Anda di halaman 1dari 17

Membongkar Bentuk Pelecehan dan Bias Gender di Media

Sosial

ABSTRAK

Dengan semakin majunya teknologi internet, hal tersebut diikuti dengan


kemunculan media sosial. Media sosial merupakan situs dimana seseorang
mampu membuat web page pribadi dan terhubung dengan orang lain yang berada
dakam media sosial yang sama untuk berbagi informasi atau hanya sekedar
berkomunikasi. Hal ini isu pelecehan kesetaraan gender di media sosial marak
diperbincangkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk membongkar bentuk pelecehan dan bias gender di media sosial.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode
studi literatur dari beberapa artikel yang sesuai dengan topik penelitian. Hasil
penelitian menyatakan bahwa berdasarkan data yang diperoleh di lapangan
pelecehan seksual melalui media sosial terbagi menjadi empat yaitu; 1) Pelecehan
tulisan; 2) Pelecehan verbal; 3) Pelecehan visual; 4) Pelecehan real. Di media
sosial, perempuan dengan paras yang dianggap cantik oleh orang banyak akan
lebih banyak memiliki teman di dunia maya daripada perempuan yang dianggap
buruk wajahnya. Perhatian yang diberikan oleh kaum muda tersebut dapat berupa
terpaan isu kesetaraan gender yang mereka dapatkan dari akun-akun dan platform
terkait atau dalam bentuk respon mereka setelah diterpa isu tersebut.

Kata kunci: Pelecehan, Gender, Media Sosial

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi merupakan salah satu bukti telah


terjadinya modernisasi dalam suatu masyarakat. Tidak dapat dipungkiri kehadiran
internet semakin dibutuhkan untuk menunjang setiap kebutuhan masyarakat, baik
dalam kegiatan sosialisasi, pendidikan, bisnis, dan sebagainya. Dengan semakin
majunya teknologi internet, hal tersebut diikuti dengan kemunculan media sosial.
Media sosial merupakan situs dimana seseorang mampu membuat web page
pribadi dan terhubung dengan orang lain yang berada dakam media sosial yang
sama untuk berbagi informasi atau hanya sekedar berkomunikasi. Penggunaan
media sosial yang sudah sangat meluas ini kemudian membentuk sebuah interaksi
sosial baru berupa Jejaring Sosial (Social Network) yang merupakan sebuah
struktur sosial yang dibentuk individu atau kelompok yang terhubungkan oleh
satu atau lebih faktor saling ketergantungan, seperti persahabatan, persaudaraan,
kepentingan bersama, perdagangan, ketidaksukaan, berpacaran, kesamaan
keyakinan, pengetahuan dan prestise. Interaksi yang berlangsung dalam media
sosial ini memiliki karakter yangsama dengan interaksi tatap muka dimana aturan
dan norma juga diakui dan digunakan. Hal tersebut berarti bahwa semua anggota
yang berinteraksi tetap mengatur tindakannya agar tidak melanggar norma yang
berlaku. Akan tetapi, interaksi yang dilakukan oleh masyarakat berjejaring dengan
menggunakan teknologi Internet berdampak pada masyarakat yang kurang
bertanggung jawab dan mengucilkan diri dari interaksi dengan masyarakat
(Rosyidah & Nurdin, 2018).

Pada tiga dasawarsa terakhir ini, isu pelecehan kesetaraan gender di


media sosial marak diperbincangkan di berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia. Trend ini terkait dengan bangkitnya kesadaran kaum perempuan untuk
memperoleh hak yang sama dengan kaum pria dalam berbagai ini kehidupan,
seperti kesempatan berperan di arena publik yang selama ini didominasi oleh
kaum pria. Lebih jauh masalah ketimpangan perlakuan terhadap dua jenis laki-laki
dan perempuan diperbincangkan dalam berbagai aspek, yakni politik, ekonomi,
sosial, budaya, hukum dan bahkan agama. Keseluruhan aspek tersebut selama ini
dinilai cenderung memihak kepada laki-laki dan meminggirkan kaum perempuan.

