Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi pada saat ini semakin canggih, penyebaran


informasi serta akses telekomunikasi dan tranportasi semakin lebih cepat dan
mudah. Salah satu teknologi yang sangat berkembang saat ini adalah teknologi
internet. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung mempunyai dampak bagi dunia baik itu dampak positif ataupun negatif.
Namun, manfaat positif maupun dampak negatif yang kelak muncul tentu
bergantung pada niat dan perilaku tiap orang yang menggunakan produk teknologi
komunikasi modern itu.
Di era digital seperti sekarang ini, media sosial telah menjadi kebutuhan
sehari-hari bagi masyarakat di seluruh dunia. Dengan adanya media sosial, tanpa
disadari telah membantu pola komunikasi jarak jauh antar individu dengan
memudahkan siapa saja berinteraksi di dalamnya, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri.

Media sosial yang eksis di Indonesia sampai saat ini antara lain ialah
Twitter, Facebook, dan Instagram, ketiga media sosial tersebut merupakan media
sosial dengan jumlah pengguna aktif terbanyak di Indonesia. Ketiganya
merupakan media sosial yang digemari oleh masyarakat dengan alasan yang
berbeda mulai dari fitur pengunggahan foto hingga fitur grup chat.

Media sosial adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan
dilakukan secara online yang dapat memungkinkan manusia untuk saling
berinteraksi tanpa adanya batasan. Media sosial memiliki dampak besar pada
kehidupan kita saat ini. Tidak hanya itu, di media sosial, apapun bisa dengan
mudahnya menjadi viral. Terutama isu-isu mengenai rasisme yang kerap kali
terjadi di media sosial.

1
Manusia yang lahir dengan ciri fisik berbeda satu sama yang lain bukan
lah sebagai suatu kesalahan turunan. Manusia mana pun tidak pernah punya
pilihan ketika dilahirkan, termasuk lahir dengan kondisi cacat secara fisik. Semua
itu merupakan pemberian Tuhan. Artinya, bentuk fisik dan warna kulit manusia
adalah hak pemberian Tuhan yang tak bisa ditolak oleh setiap manusia. Perbedaan
tersebut bukan suatu hal yang berfungsi untuk memecah belah ataupun
penghalang terciptanya kedamaian di dalam kehidupan umat manusia, namun
seharusnya keragaman dan perbedaan itu dimengerti sebagai kemajemukan ras
yang merupakan karunia besar Tuhan.

Semua manusia diciptakan Tuhan setara dan dianugerahi hak-hak individu


yang sama. Begitu pula terhadap hak setiap manusia yang terlahir di dunia untuk
memilih suatu kepercayaan yang akan dianutnya. Bangsa-bangsa di dunia telah
mengenal hubungan antar budaya yang berbeda sejak nenek moyang dari ratusan
abad yang lalu, namun kini setelah banyak ahli yang berwawasan modern, malah
menunjukkantentang perbedaan budaya ituke publik. Lebih-lebih disaat berbagai
konflik kepentingan muncul dalam kehidupan antar bangsa, seperti konflik
politik, bisnis, etnis maupun konflik yang menyangkut kepercayaan atau agama.

Prasangka berkaitan dengan presepsi seseorang yang menilai tentang


seseorang atau suatu kelompok lain, dan sikap ataupun perilaku terhadap mereka.
Prasangka sendiri merupakan salah satu bentuk rasisme yang akan memiliki suatu
akibat tertentu ketika seseorang atau kelompok memilih sikap tersebut.

Berkaitan dengan prasangka, peran media sangatlah penting dalam


pembentukan presepsi dalam suatu kelompok. Baik itu media cetak ataupun media
elektronik, keduanya merupakan sarana pendukung yang sangat dominan dalam
membentuk suatu prasangka di dalam masyarakat terlebih pada waktu sekarang
ini ( Walgito, 1999:84 ).

Rasisme adalah suatu gagasan atau teori yang mengatakan bahwa kaitan
kausal antara ciri-ciri jasmaniah yang diturunkan dan ciri-ciri tertentu dalam hal
kepribadian, intelek, budaya atau gabungan dari semuaitu, menimbulkan

2
superioritas dari ras tertentu terhadap yang lain.Rasisme berasal dari dominasi dan
menyediakan dasar pemikiran sosial dan filosofis pembenaran untuk merendahkan
dan melakukan kekerasan terhadap orang berdasarkan warna.. Bentuk – bentuk
dari rasisme sendiri dapat merupakan kejadian brutal secara nyata atau bahkan
dapat tidak terlihat oleh institusional.

Kata rasisme itu sendiri dapat membangkitkan reaksi emosional yang


sangat kuat, terutama bagi mereka yang telah merasakan penindasan dan
eksploitasi yang berasal dari sikap dan perilaku rasis. Untuk anggota Afrika
Amerika, Asia Amerika, penduduk asli Amerika, dan budaya Latino, rasisme
telah menciptakan sejarah sosial dibentuk oleh prasangka dan diskriminasi. Untuk
individu anggota kelompok ini, rasisme telah mengakibatkan rasa sakit
penindasan. Bagi mereka yang tergabung dalam kelompok budaya yang telah
memiliki kekuatan untuk menindas dan mengeksploitasi orang lain, rasisme istilah
yang sering membangkitkan pikiran sama kuat dan reaksi emosional yang
mengingkari tanggung jawab dan partisipasi dalam tindakan rasis dan berpikir
(Lustig dan Koester, 2003: 157).

Di dalam media sosialpun, terdapat hal-hal yang harus dihindari, terutama


hal yang berbau unsur rasisme. Karena hal tersebut dapat mendiskriminasi suatu
kaum atau ras lainnya. Meskipun hal tersebut harus dihindari, namun masih
banyak dari masyarakat yang melakukan tindakan rasisme terhadap suatu kaum
atau ras. Tindakan-tindakan tersebut sering kali mendeskripsikan bahwa rasnya
merupakan ras yang terbaik dan mendeskripsikan bahwa ras yang lain kurang baik
dibandingkan dengan rasnya.

Rasisme yang terjadi di media sosial juga merupakan kurangnya sebuah


self-control yang ada pada diri seseorang. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya rasisme di media sosial, karena kurangnya dari self-control tersebut,
maka dengan mudahnya seseorang di media sosial dapat melakukan jenis
diskriminasi yaitu rasisme di dalam media sosial.

Goldfried & Marbaum (2008), self control diartikan sebagai kemampuan


individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk

3
perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Self control juga
menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif untuk
menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan
tertentu seperti yang di inginkan. Self control antara satu individu dengan individu
yang lain berbeda-beda, ada individu yang memiliki self control tinggi, sedang,
atau bahkan rendah. Individu yang memiliki self controltinggi mampu mengubah
kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku
yang membawa pada konsekuensi positif (Ghufron dan Risnawita, 2012 h.22).

Adapun individu yang memiliki self controlrendah cenderung akan


bertindak implusive. (dalam Noor & Hervi, 2011). Loewenstein (dalam Hagger,
Wood, Stiff, dan Chatzisarantis, 2010) mengatakan jika seorang individu tidak
bisa mengatur perilakunya, maka seseorang tersebut hidupnya akan menjadi
rangkaian tindakan implusif yang tidak bisa dihentikan untuk melayani dorongan-
dorongan, keinginan, serta emosi yang berada dalam dirinya.

Menurut Zulkarnain (2012) Pengaruh self control terhadap timbulnya


tingkah laku dianggap cukup besar, hal tersebut disebabkan karenasalah satu hasil
proses pengontrolan diri seseorang adalah tingkah laku yang tampak. Adapun
Atribut stabil yang terdapat dalam diri manusia yang dapat dikarakteristikkan
dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan
tertentu individu (dalam Ardilasari &Firmanto, 2017).

Maka dari uraian yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan
negatif yang erat antara self control dengan rasisme di media sosial, yang
menunjukan semakin rendah self control , maka semakin tinggi tingkat rasisme di
media sosial, begitupun sebaliknya semakin tinggi self control maka akan
semakin rendah tingkat rasisme.

