Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH HATE SPEECH DI MEDIA SOSIAL PADA KEBIJAKAN PEMERINTAH

INDONESIA
1
Nadia Puspita Ayu Ningtyas, 2Syarla Marthiza Putri A.A, 3Elsa Nizar
Ramdana, 4Aurell Karinindya, 5Ilham Faathir Putra, 6Rahmadani
1
Perencanan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Kalimantan

ABSTRAK

PENDAHULUAN

Hidup di era globalisasi yang hampir seluruhnya berbasis internet ini dianggap lebih
efektif untuk berkomunikasi dan berinteraksi di masyarakat. Sarana komunikasi yang
mewadahi masyarakat untuk dapat berinteraksi, mendapatkan berita, berdiskusi hingga
berjualan pada masa ini, yaitu media sosial. Media sosial menjadi salah satu gaya
hidup masyarakat sekarang yang tidak terlepaskan dan memiliki peran penting karena
banyak dampak positif yang didapatkan sesuai dengan fungsinya. Namun tidak sedikit
juga dampak negatif yang timbul akibat adanya media sosial yang dapat menyebabkan
tekanan sosial, stress, putus asa, trauma, hingga bunuh diri.. Seperti banyak ditemukan
Hate speech yang memberikan pengaruh buruk terhadap penggunanya.

Ujaran Kebencian (Hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun


pertunjukan yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi,
hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai hal
yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka
entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Ujaran kebencian biasanya menyangkut ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi
seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Ujaran kebencian dapat berupa
penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan
menyebarkan berita bohong.
Tidak jarang komentar dalam media sosial kerap menggiring suatu tren untuk
memberikan hujatan atau hate speech (ujaran kebencian) pada suatu individu atau
kelompok.

Upaya pencegahan terjadinya kejahatan ujaran kebencian (hate speech) dengan


memberikan penyuluhan ataupun sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai
informasi dampak media elektronik jika tidak digunakan dengan bijak, etika
menggunakan media sosial dengan memberikan pengetahuan hukum mengenai UU
ITE. Jika pelaku melakukan tindakan ujaran kebencian di internet maka akan terkena
pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik).

Sikap dan tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi ujaran kebencian (hate
speech) adalah yang pertama, menyadari kesalahan, bertanggung jawab pada
pernyataan sendiri, dan memohon maaf apabila ada salah. Kedua, menyebarkan
pikiran positif, meluaskan pandangan tentang banyak hal, dan jangan menyebarkan
nilai-nilai kebencian.

PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian terdahulu merupakan upaya untuk mengetahui metode penelitian dan hasil-
hasil penelitian yang dilakukan. Penelitian terdahulu juga sebagai tolak ukur penelitian
untuk menulis dan menganalisis suatu penelitian. Tujuan penelitian terdahulu sendiri
guna mengetahui langkah penulis benar atau salah. Sebagai pembanding, penelitian
terdahulu ini dapat menggunakan jurnal, skripsi maupun bahan untuk menunjang
penelitian selanjutnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Didi Kurnia Sandi, S.IP, dengan metode penelitian
yang diambil adalah metode penelitian leteratur secara kualitatif yang berjudul
“Freedom of Speech”, yang ditinjau dari Perspektif Hubungan Internasional. Dengan
kata kunci Kritik, Netizen, dan Viral. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh Kritikkan
di media social. Hal ini bisa menjadi wadah memprovokasi masyarkat di dunia maya
dalam berspekulasi terhadap Kota Lampung.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Alat Pengumpulan Data


Metode penelitian
Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif, suatu metode yang dapat
memberikan gambaran suatu fenomena atau gejala pada keadaan tertentu baik
keadaan sosial, sikap, pendapat maupun cara yang meliputi berbagai aspek
dimana fenomena-fenomena tersebut bersifat apa adanya. Dengan metode
deskriptif ini juga bisa diketahui perbedaan-perbedaan dan dapat menemukan
sebab-sebab dari suatu akibat. Data dihimpun dengan pengamatan yang
seksama, mencakup deskripsi dalam konteks yang mendetil disertai catatan-
catatan hasil wawancara yang mendalam.

Pendekatan Penelitian
Penelitian yang digunakan berupa pendekatan kualitatif. ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif mempunyai dua tujuan utama. Pertama,
menggambarkan dan mengungkap dan kedua menggambarkan dan
menjelaskan.

B. Teknik Pengumpulan Data


Data dan informasi yang dibutuhkan diperoleh melalui metode studi pustaka atau
literatur. Teknik ini digunakan untuk mencari ide atau sumber referensi dalam
penelitian dan juga menyelesaikan laporan dengan sumber data atau informasi
tertulis dari internet, artikel, jurnal, dan penelitian sebelumnya .