Ketidaksetaraan gender merupakan perilaku yang menyebabkan


seseorang terdiskriminasi karena alasan gender. Selain itu, hal ini dapat terjadi
ketika perilaku yang dilakukan oleh salah satu pihak merugikan pihak lain karena
faktor gender. Istilah ketidaksetaraan gender mengacu pada perbedaan antara
perempuan dan laki-laki khususnya dimaknai sebagai masalah ketimpangan antara
keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat. Ketidaksetaraan
gender ini dapat dengan mudah di rumah, pada komunitas seperti sekolah dan
umah ibadah, serta media konvensional dan media daring yang sehari-hari mereka
gunakan1. Kesenjangan ini mengarah pada permasalahan ketidaksetaraan di
bidang pendidikan, kekerasan seksual, malnutrisi, informasi kesehatan reproduksi,
pernikahan anak, pekerja anak, HIV/AIDS, kekerasan berbasis gender dan lain-
lain. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menyatakan dalam kurun 12
tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 72%, yang mana
meningkat 8 kali lipat karena ada peningkatan keberanian korban untuk
melaporkan sebagai bukti beragam bentuk tindakan kekerasan yang mulai
terungkap (Anindya et al., 2021).

Doktrin agama, termasuk Islam, selama ini dinilai telah ikut


melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan yang terimplementasi tidak
hanya pada marginalisasi dan subordinasi pada berbagai sektor kehidupan, tapi
bahkan sampai pada tingkat kekerasan terhadap perempuan. Beberapa segi dalam
hukum Islam dinilai cenderung memihak kepada laki-laki dan diskriminatif
terhadap perempuan. Institusi-institusi dalam hukum Islam yang sering diangkat
untuk mengilustrasikan pemahaman tersebut antara lain adalah masalah
kepemimpinan, persaksian, perwalian, poligami, nusyuz, kewarisan dan lain-lain.
Bidang-bidang yang menjadi bagian kajian hukum Islam tersebut oleh kalangan
feminis dinilai sangat bias gender (Asni, 2016).

Kehadiran internet sebagai media baru menjadikan variasi informasi


yang dapat didapatkan semakin beragam. Oleh karena itu, media tentu saja
menjadi pembentuk kesadaran masyarakat salah satunya terkait gender. Banyak
platform media sosial seperti Youtube, twitter, dan Instagram yang bermuncul
dalam menyebarkan pesan-pesan kesetaraan gender. Seperti di Instagram Vice
yang memiliki akun di Instagram @vice dan Vice Indonesia di @viceind,
@magdalene, dan @indonesiafeminis. Dan juga berbagai gerakan keseteraan
gender yang global seperti #metoomovement serta #heforshe 6 yang diusung oleh
berbagai kaum muda untuk meningkatkan kesadaran pelecehan dan gender di
dunia internasional (Anindya et al., 2021).

Kaum muda menjadi penggerak dalam menyuarakan berbagai pesan


kesetaran gender ini di media sosial. Organisasi-organisasi yang digawangi para
pemuda banyak bermunculan dalam mengedukasi masyarakat. Gerakan ini juga
tidak hanya di tataran organisasi namun juga individu. Pada tataran organisasi,
kaum muda remain mengadakan berbagai kegiatan yang membahas isu-isu
mengenai gender disesuaikan dengan audiens yang aktif saat ini. Sudut pandang
yang diberikan juga berangkat dari perspektif audien sebagai pusat dari kampanye
yang dilakukan di media sosial ini. Salah satu yang lakukan Vice yakni
keberpihakan pada korban kekerasan seksual serta pendataan penyintas kekerasan
yang disampaikan dalam bentuk infografik. Kemudahan serta banjir akses
informasi membuat kaum muda sebagai user pun ramai berpartisipasi, salah
satunya melalui fitur repost yang tersedia di akun Instagram. Pemahaman
mengenai kesadaran gender ini membahas mengenai komunikasi sensitif gender,
perbedaan gender dan seks (jenis kelamin) serta stereotip gender. Efek yang
diberikan oleh berbagai kampanye dan sosiliasi di media sosial serta kemudahan
yang didapatkan menjadikan kaum muda mampu menciptakan, mereproduksi
serta membagikan konten tersebut dengan tujuan penyadaran akan isu pelecehan
dan kesetaraan gender.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bentuk Pelecehan dan Bias


Gender di Media Sosial.

METODOLOGI

Dalam menelaah Membongkar Bentuk Pelecehan dan Bias Gender di


Media Sosial, riset ini memakai jenis kualitatif dengan metode studi literature.
Kajian studi literature merupakan metodologi riset yang tujuannya merupakan buat
mengakulasi akar dari riset lebih dahulu serta menganalisa sebagian kajian sejawat
tercatat. Amatan pustaka pula berfungsi selaku bawah bermacam tipe riset, sebab
hasil amatan pustaka membagikan uraian mengenai kemajuan ilmu wawasan,
memicu cara pembuatan kebijaksanaan, menginisiasi lahirnya gagasan terkini,
serta bermanfaat selaku memandu (Sugiyono, 2015). Pertama, ruang lingkup
penelitian, yaitu Bentuk Pelecehan dan Bias Gender di media sosial, harus
dijelaskan. Kedua media sosial, yang dikaji mencakup Bentuk Pelecehan dan Bias
Gender.