Berdasarkan pemaparan masalah diatas, saya tertarik untuk mengangkat


kasus ini dalam penelitian dan mengetahui lebih jauh apakah terdapat pengaruh
self control terhadap rasisme di media sosial dan serapa besar pengaruhnya.

4
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dianalisis identifikasi masalahnya


meliputi:

1. Self-control seseorang di media sosial.


2. Intensitas seseorang menggunakan jenis-jenis media sosial.
3. Rasisme yang terjadi di media sosial.
C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang diperoleh penulis maka adapun


batasan dalam penelitian ini lebih menitik beratkan pada pengaruh self-control
terhadap rasisme di media sosial. Peneliti lebih membahas mengenai self-control
yang dimiliki seseorang terhadap rasisme di media sosial.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan dan identifikasi masalah yang telah ditentukan oleh


penulis maka rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagaimana pengaruh self-control seseorang terhadap rasisme di media


sosial?
2. Apakah terdapat pengaruh self-control terhadap rasisme di media
sosial?
3. Bagaimana intensitas seseorang dalam menggunakan media sosial?
E. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis:

Manfaat teoritis dalam penilitianini adalah guna memberikan


informasi baru kepada para pengembang teori-teori psikologi terutama
mengenai pengaruh self control terhadap rasisme di media sosial. Selain
itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana untuk penelitian
selanjutnya dalam memberikan data dan informasi sebagai bahan studi.

5
Manfaat Praktis:

a. Bagi Masyarakat, diharapkan menjadi masukan dalam menghadapi


permasalahan yang berada, terkait dengan isu-isu di media sosial dengan
menerapkan teknik self control.
b. Bagi siswa, diharapkan dapat dijadikan sebagai latihan untuk membantu
dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
c. Bagi peneliti, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran atau
rujukan ke depannya jika sudah terjun ke lapangan sebagai seorang
pembimbing.

6
BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Self-Control

Self-control membuat seseorang menahan suatu respon yang dianggap


negatif dan mengarahkannya kepada respon lain yang lebih baik dalam segi self
discipline, deliberate/nonimpulsive, healthy habits, work ethic, dan reliability
(Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Self-control adalah kemampuan individu
untuk berperilaku yang tenang dan tidak meledak-ledak, dapat memikirkan resiko
dari perilakunya, berusaha mencari informasi sebelum megambil keputusan, tidak
mengandalkan kekuatan fisik dalam menyelesaiakan masalah dan tidak bersikap
egois atau mudah marah (Praptiani, 2013). (Gottfredson dan Hirschi 1990)
mengungkapkan bahwa suka mengikuti kata hati, tidak sensitif, self-centered, dan
suka bertindak simple adalah contoh-contoh dari individu yang memiliku
pengendalian diri (self-control) relatif rendah.

Hurlock (1990) menyebutkan tiga kriteria emosi yang masak sebagai


berikut :

1) Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial.


2) Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk
memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.
3) Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan
cara beraksi terhadap situasi tersebut.

Carver dan Scheier (1982) mengatakan bahwa teori kontrol merupakan


sebuah pendekatan umum didalam memahami self-control. Teori kontrol
digunakan untuk menganalisis perilaku individu, karena berfungsi sebagai
pengambaran model dari self-control individu. Menurut Goldfried & Marbaum
(dalam Zulkarnain, 2002), self-control diartikan sebagai kemampuan individu

7
untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang
dapat membawa ke arah konsekuensi positif.

Menurut Baumeister dan Exline (2000) ada empat faktor utama dalam
pembentukan self-control. Diantaranya adalah:

a. Kontrol impuls yang melibatkan penahanan diri terhadap godaan dan


dorongan yang tidak diinginkan lingkungan sosial ataupun pribadi.
b. Kontrol atas pikiran yaitu berkonsentrasi untuk mengatur
pertimbangan seseorang sehingga dapat menghasilkan informasi
sesuai dengan fakta dan informasi yang ada sehingga dapat menekan
pikiran yang tidak di inginkan.
c. Pengaruh regulasi yang melibatkan upaya untuk mengubah keadaan
emosional dan suasana hati seseorang, hal yang paling sering
dilakukan adalah dengan keluar dari suasana hati yang buruk.
d. Kontrol diri yang relevan untuk mencapai kinerja yang optimal, dan
proses pengendalian kinerja dapat mencakup ketekunan, pengelolaan
tenaga yang optimal, tibal balik yang cepat dan tepat, mencegah
terhambat di bawah tekanan.

Larry (dalam R.S Satmoko, 1986:130) mengungkapkan bahwa


Pengendalian diri adalah kemampuan mengenali emosi dirinya dan orang lain.
Baik itu perasaan bahagia, sedih, marah, senang, takut, dan sebagainya, mengelola
emosi, baik itu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas,
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan,
atau ketersinggungan, mengendalikan dorongan hati memotivasi diri sendiri, dan
memahami orang lain secara bijaksana dalam hubungan antar manusia.

Berdasarkan Konsep Averill (1973), terdapat 3 jenis kemampuan


mengontrol diri yang meliputi 5 aspek. Averill (1973) menyebut kontrol diri
dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control),
Kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional
control).

8
a. Behavioral control

Merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara


langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua
komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan
kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan
mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa
yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar
dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu
mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak
mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur
stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu
stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang
waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan
stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya.

b. Cognitive control

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak


diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu
kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk
mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh
informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan
informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak
menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai
pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan dan
menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi
positif secara subjektif.

9
c. Decisional control

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu


tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri
dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan,
kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai
kemungkinan tindakan. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur
kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut :

1. Kemampuan mengontrol perilaku


2. Kemampuan mengontrol stimulus
3. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian
4. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian
5. Kemampuan mengambil keputusan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa self-control merupakan


kemampuan dalam mengenali dan mengendalikan emosi yang ada di dalam
dirinya dan orang lain. Self-control juga merupakan suatu potensi yang dapat
dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan,
termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan di sekitarnya.

2. Rasisme

Istilah rasisme sendiri pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an,


ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan teori-teori rasis yang
dipakai orang-orang Nazi (Fredrickson, 2005). Kendati demikian, bukan berarti
jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tidak ada. Keragaman dan perbedaan
warna kulit itu harusnya dipahami sebagai kemajemukan ras, bukan menunjukkan
satu superioritas (Koentjaraningrat, 1990).

Menurut George M Fredrickson,rasismememiliki dua


komponen,“perbedaan” dan “kekuasaan”. Rasisme berasal dari dari suatu sikap
yang memandang “mereka/yang lain”berbeda dengan “kita”. Perasaan berbeda ini
memberikansuatualasan untuk memanfaatkan keunggulan dan kekuasaan
“kita”dengan memperlakukan “yang lain”dengan cara-cara yang dianggap kejam
dan tidak adil (Fredrickson, 2005: 13)

10
Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S. (2005:29-30) mendefinisikan rasisme sebagai
berikut :

1) Suatu ideologi yang mendasarkan diri pada gagasan bahwa manusia dapat
dipisahkan atas kelompok ras ; bahwa kelompok itu dapat disusun
berdasarkan derajat atau hierarki berdasarkan kepandaian atau kecakapan,
kemampuan, dan bahkan moralitas.
2) Suatu keyakinan yang terorganisasi mengenai sifat inferioritas (perasaan
rendah diri) dari suatu kelompok sosial, dan kemudian karena
dikombinasikan dengan kekuasaan, keyakinan ini diterjemahkan dalam
praktik hidup untuk menunjukkan kualitas atau perlakuan yang berbeda.
3) Diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang karena ras
mereka. Kadang-kadang konsep ini menjadi doktrin politis untuk
mengklaim suatu ras lebih hebat dari pada ras lain.
4) Suatu kompleks keyakinan bahwa beberapa subspesies dari manusia
(stocks) inferior (lebih rendah) dari pada subspecies manusia lain.
5) Kadang-kadang juga rasisme menjadi ideologi yang bersifat etnosentris
pada sekelompok ras tertentu. Apalagi ideologi ini didukung oleh
manipulasi teori sampai mitos, stereotip, dan jarak sosial, serta
diskriminasi yang sengaja diciptakan.
6) Kadang-kadang paham ini juga menyumbang pada karakteristik
superioritas dan inferioritas dari sekelompok penduduk berdasarkan alasan
fisik maupun faktor bawaan lain dari kelahiran mereka. Rasisme
merupakan salah satu bentuk khusus dari prasangka yang memfokuskan
diri pada variasi fisik diantara manusia