PEMBAHASAN
Hate Speech atau ujaran kebencian adalah perkataan,perilaku,tulisan, ataupun
pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan
sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari
tindakan tersebut. Pada sumber yang lain, hate speech disebutkan lebih dekat dengan
delik penghinaan atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur di dalam kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Buku 1 Bab XVI khususnya pada pasal 310,
pasal 311, pasal 315, pasal317, dan pasal 318 KUHP.
Media sosial merupakan media komunikasi yang sangat diminati saat ini. Media
sosial merupakan tempat atau media dimana semua orang dapat berkomunikasi secara
tidak langsung dengan menggunakan smartphone. Tidak dapat kita hindari fakta bahwa
kebanyakan orang saat ini kecanduan dan tidak dapat lepas dari media sosial. Salah
satu sifat media sosial adalah keterbukaan terhadap publik. Dengan terbukanya
informasi pada publik di media sosial dapat dapat menjadi pemicu masyarakat untuk
melakukan hate speech. Salah satu alasan mengapa ujaran kebencian begitu mudah
muncul dan tersebar di media sosial adalah kemudahan penggunaan media sosial itu
sendiri yang terhubung dengan situs berita online. Fitur media sosial yang dikatakan
holmes adalah komunikasi dua arah yang tidak terpusat (desentralisasi), diluar kendali
pemerintah,demokratis,dan meningkatkan kesadaran individu. Aktivitas di media sosial
dengan berbagai situasi dan faktor diperparah dengan lemahnya kontrol diri netizen.
Dari data yang diperoleh, jelas bahwa manisfestasi ujaran kebencian dapat
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Faktor pendidikan masyarakat yang rendah.
2. Framing media massa yang begitu masif dan tanpa pemahaman literasi
digital sehingga gagal membagikan konten yang layak untuk dibagikan.
3. Aktor atau elit politik yang sengaja menggunakan ujaran kebencian untuk
mengalahkan musuhnya.
Banyaknya penyebaran informasi melalui internet khususnya pada akses media
sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lain, mewajibkan khalayak harus
pandai memilah mana informasi mana yang benar dan mana informasi yang salah.
Berikut beberapa studi kasus penyebaran ujaran kebencian dan hoaks yang menonjol.
Studi kasus 1: Kasus Ropi Yatsman yang Divonis 15 Bulan Penjara
Ropi Yatsman (36) merupakan salah satu pelaku yang ditangani di awal
terbentuknya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Di akun alter Facebook
bernama Agus Hermawan dan Yasmen Ropi, ia mengunggah konten penghinaan
terhadap pemerintah dan Presiden Jokowi. Selain Jokowi, Ropi mengedit foto sejumlah
pejabat, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ia juga merupakan admin dari akun grup publik Facebook Keranda Jokowi-Ahok. Atas
perbuatannya, Ropi telah divonis 15 bulan penjara.
Studi kasus 2: Kasus Tamim Pardede Pembuat Video Hina Jokowi
Muhammad Tamim Pardede (45) ditangkap lantaran mengunggah video di
Youtube yang memuat penghinaan terhadap Presiden dan Kapolri. Dalam salah satu
videonya, Tamim menyebut bahwa Jokowi berpihak pada blok komunis. Ia juga
menyatakan bahwa Tito termasuk antek Jokowi yang berpaham komunis. Ia lantas
menantang polisi untuk menangkapnya. "Kalau Jokowi memerintahkan anteknya yang
bernama Tito Karnavian dan pasukannya untuk menangkap saya, saya tidak akan
tinggal diam. Jangan harap polisi bisa bawa saya hidup-hidup," ujar Tamim dalam video
berdurasi hampir 4 menit itu.
Gelar Profesor yang sering dibawa-bawa oleh Tamim Pardede pun diduga palsu.
Sebab, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) secara resmi menyatakan bahwa
tidak pernah ada penganugerahan gelar profesor kepada Tamim. Dalam salah satu
kalimatnya tertulis bahwa ketenaran LIPI di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
kerap membuat orang mencatut nama LIPI untuk tujuan tertentu. "Salah satu contohnya
adalah seseorang yang mengaku bernama Tamim Pardede dan mengklaim dirinya
adalah profesor riset dari LIPI. Dan setelah LIPI melakukan penelusuran data dan fakta,
ternyata nama Tamim Pardede bukan merupakan profesor riset dari LIPI dan lembaga
ini tidak pernah mengukuhkan yang bersangkutan sebagai profesor riset," bunyi siaran
pers tersebut.
Studi kasus 3: Kasus Asma Dewi Sebarkan Kebencian Ke Rezim Jokowi
Polisi menangkap Asma Dewi, pada 11 September 2017 karena diduga
mengunggah konten berbau ujaran kebencian dan diskriminasi SARA di akun
Facebooknya. Kasus bermula saat Asma mengomentari status Facebook dengan nada
kebencian pada 2016. Seperti:
“Kalau disini wajib belajar bahasa China.”
“Bahan baku vaksin palsu dari China. Tapi Jokowi malah izinkan China bangun
pabrik vaksin.”
“Rezim koplak. Di luar negeri dibuang. Di sini disuruh makan rakyatnya.”
Posting-posting itu dinilai memuat ujaran kebencian. Akhirnya tim Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim menangkap Asma dengan jeratan kasus ujaran
kebencian, isu SARA, dan penghinaan. Asma lalu diadili di PN Jaksel.
Pada 15 Maret 2018, PN Jaksel menyatakan Asma melakukan pidana menghina suatu
produk kekuasaan yang ada di Negara Indonesia. Asma Dewi tidak menghormati
kekuasaan negara. PN Jaksel lalu menjatuhkan hukuman 165 hari kepada Asma Dewi.
Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada Agustus 2018. Perkara
berlangsung hingga tingkat kasasi. Apa kata MA?
"Kabul permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum karena judex facti telah tidak
menerapkan hukum sebagaimana mestinya, sebab semestinya menerapkan Undang-
Undang ITE, maka MA membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri dengan
menerapkan Undang-Undang ITE sehingga Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah
melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu. Lalu menjatuhkan pidana tetap sama
dengan pidana yang dijatuhkan pengadilan negeri," kata juru bicara MA Andi Samsan
Nganro saat dihubungi detikcom, Jumat (15/3/2019).