Penulis memilih database google scholar sebagai sumber data untuk


penelitian ini karena secara luas dianggap sebagai database terbesar untuk abstrak
dan referensi dan juga berisi lebih banyak jurnal terkemuka. Untuk
mengidentifikasi literatur, kami memulai pencarian literatur di database
googlescholar dengan kata kunci "Membongkar Bentuk Pelecehan dan Bias
Gender di Media Sosial".

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Pelecehan di Media Sosial

Hasil wawancara dari beberapa informan diperoleh dari penelitian


(Fatikhul & Abdullah, 2019) bahwa pelecehan seksual melalui media sosial
terjadi karena adanya interaksi yang dilakukan secara virtual oleh informan
dengan pelaku. Bahkan dari pertemanan pelaku dan informan memiliki rentang
waktu yang bervariasi. Ada yang baru berkenalan atau sudah lama berkenalan
dengan informan melalui media sosial.

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan pelecehan seksual melalui


media sosial terbagi menjadi empat yaitu; 1) Pelecehan tulisan; 2) Pelecehan
verbal; 3) Pelecehan visual; 4) Pelecehan real.

Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan di media sosial.


Diketahui bahwa pelecehan seksual melalui tulisan di media sosoial terjadi keika
para pengguna internet memberikan tulisan melalui komentar-komentar atas foto
yang telah dijadikan foto profil oleh informan tersebut. Hal tersebut tidak berhenti
melalui komentar tersebut belaka, namun juga terkadang dilanjutkan dengan
mengirim pesan pribadi. Pesan yang terindikasi pelecehan tersebut berupa
menyakan ukuran payudara sampai dengan menyakan tarif untuk kencan karena
informan dianggap sebagai wanita penghibur.

Berdasarkan informasi yang diberikan dari informan tersebut


menunjukkan bahwa pelecehan sexual terjadi dikarenakan adanya sebuah aksi
(pengunggah foto) yang menyebabkan munculnya sebuat reaksi (pemberi
komentar terhadap foto). Penggungah foto tanpa mereka sadari ternyata mendapat
komentar yang kurang menyenangkan, walaupun kadang beberapa diantara
mereka terkesan biasa saja. Namun demikian ada beberapa informan lain juga
yang terkesan tersinggung, seihingga mereka cenderung memutus hubungan
pertemanan (memblokir). Selanjutnya pada pelecehan verbal pada media sosial.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dilapangan. Pelecehan verbal


terjadi karena ada komunikasi antar pengguna media sosial. Istilah di kalangan
pengguna media sosial disebut dengan Phone Sex atau Call Sex. Pengguna
pertama-tama berupaya mendekati informa dengan cara biasa. Begitu lambat laun
pertemanan semakin dekat maka pengguna meminta phone sex.

Pada bentuk yang ketiga yaitu pada pelecehan bentuk visual. Hal tersebut
terjadi karena pengguna media sosial memanfaatkan video call. Pelecehan terjadi
ketika pengguna media sosial meminta informan untuk melakukan aktivitas
sexual misalnya membuka sebagian baju atau sampai dengan tanpa busana sama
sekali.

Selain itu, dari beberapa informan pernah mengalami kekerasa seksual


melalui media sosial dengan cara ancaman menyebarluaskan editing foto bugil
informan melalui media sosial. Hal tersebut sesuai dengan pendapatnya Hamman
yang menjelaskan bahwa terkadang pengguna media sosial dapat melakukan
kekerasan seksual melalui media tersebut. Pada bentuk yang terakhir yaitu
pelecehan real (Fatikhul & Abdullah, 2019).
Pelecehan seksual ini terjadi karena tindak lanjut dari ketiga pelecehan
tersebut. dari beberapa informas di lapangan, pelecehan seksual tersebut terjadi
karena pengguna memberikan ancaman penyebarluasan foto dan video, sehingga
terjadi pelecehan seksual real.

Selain itu terkadang ada pemalsuan identitas, seoranng laki-laki dengan


cara membuat akun FB dengan memasang gambar wanita sexy. Hal tersebut
dilakukan hanya untuk tujuan yang terkadang kurang jelas. Walaupun disisi lain
ada juga wanita yang sesungguhnya yang memang memajang foto dirinya dengan
penampilan sexy. Teori sex dan kekuasaan menjelaskan bahwa sesorang dapat
mengexploitasi tubuh mereka sendiri hanya untuk kepuasan diri belaka. Respon
dari wanita pengguna media sosial beragam.