Menurut Liliweri (2005: 221), terdapat dua jenis diskriminasi dalam


masyarakat, diksriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung
merupakan suatu tindakan yang membatasi suatu wilayah tertentu, seperti
pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum dan sebagainya dan juga terjadi
manakala keputusan diarahkan oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok
tertentu. Sedangkan diskriminasi tidak langsung dilaksanakan melalui penciptaan
kebijakan-kebijakan yang mengandung bias diskriminasi dan mengakibatkan

11
kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Misalnya,
peraturan yang membatasi hak kaum kulit hitam di Afrika Selatan, Selain
beragam tindak kekerasan, dibuat juga ghetto-ghetto. Ghetto-ghettoadalah aturan
yang melarang kulit hitam untuk mempelajari budaya selain budayanya sendiri
(Jusuf, 2005:1).

Definisi lain tentang rasisme atau yang sering juga di sama artikan dengan
rasislisme seperti yang ada dalam buku Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta
Toer (1998:50): Rasialisme adalah paham yang menolak sesuatu golongan
masyarakat yang berdasar ras lain. Rasialisme timbul atau dapat timbul apabila
masyarakat atas minoritas yang mempunyai kelainan-kelainan dari pada
keumuman biologis yang ada pada warga-warga masyarakat itu, dan dia timbul
atau bisa timbul karena segolongan kecil atau minoritas itu tidak dapat
mempertahankan diri. Sebagai akibatnya muncullah supremasi kulit putih yang
merugikan warga kulit berwarna lainnya.

Menurut Hughes & Kroehler(2010: 214).“Racism is the belief that some


racial groups are naturally superior and others are inferior.” Rasisme diartikan
sebagai suatu kepercayaan atau paham yang meyakini adanya ras yang lebih
unggul dibanding ras lainnya. Liliweri (2005: 29-30) juga mendefinisikan hal
serupa mengenai rasisme sebagai berikut.

Kata rasisme merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
Racism. Racism terambil ataupun berasal dari kata race yang mempunyai
beberapa arti, yaitu: Pertama, suatu kelas populasi yang didasarkan dari kriteria
genetik. Kedua, kelas dari genotip-genotip. Ketiga, setiap populasi yang secara
genetis berbeda dengan populasi lainnya (ras) (Soerjono Soekanto, 1993).
Menurut Roger Garaudy, setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau
pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul kebangsaan atau
etnis yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau merusak pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau lainnya
kehidupan publik.

12
Rasisme muncul dari sikap etnosentrisme yang berlebihan atau ekstrim.
Etnosentrism juga terkait dengan sikap nasionalisme. Menurut Rosenblatt, ia
yakin sikap ini muncul dari perbandingan ingroup dan outgroup. Sikap berbeda,
bagaimanapun, dalam etnosentrisme berfokus pada bentuk-bentuk budaya
perilaku, ketika nasionalisme berfokus pada sebuah ideologi bangsa, ideologi
politik. Menurut Rosenblatt level tingggi nasionalisme dan etnosentrisme
mendukung beberapa fungsi yang memelihara integritas ingroup. Rasisme
membahayakan bagi penerima perilaku yang merusak ini juga kepada pelakunya
sendiri. Tindakan rasisme merendahkan si target dengan mengingkari
identitasnya, dan hal ini menghancurkan suatu budaya dengan menciptakan
pembagian kelompok secara politik, sosial, dan ekonomi dalam suatu negara
(Samovar dkk, 2010: 187-211).

Prasangka bisa terjadi dalam dua arah, prasangka yang dilakukan oleh
kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, maupun sebaliknya. Kulit
15putih sebagai kelompok mayoritas selalu berprasangka buruk terhadap kulit
hitamkarenadulu kulit hitam hanya seorang budak. Seiring kemajuan zaman
keberadaan kulit hitam juga terus maju. Hal demikian yang tidak disukai kulit
putih karena mengancam keberadaan kekuasaan mereka(Siang, 2007: 27).

Mendapat perlakuan pemisahan atau segregasi dalam berbagai fasilitas


umum merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh rasisme. Hal tersebut
dibenarkan oleh Liliweri(2005:21) dalam kutipan berikut.“Segregasi merupakan
akibat dari rasisme, karena dengan adanya rasisme maka ras tertentu yang merasa
dirinya lebih unggul dengan sengaja memisahkan diri baik dari perumahan hingga
fasilitas umum dengan ras yang di anggap ras paling rendah.”(Liliweri, 2005:21)
Warga kulit putih yang dikenal sebagai warga nomor satu di Amerika memiliki
ruang tersendiri dibanding warga lainnya, mereka biasanya tinggal diperumahan-
perumahan yang cukup luas lahannya, sehingga rumah mereka relatif besar dan
indah. Sedangkan warga kulit hitam tinggal di perumahan kumuh dan sederhana,
rumah mereka saling berdekatan satu dengan yang lainnya bahkan berkesan
berdempetan (Siang, 2007: 20).

13
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa rasialisme dapat timbul
dalam masyarakat yang masih menganut superioritas dan minoritas, dimana dalam
masyarakat minoritas tersebut terdapat kelainan-kelainan secara biologis dari pada
umumnya, ideologi yang didasarkan pada derajat manusia, sikap diskriminasi, dan
sikap yang mengklaim suatu ras lebih unggul dari pada ras lain.

3. Media Sosial

Kehadiran media dengan segala kelebihannya telah menjadi bagian hidup


manusia. Perkembangan zaman menghasilkan beragam media, salah satunya
media sosial. Media sosial merupakan media di internet yang memungkinkan
pengguna untuk mewakilkan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi,
berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.
Media sosial merupakan media digital tempat realitas sosial terjadi dan ruang-
waktu para penggunanya berinteraksi. Nilai-nilai yang ada di masyarakat maupun
komunitas juga muncul bisa dalam bentuk yang sama atau berbeda di internet.
Pada dasarnya, beberapa ahli yang meneliti internet melihat bahwa media sosial di
internet adalah gambaran apa yang terjadi di dunia nyata, seperti plagiarisme
(Nasrullah, 2016).

Selain pernyataan diatas, berikut ini adalah definisi dari media sosial yang
berasal dari berbagai literatur penelitian (Fuchs, 2014 dalam Nasrullah, 2016) :

1. Menurut Mandibergh (2012), media sosial adalah media yang


mewadahi kerja sama di antara pengguna yang menghasilkan konten
(user generated content).
2. Menurut Shirky (2008), media sosial dan perangkat lunak sosial
merupakan alat untuk meningkatkan kemampuan pengguna untuk
berbagai (to share), bekerja sama (to co-operate) di antara pengguna
dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada diluar
kerangka institusional maupun organisai.

14
3. Boyd (2009), menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat
lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk
berkumpul, berbagi, berkomunikasi dan dalam kasus tertentu saling
berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user
generated content (UGC) dimana konten dihasilkan oleh pengguna,
bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa.
4. Menurut Van Dijk (2013), media sosial adalah platform media yang
memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka
dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial
dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan
hubungan antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.
5. Meike dan Young (2012), mengartikan media sosial sebagai
konvergensi antara komunikasi personal dalam arti saling berbagi di
antara individu (to be shared one to one) dan media publik untuk
berbagi kepada siapa saja tanpa ada kekhususan individu.

Media sosial memliki beberapa karakter yang tidak dimiliki oleh beberapa
jenis media lainnya. Ada batasan maupun ciri khusus yang hanya dimiliki oleh
media social. Berikut beberapa karakteristik media sosial yaitu (Nasrullah, 2016):

1. Jaringan

Media sosial terbangun dari struktur sosial yang terbentuk dalam jaringan atau
internet. Karakter media sosial adalah membentuk jaringan diantara
penggunanya sehinga kehadiran media sosial memberikan media bagi
pengguna untuk terhubung secara mekanisme teknologi.

