluarga broken home. Temuan dari penelitian ini, ketiga partisipan dapat
bertahan pada keadaan keluarga yang broken home karena adanya penerimaan diri yang
positif. Ketiga subjek mengaku bahwa penerimaan diri yang muncul dipengaruhi oleh
religiusitas dan dukungan emosional dari lingkungan. Ketiga subjek mampu membangun
kemampuan resiliensi ditunjukkan dengan bangkit kembali dan memiliki harapan untuk
masa depan.
Jurnal 3 (Self Disclosure Mengenai Latar Belakang Keluarga yang Broken Home
kepada Pasangannya)
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui self disclosure seseorang mengenai latar
belakang keluarga yang broken home kepada pasangannya.Self Disclosure dilihat
berdasarkan beberapa aspek menurut DeVito yaitu informasi tentang (1) nilai – nilai,
keyakinan dan keinginan (2) perilaku atau (3) karakteristik dan kualitas diri.Selain itu
Selfdisclosure seringkali dilakukan karena berbagai alasan misalnya untuk melepaskan
tekanan emosi yang dirasakan seseorang, kebutuhan untuk melepaskan rasa
bersalah.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif.Metode yang digunakan adalah metode studi kasus yang melibatkan peneliti
dan subjek dalam penelitian yang lebih mendalam. Proses pengumpulan data dilakukan
dengan cara wawancara kepada informan dan observasi dalam mendapatkan data
tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melakukan self discoslure tentang latar
keluarga broken home memiliki kekurangan seperti perubahan perilaku dari pasangan,
selain itu juga trauma dari anak yang mengalami broken home.
3. Buatlah resume dari latar belakang masalah, landasan teori dan metodologi penelitian
yang diambil ?

Jurnal 1 (PSIKOLOGIS KOMUNIKASI REMAJA BROKEN HOME TERHADAP


KONSEP DIRI DAN KETERBUKAAN DIRI)
a) Latar Belakang Masalah
Di dalam suatu keluarga tidak jarang terjadi suatu perselisihan dan keributan, hal
ini dirasa cukup wajar terjadi. Perbedaan pendapat dan perselisihan terjadi di
dalam keluarga karena dalam sebuah keluarga terdapat beberapa kepala dengan
pemikiran yang berbeda-beda pun sering terjadi kerusakan karena adanya sikap
emosional antara sesama anggota keluarga. Keluarga Broken Home biasanya
digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua
yang tidak keharmonisan dalam keluarga lagi peduli dengan situasi dan keadaan
keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik
masalah di rumah, sekolah sampai pada perkembangan pergaulan di masyarakat.
Namun broken home juga bisa diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak
harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai dan sejahtera
karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran
dan berakhir pada perceraian dan akan sangat berdampak kepada anak-anaknya
khususnya remaja. Psikologis komunikasi pada anak remaja yang berasal dari
keluarga broken home juga mengalami perubahan. Sikap anak broken home
dengan anak yang berasal dari keluarga utuh bisa saja berbeda karena kurangnya
komunikasi, perhatian dan bimbingan dari kedua orang tua. Kurangnya
komunikasi antara orang tua dan anak dapat mempengaruhi perubahan sikap anak
baik dalam keluarga, teman-teman maupun lingkungannya. Remaja dalam hal ini
mempunyai kelabilan sehingga peran keluarga sangat mempengaruhi mereka
dalam bersikap. Tidak hanya berakhir pada penilaian orang lain tentang keluarga
broken home, anak remaja yang berasal dari keluarga broken home pun
memberikan pandangan dan perasaan tentang dirinya sendiri atau disebut dengan
konsep diri. Konsep diri merupakan pandangan atau persepsi kita mengenai siapa
diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain
kepada kita (Dayakisni,2003:65).
b) Landasan Teori
Yang dimaksud kasus broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (a)
keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala
keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai, (b) orang tua tidak bercerai akan
tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak di
rumah atau tidak memperlihatkan kasih sayang lagi. Misalnya, orang tua sering
bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Dari keluarga yang
seperti ini akan lahir anak-anak yang mengalami krisis kepribadian sehingga
perilakunya sering tidak sesuai.
c) Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian dengan metode deskriptif merupakan penelitian
yang menggambarkan situasi, proses atau gejala- gejala tertentu yang diamati.
Objek penelitian ini adalah psikologis komunikasi anak remaja yang termasuk
dalam keluarga broken home terhadap konsep diri dan keterbukaan diri di
Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Subjek penelitian
adalah informan yang dimintai informasi berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan. Adapun subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Anak Remaja
Usia 10 - 22 Tahun Yang Termasuk Dalam Keluarga Broken Home di
Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang bedagai. Teknik pengumpulan
data menggunakan data primer dan data sekunder yakni dengan melakukan
wawancara mendalam dan observasi lapangan

Jurnal 2 (PENGALAMAN REMAJA KORBAN BROKEN HOME STUDI


KUALITATIF FENOMENOLOGIS)

a) Latar Belakang
Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama
dengan hubungan darah atau ikatan pernikahan. Berdasarkan Undang-undang
No. 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga, “Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya”. Reis (dalam Lestari, 2012) menjelaskan keluarga merupakan
kelompok kecil yang memiliki struktur dalam pertalian keluarga dan memiliki
fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan generasi baru. Friedman (dalam
Suprajitno, 2004) menjelaskan keluarga adalah sekumpulan orang yang
tinggal bersama dalam satu rumah yang dihubungkan dengan suatu ikatan
aturan dan emosional serta setiap individunya memiliki peran masing-masing
yang merupakan bagian dari keluarga. Pada kehidupan keluarga tidak sedikit
terjadi suatu perselisihan dan keributan antara anggota keluarga. Hal tersebut
dirasa wajar jika perbedaan pendapat di dalam keluarga karena terdapat
pemikiran yang berbeda tiap anggota keluarga. Konflik dalam sebuah
hubungan antarindividu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi,
semakin tinggi saling ketergantungan semakin meningkat pula kemungkinan
terjadinya konflik (Dwyer dalam Lestari, 2012). Perceraian didalam keluarga
menimbulkan kerugian pada banyak pihak terutama pada anak. Perceraian
dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga atau retaknya struktur
peran sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak dapat menjalankan
kewajiban peran secukupnya. Perceraian berasal dari kata cerai yang artinya
berpisah dan dikenal dengan istilah broken home. Willis (2015) menjelaskan
bahwa broken home diartikan sebagai keluarga yang retak, yaitu kondisi
hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orangtua yang
disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena perceraian sehingga anak hanya
tinggal bersama satu orangtua kandung. Broken home dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu (1) Keluarga yang terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab
salah satu dari anggota keluarga meninggal atau telah bercerai, (2) Orangtua
yang tidak bercerai, tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah
atau ibu sering tidak dirumah dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih
sayang lagi.
b) Landasan Teori

Reis (dalam Lestari, 2012) menjelaskan keluarga merupakan kelompok kecil


yang memiliki struktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama
berupa sosialisasi pemeliharaan generasi baru. Friedman (dalam Suprajitno,
2004) menjelaskan keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal bersama
dalam satu rumah yang dihubungkan dengan suatu ikatan aturan dan
emosional serta setiap individunya memiliki peran masing-masing yang
merupakan bagian dari keluarga. Willis (2015) menjelaskan bahwa broken
home diartikan sebagai keluarga yang retak, yaitu kondisi hilangnya perhatian
keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orangtua yang disebabkan oleh
beberapa hal, bisa karena perceraian sehingga anak hanya tinggal bersama
satu orangtua kandung. Broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1)
Keluarga yang terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari
anggota keluarga meninggal atau telah bercerai, (2) Orangtua yang tidak
bercerai, tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu
sering tidak dirumah dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang
lagi. Menurut hasil penelitian Saikia (2017) mengenai Broken family: Its
causes and effects on the development of children atau penyebab dan dampak
dari broken home pada perkembangan anak menjelaskan bahwa salah satu
penyebab keluarga broken home adalah perceraian orangtua. Padahal keluarga
itu sendiri memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlangsungan
masyarakat dari generasi ke generasi (Lestari, 2012). Hasil penelitian
Loughlin (dalam Nasiri, 2016) menunjukkan bahwa anak-anak atau remaja
yang menghadapi perceraian orangtuanya biasanya akan mengalami gejala
gangguan kesehatan mental jangka pendek, yaitu stres, cemas, dan depresi.
Seperti yang dilansir menurut healthmeup.com (dalam Kusumaningrum,
2015) terdapat delapan dampak bagi anak sebagai korban perceraian
orangtuanya. Delapan dampak tersebut adalah penurunan akademik,
kecenderungan untuk terpengaruh hal buruk, kualitas kehidupan yang rendah,
mengalami pelecehan, obesitas dan gangguan makan, tekanan psikologis,
apatis dalam berhubungan, dan melakukan seks bebas.

c) Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan perspektif kualitatif fenomenologis yang
bertujuan untuk dapat mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu
fenomena yang khas dan unik yang dialamu individu. Pengalaman yang tidak
biasa atau fenomena tersebut secara umum terjadi perubahan sikap, sudut
pandang, ataupun perilaku pada orang yang mengalami pengalaman tersebut
(Creswell dalam Herdiasyah, 2010). Partisipan pada penelitian ini berjumlah
tiga orang. Pemilihan partisipan dalam penelitian ditentukan dengan
menggunakan teknik purposive, yaitu teknik yang didasarkan pada kriteria-
kriteria tertentu dari peneliti sesuai dengan tujuan dari penelitian (Sugiyono,
2014). Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode
wawancara. Partisipan diberikan informed consent sebelum wawancara
dimulai. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah
eksplikasi data.
Jurnal 3 (Self Disclosure Mengenai Latar Belakang Keluarga yang Broken Home
kepada Pasangannya)
a) Latar Belakang
Kasus Broken Homesendiri memiliki arti “Kehancuran” (Broken),
sedangkan Home berarti “Rumah”. Broken Home di sini diartikan
sebagai kehancuran rumah tangga hingga terjadi perceraian suami istri
(Ulya, 2010).Kasus Broken Home yang berakhir dengan perceraian masih
menjadi suatu hal yang ditutupi karena dianggap sebagai aib (Fachrina,
2010). Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri
yang disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan peran
masing – masing dan dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan
perkawinan antara suami istri yang selanjutnya hidup secara terpisah dan
diakui secara sah oleh hukum yang berlaku seperti dalam Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan,
bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan yang telah
ditentukan (Fachrina, 2010) Perceraian merupakan masa yang kritis untuk
anak, terutama menyangkut hubungan dengan orang tua yang tidak tinggal
bersama. Seperti yang dikutip dari “Jurnal Analisis Perkembangan
Psikologi Anak Broken Home Bab II” ,berbagai perasaan berkecamuk
dalam batin anak. Hal yang mereka rasakan adalah merasa tidak aman,
merasa tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuanya yang pergi,
kesepian, merasa kehilangan. Perasaan ini yang dapat menyebabkan anak
takut gagal, takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain saat dewasa
nanti dan bisa berdampak ketika berumah tangga dimana anak mengalami
trauma yang berkepanjangan mengenai pernikahan, anak tidak ingin
menikah ketika dewasa dan sulit membangun kepercayaan terhadap
sebuah pernikahan (Wulan, 2012, par. 30).
b) Landasan Teori
Broken home merupakan puncak tertinggi dari penyesuaian perkawinan
yang buruk dan terjadi bila suami istri sudah tidak mampu lagi mencari
cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum
maupun dengan diam – diam dan kadang ada juga kasus dimana salah satu
pasangan (suami, istri) meninggalkan keluarga.(Hurlock, 2008). Saat
seseorang dari keluarga broken home akan menikah maka perlu
diyakinkan oleh orang yang dicintai apakah memahami ketakutan yang
dialaminya dan menerima sisi tidak sempurna dalam kehidupannya
(Utomo, 2013, par.12). Selain itu broken home bisa disebabkan oleh
kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama
ayah dan ibu, sikap egosentrisme, masalah ekonomi, masalah kesibukan,
masalah pendidikan, masalah perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah
tangga (Siti, 2011).
c) Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian yaitu studi kasus yaitu metode
yang akan melibatkan kita dalam penelitian yang lebih mendalam dan
pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu.
Disamping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki
uni-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga dan
berbagai bentuk unit sosial lainnya.Jadi studi kasus dalam khazanah
metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif,
intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah
masalah – masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer (masa kini)
(Bungin, 2003, p.19-20).

4. Buatlah laporan bab 1,2 dan 3 terhadap 3 jurnal tersebut beserta kelemahan penelitian
tersebut?
1. Latar Belakang
Di dalam suatu keluarga tidak jarang terjadi suatu perselisihan dan keributan, hal ini
dirasa cukup wajar terjadi. Perbedaan pendapat dan perselisihan terjadi di dalam
keluarga karena dalam sebuah keluarga terdapat beberapa kepala dengan pemikiran
yang berbeda-beda pun sering terjadi kerusakan karena adanya sikap emosional
antara sesama anggota keluarga. Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan
manusia yang hidup bersama dengan hubungan darah atau ikatan pernikahan.
Berdasarkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009 tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga, “Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya”.
Kasus Broken Homesendiri memiliki arti “Kehancuran” (Broken), sedangkan Home
berarti “Rumah”. Broken Home di sini diartikan sebagai kehancuran rumah tangga
hingga terjadi perceraian suami istri (Ulya, 2010).Kasus Broken Home yang berakhir
dengan perceraian masih menjadi suatu hal yang ditutupi karena dianggap sebagai aib
(Fachrina, 2010). Keluarga Broken Home biasanya digunakan untuk menggambarkan
keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tidak keharmonisan dalam keluarga
lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi
perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah sampai pada
perkembangan pergaulan di masyarakat. Namun broken home juga bisa diartikan
dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga
yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan
yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian dan akan sangat
berdampak kepada anak-anaknya khususnya remaja.
Perceraian didalam keluarga menimbulkan kerugian pada banyak pihak terutama
pada anak. Perceraian dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga atau
retaknya struktur peran sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak dapat
menjalankan kewajiban peran secukupnya. Perceraian berasal dari kata cerai yang
artinya berpisah dan dikenal dengan istilah broken home. Perceraian merupakan masa
yang kritis untuk anak, terutama menyangkut hubungan dengan orang tua yang tidak
tinggal bersama. Seperti yang dikutip dari “Jurnal Analisis Perkembangan Psikologi
Anak Broken Home Bab II” ,berbagai perasaan berkecamuk dalam batin anak. Hal
yang mereka rasakan adalah merasa tidak aman, merasa tidak diinginkan atau ditolak
oleh orang tuanya yang pergi, kesepian, merasa kehilangan. Perasaan ini yang dapat
menyebabkan anak takut gagal, takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain saat
dewasa nanti dan bisa berdampak ketika berumah tangga dimana anak mengalami
trauma yang berkepanjangan mengenai pernikahan, anak tidak ingin menikah ketika
dewasa dan sulit membangun kepercayaan terhadap sebuah pernikahan (Wulan, 2012,
par. 30).
2. Landasan Teori
Reis (dalam Lestari, 2012) menjelaskan keluarga merupakan kelompok kecil yang
memiliki struktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa
sosialisasi pemeliharaan generasi baru. Friedman (dalam Suprajitno, 2004)
menjelaskan keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal bersama dalam satu
rumah yang dihubungkan dengan suatu ikatan aturan dan emosional serta setiap
individunya memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari
keluarga. Willis (2015). Menjelaskan bahwa broken home diartikan sebagai
keluarga yang retak, yaitu kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya
kasih sayang dari orangtua yang disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena
perceraian sehingga anak hanya tinggal bersama satu orangtua kandung.
Yang dimaksud kasus broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (a)
keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala
keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai, (b) orang tua tidak bercerai akan
tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak di
rumah atau tidak memperlihatkan kasih sayang lagi. Misalnya, orang tua sering
bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Dari keluarga yang
seperti ini akan lahir anak-anak yang mengalami krisis kepribadian sehingga
perilakunya sering tidak sesuai. Broken home merupakan puncak tertinggi dari
penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami istri sudah tidak
mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua
belah pihak. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara
hukum maupun dengan diam – diam dan kadang ada juga kasus dimana salah satu
pasangan (suami, istri) meninggalkan keluarga.(Hurlock, 2008).
Saat seseorang dari keluarga broken home akan menikah maka perlu diyakinkan
oleh orang yang dicintai apakah memahami ketakutan yang dialaminya dan
menerima sisi tidak sempurna dalam kehidupannya (Utomo, 2013, par.12). Selain
itu broken home bisa disebabkan oleh kurangnya atau putus komunikasi di antara
anggota keluarga terutama ayah dan ibu, sikap egosentrisme, masalah ekonomi,
masalah kesibukan, masalah pendidikan, masalah perselingkuhan dan kekerasan
dalam rumah tangga (Siti, 2011).
3. Kesimpulan Dari Ketiga Jurnal
Jurnal 1:
Remaja broken home cenderung sulit dalam menerima orang baru baik sebagai
ayah tiri maupun sebagai ibu tiri. Hal ini dapat dilihat ketika informan memiliki
ayah tiri, sulit bagi mereka untuk mengakrabkan diri, berkomunikasi bahkan
memanggil orang tersebut dengan panggilan “ayah”, “bapak”, dan sebagainya.
Jurnal 2:
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada remaja perempuan dari
keluarga yang retak atau broken home. Remaja merupakan peralihan masa
perkembangan dari anak ke dewasa (Santrock, 2012). Keluarga memiliki peran
penting bagi perkembangan seseorang. Dampak yang dialami subjek saat keadaan
keluarga berubah, subjek merasa sakit hati, bingung, dan kecewa. Subjek
memiliki cara masing-masing untuk mengatasi perasaan tersebut. Menghadapi
permasalahan yang ada dengan jujur dan apa adanya, melakukan kegiatan yang
menghibur seperti hobi dan mencari teman-temannya untuk berbagi keluh kesah.
Jurnal 3:
Pengungkapan diri atau dengan kata lain self disclosure merupakan suatu bentuk
komunikasi yang perlu dilakukan oleh pasangan karena dengan melakukan
keterbukaan dapat meningkatkan komunikasi, keintiman dan bisa saling
memahami satu sama lain. Tidak semua orang dapat dengan mudah melakukan
keterbukaan apalagi menyangkut topik keluarga karena topik keluarga merupakan
hal yang sensitif. Tidak terkecuali tentang masalah keluarga yang broken home
dan berakhir dengan perceraian. Broken home sendiri umumnya dipandang
sebagai suatu hal yang buruk dan tabu untuk diungkapan.