Respon pertama wanita pengguna internet kurang senang dengan


adannya komentar negatif dengan memblokir akun-akun yang berkomentar
negatif. Hal tersebut diketahui dari ujaran yang diberikan melalui Chating atau
komentar adalah bentuk pelecehan. Hal tersebut ditunjukan dengan kometar dari
Netizen atau chatter yang sudah mengarah kepada hal yang negatif, misalnya
menanyakan ukuran bentuk payudara, meminta buka pakaian sampai telanjang,
bahkan sampai menayakan tarif kencan. Respon lain yang muncul nampak tidak
memperdulikan komentar-komentar negatif tersebut.

Namun demikian sebagian besar dari mereka menyayangkan adanya


pelecehan seksual yang terjadi. respon lain yang muncul juga menyadari karena
dampak dari kurangnya kontrol diri dalam upload foto yang sesuai yang tidak
memunculkan aktivitas pelecehan tersebut.

Berdasarkan pada hasil penelitian (Rosyidah & Nurdin, 2018) bahwa


pelecehan seksual berawal dari penggunaan media sosial, anak-anak muda mulai
membangun relasi di dunia maya dengan akun pribadinya. Menawarkan
pertemanan dan relasi di dunia maya lewat foto sebagai identitas profil. Dengan
adanya foto dalam tampilan profil, mereka dengan mudah dapat memilih siapa
saja yang akan menjadi teman di dunia maya. Selanjutnya, proses menambah
teman di dunia maya tidak terjadi begitu saja. Ada unsur memilih siapa yang akan
menjadi teman atau tidak. Dapat dilihat tanpa riset yang mendalam di media
sosial, perempuan dengan paras yang dianggap cantik oleh orang banyak akan
lebih banyak memiliki teman di dunia maya daripada perempuan yang dianggap
buruk wajahnya. Foto yang dipajang sebagai gambar profil merupakan syarat
utama yang dapat menentukan bagaimana seseorang akan menjadi populer di
dunia maya. Berdasarkan hasil survey Ditch the Label, Instagram dengan
persentase sebesar 42% merupakan platform media sosial yang penggunanya
paling sering menglami cyberbullying. Facebook dengan 37%, Snapchat dengan
31%, WhatsApp dengan 12%, Youtube dengan 10%, dan Twitter dengan 9%
(Rosyidah & Nurdin, 2018).

Media sosial seharusnya menjadi sarana dalam memperluas pertemanan


juga mencari informasi mengenai hal-hal yang disukai. Akan tetapi, terdapat
beberapa oknum tidak bertanggungjawab yang justru menjadikan media sosial
sebagai sarana untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Menurut riset yang
dilakukan oleh firma kemanan digital, Norton, 76% dari 1.000 responden wanita
yang berusia dibawah 30 tahun pernah mengalami pelecehan seksual secara online
(Aprillia, 2017). Bentuk-bentuk ajakan untuk chat yang menggoda dan
mengganggu merupakan hal yang sudah biasa terjadi dalam konteks penggunaan
media sosial. Tidak jauh berbeda dengan siulan, kata-kata serta sentuhan yang
biasa dilakukan oleh oknum pelecehan seksual di dunia nyata. Pelecehan seksual
terhadap remaja dapat terjadi pula di jejaring sosial sebagai ruang publik dunia
maya.

Tindak pelecehan secara verbal di dunia maya terhadap perempuan, baik


seksual maupun non-seksual yang terjadi merupakan bentuk kebiasaan yang
direproduksi. Pelecehan verbal terhadap perempuan masih sama, hanya bentuknya
saja yang berbeda. Kata-kata yang dahulu diucapkan secara langsung, sekarang
berubah bentuk menjadi tulisan. Rayuan dan godaan yang tidak menyenangkan di
media sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara (chat, direct message, dan
komentar) masih sama mengganggunya dengan godaan dan siulan para oknum di
jalanan. Dalam hal penggunaan media sosial, remaja saat ini harus dibekali
dengan pengetahuan- pengetahuan yang memadai tentang sikap yang bijak dalam
menggunakan media sosial. Sikap terbuka yang berlebihan dalam penggunaan
media sosial akan mempermudah bagi oknum pelaku pelecehan seksual dalam
menjadikan remaja tersebut sebagai targetnya.