2. Informasi

Informasi menjadi hal yang penting dari media sosial karena dalam media
sosial terdapat aktifitas memproduksi konten hingga interaksi yang
berdasarkan informasi.
3. Arsip

15
Bagi pengguna media sosial arsip merupakan sebuah karakter yang
menjelaskan bahwa informasi telah tersimpan dan bisa diakses kapanpun dan
melalui perangkat apapun.
4. Interaksi
Karakter dasar dari media sosial adalah terbentuknya jaringan antar pengguna.
Fungsinya tidak sekedar memperluas hubungan pertemanan maupun
memperbanyak pengikut di internet. Bentuk sederhana yang terjadi di media
sosial dapat berupa memberi komentar dan lain sebagaiannya.
5. Simulasi Sosial
Media sosial memiliki karakter sebagai media berlangsungnya masyarakat di
dunia virtual (maya). Ibarat sebuah Negara, media sosial juga memiliki aturan
dan etika bagi para penggunanya. Interaksi yang terjadi di media sosial
mampu menggambarkan realitas yang terjadi akan tetapi interaksi yang terjadi
adalah simulasi yang terkadang berbeda sama sekali.
6. Konten oleh Pengguna
Karakteristik ini menunjukan bahwa konten dalam media sosial sepenuhnya
milik dan juga berdasarkan pengguna maupun pemilik akun. Konten oleh
pengguna ini menandakan bahwa di media sosial khalayak tidak hanya
memproduksi konten mereka sendiri melainkan juga mengonsumsi konten
yang diproduksi oleh pengguna lain.
7. Penyebaran
Penyebaran adalah karakter lain dari media sosial, tidak hanya menghasilkan
dan mengonsumsi konten tetapi juga aktif menyebarkan sekaligus
mengembangkan konten oleh penggunanya.
Media sosial menurut Dailey (2009:3) adalah konten online yang dibuat
menggunakan teknologi penerbitan yang sangat mudah diakses dan terukur.
Paling penting dari teknologi ini adalah terjadinya pergeseran cara mengetahui
orang, membaca dan berbagi berita, serta mencari informasi dan konten (Badri,
2011:132).

Berbagai definisi, Dr.Rulli Nasrullah M.Si. dalam buku Media Sosial


( 2016 ; 13 ), menyimpulkan bahwa Media Sosial merupakanmedium di internet
yang memungkinkan penggunanyamempresentasikan dirinya maupun

16
berinterakasi, bekerjasama,salingberbagi, berkomunikasi dengan pengguna
lainnya, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.”

Dalam kehidupan kita dimasa mendatang, sektor teknologi informasi dan


telekomunikasi merupakan sektor yang paling dominan. Siapa saja yang
menguasai teknologi ini, maka dia akan menjadi pemimpin dalam dunianya.
Teknologi informasi banyak berperan dalam bidang-bidang antara lain : Bidang
pendidikan (e-education). Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran
dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke arah
pendidikan yang lebih terbuka (Mukhopadhyay M., 1995). Sebagai contoh kita
melihat di Perancis proyek “Flexible Learning?”. Hal ini mengingatkan pada
ramalan Ivan Illich awal tahun 70-an tentang “Pendidikan tanpa sekolah
(Deschooling Society)” yang secara ekstrimnya guru tidak lagi diperlukan.

Bishop G. (1989) meramalkan bahwa pendidikan masa mendatang akan


bersifat luwes (flexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun juga yang
memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia, maupun pengalaman pendidikan
sebelumnya. E-governmentmengacu pada penggunaan teknologi informasi oleh
pemerintahan, seperti menggunakan intranet dan internet, yang mempunyai
kemampuan menghubungkan keperluan penduduk, bisnis, dan kegiatan lainnya.
Bisa merupakan suatu proses transaksi bisnis antara publik dengan pemerintah
melalui sistem otomasi dan jaringan internet, lebih umum lagi dikenal sebagai
world wide web. Pada intinya e-government adalah penggunaan teknologi
informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak
lain. Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan
bentuk baru seperti: G2C (Governmet to Citizen), G2B (Government to Business),
dan G2G (Government to Government).

Media sosial adalah salah satu contoh dari sebuah media berbasis online
dengan memiliki banyak pengguna yang tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia.
Media sosial umumnya dimanfaatkan untuk saling berbagi dan berpartisipasi. Tak
jarang, media sosial juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan interaksi
sosial. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam mengakses sosial media yang dapat

17
dilakukan kapan pun dan dimana pun. Selain pernyataan diatas, berikut adalah
beberapa fungsi media sosial lainnya (Tenia, 2017) :

1. Mencari berita, informasi dan pengetahuan Media sosial berisi jutaan


berita, informasi dan juga pengetahuan hingga kabar terkini yang
malah penyebaran hal-hal tersebut lebih cepat sampai kepada khalayak
melalui media sosial dari pada media lainnya seperti televisi.
2. Mendapatkan hiburan Kondisi seseorang atau perasaan seseorang tidak
selamanya dalam keadaan yang baik, yang ceria, yang tanpa tanpa ada
masalah, setiap orang tentu merasakan sedih, stress, hingga kejenuhan
terhadap suatu hal. Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk
mengurangi segala perasaan yang bersifat negarif tersebut adalah
dengan mecari hiburan dengan bermain media sosial.
3. Komunikasi onlineMudahnya mengakses media sosial dimanfaat oleh
para penggunanya untuk bisa melakukan komunikasi secara online,
seperti chating, membagikan status, memberitahukan kabar hingga
menyebarkan undangan. Bahkan bagi pengguna yang sudah terbiasa,
komunikasi secara online dinilai lebih efektif dan efisien.
4. Menggerakan masyarakat Adanya permasalah-permasalah kompleks
seperti dalam hal politik, pemerintahan hingga suku, agama, ras dan
budaya (SARA), mampu mengundang banyak tanggapan dari
khalayak. Salah satu upaya untuk menanggapi berbagai masalah
tersebut adalah dengan memberikan kritikan, saran, celaan hingga
pembelaan melalui media sosial.
5. Sarana berbagi Media sosial sering dijadikan sebagai sarana untuk
berbagi informasi yang bermanfaat bagi banyak orang, dari satu orang
ke banyak orang lainnya. Dengan membagikan informasi tersebut,
maka diharapkan banyak pihak yang mengetahui tentang informasi
tersebut, baik dalam skala nasional hingga internasional.

Adapun dampak positif media sosial menurut Zukria (dalam Kairuni, N.


2016)adalah:

18
1) Mempermudah kegiatan belajar, karena dapat digunakan sebagai
sarana untuk berdiskusi dengan teman sekolah tentang tugas
(mencari informasi)
2) Mencari dan menambah teman atau bertemu kembali dengan
teman lama. Baik itu teman di sekolah, di lingkungan bermain
maupun teman yang bertemu melalui jejaring sosial lain
3) Menghilangkan kepenatan pelajar, itu bisa menjadi obat stress
setelah seharian bergelut dengan pelajaran di sekolah. Misalnya,
mengomentari situs orang lain yang terkadang lucu dan
menggelitik, bermain game, dan lain sebagainya.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari media sosial adalah:

1) Berkurangnya waktu belajar, karena keasyikan menggunakan


media sosial.
2) Mengganggu konsentrasi belajar di sekolah.
3) Merusak moral pelajar, karena sifat remaja yang labil, mereka
dapat mengakses atau melihat gambar porno milik orang lain
dengan mudah
4) Menghabiskan uang jajan, untuk mengakses internet.
5) Mengganggu kesehatan, terlalu banyak menatap layar handphone
maupun komputer atau laptop dapat mengganggu kesehatan

Terpaan media adalah intensitas keadaan dimana khalayak terkena atau


terpapar oleh pesan-pesan yang disebarkan melalui suatu media (Effendy, 1990).
Terpaan dari suatu media mampu memberikan dampak yang dalam bagi
penontonnya. Adanya pesan-pesan yang bersifat persuasif yang terlah disajikan
sedemikian rupa dapat memicu terjadinya perubahan perilaku, sikap, pandangan
maupun persepsi. Selanjutnya pendapat lain mengenai pengertian terpaan media
menurut Larry Shore yang dikutip dalam Prastyono (1995).