Studi kasus 4: Tiga Cuitan Ahmad Dhani yang Divonis 1,5 Tahun Penjara
Musisi Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani divonis bersalah melakukan
ujaran kebencian terkait SARA lewat cuitan di Twitter. Ahmad Dhani divonis 1,5 tahun
penjara.
Cuitan pertama berbunyi “ Yang menistakan agama si Ahok … yang diadili KH
Ma’ruf Amin.”
Cuitan kedua berbunyi “ Siapa saja dukung penista agama adalah bajingan yang
perlu diludahi mukanya – ADP. “
Cuitan ketiga berbunyi “ Kalimat sila pertama KETUHANAN YME, PENISTA
Agama jadi Gubernur ...kalian WARAS??? -ADP
Dhani dilaporkan atas tuduhan melanggar Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Dhani hanya mengakui satu
dari tiga tweet dari akun Twitter Dhani yang diperkarakan karena dinilai sarkastik. Dua
lainnya, kata Dhani, diunggah oleh admin Twitternya. Tim kuasa hukum Ahmad Dhani
yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menilai, kasus ujaran
kebencian yang dikenakan pada kliennya tidak layak dilanjutkan. Mereka menganggap
kicauan Dhani bersifat umum dan tidak tendensius. Dalam putusan majelis hakim,
Ahmad Dhani terbukti melakukan tindak pidana.
Studi Kasus 5: Kelompok Saracen
Kelompok yang eksis di Facebook dan website ini paling banyak mendapatkan
sorotan sejak pertengahan 2017. Mereka mengunggah konten berisi ujaran kebencian
dan hoaks yang ditujukan kepada kelompok tertentu. Bahkan, beberapa postingannya
menyinggung sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dalam kasus ini,
polisi menetapkan empat pengurus Saracen sebagai tersangka. Mereka adalah
Mohammad Faisal Todong, Sri Rahayu Ningsih, Jasriadi, dan Mahammad Abdullah
Harsono. Mereka dianggap menyebarkan konten ujaran kebencian dan berbau SARA di
media sosial sesuai pesanan dengan tarif Rp 72 juta.
Media yang digunakan untuk menyebar konten tersebut antara lain di Grup Facebook
Saracen News, Saracen Cyber Team, situs Saracennews.com, dan berbagai grup lain
yang menarik minat warganet untuk bergabung. Hingga saat ini diketahui jumlah akun
yang tergabung dalam jaringan Grup Saracen lebih dari 800.000 akun. Dua dari empat
pelaku, Sri dan Faisal, ditangkap lebih dulu karenaa mengunggah konten serupa di
akun Facebook pribadi mereka. Di laman Facebooknya, Sri menghina Presiden Jokowi
dan pemerintah. Sementara itu, Faisal mengunggah gambar yang isinya tudingan
Jokowi adalah keluarga dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, Faisal juga
menyinggung soal fraksi yang mendukung maupun menolak ambang batas parlemen
dan ajakan untuk menjatuhkan partai tertentu. Ada juga konten berisi penghinaan
kepada Polri dan Kapolri. Selain itu, beberapa gambar dan tulisan yang diunggah dinilai
menyinggung SARA dan ujaran kebencian.

PENUTUP

SARAN

Anda mungkin juga menyukai