Gender di Media Sosial

Arus informasi dari media sosial tidak memiliki keterbatasan. Dari


perkembangannya saat ini, terdapat berbagai komunitas serta organisasi baik non-
governmental organization hingga lembaga pemerintah yang memiliki media
sosial. Komunitas yang memiliki media sosial memiliki blog mereka dengan
berita berkaitan dengan gerakan yang mereka usung. Dalam tulisan ini saya akan
menyoroti Indonesia Feminis dan Laki-laki Baru yang konsisten memberikan
informasi mengenai kesetaraan gender melalui media sosial.

Indonesia Feminis merupakan platform media yang membahas tentang


isu-isu feminisme, terutama di Indonesia. Media ini bergerak melalui media sosial
yaitu Facebook, Instagram, dan Twitter. Indonesia Feminis memiliki acara tetap
bertajuk Heart to Pussy Talk setiap hari Rabu pukul 20.00 dan dialog dengan
berbagai topik dengan narasumber bertajuk Mbok Femi yang disiarkan ulang
melalui saluran You Tube mereka. Kedua tayangan bincang-bincang yang mereka
adakan secara langsung tersebut membahas berbagai permasalahan yang tengah
hangat dibicarakan misalnya mengenai catcalling atau godaan yang ada ranah
publik sebagai suatu bentuk pelecehan atau mengenai seputar mitos keperawanan
(Inda Marlina, 2018).

Konstruksi pesan kesetaraan gender pada kaum muda tentunya diawali


dengan adanya kesadaran tentang kesetaraan gender itu sendiri. Kaum muda yang
aktif menyuarakan kesetaraan gender di media sosial adalah kaum muda yang
memiliki perhatian penuh akan kesadaran gender. Perhatian yang diberikan oleh
kaum muda tersebut dapat berupa terpaan isu kesetaraan gender yang mereka
dapatkan dari akun-akun dan platform terkait atau dalam bentuk respon mereka
setelah diterpa isu tersebut. Bahkan ada kaum muda yang memiliki platform
sendiri dan aktif membahas kesadaran gender ini di media sosial. Umumnya kaum
muda memiliki ketertarikan tentang isu gender ini setelah mereka diterpa isu
gender tersebut baik melalui pengalaman mereka sendiri, media sosial, pergaulan,
maupun dari fenomena yang ditemukan di sekitar mereka. Tidak jarang kaum
muda tersebut juga pernah menemukan kasus ketidaksetaraan gender dalam
kehidupan keseharian. Pada akhirnya hal itulah yang menjadi dasar ketertarikan
kaum muda terhadap isu gender hingga pada akhirnya ikut berkontribusi
memeproduksi pesan yang bermuatan kesetaraan gender di media sosial. Mulanya
dari melihat konten tentang gender atau menemukan praktek ketidaksetaraan
gender sampai pada akhirnya memproduksi konten serupa. Selain itu juga
menjadikannya bahan diskusi dengan lingkungan pergaulan baik secara langsung
maupun dengan memanfaatkan media sosial. Salah satu informan mengaku
memiliki ketertarikan terhadap isu gender, agar sebagai seorang perempuan, ia
memiliki sudut pandang tentang kesetaraan gender. Sudut pandang dan prespektif
tersebut dipercaya dapat membantu informan tersebut apabila menghadapi hal-hal
yang berkaitan dengan ketidaksetaraan gender (Anindya et al., 2021).

Ketertarikan informan tentang gender juga berangkat dari pengalaman


perjuangan mendapatkan keseteraan gender itu sendiri, melihat dari sisi
emansipasi perempuan. Informan lain menyatakan bahwa mulai tertarik dengan
isu gender itu sendiri karena banyaknya kesalahpahaman informasi yang diketahui
atau dipahami oleh masyarakat umum. Masih banyaknya kaum uda yang awam
mengenai isu gender ini, memotivasi informan ini untuk lebih mengetahui tentang
kesetaraan gender. Alasan lain yang melatarbelakangi informan tertarik pada isu
gender adalah karena informan merasa saat ini isu mengenai gender ini sudah
mulai banyak diperbincangkan di negara-negara berkembang. Indonesia sendiri
sudah banyak memiliki kaum muda yang aktif menyuarakan isu kesetaraan
gender, gender perlu mendapatkan atensi sebagaimana di negara-negara maju.