“Media exposure is more complicated than acces because is ideal not only
whit what her a person is within pysical (range of the particular mass medium) but

19
also whether person is actually exposed to the message. Exposure is hearing,
seeing, reading, or most generally, experiencing, with at least a minimal amount
of interest the mass media message. The exposure might occure to an individual
or group level “
Artinya, terpaan media adalah lebih lengkap daripada hanya sekedar akses.
Terpaan tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat
dengan kehadiran media massa akan tetapi apakah seseorang itu benar-benar
membuka diri terhadap pesan-pesan yang disebarkan melalui media tersebut.
Wujud nyata dari terpaan media adalah, kegiatan mendengar, melihat, dan
membaca pesan-pesan media massa ataupun pengalaman dan perhatian terhadap
pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu maupun kelompok.
Menurut Rosengren (dalam Rakhmat, 2001) terpaan media dapat
dioperasionalisasikan ke dalam jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai
jenis media, isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antar individu
konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara
keseluruhan.
Sedangkan menurut Sari (dalam Kriyantono, 2009) terpaan media dapat
dioperasionalisasikan dengan jenis media yang digunakan, frekuensi penggunaan,

maupun durasi penggunaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terpaan
media dapat diukur dengan frekuensi, durasi dan intensitas, sehingga mengukur
terpaan video beauty vlogger di YouTubedapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Frekuensi, merupakan banyaknya pengulangan perilaku. Menonton


video beauty vlogger di YouTube bisa saja berlangsung dalam
frekuensi yang berbeda-beda, bisa setiap hari, seminggu sekali atau
pun sebulan sekali, tergantung dari masing-masing individu. Dalam
penelitian ini diukur dengan berapa kali seseorang menonotn video
beauty vlogger di YouTube dalam sebulan.
2. Intensitas, merupakan tingkatan perhatian. Indikator untuk mengukur
intensitas dalam menonton video beauty vlogger di YouTube adalah
faktor internal pengaruh perhatian dan faktor eksternal penarik
perhatian. Dalam penelitian ini diukur dengan apakah seseorang

20
tersebut memperhatikan secara detail semua ornament yang ada pada
video beauty vlogger di YouTube.

Menurut Rogers (dalam Muslimin, 2010) definisi komunikasi adalah suatu


proses dimana suatu ide dialihkan dari satu sumber pada satu penerima atau lebih
dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Media cetak dan media
elektronik adalah media yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Dalam
menggunakan sebuah media, tentu seseorang akan melewati yang namanya proses
komunikasi melalui panca inderanya.
Media secara perlahan dapat membentuk pandangan ataupun opini
seseorang tentang pribadinya sendiri dan juga bagaimana cara menghadapi
kehidupan setiap harinya. Seperti kehadiran internet bagi sebagian orang yang
dijadikan media pencari informasi maupun hiburan yang beragam salah satunya
dalam bentuk video, dimana ada sebagian kalangan yang melihat ada contoh nyata
dari seseorang diluar sana yang memiliki kepribadian maupun fisik yang dianggap
lebih baik, maka bisa saja seseorang tersebut yang dijadikan bahan untuk peniruan
dari segi berpikir atau juga berperilaku (Hamidi, 2010).
Informasi atau pesan yang disampaikan melalui media mampu mendukung
khalayak untuk bisa menjadi lebih baik lagi, membuat khalayak merasa senang
dan puas akan diri mereka sendiri, namun khalayak bisa juga merasakan yang
sebaliknya dimana memiliki perasaan kurang percaya diri dan merasa lebih
rendah dari orang lain, oleh karena itu khalayak sendiri-lah yang harus memiliki
peranan aktif dalam memilih pesan komunikasi yang diinginkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa media sosial


merupakan bentuk perkembangan dari adanya internet. Dari sosial media,
seseorang dapat saling terhubung dengan satu sama yang lain yang juga tergabung
dalam sosial media yang sama, yang bertujuan untuk mencari informasi,
komunikasi, dan hiburan.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

21
Penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan rasisme:

1) “Perilaku Rasis Di Game Online” (Studi Deskriptif Tentang Perilaku Rasis


Gamers Di Surabaya). Oleh Noris Soebarkah. Fakultas Sosiologi,
Universitas Airlangga. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan
tentang perilaku rasis gamers di kota Surabaya. Tujuan dari penelitian ini
untuk menjawab dua permasalahan yaitu pertama, alasan apa yang
mendasari gamers melakukan tindakan rasis? Kedua, bagaimana b entuk
tindakan rasis yang dilakukan oleh gamers? Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penelitian melakukan wawancara mendalam
dan observasi hingga ikut langsung merasakan permainan game online
guna mendapatkan kepercayaan dari informan. Temuan data dalam
penelitian ini menunjukan bahwa: pertama, alasan gamers melakukan rasis
di game online karena adanya masalah pribadi terhadap individu maupun
masyarakat etnis Cina dan etnis Jawa, kedua gamers melakukan rasis
dengan cara mengejek dengan berkata. Munculah hasil akhir berupa
tindakan yang dilakukan yaitu kesenjangan antar 2 kelompok etnis cina
dan pribumi di dalam permainan game online. Kesenjangan tersebut
menimbulkan sebuah konflik yaitu adanya tindakan rasis. Konflik non
realitas berhubungan dengan konflik eksternal yaitu sama sama
mempertegas identitas kelompok. Dan menimbulkan suatu konflik karena
adaknya keinginan yang tidak rasional dan bersifat idieologis begitu juga
dengan permasalahan dua etnis kelompo yang menjaga identitas masing
masing. Demi menjaga nama baik etnis masing masing sehingga saling
mengejek melakukan tindakan rasis antar etnis.

2) “Analisis Resepsi Terhadap Rasisme Dalam Film” (Studi Analisis Resepsi


Film 12 Years A Slave pada Mahasiswa Multi Etnis) oleh Billy Susanti,
Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Film 12 Years A Slave ini merupakan film yang bercerita
tentang perbudakan, dimana rasisme adalah pemicu utamanya. Film ini
merupakan kisah nyata yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Orang
berkulit gelap lebih rendah kastanya dibanding kulit putih. Film ini akan

22
menghasilkan makna yang berbeda ketika khalayak memiliki latar
belakang etnis minoritas. Penelitian ini menggunakan metode analisis
resepsi encoding-decoding Stuart Hall, dengan jenis penelitian kualitatif
yang berfokus pada rasisme yang terjadi di Amerika Serikat. Data
diperoleh melalui wawancara terhadap informan dari latar belakang etnis
minoritas di pulau Jawa. Hal ini dilakukan karena mereka yang paling
memungkinkan mengalami diskriminasi ras. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seluruh informan berada pada posisi oposisi yaitu menolak adegan
perbudakan dan kekerasan akibat rasisme yang ditampilkan. Beberapa
informan pada posisi dominan dalam adegan tertentu. Latar belakang
informan menjadi sangat berpengaruh ketika mahasiswa keturunan China
setuju dengan salah satu adegan yang merugikan kulit hitam. Secara
umum, menurut informan rasisme adalah tindakan yang tidak
berperikemanusiaan dan sangat kejam.

