PENDAHULUAN
Media sosial yang eksis di Indonesia sampai saat ini antara lain ialah
Twitter, Facebook, dan Instagram, ketiga media sosial tersebut merupakan media
sosial dengan jumlah pengguna aktif terbanyak di Indonesia. Ketiganya
merupakan media sosial yang digemari oleh masyarakat dengan alasan yang
berbeda mulai dari fitur pengunggahan foto hingga fitur grup chat.
Media sosial adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan
dilakukan secara online yang dapat memungkinkan manusia untuk saling
berinteraksi tanpa adanya batasan. Media sosial memiliki dampak besar pada
kehidupan kita saat ini. Tidak hanya itu, di media sosial, apapun bisa dengan
mudahnya menjadi viral. Terutama isu-isu mengenai rasisme yang kerap kali
terjadi di media sosial.
1
Manusia yang lahir dengan ciri fisik berbeda satu sama yang lain bukan
lah sebagai suatu kesalahan turunan. Manusia mana pun tidak pernah punya
pilihan ketika dilahirkan, termasuk lahir dengan kondisi cacat secara fisik. Semua
itu merupakan pemberian Tuhan. Artinya, bentuk fisik dan warna kulit manusia
adalah hak pemberian Tuhan yang tak bisa ditolak oleh setiap manusia. Perbedaan
tersebut bukan suatu hal yang berfungsi untuk memecah belah ataupun
penghalang terciptanya kedamaian di dalam kehidupan umat manusia, namun
seharusnya keragaman dan perbedaan itu dimengerti sebagai kemajemukan ras
yang merupakan karunia besar Tuhan.
Rasisme adalah suatu gagasan atau teori yang mengatakan bahwa kaitan
kausal antara ciri-ciri jasmaniah yang diturunkan dan ciri-ciri tertentu dalam hal
kepribadian, intelek, budaya atau gabungan dari semuaitu, menimbulkan
2
superioritas dari ras tertentu terhadap yang lain.Rasisme berasal dari dominasi dan
menyediakan dasar pemikiran sosial dan filosofis pembenaran untuk merendahkan
dan melakukan kekerasan terhadap orang berdasarkan warna.. Bentuk – bentuk
dari rasisme sendiri dapat merupakan kejadian brutal secara nyata atau bahkan
dapat tidak terlihat oleh institusional.
3
perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Self control juga
menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif untuk
menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan
tertentu seperti yang di inginkan. Self control antara satu individu dengan individu
yang lain berbeda-beda, ada individu yang memiliki self control tinggi, sedang,
atau bahkan rendah. Individu yang memiliki self controltinggi mampu mengubah
kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku
yang membawa pada konsekuensi positif (Ghufron dan Risnawita, 2012 h.22).
Maka dari uraian yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan
negatif yang erat antara self control dengan rasisme di media sosial, yang
menunjukan semakin rendah self control , maka semakin tinggi tingkat rasisme di
media sosial, begitupun sebaliknya semakin tinggi self control maka akan
semakin rendah tingkat rasisme.
4
B. Identifikasi Masalah
D. Rumusan Masalah
Manfaat Teoritis:
5
Manfaat Praktis:
6
BAB II
A. Kajian Teori
1. Self-Control
7
untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang
dapat membawa ke arah konsekuensi positif.
Menurut Baumeister dan Exline (2000) ada empat faktor utama dalam
pembentukan self-control. Diantaranya adalah:
8
a. Behavioral control
b. Cognitive control
9
c. Decisional control
2. Rasisme
10
Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S. (2005:29-30) mendefinisikan rasisme sebagai
berikut :
1) Suatu ideologi yang mendasarkan diri pada gagasan bahwa manusia dapat
dipisahkan atas kelompok ras ; bahwa kelompok itu dapat disusun
berdasarkan derajat atau hierarki berdasarkan kepandaian atau kecakapan,
kemampuan, dan bahkan moralitas.
2) Suatu keyakinan yang terorganisasi mengenai sifat inferioritas (perasaan
rendah diri) dari suatu kelompok sosial, dan kemudian karena
dikombinasikan dengan kekuasaan, keyakinan ini diterjemahkan dalam
praktik hidup untuk menunjukkan kualitas atau perlakuan yang berbeda.
3) Diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang karena ras
mereka. Kadang-kadang konsep ini menjadi doktrin politis untuk
mengklaim suatu ras lebih hebat dari pada ras lain.
4) Suatu kompleks keyakinan bahwa beberapa subspesies dari manusia
(stocks) inferior (lebih rendah) dari pada subspecies manusia lain.
5) Kadang-kadang juga rasisme menjadi ideologi yang bersifat etnosentris
pada sekelompok ras tertentu. Apalagi ideologi ini didukung oleh
manipulasi teori sampai mitos, stereotip, dan jarak sosial, serta
diskriminasi yang sengaja diciptakan.
6) Kadang-kadang paham ini juga menyumbang pada karakteristik
superioritas dan inferioritas dari sekelompok penduduk berdasarkan alasan
fisik maupun faktor bawaan lain dari kelahiran mereka. Rasisme
merupakan salah satu bentuk khusus dari prasangka yang memfokuskan
diri pada variasi fisik diantara manusia
11
kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Misalnya,
peraturan yang membatasi hak kaum kulit hitam di Afrika Selatan, Selain
beragam tindak kekerasan, dibuat juga ghetto-ghetto. Ghetto-ghettoadalah aturan
yang melarang kulit hitam untuk mempelajari budaya selain budayanya sendiri
(Jusuf, 2005:1).
Definisi lain tentang rasisme atau yang sering juga di sama artikan dengan
rasislisme seperti yang ada dalam buku Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta
Toer (1998:50): Rasialisme adalah paham yang menolak sesuatu golongan
masyarakat yang berdasar ras lain. Rasialisme timbul atau dapat timbul apabila
masyarakat atas minoritas yang mempunyai kelainan-kelainan dari pada
keumuman biologis yang ada pada warga-warga masyarakat itu, dan dia timbul
atau bisa timbul karena segolongan kecil atau minoritas itu tidak dapat
mempertahankan diri. Sebagai akibatnya muncullah supremasi kulit putih yang
merugikan warga kulit berwarna lainnya.
Kata rasisme merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
Racism. Racism terambil ataupun berasal dari kata race yang mempunyai
beberapa arti, yaitu: Pertama, suatu kelas populasi yang didasarkan dari kriteria
genetik. Kedua, kelas dari genotip-genotip. Ketiga, setiap populasi yang secara
genetis berbeda dengan populasi lainnya (ras) (Soerjono Soekanto, 1993).
Menurut Roger Garaudy, setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau
pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul kebangsaan atau
etnis yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau merusak pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau lainnya
kehidupan publik.
12
Rasisme muncul dari sikap etnosentrisme yang berlebihan atau ekstrim.
Etnosentrism juga terkait dengan sikap nasionalisme. Menurut Rosenblatt, ia
yakin sikap ini muncul dari perbandingan ingroup dan outgroup. Sikap berbeda,
bagaimanapun, dalam etnosentrisme berfokus pada bentuk-bentuk budaya
perilaku, ketika nasionalisme berfokus pada sebuah ideologi bangsa, ideologi
politik. Menurut Rosenblatt level tingggi nasionalisme dan etnosentrisme
mendukung beberapa fungsi yang memelihara integritas ingroup. Rasisme
membahayakan bagi penerima perilaku yang merusak ini juga kepada pelakunya
sendiri. Tindakan rasisme merendahkan si target dengan mengingkari
identitasnya, dan hal ini menghancurkan suatu budaya dengan menciptakan
pembagian kelompok secara politik, sosial, dan ekonomi dalam suatu negara
(Samovar dkk, 2010: 187-211).
Prasangka bisa terjadi dalam dua arah, prasangka yang dilakukan oleh
kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, maupun sebaliknya. Kulit
15putih sebagai kelompok mayoritas selalu berprasangka buruk terhadap kulit
hitamkarenadulu kulit hitam hanya seorang budak. Seiring kemajuan zaman
keberadaan kulit hitam juga terus maju. Hal demikian yang tidak disukai kulit
putih karena mengancam keberadaan kekuasaan mereka(Siang, 2007: 27).
13
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa rasialisme dapat timbul
dalam masyarakat yang masih menganut superioritas dan minoritas, dimana dalam
masyarakat minoritas tersebut terdapat kelainan-kelainan secara biologis dari pada
umumnya, ideologi yang didasarkan pada derajat manusia, sikap diskriminasi, dan
sikap yang mengklaim suatu ras lebih unggul dari pada ras lain.
3. Media Sosial
Selain pernyataan diatas, berikut ini adalah definisi dari media sosial yang
berasal dari berbagai literatur penelitian (Fuchs, 2014 dalam Nasrullah, 2016) :
14
3. Boyd (2009), menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat
lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk
berkumpul, berbagi, berkomunikasi dan dalam kasus tertentu saling
berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user
generated content (UGC) dimana konten dihasilkan oleh pengguna,
bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa.
4. Menurut Van Dijk (2013), media sosial adalah platform media yang
memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka
dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial
dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan
hubungan antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.
5. Meike dan Young (2012), mengartikan media sosial sebagai
konvergensi antara komunikasi personal dalam arti saling berbagi di
antara individu (to be shared one to one) dan media publik untuk
berbagi kepada siapa saja tanpa ada kekhususan individu.
Media sosial memliki beberapa karakter yang tidak dimiliki oleh beberapa
jenis media lainnya. Ada batasan maupun ciri khusus yang hanya dimiliki oleh
media social. Berikut beberapa karakteristik media sosial yaitu (Nasrullah, 2016):
1. Jaringan
Media sosial terbangun dari struktur sosial yang terbentuk dalam jaringan atau
internet. Karakter media sosial adalah membentuk jaringan diantara
penggunanya sehinga kehadiran media sosial memberikan media bagi
pengguna untuk terhubung secara mekanisme teknologi.
2. Informasi
Informasi menjadi hal yang penting dari media sosial karena dalam media
sosial terdapat aktifitas memproduksi konten hingga interaksi yang
berdasarkan informasi.
3. Arsip
15
Bagi pengguna media sosial arsip merupakan sebuah karakter yang
menjelaskan bahwa informasi telah tersimpan dan bisa diakses kapanpun dan
melalui perangkat apapun.
4. Interaksi
Karakter dasar dari media sosial adalah terbentuknya jaringan antar pengguna.
Fungsinya tidak sekedar memperluas hubungan pertemanan maupun
memperbanyak pengikut di internet. Bentuk sederhana yang terjadi di media
sosial dapat berupa memberi komentar dan lain sebagaiannya.
5. Simulasi Sosial
Media sosial memiliki karakter sebagai media berlangsungnya masyarakat di
dunia virtual (maya). Ibarat sebuah Negara, media sosial juga memiliki aturan
dan etika bagi para penggunanya. Interaksi yang terjadi di media sosial
mampu menggambarkan realitas yang terjadi akan tetapi interaksi yang terjadi
adalah simulasi yang terkadang berbeda sama sekali.
6. Konten oleh Pengguna
Karakteristik ini menunjukan bahwa konten dalam media sosial sepenuhnya
milik dan juga berdasarkan pengguna maupun pemilik akun. Konten oleh
pengguna ini menandakan bahwa di media sosial khalayak tidak hanya
memproduksi konten mereka sendiri melainkan juga mengonsumsi konten
yang diproduksi oleh pengguna lain.
7. Penyebaran
Penyebaran adalah karakter lain dari media sosial, tidak hanya menghasilkan
dan mengonsumsi konten tetapi juga aktif menyebarkan sekaligus
mengembangkan konten oleh penggunanya.
Media sosial menurut Dailey (2009:3) adalah konten online yang dibuat
menggunakan teknologi penerbitan yang sangat mudah diakses dan terukur.
Paling penting dari teknologi ini adalah terjadinya pergeseran cara mengetahui
orang, membaca dan berbagi berita, serta mencari informasi dan konten (Badri,
2011:132).
16
berinterakasi, bekerjasama,salingberbagi, berkomunikasi dengan pengguna
lainnya, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.”
Media sosial adalah salah satu contoh dari sebuah media berbasis online
dengan memiliki banyak pengguna yang tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia.
Media sosial umumnya dimanfaatkan untuk saling berbagi dan berpartisipasi. Tak
jarang, media sosial juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan interaksi
sosial. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam mengakses sosial media yang dapat
17
dilakukan kapan pun dan dimana pun. Selain pernyataan diatas, berikut adalah
beberapa fungsi media sosial lainnya (Tenia, 2017) :
18
1) Mempermudah kegiatan belajar, karena dapat digunakan sebagai
sarana untuk berdiskusi dengan teman sekolah tentang tugas
(mencari informasi)
2) Mencari dan menambah teman atau bertemu kembali dengan
teman lama. Baik itu teman di sekolah, di lingkungan bermain
maupun teman yang bertemu melalui jejaring sosial lain
3) Menghilangkan kepenatan pelajar, itu bisa menjadi obat stress
setelah seharian bergelut dengan pelajaran di sekolah. Misalnya,
mengomentari situs orang lain yang terkadang lucu dan
menggelitik, bermain game, dan lain sebagainya.
“Media exposure is more complicated than acces because is ideal not only
whit what her a person is within pysical (range of the particular mass medium) but
19
also whether person is actually exposed to the message. Exposure is hearing,
seeing, reading, or most generally, experiencing, with at least a minimal amount
of interest the mass media message. The exposure might occure to an individual
or group level “
Artinya, terpaan media adalah lebih lengkap daripada hanya sekedar akses.
Terpaan tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat
dengan kehadiran media massa akan tetapi apakah seseorang itu benar-benar
membuka diri terhadap pesan-pesan yang disebarkan melalui media tersebut.
Wujud nyata dari terpaan media adalah, kegiatan mendengar, melihat, dan
membaca pesan-pesan media massa ataupun pengalaman dan perhatian terhadap
pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu maupun kelompok.
Menurut Rosengren (dalam Rakhmat, 2001) terpaan media dapat
dioperasionalisasikan ke dalam jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai
jenis media, isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antar individu
konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara
keseluruhan.
Sedangkan menurut Sari (dalam Kriyantono, 2009) terpaan media dapat
dioperasionalisasikan dengan jenis media yang digunakan, frekuensi penggunaan,
maupun durasi penggunaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terpaan
media dapat diukur dengan frekuensi, durasi dan intensitas, sehingga mengukur
terpaan video beauty vlogger di YouTubedapat dijabarkan sebagai berikut :
20
tersebut memperhatikan secara detail semua ornament yang ada pada
video beauty vlogger di YouTube.
21
Penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan rasisme:
22
menghasilkan makna yang berbeda ketika khalayak memiliki latar
belakang etnis minoritas. Penelitian ini menggunakan metode analisis
resepsi encoding-decoding Stuart Hall, dengan jenis penelitian kualitatif
yang berfokus pada rasisme yang terjadi di Amerika Serikat. Data
diperoleh melalui wawancara terhadap informan dari latar belakang etnis
minoritas di pulau Jawa. Hal ini dilakukan karena mereka yang paling
memungkinkan mengalami diskriminasi ras. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seluruh informan berada pada posisi oposisi yaitu menolak adegan
perbudakan dan kekerasan akibat rasisme yang ditampilkan. Beberapa
informan pada posisi dominan dalam adegan tertentu. Latar belakang
informan menjadi sangat berpengaruh ketika mahasiswa keturunan China
setuju dengan salah satu adegan yang merugikan kulit hitam. Secara
umum, menurut informan rasisme adalah tindakan yang tidak
berperikemanusiaan dan sangat kejam.
3) “Racism, football fans, and online message boards: how social media has
added a new dimension to racist discourse in English football” oleh J.
Cleland, Loughborough University. Artikel ini menyajikan temuan analisis
yang dilakukan dari November 2011 hingga Februari 2012 pada dua papan
pengumuman sepak bola, papan pengumuman terkemuka yang memeriksa
pandangan penggemar terhadap rasisme dalam sepakbola Inggris. Setelah
menganalisis lebih dari 500 posting, artikel ini mengungkapkan rasis yang
digunakan oleh beberapa pendukung dalam diskusi online mereka dan
sejauh mana posting seperti ini baik didukung atau diperebutkan oleh
sesama fans. Temuan keseluruhan adalah bahwa situs media sosial seperti
fan message boards telah memungkinkan pemikiran rasis untuk
berkembang secara online, khususnya dengan menolak multikulturalisme
dan Islam. Hasilnya, munculnya media sosial hanya menambah
kompleksitas upaya untuk mengatasi rasisme dan bukti yang disajikan
dalam artikel ini sangat menantang asumsi oleh organisasi anti-rasis dan
otoritas sepakbola bahwa rasisme sedang diberantas dari sepakbola.
Kemajuan teknologi dalam komunikasi sejak awal abad kedua puluh satu
23
telah memungkinkan pandangan rasis dan Islamofobia untuk beroperasi
secara terselubung di papan pesan dan platform lain seperti Twitter,
daripada secara terbuka di stadion sepak bola.
24
pada analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Dalam
film “Glory Road” terdapat adegan atau scene yang mengarah ke
Intimidasi, Antisemitisme, Etnosentrisme, dan Miscegenation yang
menyimpulkan bahwa film “Glory Road” memiliki nilai-nilai rasisme
yang digambarkan melalui perilaku intimidasi, dan pesan yang ingin
disampaikan adalah ciri fisik khususnya warna kulit tidak dapat dijadikan
sebuah ukuran untuk melihat kemampuan dan kecerdasan seseorang.
25
yang berujung kepada diskriminasi. Kekerasan sering terjadi kepada
transgender tersebut seperti halnya diperlakukan dengan kekerasan fisik
dan diskriminasi pengucilan dari masyarakat tempat mereka tinggal. Rasis
sendiri bukan menunjukan perbedaan kulit saja melainkan seluruh
perbedaan yang ada, dimana minoritas menjadi diskriminasi tersendiri
bagi khlayak mayoritas. Penelitian ini menggunakan studi deskriptif
kualitatif dengan metode studi kasus, dan adapun hasil dari penelitian
tersebut adalah bahwa transgender mengalami kejahatan kebencian (hate
crime) oleh keluarga, masyarakat ataupun negara.
terdapat dalam film fitna merupakan konstruksi dari sang pembuat film
yaitu Geert Wilders, yang mana untuk mengutarakan pendapat ataupun
pikiran.
26
9) “Film Tinkerbell” (Studi Semiotika Terhadap Isu Rasisme dalam Film
Tinkerbell) karya Marceline Yudith Prawitasari Fakultas Ilmu Politik dan
Ilmu Sosial Universitas Atmajaya Jogjakarta. Tujuan penelitian yang
dilakukan oleh Marceline yaitu ingin Mengetahui, memahami, dan
menjelaskan bagaimana Disney menyebarkan dan mengartikulasikan
rasisme secara ideologis dalam film Tinkerbell. Peneliti juga ingin
mengetahui bagaimana Disney merepresentasikan rasisme secara ideologis
dalam film Tinkerbell. Metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis rasisme dalam film Tinkerbell, penelitian ini memakai
analisis Semiotika model Charles S Pierce. Hasil yang didapat dari
penelitian ini adalah heroism masih menjadi tema film populer yang biasa
ditemukan dalam film produksi Amerika. Namun dalam film Tinkerbell
sepertinya heroisme seolah hanya menjadi
27
tersebut ingin mengetahui tanda-tanda yang mewakili pemaknaan atas
rasisme yang terkandung dalam film Crash. Sifat penelitian yang
digunakan yaitu Deskriptif. Metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis film Crash ini yaitu analisis Semiotika oleh Roland Barthes.
Hasil penelitian dari penelitian ini adalah Film Crash merupakan film yang
memberikan gambaran tentang terjadinya rasisme dalam berbagai bidang
kehidupan di kota Los Angeles, California. Permasalahan rasisme dalam
film Crash terjadi diantara berbagai macam ras dan bangsa yang berada di
Los Angeles, mulai dari warga kulit putih, kulit hitam, warga Amerika –
Asia, warga Amerika – Hispanic, warga keturunan Persia (Timur Tengah)
dan dalam berbagai taraf kehidupan. Rasisme yang terjadi digambarkan
melalui adanya prasangka dan stereotip yang menyebabkan terjadinya
berbagai kekerasan rasial. Antara prasangka, stereotype, diskrimisasi dan
kekerasan rasial sendiri tenyata memiliki kaitan yang erat satu sama lain.
Persoalan rasisme yang ditampilkan dalam film Crash masih didominasi
oleh rasisme diantara warga kulit putih dan warga kulit hitam. Hal ini
dilatarbelakangi dari sejarah panjang atas berbagai tindakan rasisme pada
warga kulit hitam, mulai dari perbudakan, diskriminasi kelembagaan
(Undang-Undang Jim Crow) dan pembantaian (genosida). Rasisme yang
ditampilkan juga terjadi diberbagai taraf kehidupan dan berbagai profesi,
mulai dari golongan kelas bawah hingga kelas atas. Representasi rasisme
dalam film Crash digambarkan dengan lebih halus melalui frekuensi
perbuatan rasisme yang lebih dominan berupa kata-kata yang diungkapkan
oleh masing-masing tokoh.
11) Penelitian dari Yolanda Hana Chornelia, Ilmu Komunikasi, Universitas
Kristen Petra,Surabaya. “Representasi Feminisme dalam film “Snow
White and The Hustman”, film ini merupakan film yang diangkat dari
dongeng asal Jerman, film ini menyorot perempuan sebagai tokoh utama
yang memiliki sisi tangguhnya, dan rumusan dalam penelitian ini adalah
bagaiman representasi feminismedalam film tersebut, dalam penelitianini
menggunakan metode semiotika televisiJohn Fiske, dan kesamaan dengan
penulis sama menggunakan konsep representasi.
28
12) Penelitian dari Yolanda Hana Chornelia, Ilmu Komunikasi, Universitas
Kristen Petra,Surabaya. “Representasi Feminisme dalam film “Snow
White and The Hustman”, film ini merupakan film yang diangkat dari
dongeng asal Jerman, film ini menyorot perempuan sebagai tokoh utama
yang memiliki sisi tangguhnya, dan rumusan dalam penelitian ini adalah
bagaiman representasi feminismedalam film tersebut, dalam penelitianini
menggunakan metode semiotika televisiJohn Fiske, dan kesamaan dengan
penulis sama menggunakan konsep representasi. Penelitaian ini
menggunakan metode semiotika televisi John fiske, dengan pendekatan
kualitatif, dan memiliki kesaaman dengan penelitian ini yaitu sama
menggunakan konsep representasi dalam menggambarkan film.
29
C. Kerangka Berpikir
30
Perilaku Positif
Self-control
Media Sosial
Rasisme
Perilaku Negatif
D. Hipotesis Penelitian
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan penelitian
32
2. Metode pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
Perposive Sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel yang digunakan
peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam
pengambilan sampelnya. (Sugioyono, 2013).
D. Metode Penelitian
1. Skala Self-control
33
Tabel 1.
Blueprint Skala Self-control
Nomor Item Jumlah
No Aspek Indikator
Favo Unfavo Item
Mengatur pelaksanaan (regulated
1 Behavioral control 1, 3 2, 4 4
administration)
Memperoleh informasi (information gain) 5,7 6,8 4
2 Cognitive control
Melakukan penilaian (appraisal) 9 10 2
Kemampuan mengontrol perilaku 11 12 2
Skala ini terdiri dari 18 pernyataan yang terbagi dalam 9 butir item
favorable dan 9 butir item unfavorable. Pernyataan yang termasuk favorable
adalah pernyataan yang mendukung teori, memihak atau mendukung atribut yang
diukur, sedangkan unfavorable adalah pernyataan yang tidak medukung teori atau
menggambarkan ciri atribut yang diukur.
Skala ini disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri atas empat
alternatif jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Sesuai
(S), Sangat Sesuai (SS). Pada item favorable, skor bergerak dari 1 sampai 4, yaitu
skor yang diberikan untuk pernyataan yang positif jawaban 1 diberi skor 1,
jawaban 2 diberikan skor 2, jawaban 3 diberikan skor 3, dan jawaban 4 diberi skor
4. Untuk pernyataan yang negatif jawaban 1 diberi skor 4, jawaban 2 diberi skor
3, jawaban 3 diberi skor 2, dan jawaban 4 diberi skor 1.
2. Skala Rasisme
34
Rasisme akan diukur dengan menggunakan Skala Rasisme. Item pada alat
ukur ini berjumlah 12 item. Item-item untuk masing-masing aspek akan
dilaporkan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2.