Selain itu, lekatnya partiarki di lingkungan pergaulan yang konvensional


juga menjadi salah satu penyebab isu gender ini mendapat tempat di ruang-ruang
publik untuk disikusikan oleh kaum muda. Fakta di lapangan menujukkan bahwa,
berdasar perhatian informan pada isu gender dan tanggapnya mereka dengan isu-
isu gender yang ada di media sosial, terlihat mereka sudah memiliki kesadaran
akan isu gender itu sendiri. Para informan tidak hanya mencari informasi
mengenai isu gender dari dalam negeri tapi juga mengikuti perkembangan di
negara luar. Mereka tertarik bagaimana negara menyikapi kesetaraan gender ini,
karena banyaknya fenomena yang ditemukan terkait pemberitaan- pemberitaan
yang tidak menempatkan salah satu gender pada posisi yang setara.

Ketertarikan kaum muda terhadap isu gender terlihat dari atensi yang
diberikan oleh kaum muda di media sosial. Informan pada penelitian ini
mengikuti akun-akun yang menaruh perhatian pada isu kesetaraan gender. Tidak
hanya itu, tetapi mereka juga sudah dapat memilah akun mana yang layak untuk
dijadikan sumber informasi, mengingat tidak semua infomasi yang dibuat oleh
akun-akun serupa memiliki informasi yang valid. Sehingga jika salah dalam
penerimaan informasi, maka akan salah pemahaman kaum muda terhadap isu
gender tersebut.

Perhatian kaum muda tidak hanya sebatas mengakses isu gender di media
sosial tetapi juga membagikan konten tersebut ke pengikut ataupun teman mereka
di media sosial. Tidak jarang, mereka mendiskusikannya di paltform yang lebih
personal seperti whatsapp. Terdapat pula informan yang sudah terbiasa mengelola
akun yang kontennya fokus membahas isu gender.

Informan tidak hanya sadar mengenai isu gender itu sendiri tapi lebih
dari itu, mereka bahkan sudah dapat memilah mana informasi yang benar-benar
pro kesetaraan gender mana yang tidak. Hal ini terlihat dari bagaimana informan
menyikapi dan merespon konten- konten tentang kesetaraan gender yang ada di
media sosial.

Dan juga, para informan memiliki aktivitas tersendiri di media sosial,


beberapa informan bahkan gencar menyuarakan kesetaraan gender di side account
mereka. Informan lain bahkan mengajak pengikut akun yang merespon untuk
berdiskusi lebih lanjut mengenai konten yang dibagikan ulang oleh informan.
Juga memilih platform yang dirasa cukup membantu informan untuk hal tersebut.
Selain membagikan ulang juga mengajak pengikutnya untuk berdiskusi pada
platform lain. Kaum muda memiliki kepedulian terhadap isu gender ini dengan
menjadikan isu ini sebagai tema-tema diskusi. Informan setelah melihat sebuah
informasi yang menarik kemudian dia akan membagikan di grup chat WAG
kemudian mendiskusikannya dengan teman-temannya. Dari hal ini terlihat bahwa
ternyata sudah cukup banyak kamu muda yang memiliki kesadaran tentang isu
gender ini walaupun di beberapa tempat isu inis masih awam untuk didiskusikan.
Beberapa informan juga sudah memiliki akun sendiri untuk menyuarakan isu
gender dengan pengikut yang umumnya juga kaum muda.

Tidak hanya sekedar membagikan ulang konten tetapi sudah membuat


konten, aktif membagikan ulang, membuat konten, juga terdapat informan yang
hanya sekedar memberikan komentar, tanda like, atau hanya membaca saja.
Motivasi informan melakukan ini adalah agar memiliki sudut pandang baru
kemudian menambah pengetahuan tentang isu gender. Kaum muda sudah mampu
melakukan edukasi kepada lingkungan pergaulan mereka. Kaum muda sudah
menyadari pentingnya isu gender ini. Mereka sudah memiliki kesadaran tentang
isu gender. Selain itu juga sudah memahami peran kaum muda tentang gender
awareness. Tidak hanya sekedar mengetahui dan memahami isu gender tetapi juga
sudah dapat memilah informasi mengenai isu gender pada akun-akun media sosial
yang mereka ikuti. Informan juga sudah mampu melakukan edukasi dengan
membuka ruang-ruang diskusi juga memproduksi pesan-pesan bermuatan isu
kesetaraan gender. Dengan kata lain, informan juga sudah memiliki peran dalam
melakukan literasi isu gender ini di kalangan kehidupan sosial mereka.