3) “Racism, football fans, and online message boards: how social media has
added a new dimension to racist discourse in English football” oleh J.
Cleland, Loughborough University. Artikel ini menyajikan temuan analisis
yang dilakukan dari November 2011 hingga Februari 2012 pada dua papan
pengumuman sepak bola, papan pengumuman terkemuka yang memeriksa
pandangan penggemar terhadap rasisme dalam sepakbola Inggris. Setelah
menganalisis lebih dari 500 posting, artikel ini mengungkapkan rasis yang
digunakan oleh beberapa pendukung dalam diskusi online mereka dan
sejauh mana posting seperti ini baik didukung atau diperebutkan oleh
sesama fans. Temuan keseluruhan adalah bahwa situs media sosial seperti
fan message boards telah memungkinkan pemikiran rasis untuk
berkembang secara online, khususnya dengan menolak multikulturalisme
dan Islam. Hasilnya, munculnya media sosial hanya menambah
kompleksitas upaya untuk mengatasi rasisme dan bukti yang disajikan
dalam artikel ini sangat menantang asumsi oleh organisasi anti-rasis dan
otoritas sepakbola bahwa rasisme sedang diberantas dari sepakbola.
Kemajuan teknologi dalam komunikasi sejak awal abad kedua puluh satu

23
telah memungkinkan pandangan rasis dan Islamofobia untuk beroperasi
secara terselubung di papan pesan dan platform lain seperti Twitter,
daripada secara terbuka di stadion sepak bola.

4) “Religious Racism and the Media: Representations of Muslim Women in


the Australian Print Media” oleh Alia Imtoual. Dalam menganalisis dua
surat kabar harian Australia, The Australian dan The Advertiser, artikel ini
berpendapat bahwa ada permusuhan dan hal negatif terhadap Islam dan
Muslim yang saat ini beroperasi di media cetak Australia. Artikel ini
menyoroti contoh-contoh spesifik rasisme, stereotip dan negativitas umum
terhadap Islam dan Muslim. Contoh representasi negatif Islam dan Muslim
termasuk 'Muslim sebagai teroris', 'perempuan Muslim yang tertindas', dan
'Islam sebagai agama yang kejam, barbar, dan terbelakang'. Artikel ini
berpendapat bahwa, mengingat peran dan pengaruh media cetak di
Australia, surat kabar harian adalah bersalah, atau setidaknya terlibat,
dalam rasisme agama yang dialami oleh Muslim Australia setiap hari.
Wawancara dengan sejumlah wanita Muslim di Australia Selatan (berusia
18-30 tahun) memberikan argumen bahwa representasi negatif media tidak
hanya berdampak pada cara mereka diposisikan dan diperlakukan oleh
orang lain di masyarakat, tetapi juga mengakibatkan wanita Muslim muda
melihat media dengan sinisme dan ketidakpercayaan. Ini memiliki
implikasi untuk melanjutkan hubungan antara komunitas Muslim Australia
dan media Australia.

5) “Intimidasi Terhadap Kaum Kulit Hitam Sebagai Bentuk Perilaku


Rasisme” (Analisis Semiotika Pada Film Glory Road Karya James
Gartner) oleh Indri Puspitasari, Poundra Swasty Ratu Maharani Serikit.
Film “Glory Road”, merupakan film kisah nyata yang menggambarkan
tentang fenomena rasisme pada tahun 1965 di Amerika. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai rasisme yang digambarkan melalui
perilaku intimidasi dan pesan yang ingin disampaikan dari film “Glory
Road”. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang memfokuskan

24
pada analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Dalam
film “Glory Road” terdapat adegan atau scene yang mengarah ke
Intimidasi, Antisemitisme, Etnosentrisme, dan Miscegenation yang
menyimpulkan bahwa film “Glory Road” memiliki nilai-nilai rasisme
yang digambarkan melalui perilaku intimidasi, dan pesan yang ingin
disampaikan adalah ciri fisik khususnya warna kulit tidak dapat dijadikan
sebuah ukuran untuk melihat kemampuan dan kecerdasan seseorang.

6) “Bagaimana Narasi Rasisme kulit hitam dalam Film 12 Years Slave”.


Peneltian ilmiah karya Herjuno Yuliantodari jurusan ilmu komunikasi
fakultas ISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini bertujuan
mengetahui narasi diskriminasi rasisme yang terjadi dalam film
tersebut,yang dimana dalam peneltian tersebut mengungkapkan bahwa
kekuatan penduduk mayoritas lebih besar dari pada minoritas dkarenakan
perbedaan tersebut, dala film tersebut diceritakan bahwa seorang kulit
hitam yan terpelajar dengan pandai bermain musik ini diculik dan di kirim
kekota lain untuk dijual belikan sebagai budak kepada sesorang yang
berkulit putih. Kesimpulan dari film ini adalah adalah bagaimana sikap
rasisme kepada warga berkulit hitam dan bagaimana memperlakukan
budak berkulit hitam, walupun adabeberapa tokoh yang pro kepada warga
yang berkulit hitam tersebut. Adapun jenis penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif dan menggunakan metode analisis narasi, dan hasil dari
penelitian ini yaitu memperlihatkan rasisme sebagai latar belakang yang
mewakili amerika serikat pada waktu itu, film ini juga memperlihatkan
kriminal dalam perbudakan yang dialami warga kulit hitam pada zaman
tersebut.

7) “Kejahata Kebencian (HATE CRIME) terhadap Transgender (Male To


Female) dan waria” karya Arbani dari Universitas Indonesia.penelitian ini
mengungkapkan Hate Crime yang terjadi kepada waria dan transgender
dalam kehidupan sehari-harinya, hate crime sendiri berasal dari prasangka

25
yang berujung kepada diskriminasi. Kekerasan sering terjadi kepada
transgender tersebut seperti halnya diperlakukan dengan kekerasan fisik
dan diskriminasi pengucilan dari masyarakat tempat mereka tinggal. Rasis
sendiri bukan menunjukan perbedaan kulit saja melainkan seluruh
perbedaan yang ada, dimana minoritas menjadi diskriminasi tersendiri
bagi khlayak mayoritas. Penelitian ini menggunakan studi deskriptif
kualitatif dengan metode studi kasus, dan adapun hasil dari penelitian
tersebut adalah bahwa transgender mengalami kejahatan kebencian (hate
crime) oleh keluarga, masyarakat ataupun negara.

8) “Rasisme dalam Film Fitna” karya Shinta Anggraini Budi Widianingrum


dari jurusan ISIPOL Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta. Penelitian ini meneliti tentang Rasisme antar individu, etnis,
golongan, maupun khususnya agama yang sebenarnya sudah terjadi sejak
lama, hal ini mengiringi setiap perbedaan ang dibawa manusia sejak lahir
kedunia. Film fitna sendiri merupakan film yang menceritakan tentang
fenomena yang terjadi disekitar kita, film ini menceritakan tentang umat
Islam yang dilecehkan nabinya dengan gambaran seperti terorisme, umat
muslim digambarkan sebagai agama yang penuh dengan kekerasan seperti
terorisme, pembunuhan, perang, pengeboman ataupun mati syahid, hal itu
terjadi setelah peristiwa WTC yang ditabrak pesawat oleh terorisme ang
disambungkan denganmasalah Osama bin Laden pada waktu itu.
Penelitian ini menggunakan studi deskripitif kualitatif dengan metode
semiotika Roland Barthes, adapun hasil yang diperoleh bahwa dari scene
yang adadalam film film fitna memeunculkan sikap, perilaku, ataupun
tindakan rasisme, konstruksi tindakan ataupun rasisme muncul dalam
cuplikan adegan dalam setiap scene film tersebut. Sikap rasisme yang

terdapat dalam film fitna merupakan konstruksi dari sang pembuat film
yaitu Geert Wilders, yang mana untuk mengutarakan pendapat ataupun
pikiran.