Kelemahan: Dalam ketiga jurnal tersebut, latar belakang dan landasan teori
dijadikan satau sehingga harus lebih teliti untuk memahaminya. Selain itu
terdapat pada jurnal ketiga di bagian landasan teori sangat sedikit menjelaskan
teori apa saja yang digunakan, sehingga menyulitkan pembaca untuk mengetahui
teori apa saja yang digunakan.

5. Jelaskan triangulasi yang mereka gunakan dan menurut saudara kenapa mereka
mengunakan itu ?
Jurnal 1:
Triangulasi yang digunakan dalam jurnal ini adalah triangulasi metode, dikarenakan
triangulasi metode diperlukan karena setiap metode pengumpulan data memiliki
kelemahan dan keunggulannya sendiri. Dengan menggunakan triangulasi metode maka
dapat memperkuat hasil penelitian yang akan didapat. Maka antara satu dan lain metode
akan saling menutup kelemahan sehingga tangkapan atas realitas sosial menjadi lebih
terpercaya.
Jurnal 2:
Triangulasi yang digunakan dalam jurnal ini adalah triangulasi metode. Metode yang
digunakan dalam jurnal ini adalah wawancara yang dimana sebelum dilakukan
wawancara peneliti memberikan kriteria untuk partisipan sehinggan peneliti bisa
mendapatkan jawaban yang diinginkan. Maka anata satu dan lain metode akan saling
menutup kelemahan sehingga, mendapat hasil yang diinginkan.
Jurnal 3:
Triangulasi yang digunakan dalam jurnal ini adalah triangulasi data atau sumber data.
Data yang digunakan ialah dengan memilih data yang sesuai dengan penelitian dan
membuatkan table matriks untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang sesuai dengan data.

Anda mungkin juga menyukai