Tantangan di Masa Depan

Ketergantungan aktivitas remaja dalam berselancar pada jejaring sosial


dilatarbelakangi kurangnya pengawasan dan perhatian dari lingkungan terdekat,
khususnya keluarga. Sikap dan peran orang tua sangat penting terhadap masalah
pengaruh negatif dari media sosial. Akan tetapi, peran masyarakat sebagai
komponen pendukung sosialisasi serta pembentuk kepribadian seseorang
memiliki andil yang cukup besar. Kondisi remaja yang masih tergolong labil
membuat mereka masih memerlukan bantuan orang-orang terdekat untuk
melakukan pengendalian terhadap penggunaan media sosial dalam rangka
membantu para remaja menyaring pengaruh-pengaruh media sosial. Permasalahan
yang akan timbul jika para remaja dibiarkan menggunakan media sosial tanpa
pengawasan dan arahan yang jelas akan menimbulkan berbagai perilaku
menyimpang (pelecehan, penipuan, bullying, dll).

Jika diurutkan sesuai dengan teori ketegangan sosial dari Merton, hal
tersebut merujuk kepada teori anomi yang dikemukakan oleh Durkheim
(Rosyidah & Nurdin, 2018). Pada masyarakat modern, norma dan standar
tradisional menjadi terabaikan tanpa tergantikan dengan yang baru, sehingga
mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur seseorang dalam
berperilaku. Kondisi tanpa adanya aturan tersebut biasa disebut anomi, kondisi
dimana tidak adanya norma yang berlaku dan mengatur perilaku masyarakat.
Tahapan selanjutnya yang terjadi akibat anomi ialah ketegangan di masyarakat.
Ketegangan tersebut dapat menimbulkan penyimpangan yang timbul akibat
kesenjang ekonomi dan perbedaan kesempatan yang ada di masyarakat. Sehingga
pada akhirnya, baik anomi maupun ketegangan dapat menimbulkan perilaku
menyimpang di masyarakat sebagai bentuk adaptasi yang dilakukan oleh
masyarakat.

Artikel ini berfokus pada kajian teoritis mengenai pelecehan seksual dan
kesetaraan gender yang dilakukan di media sosial. Fokus teori diatas digunakan
sebagai batasan dalam permasalahan pelecehan seksual yang terjadi pada jejaring
sosial sebagai dampak dari mulai lunturnya nilai-nilai yang dimiliki masyarakat
khususnya remaja akibat penggunaan media sosial. Belum adanya aturan dan
nilai-nilai baru yang berfungsi sebagai pedoman yang membatasi perilaku remaja
dalam berinteraksi di media sosial menjadikan perilaku menyimpang banyak
dilakukan pada ruang- ruang komunikasi virtual tersebut. Selain itu, adaptasi di
masyarakat yang dipengaruhi ketegangan sebagai dampak dari anomi di
masyarakat juga dapat memicu terjadinya beberapa perilaku menyimpang.

Penggunaan media sosial juga mengakibatkan berubahnya gaya


komunikasi dan karakteristik pelajar seperti membanggakan diri sendiri secara
berlebihan atas apa yang dimilikinya. Beberapa pelajar cenderung menjadi
pengguna yang aktif dalam media sosial. bahkan, seringkali mereka terlalu banyak
memposting berbagai hal dari mulai kegiatan sehari-hari hingga ke permasalahan
yang berbentuk privasi. Hal tersebut dilakukan sebagai ajang utuk menunjukkan
keberadaan dirinya kepada dunia luar. Para pelajar seringkali berlomba-lomba
untuk menampilkan dan membuat branding tentang dirinya kepada dunia luar.
Melalui berbagai foto, video, pernyataan yang ada di media sosial, mereka ingin
menunjukkan dan mengarahkan pandangan orang lain bahwa mereka adalah
seperti yang mereka gambarkan. Seperti yang disebutkan Goffman (Rosyidah &
Nurdin, 2018) terkait konsep Dramaturgi, bahwa individu akan menampilkan
dirinya sebaik mungkin. Ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin
menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Dalam konsep
Dramaturgi, kehidupan sosial dimaknai sama seperti pertunjukkan drama dimana
terdapat aktor yang memainkan perannya. Akan tetapi, para pelajar yang belum
memiliki pengendalian diri yang sempurna dalam mengekspresikan dirinya
menjadi rawan terjerumus pada hal-hal yang akan merugikan bahkan
mencelakakan dirinya. Sebagai contoh, penggunaan aplikasi Instagram yang
belum terkontrol, beberapa pelajar kerap kali mengunggah foto maupun video
dengan pakaian yang kurang senonoh dan sopan hanya untuk mendapatkan pujian
dan likes dari para followers yang dimilikinya dalam rangka mencari eksistensi
dan pengakuan diri.