Nomor Item Jumlah
No Aspek Indikator
Favo Unfavo Item
Ras superioritas 1,3 2,4 4
1 Ras/Keturunan
Perbedaan ras 5,7 6,8 4
2 Budaya/Etnis Budaya perilaku 9,11 10,12 4
Total 6 6 12
Blueprint Skala Rasisme
Skala ini terdiri dari 12 pernyataan yang terbagi dalam 6 butir item
favorable dan 6 butir item unfavorable. Skala ini disusun berdasarkan skala Likert
yang terdiri atas empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak
Sesuai (TS), Sesuai (S), Sangat Sesuai (SS). Pada item favorable, skor bergerak
dari 1 sampai 4, yaitu skor yang diberikan untuk pernyataan yang positif jawaban
1 diberi skor 1, jawaban 2 diberikan skor 2, jawaban 3 diberikan skor 3, dan
jawaban 4 diberi skor 4. Untuk pernyataan yang negatif jawaban 1 diberi skor 4,
jawaban 2 diberi skor 3, jawaban 3 diberi skor 2, dan jawaban 4 diberi skor 1.
35
Validitas skala adalah skala tersebut mampu mengukur apa yang ingin
diukur dengan cermat dan tepat. Menurut Azwar (2005) validitas adalah suatu
penelitian yang sangat penting karena hal tersebut merupakan penentu keilmiahan
atau keabsahan hasil suatu penelitian. Secara umum validitas terbagi menjadi tiga
tipe, yaitu validitas isi, validitas konstruk dan validitas kriteria. Validitas pada
penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi digunakan untuk
mengetahui sejauh mana aitem-aitem dalam tes dapat mencakup keseluruhan isi
pada objek yang ingin diukur, Azwar (2005).
2. Reliabilitas
Reliabilitas skala adalah skala tersebut mempunyai konsisten dalam
pengukurannya sebagai alat pengumpulan data. Reliabilitas berasal dari kata rely
dan ability. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama memperoleh hasil
yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum
berubah (Azwar, 2012).
Reliabilitas tes ditentukan sejauh mana distribusi skor tampak pada dua tes
yang paralel, berkolerasi. Reliabilitas secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka
yang disebut koefisien reliabilitas, secara teoritis besarnya reliabilitas berkisar
antara 0,00 – 1,00 (Azwar, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
36
Noratika Ardilasari, Ari Firmanto. 2017 Hubungan Self Control dan Perilaku
Cyberloafing Pada Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Malang. Vol. 05, No.01.
Billy Susanti. 2014. Analisis Resepsi Terhadap Rasisme Dalam Film. Fakultas
Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta.
J. Cleland. 2013. Racism, football fans, and online message boards: how social
media has added a new dimension to racist discourse in English football.
Loughborough University.
Alia Imtoual. 2005. Religious Racism and the Media: Representations of Muslim
Women in the Australian Print Media. University of Western Australia.
37
Yeka Syamela. 2015. Konstruksi Realitas Rasisme Dalam Film The Help.
Universitas Riau. Jom.Fisip Vol. 2 No.1.
https://www.kompasiana.com/agungabdillah/kajian-
rasisme_571774741d23bdfc1ed9a94e. Diakses pada tanggal 28 April 2018 pukul
22.12 WIB.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-2-00056-PS
%20Bab2001.pdf. Diakses pada tanggal 28 April 2018 pukul 22.58 WIB.
https://kupdf.com/download/pengertian-sosial-media-menurut-para
ahli_59b5de87dc0d60fb058ceb22_pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2018 pukul
12.11 WIB.
http://digilib.uinsgd.ac.id/14076/4/4_bab1.pdf
http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/6495/Cover%20-
%20Bab1%20-%203314116sc-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18313/BAB%202.pdf?
sequence=2&isAllowed=y
http://repository.unpas.ac.id/40202/5/8.%20BAB%20II.pdf
http://eprints.umm.ac.id/40601/3/BAB%20II.pdf
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-2-00902-MC
%20Bab2001.pdf
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/636/jbptunikompp-gdl-susilawati-31755-10-
unikom_s-i.pdf
38