26
9) “Film Tinkerbell” (Studi Semiotika Terhadap Isu Rasisme dalam Film
Tinkerbell) karya Marceline Yudith Prawitasari Fakultas Ilmu Politik dan
Ilmu Sosial Universitas Atmajaya Jogjakarta. Tujuan penelitian yang
dilakukan oleh Marceline yaitu ingin Mengetahui, memahami, dan
menjelaskan bagaimana Disney menyebarkan dan mengartikulasikan
rasisme secara ideologis dalam film Tinkerbell. Peneliti juga ingin
mengetahui bagaimana Disney merepresentasikan rasisme secara ideologis
dalam film Tinkerbell. Metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis rasisme dalam film Tinkerbell, penelitian ini memakai
analisis Semiotika model Charles S Pierce. Hasil yang didapat dari
penelitian ini adalah heroism masih menjadi tema film populer yang biasa
ditemukan dalam film produksi Amerika. Namun dalam film Tinkerbell
sepertinya heroisme seolah hanya menjadi

kamuflase bagi praktik-praktik relasi kuasa ideologis. Kisah yang indah


didukung dengan tokoh-tokoh yang menarik, gambar indah dengan warna
cerah, dan alur yang menarik seolah hanya menjadi kemasan menarik bagi
praktik rasisme dan etnosentrisme. Artinya stereotype rasial juga terdapat
dalam media dan produk-produknya, sebagai alat kepentingan dari kaum
elit maupun mayoritas. Film Tinkerbell sebagai produk budaya dan
ideologi Amerika pun mengandung nilai-nilai rasisme. Praktik-praktik
rasisme di dalam film Tinkerbell terselip di dalam teks-teks film secara
halus. Dengan demikian, film sebagai salah satu produk korporasi media
bisa dikatakan merupakan ‘kaki tangan’ yang berperan penting melakukan
distribusi pesan ideologis. Banyak yang mengira mungkin sasaran
ideologis film hanyalah orang dewasa. Namun sebenarnya, banyak film
bersifat ideologis yang sasaran audiencenya adalah anak-anak. Salah
satunya adalah film Tinkerbell.

10) “Film Crash” (Analisis Semiotik tentang Representasi Rasisme di Negara


Multi Ras dalam Film Crash) karya Yaninta Sani Sawitri Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian

27
tersebut ingin mengetahui tanda-tanda yang mewakili pemaknaan atas
rasisme yang terkandung dalam film Crash. Sifat penelitian yang
digunakan yaitu Deskriptif. Metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis film Crash ini yaitu analisis Semiotika oleh Roland Barthes.
Hasil penelitian dari penelitian ini adalah Film Crash merupakan film yang
memberikan gambaran tentang terjadinya rasisme dalam berbagai bidang
kehidupan di kota Los Angeles, California. Permasalahan rasisme dalam
film Crash terjadi diantara berbagai macam ras dan bangsa yang berada di
Los Angeles, mulai dari warga kulit putih, kulit hitam, warga Amerika –
Asia, warga Amerika – Hispanic, warga keturunan Persia (Timur Tengah)
dan dalam berbagai taraf kehidupan. Rasisme yang terjadi digambarkan
melalui adanya prasangka dan stereotip yang menyebabkan terjadinya
berbagai kekerasan rasial. Antara prasangka, stereotype, diskrimisasi dan
kekerasan rasial sendiri tenyata memiliki kaitan yang erat satu sama lain.
Persoalan rasisme yang ditampilkan dalam film Crash masih didominasi
oleh rasisme diantara warga kulit putih dan warga kulit hitam. Hal ini
dilatarbelakangi dari sejarah panjang atas berbagai tindakan rasisme pada
warga kulit hitam, mulai dari perbudakan, diskriminasi kelembagaan
(Undang-Undang Jim Crow) dan pembantaian (genosida). Rasisme yang
ditampilkan juga terjadi diberbagai taraf kehidupan dan berbagai profesi,
mulai dari golongan kelas bawah hingga kelas atas. Representasi rasisme
dalam film Crash digambarkan dengan lebih halus melalui frekuensi
perbuatan rasisme yang lebih dominan berupa kata-kata yang diungkapkan
oleh masing-masing tokoh.
11) Penelitian dari Yolanda Hana Chornelia, Ilmu Komunikasi, Universitas
Kristen Petra,Surabaya. “Representasi Feminisme dalam film “Snow
White and The Hustman”, film ini merupakan film yang diangkat dari
dongeng asal Jerman, film ini menyorot perempuan sebagai tokoh utama
yang memiliki sisi tangguhnya, dan rumusan dalam penelitian ini adalah
bagaiman representasi feminismedalam film tersebut, dalam penelitianini
menggunakan metode semiotika televisiJohn Fiske, dan kesamaan dengan
penulis sama menggunakan konsep representasi.

28
12) Penelitian dari Yolanda Hana Chornelia, Ilmu Komunikasi, Universitas
Kristen Petra,Surabaya. “Representasi Feminisme dalam film “Snow
White and The Hustman”, film ini merupakan film yang diangkat dari
dongeng asal Jerman, film ini menyorot perempuan sebagai tokoh utama
yang memiliki sisi tangguhnya, dan rumusan dalam penelitian ini adalah
bagaiman representasi feminismedalam film tersebut, dalam penelitianini
menggunakan metode semiotika televisiJohn Fiske, dan kesamaan dengan
penulis sama menggunakan konsep representasi. Penelitaian ini
menggunakan metode semiotika televisi John fiske, dengan pendekatan
kualitatif, dan memiliki kesaaman dengan penelitian ini yaitu sama
menggunakan konsep representasi dalam menggambarkan film.

13) “Rasisme dalam Film Tanda Tanya”. Penelitian sejenis ini


merupakan karya Hari Wiyono Nurkholis, mahasiswa Ilmu
Komunikasi Bidang Kajian Jurnalistik Universitas Islam Bandung
angkatan 2007. Peneliti melakukan penelitian memfokuskan pada
adegan-adegan rasis yang terdapat di dalam film Tanda Tanya
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
pendekatan analisis semiotika John Fiske tentang kode-kode visual
yang diantaranya level realitas, level representasi dan level ideologi.
Dengan pendekatan ini makadapat dilihat tindakan rasisme dalam
bentuk verbal, representasi tindakan rasisme yang tergambarkan
dengan teknik long shot dan close up dengan tujuan menimbul kan
kesan alami pada ekspresi wajah dan pada level ideologi, kode-kode
yang muncul dalam film ini adalah ideologi rasisme.

29
C. Kerangka Berpikir

Self-control merupakan kemampuan dalam mengenali dan mengendalikan


emosi yang ada di dalam dirinya dan orang lain. Lalu dalam menghadapi era
globalisasi di mana perkembangan teknologi semakin maju dan inovatif,
seseorang yang memiliki self-control dapat menyesuaikan dan menghadapi
kondisi yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Termasuk dalam menghadapi
rasisme yang ada di dalam media sosial.

Di mana media sosial merupakan bentuk perkembangan dari adanya


internet, dan di dalam media sosial pun kita dapat saling terhubung satu sama lain,
yang membuat kita dapat mengetahui segala jenis informasi di dalamnya termasuk
tindakan-tindakan rasisme. Oleh karena itu, sebagai seorang individu perlu
disadari tentang adanya self-control dalam diri kita dalam kaitannya kita sebagai
pengguna media sosial, yang di dalamnya terdapat tindakan-tindakan rasisme.
Berdasarkan uraian di atas maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

30
Perilaku Positif
Self-control

Media Sosial

Rasisme
Perilaku Negatif

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian diatas mengenai pengaruh self-control terhadap


rasisme di media sosial, maka sebagai jawaban sementara dapat disimpulkan
bahwa “Adanya pengaruh self-control terhadap rasisme di media sosial”.

31
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan penelitian

Penelitian ini berujuan untuk :


1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh self-control terhadap rasisme
di media sosial.
2. Untuk mengetahui bagaimana intensitas seseorang dalam
menggunakan media sosial.

B. Tempat dan waktu penelitian

Pengambilan data penelitian berlangsung pada tanggal 20 Desember 2020


di Komunitas Vespa Pamulang, Tangerang Selatan. Dalam pengambilan data ini
peneliti menggunakan jam pada waktu saat ngumpul bersama.

C. Populasi dan Teknik sampling


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sebagian komunitas vespa pamulang,
dengan sampel 30 orang. Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
a. Komunitas vespa pamulang.
b. Self-control diri mereka terhadap rasisme di media sosial.

Aspek Keterangan Jumlah


Subjek Anggota 30
Laki-laki 20
Jenis Kelamin
Perempuan 10
Usia tahun 17- 23

32
2. Metode pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
Perposive Sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel yang digunakan
peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam
pengambilan sampelnya. (Sugioyono, 2013).

D. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode skala


yaitu cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar pernyataan yang
diberikan kepada responden. Daftar pernyataan tersebut merupakan stimulus
untuk mengungkap indikator perilaku dengan cara memancing cara menjawab
yang merupakan refleksi dari keadaan diri responden yang biasanya tidak disadari
(Azwar, 2012). Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Skala Self-control

Self-control akan diukur dengan menggunakan Skala Self-control. Item


pada alat ukur ini berjumlah 18 item. Item-item untuk masing-masing aspek akan
dilaporkan pada Tabel 1 sebagai berikut:

33
Tabel 1.
Blueprint Skala Self-control
Nomor Item Jumlah
No Aspek Indikator
Favo Unfavo Item
Mengatur pelaksanaan (regulated
1 Behavioral control 1, 3 2, 4 4
administration)
Memperoleh informasi (information gain) 5,7 6,8 4
2 Cognitive control
Melakukan penilaian (appraisal) 9 10 2
Kemampuan mengontrol perilaku 11 12 2

Kemampuan mengantisipasi suatu


3 Decision control 13 14 2
peristiwa atau kejadian

Kemampuan mengambil keputusan 15,17 16,18 4


Total 9 9 18

Skala ini terdiri dari 18 pernyataan yang terbagi dalam 9 butir item
favorable dan 9 butir item unfavorable. Pernyataan yang termasuk favorable
adalah pernyataan yang mendukung teori, memihak atau mendukung atribut yang
diukur, sedangkan unfavorable adalah pernyataan yang tidak medukung teori atau
menggambarkan ciri atribut yang diukur.
Skala ini disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri atas empat
alternatif jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Sesuai
(S), Sangat Sesuai (SS). Pada item favorable, skor bergerak dari 1 sampai 4, yaitu
skor yang diberikan untuk pernyataan yang positif jawaban 1 diberi skor 1,
jawaban 2 diberikan skor 2, jawaban 3 diberikan skor 3, dan jawaban 4 diberi skor
4. Untuk pernyataan yang negatif jawaban 1 diberi skor 4, jawaban 2 diberi skor
3, jawaban 3 diberi skor 2, dan jawaban 4 diberi skor 1.

2. Skala Rasisme

34
Rasisme akan diukur dengan menggunakan Skala Rasisme. Item pada alat
ukur ini berjumlah 12 item. Item-item untuk masing-masing aspek akan
dilaporkan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2.
Nomor Item Jumlah
No Aspek Indikator
Favo Unfavo Item
Ras superioritas 1,3 2,4 4
1 Ras/Keturunan
Perbedaan ras 5,7 6,8 4
2 Budaya/Etnis Budaya perilaku 9,11 10,12 4
Total 6 6 12
Blueprint Skala Rasisme

Skala ini terdiri dari 12 pernyataan yang terbagi dalam 6 butir item
favorable dan 6 butir item unfavorable. Skala ini disusun berdasarkan skala Likert
yang terdiri atas empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak
Sesuai (TS), Sesuai (S), Sangat Sesuai (SS). Pada item favorable, skor bergerak
dari 1 sampai 4, yaitu skor yang diberikan untuk pernyataan yang positif jawaban
1 diberi skor 1, jawaban 2 diberikan skor 2, jawaban 3 diberikan skor 3, dan
jawaban 4 diberi skor 4. Untuk pernyataan yang negatif jawaban 1 diberi skor 4,
jawaban 2 diberi skor 3, jawaban 3 diberi skor 2, dan jawaban 4 diberi skor 1.

E. Alat Pengumpulan Data


1. Validitas

35
Validitas skala adalah skala tersebut mampu mengukur apa yang ingin
diukur dengan cermat dan tepat. Menurut Azwar (2005) validitas adalah suatu
penelitian yang sangat penting karena hal tersebut merupakan penentu keilmiahan
atau keabsahan hasil suatu penelitian. Secara umum validitas terbagi menjadi tiga
tipe, yaitu validitas isi, validitas konstruk dan validitas kriteria. Validitas pada
penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi digunakan untuk
mengetahui sejauh mana aitem-aitem dalam tes dapat mencakup keseluruhan isi
pada objek yang ingin diukur, Azwar (2005).
2. Reliabilitas
Reliabilitas skala adalah skala tersebut mempunyai konsisten dalam
pengukurannya sebagai alat pengumpulan data. Reliabilitas berasal dari kata rely
dan ability. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama memperoleh hasil
yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum
berubah (Azwar, 2012).
Reliabilitas tes ditentukan sejauh mana distribusi skor tampak pada dua tes
yang paralel, berkolerasi. Reliabilitas secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka
yang disebut koefisien reliabilitas, secara teoritis besarnya reliabilitas berkisar
antara 0,00 – 1,00 (Azwar, 2012).

F. Teknik Analisis Data


Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dilakukan
secara kuantitatif dengan menggunakan teknik analisis data korelasi product
moment dari spearman yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua
variabel. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis data komputer SPSS
17.0 for windows untuk mengolah data yang telah diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

36
Noratika Ardilasari, Ari Firmanto. 2017 Hubungan Self Control dan Perilaku
Cyberloafing Pada Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Malang. Vol. 05, No.01.

Henri Agustin. 2012. Pergeseran perilaku penggunaan fitur-fitur facebook: faktor


pemicu, dampak, dan solusi. Jurnal Universitas Negeri Padang.

Noris Soebarkah. 2014. Perilaku Rasis Di Game Online. Jurnal Universitas


Airlangga.

R.S Satmoko. Psikologi Tentang Penyesuaiandan Hubungan Kemanusiaan edisi


ke 3

Hurlock, E.B. (1990). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan (edisi kelima). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993),


cet. 3, h. 360 .

Roger Garaudy, Mitos dan Politik Israel. Terjemah Maulida Khiatuddin(Jakarta:


Gema Insani Press, 2000), cet. I, h. 151.

William, B., Gudykunst.& Young, Yun Kim. Communicating with Strangers: An


Approach to Intercultural Communication. Boston: McGraw Hill.1997, hal 125

Billy Susanti. 2014. Analisis Resepsi Terhadap Rasisme Dalam Film. Fakultas
Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta.

J. Cleland. 2013. Racism, football fans, and online message boards: how social
media has added a new dimension to racist discourse in English football.
Loughborough University.

Alia Imtoual. 2005. Religious Racism and the Media: Representations of Muslim
Women in the Australian Print Media. University of Western Australia.

Indri Puspitasari, Poundra Swasty Ratu Maharani Serikit. Intimidasi Terhadap


Kaum Kulit Hitam Sebagai Bentuk Perilaku Rasisme” (Analisis Semiotika Pada
Film Glory Road Karya James Gartner).

37
Yeka Syamela. 2015. Konstruksi Realitas Rasisme Dalam Film The Help.
Universitas Riau. Jom.Fisip Vol. 2 No.1.

https://www.kompasiana.com/agungabdillah/kajian-
rasisme_571774741d23bdfc1ed9a94e. Diakses pada tanggal 28 April 2018 pukul
22.12 WIB.

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-2-00056-PS
%20Bab2001.pdf. Diakses pada tanggal 28 April 2018 pukul 22.58 WIB.

http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t4190.pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2018


pukul 11.58 WIB.

https://kupdf.com/download/pengertian-sosial-media-menurut-para
ahli_59b5de87dc0d60fb058ceb22_pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2018 pukul
12.11 WIB.

http://digilib.uinsgd.ac.id/14076/4/4_bab1.pdf

http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/6495/Cover%20-
%20Bab1%20-%203314116sc-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18313/BAB%202.pdf?
sequence=2&isAllowed=y

http://repository.unpas.ac.id/40202/5/8.%20BAB%20II.pdf

http://eprints.umm.ac.id/40601/3/BAB%20II.pdf

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-2-00902-MC
%20Bab2001.pdf

https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/636/jbptunikompp-gdl-susilawati-31755-10-
unikom_s-i.pdf

38

Anda mungkin juga menyukai