Remaja yang masih berada pada masa peralihan menuju dewasa, kerap
kali mencoba dan mengeksplor kegiatan-kegiatan baru dalam rangka pencarian
jati diri mereka di masyarakat. Dengan kemunculan media sosial sebagai ruang
baru untuk berinteraksi, memudahkan mereka dan meningkatkan rasa ingin tahu
mereka akan dunia yang lebih luas. Media sosial juga dijadikan sebagai sarana
untuk memuaskan hasrat baik yang bersifat positif maupun negatif yang tidak
dapat mereka lakukan di dunia nyata. Internet dan perkembangan teknologi
informasi merupakan alat yang berpotensi dalam perilaku menyimpang dan
merusak dalam kehidupan remaja yang menjadikan mereka sebagai korban secara
online. Pendapat tersebut menghasilkan sebuah konstruksi baru dalam
perkembangan penggunaan media sosial yaitu remaja yang menggunakan internet
dan media sosial telah membuka celah dalam diri mereka sendiri untuk menjadi
korban bullying, pelecehan seksual, dan perilaku menyimpang lainnya.

KESIMPULAN

Bersumber pada beberapa hasil riset yang pengarang miliki, bisa


disimpulkan bahwa berdasarkan data yang diperoleh di lapangan pelecehan
seksual melalui media sosial terbagi menjadi empat yaitu; 1) Pelecehan tulisan; 2)
Pelecehan verbal; 3) Pelecehan visual; 4) Pelecehan real. Diketahui bahwa
pelecehan seksual melalui tulisan di media sosoial terjadi keika para pengguna
internet memberikan tulisan melalui komentar-komentar atas foto yang telah
dijadikan foto profil oleh informan tersebut.

Berdasarkan informasi yang diberikan dari informan tersebut


menunjukkan bahwa pelecehan sexual terjadi dikarenakan adanya sebuah aksi
(pengunggah foto) yang menyebabkan munculnya sebuat reaksi (pemberi
komentar terhadap foto). Selain itu, dari beberapa informan pernah mengalami
kekerasa seksual melalui media sosial dengan cara ancaman menyebarluaskan
editing foto bugil informan melalui media sosial.

Dapat dilihat tanpa riset yang mendalam di media sosial, perempuan


dengan paras yang dianggap cantik oleh orang banyak akan lebih banyak memiliki
teman di dunia maya daripada perempuan yang dianggap buruk wajahnya.
Perhatian yang diberikan oleh kaum muda tersebut dapat berupa terpaan isu
kesetaraan gender yang mereka dapatkan dari akun-akun dan platform terkait atau
dalam bentuk respon mereka setelah diterpa isu tersebut.

Umumnya kaum muda memiliki ketertarikan tentang isu gender ini


setelah mereka diterpa isu gender tersebut baik melalui pengalaman mereka
sendiri, media sosial, pergaulan, maupun dari fenomena yang ditemukan di sekitar
mereka. Pada akhirnya hal itulah yang menjadi dasar ketertarikan kaum muda
terhadap isu gender hingga pada akhirnya ikut berkontribusi memeproduksi pesan
yang bermuatan kesetaraan gender di media sosial.

Fakta di lapangan menujukkan bahwa, berdasar perhatian informan pada


isu gender dan tanggapnya mereka dengan isu-isu gender yang ada di media
sosial, terlihat mereka sudah memiliki kesadaran akan isu gender itu sendiri.

SARAN

Seharusnya Pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam


rangka meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kekerasan
berbasis gender online melalui sosialisasi/kampanye anti kekerasan berbasis
gender, menyediakan akses layanan pengaduan dan pelaporan (hotline) serta
melakukan pengawasan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anindya, A., Hanana, A., & Elian, N. (2021). UPAYA MENINGKATKAN


KESADARAN GENDER KAUM MUDA MELALUI PESAN
KESETARAAN GENDER DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM. Jurnal
ranah komunikasi, 5.

Asni. (2016). Membongkar Akar Bias Gender Dalam Hukum Islam (Telaah Fikih
Perempuan Perspektif Sejarah Sosial Hukum Islam). Jurnal Al mAiyyah,
9(1), 17–45.

Fatikhul, A., & Abdullah, A. (2019). Studi Fenomenologi Pelecehan Seksual Pada
Wanita Melalui Sosial Media. “CIVIC-CULTURE : Jurnal Ilmu Pendidikan
Dasar,” 3(1), 199–210.

Inda Marlina. (2018). PAHAM GENDER MELALUI MEDIA SOSIAL. Habitus:


Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan Antropolog, 2(2).

Rosyidah, F. N., & Nurdin, M. F. (2018). PERILAKU MENYIMPANG: Media


Sosial Sebagai Ruang Baru Dalam Tindak Pelecehan Seksual Remaja.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian. Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai