Anda di halaman 1dari 61

BUKU PEDOMAN

Penanganan Ujaran
Kebencian di Indonesia

OLEH
Tim Imparsial

Jakarta, 2017
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 4

BAB I
Pendahuluan 7

BAB II
Identifikasi Ujaran Kebencian 10

BAB III
Kebebasan Berekspresi dan
Ujaran Kebencian 20

BAB IV
Legislasi Larangan Ujaran Kebencian 27

BAB V
Peran Polri dalam Mengatasi
Ujaran Kebencian 35

BAB VI
Kesimpulan 54
KATA PENGANTAR

Meski otoritarianisme Orde Baru telah berhasil disingkir-


kan pada tahun 1998 dan kehidupan politik Indonesia se-
makin demokratis, namun ancaman terhadap HAM tidak
serta merta lenyap. Jika pada masa Orde Baru berkuasa dulu
ancaman terhadap HAM didominasi oleh Negara sebagai
pelaku, pada masa pasca 1998 kondisinya berbeda dimana
pelaku ancaman dan pelanggaran itu semakin beragam, ter-
masuk yang datang dari dalam masyarakat sendiri.

Kenyataan itu tampak terlihat dari fenomena penebaran


ujaran kebencian di ruang publik yang merebak pada masa
reformasi. Meski pelaku tindakan ini tidak berarti hanya
dilakukan warga masyarakat saja, tapi juga bisa merupakan
seorang politisi, dan bahkan juga pejabat. Dalam sejumlah
kasus, tindakan ini pada umumnya ditujukan kepada orang
atau kelompok lemah, yakni minoritas.

Berbagai ujaran kebencian yang merebak di ruang publik


itu tidak muncul dalam ruang yang kosong. Tindakan ini
didorong oleh sikap-sikap intoleran dengan motif untuk
membangun dominasi atas ruang publik dengan cara me-
nyingkirkan ‘yang lain’, terutama orang atau sekelompok
orang yang menurut ‘mainstraim’ itu dicap “sesat” atau
“menyimpang”.

Penebaran kebencian dikritisi bukan semata karena tindak-


annya saja tapi juga dampak yang ditimbulkannya. Penebar-
an kebencian dianggap mengancam hak asasi, kebebasan,
dan keberagaman di masyarakat. Salah satunya intoleransi

4
Tim Imparsial

dan kekerasan atas dasar agama terhadap minoritask, mi-


salnya, tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh hasutan ke-
bencian.

Kebebasan berekspresi tentu tidak bisa dijadikan sebagai


dalih untuk menebarkan kebencian. Dalam konteks HAM,
kebebasan ini memang penting dijamin dan dilindungi.
Meski demikain, kebebasan ini tidak bersifat absolut, atau
tunduk pada batasan-batasan tertentu. Ujaran kebencian
sejatinya menjadi batasannya dalam konteks isu kebebasan
berkespresi.

Belakangan ini, kesadaran atas upaya pentingnya menangkal


dan menindak penebaran ujaran kebencian di ruang publik
semakin meningkat. Setidaknya, pada tingkat diskursus di
publik isu ini semakin menjadi perhatian dan perbincangan
luas, tidak hanya di kalangan pegiat HAM tapi juga penye-
lenggara keamanan, dan sedikit pemangku kebijakan.

Di tingkat Polri, dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Ka-


polri No 6/X2015 tentang Ujaran Kebencian tentu hal itu
menjadi salah satu indikator bahwa polisi sendiri semakin
menyadari persoalan ujaran kebencian. Meski SE itu me-
miliki sejumlah cacatan kritis dari publik terkait identifikasi
bentuk ujaran kebencian yang mengambil sejumlah keten-
tuan di KUHP.

Meski demikian, penanganan ujaran kebencian selama ini


bukan hanya dipandang belum optimal tapi juga justru
memunculkan persoalan-persoalan baru. Pada satu sisi,
ujaran-ujaran kebencian terutama atas dasar agama semakin
merebak di ruang publik, sementara di sisi lain bentuk-ben-
tuk ekspresi yang absah justru malah dikenakan oleh delik
penebaran kebencian.

5
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Persoalan itu tentu disebabkan oleh sejumlah faktor saling


terkait. Misalnya kurangnya pemahaman atas ujaran keben-
cian, sehingga tidak memahami mana ekspresi yang harus
ditindak dan mana ekspresi yang harus dijamin dan dilin-
dungi. Selain itu, aspek penegakan hukum dalam konteks
kasus ini juga lemah, dan bahkan terkesan orang-orang yang
menjadi korban ujaran ini (minoritas) dipidanakan, seperti
dialami oleh Tajul Muluk di Jawa Timur.

Berangkat dari persoalan itu, Imparsial membuat sebuah


buku panduan bagi penanganan ujaran kebencian di Indo-
nesia. Panduan ini menyediakan sebuah kerangka norma
dan standar HAM bagi penanganan ujaran kebencian, khu-
susnya untuk penegak hukum. Untuk masyarakat, buku ini
diharapkan juga menjadi bacaan penting dan kerja-kerja
pemantauan.

Atas terbitnya buku panduan, kami ingin mengucapkan


terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah berkontribusi atas tersedianya buku panduan ini.
Pertama, kepada semua narasumber yang telah memberi
masukan penting dan berharga untuk kajian ini, dan Kedua,
kepada para peneliti—antara lain Wahyudi Djafar, Alam-
syah M. Djafar, Gufron Mabruri, Ardi Manto Adiputra—se-
hingga buku panduan ini tersedia dan berhasil diterbitkan.

Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada masyarakat


umum untuk membaca buku ini. Semoga kita semua dapat
memetik manfaatnya.

Jakarta, 15 Februari 2017

Al Araf, S.H., M.D.M


Direktur Imparsial

6
BAB I
PENDAHULUAN

Kasus-kasus ujaran kebencian belakangan ini makin me-


ningkat. Laporan sejumlah lembaga pemantau hak asasi ma-
nusia (HAM) seperti Imparsial, Wahid Foundation, Elsam,
atau Setara Institute, menunjukan kecenderungan tersebut.
Belum lagi jika melihat percakapan dan perdebatan di media
sosial.

Baik regulasi nasional maupun internasional, ujaran ke-


bencian merupakan perbuatan yang dilarang. Tindakan
ini dapat memicu lahirnya kekerasan, terutama terhadap
kelompok minoritas.

Dimensinya pun beragam, mulai dari agama, sosial, hingga


politik. Dalam kasus agama, dapat muncul dalam bentuk
seperti seruan-seruan anti-agama tertentu, anti-aliran/ sek-
te dalam agama tertentu atau anti-pembangunan tempat
ibadah agama/ aliran agama tertentu. Sementara dalam di-
mensi sosial dapat berupa kasus-kasus ajakan untuk men-
diskriminasi kelompok etnis tertentu, termasuk dengan cara
kekerasan.

Sedangkan yang berdimensi politik, paling banyak terjadi


pada saat berlangsungnya kontestasi politik elektoral, se-
perti Pemilihan Umum, Pemilu Presiden, sampai dengan
Pemilihan Kepala Daerah. Tidak jarang, dalam proses poli-
tik yang formal tersebut, para pendukung kandidat meng-
gunakan cara-cara menyebarkan ujaran kebencian, untuk
menjatuhkan kandidat atau kelompok politik lawan.

7
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Tantangan ini disadari sekaligus direspons oleh Kepolisi-


an Republik Indonesia dengan mengeluarkan Surat Edaran
Kapolri No. 6/SE/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Ke-
bencian (Hate Speech). SE ini menegaskan kembali larangan
terhadap ujaran kebencian yang ada di sejumlah UU. Misal-
nya, Pasal 156-157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP); pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik atau pasal 4 UU No.
40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis.

Dalam praktiknya, penanganan kasus-kasus tentang ujar-


an kebencian ini tidak mudah. Bahkan dalam beberapa
kasus pemidanaan yang dilakukan oleh Kepolisian, disatu
sisi dianggap mengekang hak kebebasan berekpresi dan
berpendapat, sementara di sisi lain kasus yang seharusnya
dibatasi seringkali tidak tersentuh oleh hukum. Misalnya
kasus Florence Sihombing di Yogyakarta pada tahun 2015
yang dipidana dengan 2 bulan penjara. Sementara orasi
kebencian dari kelompok organisasi masyarakat tertentu,
yang seringkali mengajak untuk melakukan kekerasan dan
diskriminasi yang secara terang benderang memberi ajak-
an untuk menyerang kelompok lainnya, malah luput dari
sentuhan hukum.

Kepolisian sendiri mengakui bahwa ada problem secara in-


ternal ketika menerapkan aturan tentang ujaran kebencian
ini, khususnya pada anggota kepolisian pada level bawah
yang lansung bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini dian-
taranya disebabkan oleh mereka yang teridentifikasi sebagai
terduga pelaku ujaran kebencian tersebut adalah tokoh atau
pemimpin dari organisasi atau kelompok masyarakat ter-
tentu yang mempunyai anggota atau pengikut dalam jum-
lah yang besar. Tindakan hukum yang dilakukan terhadap

8
Tim Imparsial

mereka, dikhawatirkan dapat memberikan dampak sosial


yang besar.

Sementara di tingkat aturan, harus diakui memang secara


unsur dan ketegorikal, ketentuan larangan mengenai pe-
nyebaran ujaran kebencian masih membuka ruang perde-
batan penafsiran. Misalnya tentang perbuatan mana yang
sebenarnya memenuhi unsur dan kategori ujaran kebencian
berdasarkan kaedah hukum internasional dan nasional.

Buku Panduan ini diharapkan dapat meningkatkan pema-


haman bagi aparat kepolisian tentang dimensi dan unsur
dari ujaran kebencian yang sejalan dengan konsep negara
demokrasi dan hak asasi manusia, sehingga tepat dalam
penanganannya. Harapannya buku ini tidak hanya menjadi
tambahan acuan bagi aparat kepolisian khususnya, tetapi
juga bagi publik pada umumnya, dalam memberikan respon
atas ujaran-ujaran yang bermuatan kebencian.

9
BAB II
IDENTIFIKASI UJARAN KEBENCIAN

Apa Definisi Ujaran Kebencian (Hate Speech)?

Segala bentuk ekspresi (tulisan, ucapan, bahasa tubuh, pi-


dato) yang menganjurkan kebencian atas dasar identitas
tertentu seperti kebangsaan, ras, agama, yang merupakan
hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau
kekerasan.

Bagaimana Karakteristik Ujaran Kabencian?

• Ditujukan secara langsung untuk membahayakan atau


melukai seseorang/kelompok (direct physical consequ-
ence/injury).
• Telah atau berpotensi menyebabkan kerugian, perasaan
tidak aman, dan keguncangan bagi orang/kelompok lain.
• memposisikan seseorang atau kelompok lain sebagai
musuh publik dengan membuat pendapat yang meru-
gikannya dan menyebabkannya menjadi sasaran hinaan
publik (object of public ridicule).
• Seruan yang berisi kebohongan (falsely shouting) ditu-
jukan untuk menciptakan kepanikan publik.
• Mereproduksi bentuk-bentuk ujaran kebencian lainnya.
• Bentuk-bentuk ekspresi yang berkaitan dengan peraga-
an atau demonstrasi menyangkut tindakan yang ber-
tujuan untuk membahayakan hidup orang lain, seperti
perakitan senjata atau bom.

10
Tim Imparsial

Apa Dua Unsur Utama Ujaran Kebencian?

Kebencian (hate) : emosi yang kuat dan irasional yang ber-


bentuk penghinaan, permusuhan dan kebencian terhadap
individu atau kelompok yang dijadikan target lantaran me-
miliki karakteristik tertentu yang dilindungi (diakui hukum
internasional) seperti ras, warna kulit, agama, keturunan,
adat, suku bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa,
pandangan politik, dll.

Pidato atau Perkataan (speech): setiap ekspresi untuk me-


nyampaikan pendapat atau ide- membawa pendapat atau
ide internal ke publik- yang dapat dilakukan melalui berba-
gai bentuk: tulis, non-verbal, visual atau artistik, dan dapat
disebarluaskan melalui media, termasuk internet, barang
cetak, radio, atau televisi”.

11
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

A: Kamu orang yang sangat menyebalkan dan tak tahu


aturan. Kamu harus dienyahkan.

B: Kamu kan orang Y (nama komunitas keagamaan atau


etnis tertentu) yang sesat, wajib dihabisi”

Keterangan:

Kedua pernyataan tersebut sama-sama merupakan eks-


presi kebencian (hate). Tapi pernyataan A tidak bisa
dikategorikan ujaran kebencian. Pernyataan itu tidak
didasarkan pada identitas tertentu, tetapi lebih kepada
sifat seseorang. Berbeda dengan B, ekspresi kebencian itu
merujuk pada identitas tertentu (identitas keagamaan ter-
tentu), bukan semata-mata individunya.

Apa saja kata kunci ujaran kebencian?

Advokasi: serangkaian tindakan yang membutuhkan ele-


men niat (intent) untuk mempromosikan kebencian publik
terhadap kelompok sasaran.

Hasutan (incitment): mengacu pernyataan tentang kelom-


pok kebangsaan, ras atau agama yang menciptakan risiko
melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan ter-
hadap orang yang tergolong kelompok-kelompok sasaran.

Permusuhan (hostility): manifestasi dari kebencian yang


melampaui keadaan pikiran dan ditindaklanjuti dalam tin-
dakan tertentu (tindakan awal).

Kekerasan (violence): penggunaan kekuatan fisik atau ke-


kuasaan terhadap orang lain, atau terhadap kelompok atau
komunitas, yang bisa menghasilkan, atau memiliki kemung-

12
Tim Imparsial

kinan tinggi mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psi-


kologis, diskriminasi atau perampasan hak.

Siapa yang biasanya menjadi Pelaku?

Meski bisa saja dilakukan oleh kelompok yang tidak me-


miliki posisi dominan, tindakan ujaran kebencian harus
mempertimbangkan faktor dominan tidaknya posisi atau
status sosial, politik, si pelaku di tengah masyarakat. Harus
dipertimbangkan apakah posisinya sebagai individual saja
atau mewakili posisi tertentu. Ujaran kebencian sangat po-
tensial mewujud dalam bentuk diskriminasi atau kekerasan
jika dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki
kekuasaan dominan di masyarakat seperti tokoh agama, to-
koh politik, pejabat publik, dan lain-lain.

Siapa yang umumnya menjadi korban?

Individu ataupun kelompok bisa menjadi korban yang di-


latarbelakangi oleh identitas mereka. Jadi, meskipun kor-
bannya adalah individu, namun sebetulnya bukan karena
merujuk individunya tersebut melainkan karena identitas
tertentu yang melekat pada individu tersebut. Identitas-
identitas tersebut antara lain:
1. Suku
2. Agama
3. Aliran keagamaan
4. Keyakinan/kepercayaan
5. Ras
6. Warna kulit
7. Antar golongan
8. Etnis
9. Gender
10. orang dengan disabilitas (difabel)
11. orientasi seksual

13
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

12. Ekspresi gender


13. Status pekerja atau pengungsi

Laporan Kebebasan Beragama Berkeyakinan


Wahid Foundation tahun 2015

Apa saja medium ujaran kebencian?

• Langsung (face to face) seperti pernyataan atau non-ver-


bal dalam ceramah agama di muka umum, orasi dalam
demonstrasi umum.
• Media seperti internet, cetak, radio, atau televisi.

Apa saja ruang lingkup ujaran kebencian?

• Setiap bentuk ekspresi kebencian,


• Penyebaran, ajakan, atau promosi kebencian berdasar
ras, jenis kelamin, etnis, kebangsaan, agama, orientasi
seksual, atau karakteristik lainnya;
• hasutan kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan ter-
hadap seorang individu atau kelompok karena karak-
teristiknya; dan
• Melalui berbagai bentuk ruang publik dan dapat dise-
barluaskan melalui media, seperti tulisan, visual atau ar-
tistik, melalui internet, media cetak, radio, atau televisi.

14
Tim Imparsial

Mengapa ujaran kebencian bertentangan dengan HAM


dan prinsip kesetaraan?

Tiga elemen dalam suatu tindakan yang bertentangan de-


ngan prinsip non-diskriminasi dapat dilihat dari :
1. Setiap pembedaan (distinction), pengecualian (exclusi-
on), pembatasan (restriction) atau preferensi (preference)
terhadap seseorang;
2. Berdasarkan karakteristik yang dilindungi dan diakui di
dalam hukum hak asasi manusia internasional;
3. Yang memiliki tujuan atau pengaruh untuk meniadakan
atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksana-
an, pada pijakan yang sama, dari hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam dimensi sosial, politik, ekonomi,
budaya atau bidang-bidang kehidupan publik lainnya.

Ujaran Kebencian tidak sama dengan penistaan agama


(blasphemy) atau penodaan agama (defamation of reli-
gion). Konsep HAM bertujuan melindungi manusia (pe-
ople) dan tidak melindungi konsep yang bersifat abstrak
seperti agama atau sistem keyakinan. Karena itu konsep
penistaan agama tidak dikenal dalam konsep HAM. Te-
tapi tidak berarti penistaan agama sebagai sesuatu yang
dapat dibenarkan dan atau diterima.

Apa dampak Ujaran Kebencian terhadap korban?

Dengan menargetkan identitas seseorang, kerugian yang


ditimbulkan bagi korban ujaran kebencian lebih besar dari
kejahatan biasa. Korban bisa mengalami cedera psikologis
seperti depresi atau trauma yang lebih besar dan lama ter-
masuk meningkatnya resiko lantaran mereka tidak dapat
mengubah karakteristik dan identitas yang sudah terberi itu.

15
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Apa Bentuk Ujaran Kebencian Terhadap Komunitas?

Komunitas yang menjadi korban biasanya dihinggapi ke-


takutan dan perasaan terintimidasi, terutama ketika akan
berbagi dan menginformasikan identitas mereka. Begitu-
pun dengan anggota di luar korban yang kemungkinan besar
menjadi target sasaran, mereka akan merasa tidak hanya
beresiko menjadi korban di masa mendatang, tetapi juga
bisa mengalami serangan secara psikis seolah-olah mereka
telah menjadi korban.

Efek ini semakin meningkat di lingkungan komunitas


masyarakat yang memiliki pengalaman menjadi korban
diskriminasi. Penerimaan sosial terhadap bentuk-betuk
diskriminasi dan ujaran-ujaran terhadap kelompok-kelom-
pok tertentu menjadi faktor penting dalam setiap peristiwa
persekusi, konflik sosial, bahkan pemusnahan kelompok
(genosida).

INGAT
Meskipun ujaran kebencian dapat dialami oleh penduduk
mayoritas, namun umumnya korban berasal dari kelom-
pok-kelompok minoritas.

Mengapa Ujaran Kebencian terkait dengan Isu-Isu


Keamanan?

Dampak dari ujaran kebencian yang dilakukan berulang-


ulang bisa menciptakan problem serius di bidang keamanan
dan ketertiban umum. Ujaran kebencian merupakan satu
anak tangga berikut setelah tindakan intoleransi, sementa-
ra perpecahan sosial dan kerusuhan sipil, bahkan genosida
bisa menjadi ujungnya. Ujaran kebencian bisa menyumbang
segregasi dan penyekatan antara kelompok minoritas dan

16
Tim Imparsial

masyarakat pada umumnya berdasarkan etnis, agama, atau


identitas lainnya. Perlu selalu dingat, bahwa peristiwa keke-
rasan dan penyerangan terhadap kelompok tertentu tidak
terjadi secara tiba-tiba. Seringkali peristiwa tersebut dimulai
dengan rangkaian tertentu.

Apa saja konsep-konsep terkait Ujaran Kebencian?

Intoleransi (intolerance): sikap yang mencakup prasangka


negatif bermotif keyakinan, afiliasi atau praktek keagamaan
tertentu, baik terhadap individu maupun kelompok. Ben-
tuk-bentuk intoleransi bisa berupa penyebaran informasi
yang salah tentang kelompok kepercayaan meski informasi
tersebut bisa dengan mudah dicek dan diperbaiki; penyebar-

17
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

an kebencian mengenai seluruh kelompok; mengejek dan


meremehkan kelompok iman tertentu untuk kepercayaan
dan praktik yang mereka anut; mencoba memaksa keyakin-
an dan praktik keagamaan kepada orang lain agar mengikuti
kemauan mereka; pembatasan hak asasi manusia anggota
kelompok agama yang bisa diidentifikasi; mendevaluasi
agama lain sebagai tidak berharga atau jahat; menghambat
kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka.

Diskriminasi (discrimination): setiap pembedaan, penge-


cualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan ras, jenis
kelamin, etnis agama, keyakinan, kecakapan fisik (cacat),
usia, orientasi seksual, bahasa, pemahaman politik atau
pendapat lainnya, asal nasional atau sosial, kebangsaan,
kelahiran atau status warna kulit lainnya, yang memiliki
tujuan atau efek meniadakan atau mengurangi pengakuan,
penikmatan, pelaksanaan, pada pijakan yang sama atas hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, atau kehidupan publik lainnya.

Penodaan (blasphemy): pelanggaran karena dinilai meng-


hujat atau memfitnah Tuhan atau hal-hal yang disucikan.
Tindakan ini lebih mengarah pada tindakan yang dinilai
melawan Tuhan atau iman, tetapi dalam praktiknya di-
perlakukan sebagai pelanggaran terhadap penganut agama
tersebut. Konsep ini biasanya muncul dalam agama-agama
monoteistik, terutama Yahudi, Kristen dan Islam.

Kejahatan kebencian (hate crime) : tindak pidana yang


dilakukan dengan motif bias yang didasari pada kebencian
berbasis ras, jenis kelamin, etnis, agama, keyakinan, ke-
cakapan fisik (cacat), usia, orientasi seksual, pemahaman
politik, dan lain-lain. “Tindak pidana” dan “bias” adalah
dua elemen penting kejahatan kebencian. Berbeda dengan

18
Tim Imparsial

Ujaran kebencian, unsur hate crime terjadi ketika ada akibat


kejahatan atau tindak pidananya.

Rasisme (racism) : tindakan yang membedakan manusia


berdasarkan perbedaan ciri-ciri fisik seperti warna kulit,
rambut, atau bentuk wajah. Kategor fisik ini menjadi dasar
untuk mendefinisikan sifat-sifat intelegensia, sikap, dan tin-
dakan manusia. Ujung dari proses kategoriasasi ini adalah
bahwa ras dijadikan ukuran kebaikan di mana seseorang
dengan ras tertentu lebih superior dibanding yang lain.

Genosida (genocide): setiap perbuatan yang dilakukan de-


ngan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan
atau sebagian, kelompok-kelompok nasional, etnis, ras atau
agama, seperti membunuh anggota kelompok; menyebab-
kan kecelakan berat tubuh atau mental anggota kelompok;
sengaja menimbulkan pada kondisi kehidupan kelompok
yang membawa kehancuran fisik, secara keseluruhan atau
sebagian; melakukan tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa
anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.

Senopobia (xenophobia) : ketakutan yang berlebihan ter-


hadap orang asing. Rasa takut ini termasuk juga kebencian
terhadap orang asing. Ia menjadi salah satu akar penyebab
rasisme dan diskriminasi. Senopobia juga dapat menyebab-
kan tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang berbeda
asal kebangsaan.

Stereotip (stereotyping): penggambaran seluruh anggota


atau kelompok yang digolongkan dengan penyematan se-
rupa-biasanya negatif.

19
BAB III
KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN
UJARAN KEBENCIAN

Bagaimana Jaminan Kebebasan Bereskpresi dalam


UUD 1945?

Bagaimana Jaminan Kebebasan Berekspresi dalam


UU HAM?

Pasal 29 UU Hak Asasi Manusia:

(1) Setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai


keyakinan politiknya.

20
Tim Imparsial

(2) Setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan,


dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nurani-
nya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak
maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban,

Jika diringkas, dari UUD 1945 dan UU Hak Asasi Ma-


nusia di atas, ruang lingkup dan cakupan dari kebebasan
berekspresi setidaknya meliputi tiga jenis : kebebasan
untuk mencari informasi, kebebasan menerima informa-
si, dan kebebasan untuk memberi atau menyampaikan
informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat.

Bagaimana Jaminan Kebebasan Berekspresi dalam


instrumen internasional?

21
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

UU apa saja yang mengatur jaminan Kebebasan


Berekespresi?

Mengapa kebebasan berekspresi dilindungi sedangkan


penyebaran kebencian tidak dilindungi?

1. Ujaran Kebencian merusak martabat manusia yang mu-


lia dan setara. Setiap manusia dilahirkan dengan identi-
tas masing-masing yang tidak bisa diubah.
2. Ujaran Kebencian mendorong lahirnya mata rantai ke-
bencian, segreasi masyarakat, bahkan konflik sosial dan
genosida.

22
Tim Imparsial

3. Ujaran kebencian bukan tindakan yang dilindungi da-


lam kebebasan berekspresi. Kebebasan berbicara di-
jamin dan dilindungi. Namun tidak berarti atas nama
kebebasan berbicara dan berekpresi, seseorang bebas
melakukan ujaran kebencian terhadap orang lain.
4. Ujaran Kebencian melanggar kebebasan beragama
berkeyakinan. Hak kebebasan beragama dan berkeya-
kinan dijamin dalam aturan perundang-undangan di
Indonesia dan instrumen HAM internasional. Tapi hak
beragama/berkeyakinan tidak memperkenankan ujar-
an kebencian. Tidak dibenarkan menggunakan ajaran
agama atau keyakinan sebagai alat propaganda perang/
advokasi hasutan kebencian terhadap suatu agama/ang-
gota kelompok agama tertentu yang mengakibatkan dis-
kriminasi, permusuhan, atau kekerasan.

Bagaimana prinsip pembatasan hak atau kebebasan


dalam UUD 1945?

Pasal 28 J UUD 1945:

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia


orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, ber-
bangsa dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap


orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetap-
kan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.

23
24
Bagaimana pembatasan hak atau kebebasan dalam Instrumen Internasional?
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia
Tim Imparsial

Sumber: Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (3) ICCPR.

SYARAT KETERANGAN
Ketertiban • Sejumlah norma yang menjamin berfung-
Umum sinya masyarakat
• Norma-norma yang melandasi pemben-
tukan masyarakat
• Harus dinterpretasikan dalam konteks
tujuan suatu hak asasi tertentu
• Lembaga negara pemilik otoritas men-
jaga tertib umum dalam melaksanakan
wewenangnya dengan tetap tunduk pada
pengawasan parlemen, pengadilan atau
badan lain yang kompeten
Kesehatan • Ancaman terhadap kesehatan populasi
Publik atau anggota populasi dari suatu masya-
rakat
• Bertujuan khusus untuk mencegah penya-
kit atau luka atau menyediakan perawatan
bagi yang sakit atau terluka

25
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

SYARAT KETERANGAN
Moral Publik • Kewenangan melakukan diskresi
• Dapat membuktikan bahwa pembatasan
penting untuk menjaga penghormatan
pada nilai-nilai fundamental masyarakat
(yang diakui bersama)
• Tidak menyimpangi prinsip non-diskri-
minasi
Keamanan • Bila terkait dengan eksistensi bangsa, inte-
Nasional gritas teritorial dan politik, atau kemerde-
kaan suatu bangsa
• Tidak bisa diterapkan pada ancaman yang
bersifat lokal atau ancaman yang relatif
terisolasi terhadap hukum dan tata tertib
• Tidak dapat dipergunakan sebagai alasan
pembenar dalam upaya menekan kelom-
pok oposisi atau perlawanan terhadap
represi negara
Keamanan • Ancaman terhadap keamanan, nyawa, dan
Publik keutuhan fisik atau kerusakan serius atas
kepemilikan.
• Tidak dapat diterapkan pada pembatasan
yang kabur dan sewenang-wenang
• Hanya bisa diterapkan bila terhadap per-
lindungan yang memadai dan mekanisme
pemulihan yang efektif
Hak/Reputasi • Tidak dapat dipergunakan untuk melin-
dari Pihak Lain dungi negara dan pejabat negara dari kritik
dan opini publik
• Bila terdapat konflik antar hak, preferensi
diberikan pada hak yang bersifat paling
fundamental dan tidak dapat dikurangi
dalam situasi apapun

26
BAB IV
LEGISLASI LARANGAN UJARAN
KEBENCIAN

Undang-Undang apa saja yang mengatur larangan


ujaran kebencian?

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Pasal 156

Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permu-


suhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau be-
berapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan
dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap ba-

27
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

gian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau


beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama,
tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan me-
nurut hukum tata negara.

Pasal 157

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau me-


nempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang
isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap go-
longan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud su-
paya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
enam bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada
waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu
belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi
tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersang-
kutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Empat Unsur pidana penyebaran ujaran kebencian dalam


Pasal 156 KUHP:

1. Unsur di depan umum (in het openbaar), artinya pelaku


hanya dapat dipidana jika melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Pasal 156 di depan umum. Jika perbuatan
itu dilakukan tidak di muka umum, tidak dapat dijatuhi
pidana. Putusan Mahkamah Agung Belanda menyata-
kan tempat umum tidak perlu di tempat-tempat yang
didatangi oleh setiap orang, tetapi cukup jika perbuatan
yang dilarang dilakukan oleh pelaku dapat didengar oleh
publik.

28
Tim Imparsial

2. Unsur menyatakan (uiting geven), yang diartikan sebagai


perbuatan menunjukkan perasaannya (zijn goverden te
kennen geven), yang tidak hanya dapat dilakukan dengan
mengucapkan kata-kata (lisan), melainkan juga dapat
dilakukan dengan melakukan tindakan-tindakan.
3. Unsur mengenai perasaan permusuhan, kebencian, atau
merendahkan (aan goverdens van uijandschap, haat
atau minachting).
4. Unsur mengenai satu atau lebih dari satu golongan
penduduk Indonesia (tegen een of meer groepen der bo-
velking van Indonesia), artinya pernyataan ditujukan ke-
pada satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia.
Pengertian golongan sendiri mencakup tiap-tiap bagian
dari isi negara Indonesia, watak suku bangsa, agamanya,
asalnya, keturunan, kebangsaannya, dan kedudukan da-
lam hukum tata negaranya.

Tujuh unsur Pasal 157 ayat (1) KUHP :

1. Unsur subjektif, yaitu unsur agar isinya diketahui oleh


orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh
orang banyak (met het oogmerk om den inhoud rucht-
barheid te geven og de ruchtbaarheid daarvan te ver-
meerdeen).
2. Unsur menyebarluaskan (verspreiden), yaitu in omploop
bengan van een pluraliteit van expemplaren atau meng-
edarkan lebih dari satu lembar.
3. Unsur mempetunjukkan atau menempelkan secara ter-
buka (openlijk ten toon stellen of aanstlaan), pengerti-
annya dapat dilihat oleh setiap orang yang melihatnya
(voor het aanzicht van een eder die will zien). Menun-
jukkan atau menempelkan dapat terjadi dengan hanya
satu eksemplar saja, dan tidak perlu ditempat-tempat
umum (ruang publik), akan tetapi cukup tempat yang
dapat dilihat oleh publik.

29
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

4. Unsur suatu tulisan atau gambar (een geschrift of ofbeel-


ding), yang dimaksud tulisan adalah segala pernyataan
dari pikiran dalam bentuk kata-kata, sedangkan gam-
bar terdiri atas segala pernyataan pikiran dalam bentuk
lukisan.
5. Unsur yang didalamnya mengandung pernyataan per-
musuhan, kebencian, atau merendahkan (waarin ge-
voelens van vijandshap, haat of minachting tot viting
komen).
6. Unsur di antara atau terhadap golongan-golongan pen-
duduk Indonesia (tursen of tegen groepen der bevolking
van Indonesia). Unsur ini memberikan penekanan ada-
nya sifat pada tulisan atau gambar yang mengadu dom-
ba antar golongan yang memiliki akibat terganggunya
ketertiban sosial.
7. Unsur dengan maksud (bijkomend oogmerk), bahwa
pelaku melakukan perbuatannya tidak perlu telah ter-
laksana pada waktu pelakunya selesai melakukan tindak
pidana.

Rumusan delik yang diatur baik dalam Pasal 156 maupun


Pasal 157 ayat (1) KUHP, termasuk dalam kategori delik
formil. Artinya, tidak perlu diselidiki apakah rasa permu-
suhan, kebencian, atau penghinaan mempunyai dasar-
dasar nyata atau tidak. Tidak perlu dibuktikan apakah
pernyataan yang dilakukan oleh pelaku mempengaruhi
khalayak ramai, sehingga mereka bersikap memusuhi,
membenci, dan merendahkan. Syarat penting dalam ru-
musan delik tindakan pidana ini bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku dilakukan di muka umum.

30
Tim Imparsial

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan


Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Pasal 6 huruf e

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka


umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: …; dan
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Penjelasan Pasal 6 huruf e

Yang dimaksud dengan menjaga keutuhan persatuan dan


kesatuan bangsa adalah perbuatan yang dapat mencegah
timbulnya permusuhan, kebencian atau penghinaan terha-
dap suku, agama, ras, dan antar golongan dalam masya-
rakat.

Pasal 15

Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat


dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaima-
na dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 10 dan Pasal 11.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik

Pasal 28 ayat (2)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan


informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa keben-
cian atau permusuhan individu dan/atau kelompok ma-
syarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).

31
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Pasal 45 ayat (2) lebih jauh dinyatakan:

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pi-
dana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak satu miliar rupiah.

UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan


Diskriminasi Ras dan Etnis

Menurut ketentuan Pasal 4 huruf b, sejumlah perbuatan


yang masuk kategori diskriminasi, antara lain:

(1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, di-


tempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau
tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh
orang lain;
(2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-
kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya
yang dapat didengar orang lain; dan
(3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-
kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lain-
nya yang dapat dibaca oleh orang lain.

Pasal 16

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian


atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi
ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

32
Tim Imparsial

Ratifikasi Konvensi Internasional tentang HAM

A. Konvensi Internasional tentang Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965, yang
Telah Disahkan Melalui UU No. 29 Tahun 1999.

Pasal 4

Negara-negara Pihak mengutuk semua propaganda dan or-


ganisasi-organisasi yang didasarkan pada pemikiran-pemi-
kiran atau teori-teori supremasi suatu ras tertentu atau ke-
lompok perorangan dari suatu warna kulit atau asal usul
etnik tertentu atau yang berupaya melakukan pembenaran
atau menciptakan segala bentuk, serta mengambil langkah-
langkah positif secepatnya yang disusun untuk menghapus-
kan suatu hasutan atau tindakan-tindakan diskriminasi
seperti itu dan untuk mencapai tujuan ini, dengan memper-
hatikan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia serta hak-hak yang ter-
cantum secara jelas pada pasal 5 Konvensi ini antara lain:
(a) Menyatakan bahwa segala bentuk penyebaran pemi-
kiran-pemikiran yang berdasarkan atas supremasi ras
atau kebencian, hasutan untuk melakukan diskriminasi
rasial dari semua tindakan kekerasan atau hasutan mela-
kukan kekerasan terhadap ras atau kelompok perorang-
an dari warna kulit atau asal usul etnik yang lain, serta
pemberian bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis,
termasuk pendanaannya sebagai suatu tindak kejahatan
yang diancam hukuman;
(b) Menyatakan tidak sah dan melarang organisasi-orga-
nisasi dan kegiatan-kegiatan propaganda atau kegiatan
lainnya yang terorganisir untuk mendukung dan meng-
hasut diskriminasi rasial, serta menyatakan bahwa par-
tisipasi dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegi-

33
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

atan seperti itu sebagai tindak kejahatan yang diancam


hukuman;
(c) Melarang pejabat-pejabat kekuasaan umum atau lem-
baga-lembaga umum baik tingkat lokal maupun nasio-
nal untuk mendukung atau melakukan hasutan diskri-
minasi rasial.

B. Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan


Politik yang Telah Diratifikasi Melalui UU No. 12
Tahun 2005

Pasal 20 International Covenant on Civil and Political


Rights (ICCPR)

(1) Segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh


hukum
(2) Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas
dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan
hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan
atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.

34
BAB V
PERAN KEPOLISIAN DALAM
MENGATASI UJARAN KEBENCIAN

Apa fungsi Kepolisian yang ditetapkan dalam UUD 1945?

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat


negara yang menjaga keamanan dan ketertiban ma-
syarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

UUD 1945 hasil amanemendem secara tegas mengatur pe-


rihal tugas utama Kepolisian Negara Republik Indonesia,
terutama setelah adanya pemisahan antara TNI dan Polri,
melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No.
VII/MPR/2000. Tugas utama kepolisian ialah menjaga ke-
amanan dalam negeri, sementara tugas utama TNI menjaga
pertahanan negara dalam rangka mempertahankan kedau-
latan.

Apa fungsi kepolisian menurut UU Kepolisian ?

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan


negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia.

35
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk


mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpe-
liharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, penga-
yoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.

Pasal 4 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia.

Apa tugas pokok kepolisian menurut UU kepolisian?

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:


a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.

Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia.

Mengapa ujaran kebencian terkait dengan peran dan


fungsi polisi?

1. Mengatasi ujaran kebencian merupakan bagian dari tu-


gas kepolisian dalam upaya pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat;
2. Penyebaran ujaran kebencian mengganggu hak atas rasa
aman (sense of security);
3. Mengatasi ujaran kebencian merupakan bagian penting
dari memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
dampak lanjutan yang dapat ditimbulkan oleh ujaran
kebencian seperti kekerasan, diskriminasi dan lain se-
bagainya.

36
Tim Imparsial

Apa langkah yang dilakukan kepolisian dalam


menangani ujaran kebencian?

Apa wewenang kepolisian?

Sebagaimana diatur Pasal 15 dan Pasal 16 UU Kepolisian,


kepolisian juga dilengkapi dengan seperangkat wewenang.
Bahkan kepolisian juga diberikan kewenangan diskresi,
demi menjaga kepentingan umum, pejabat kepolisian da-
lam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri (Pasal 18 ayat (1 & 2 )).

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara


Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewe-
nangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sa-
ngat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Re-
publik Indonesia.

Pasal 18 ayat 1 dan 2 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepo-


lisian Negara Republik Indonesia.

37
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana,
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki
tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik
dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanya-
kan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hu-
bungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pe-
jabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan
imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak
untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada pe-
nyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyi-
dikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan
kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang ber-
tanggung jawab.

38
Tim Imparsial

Pasal 16 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian


Negara Republik Indonesia.

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkung-
an jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.

Pasal 16 ayat 2 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian


Negara Republik Indonesia.

Apa tantangan dalam menangani ujaran kebencian


bagi kepolisian?

1. Belum memahami indikator dan bentuk-bentuk ujaran


kebencian;
2. Regulasi yang ada mengenai agama atau aliran tertentu
di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun wila-
yah, dipandang bersifat ambigu dan tidak jelas;
3. Kahawatir untuk berhadapan dengan opini yang tidak
popular termasuk berhadapan dengan pemimpin agama
atau politisi yang mendiskreditkan kelompok-kelompok
agama atau aliran tertentu.
4. Sulit menemukan saksi untuk menangkap pelaku dan
membawa kasus penyampaian ujaran kebencian ke meja
hijau.

39
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Kapolri: Banyak Polisi Tidak Paham


Ujaran Kebencian
Prima Gumilang, CNN Indonesia
Kamis, 05/11/2015 17:05 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian RI Jenderal


Badrodin Haiti mengakui bahwa anggotanya banyak yang
tidak memahami bentuk ujaran kebencian. Oleh karena itu,
dia mengeluarkan surat edaran mengenai penanganan ujaran
kebencian.

Menurutnya, masalah ujaran kebencian bukan hal baru.


Bahkan dia mengklaim telah berdiskusi dengan kelompok
masyarakat sipil terkait masalah ujaran kebencian ini.

“Masalah hate speech ini bukan barang baru, kami seringkali


berdiskusi dengan LSM terkait masalah hate speech,” kata-
nya saat silaturahmi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/11).

Badrodin menjelaskan, kebijakan mengenai ujaran kebencian


telah dituangkan dalam hukum pidana, seperti dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maupun UU
penghapusan Diskriminasi. 

Badrodin menilai saat ini eranya jauh berbeda dengan sebe-


lumnya. Di satu sisi kebebasan berpendapat, berbicara, dan
berekspresi dijamin oleh undang-undang. Namun di sisi lain
ujaran kebencian menyebar luas di tengah masyarakat. Hal
ini yang membuat anggota polisi ragu-ragu dalam menindak
pelaku yang diduga melakukan ujaran kebencian.

“Kadang-kadang anggota ragu-ragu,” kata Badrodin. “Enggak


jelas mana yang harus ditindak mana yang tidak, mana yang
masuk kategori pidana mana yang tidak.”

40
Tim Imparsial

Dia menyebutkan, ceramah Abu Bakar Ba’asyir berisi ujaran


kebencian. Tapi hal itu tidak pernah diproses polisi. Sekjen
Jakmania di dalam twitternya juga berisi ujaran kebencian.
Begitu pula ceramah di Aceh Singkil yang bermuatan ujaran
kebencian. 

“Kami sudah ada kejadian (kekerasan) di Sampang, Cikeu-


sik, Temanggung, semua berawal dari itu (ujaran kebencian),
karena penanganannya tidak tuntas maka terjadi aksi keke-
rasan,” kata Badrodin.

Tahun lalu, lanjut Badrodin, Komisi Kepolisian Nasional


(Kompolnas) melakukan penelitian di empat kota, yaitu
Bandung, Surabaya, Makassar dan Banten. 

“Temuannya sama, bahwa anggota Polri tidak paham tentang


ujaran kebencian,” kata Badrodin.

Ketidakpahaman itu berdampak buruk pada penanganan


perkara di lapangan. Beberapa kasus dalam kampanye Pil-
kada yang menyudutkan etnis tertentu atau pasangan calon,
tidak ada ditindakan tegas dari kepolisian. Apalagi ujaran
kebencian yang ada di media sosial, juga tidak ditindak.

“Menangani masalah seperti ini anggota ragu-ragu, tidak


tegas,” ujarnya. 

Penelitian Kompolnas ini kemudian dijadikan dasar reko-


mendasi kepada Polri untuk membuat surat edaran menge-
nai penanganan ujaran kebencian.Dalam surat edaran itu
disebutkan mengenai tata cara menangani masalah keben-
cian. Penanganan itu seperti mempertemukan, menjelaskan,
hingga memperoleh titik temu. Badrodin mengatakan, jika
ada yang tersangkut soal itu, polisi akan mengingatkan efek
hukumnya.

41
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Dia juga menyampaikan, surat edaran ini dibuat untuk me-


layani masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan pihak
yang menyebarkan kebencian. Selain itu, Polri berusaha
mengantisipasi terjadinya konflik sosial akibat tindakan in-
toleran dan ujaran kebencian.

Surat Edaran mengenai penanganan ujaran kebencian itu


telah ditandatangani Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada
8 Oktober lalu. Surat bernomor SE/06/X/2015 itu telah di-
bahas sejak masa kepemimpinan Jenderal Sutarman. Edaran
itu telah diberikan kepada Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil)
seluruh Indonesia. 

Ada empat instruksi tindakan preventif yang disebutkan da-


lam surat edaran tersebut. Keempatnya yaitu pemahaman
atas bentuk kebencian, sikap responsif dan peka terhadap
tindakan yang berpotensi pidana, analisis situasi terkait per-
buatan serta ujaran kebencian, dan yang terakhir yakni mela-
porkan ke pimpinan apabila menemukan dugaan kebencian.

Ujaran kebencian yang dimaksud dalam surat tersebut beru-


pa tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan,
perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut,
dan menyebarkan berita bohong. 

Ujaran kebencian tersebut dapat disampaikan melalui ber-


bagai media seperti orasi kampanye, spanduk, media sosial,
penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi,
ceramah keagamaan, media massa dan pamflet. (utd)

http://w w w.cnnindonesia .com/nasio-


nal/20151105170500-12-89739/kapolri-banyak-polisi-tidak-
paham-ujaran-kebencian/

42
Tim Imparsial

Apa yang harus dimiliki aparat kepolisian untuk


menangani ujaran kebencian?

1. Pengetahuan tentang konsep dan bentuk-bentuk ujaran


kebencian
2. Pengetahuan tentang jenis-jenis ujaran kebencian dan
cara penanganannya
3. Skil pemetaan aktor dan penyelesaian konflik
4. Pengetahuan pemidanaan ujaran kebencian

Apakah Ujaran Kebencian itu membatasi kebebasan


berekspresi?

Dalam perspektif HAM, kebebasan berekspresi bukan me-


rupakan hak yang absolut dan bisa dibatasi, namun batas-
annya tidak selalu pada satu bentuk yang sama. Paling tidak
terdapat 3 tipe ekspresi yang bisa dibatasi dengan bentuk
yang berbeda.

Pertama, adalah suatu bentuk ekspresi yang merupakan


tindak pidana, dalam hal ini ujaran kebencian; segala bentuk
hasutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik
sebagian maupun seluruhnya untuk:

• Membunuh para anggota kelompok;


• Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para
anggota kelompok;
• Dengan sengaja menimbulkan kondisi hidup yang me-
nyebabkan kerusakan fisik baik pada keseluruhan atau-
pun sebagian anggota kelompok;
• Melakukan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk men-
cegah kelahiran di dalam kelompok itu;
• Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok
itu ke kelompok yang lain.

43
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

• Segala bentuk hasutan yang mendorong diskriminasi,


permusuhan dan kekerasan juga bagian dari bentuk
ujaran kebencian yang harus dibatasi.

Kedua, suatu bentuk ekspresi yang tidak bisa dipidanakan


namun bisa digugat lewat sanksi administrasi atau sistem
hukum perdata. Contohnya adalah ekspresi pencemaran
nama baik; dan

Ketiga, suatu bentuk ekspresi yang tidak bisa ditangani


baik lewat sistem hukum pidana, perdata, atau sanksi ad-
ministratif, namun menimbulkan masalah dalam konteks
mengganggu toleransi, norma kesopanan dan adab, atau
penghormatan bagi hak-hak orang lain. Yang terakhir inilah
yang merupakan suatu “pernyataan intoleransi”. Upaya pa-
ling efektif dalam menangkalnya adalah membangun dialog
dan debat antar-budaya atau antar-agama atau keyakinan
untuk mempromosikan dan melanggengkan toleransi.

Bagaimana Aparat Kepolisian Menangani Ujaran


Kebencian?

Jika mendengar, menyaksikan, atau mendapat laporan


tentang tindakan yang dapat dikategorikan sebagai ujaran
kebencian, lakukan kajian dan simpulkan apakah tindakan
tersebut masuk dalam kategori ujaran kebencian atau tidak.

Langkah Menangani Ujaran Kebencian yang Harus


Dibatasi

1. Membuat laporan polisi “Model A”


2. Melakukan analisis dan evaluasi terhadap bahan yang
diperoleh.
3. Bahan keterangan (baket) tentang dugaan ujaran ke-
bencian.

44
Tim Imparsial

4. Melakukan gelar lanjutan dan gelar akhir untuk pem-


berkasan yang memenuhi unsur tindak pidana.
5. Melakukan penyidikan tindak pidana yang diduga ujar-
an kebencian.

LAPORAN POLISI MODEL A. Laporan yang dibuat


anggota Polri yang mengetahui adanya tindak pidana.
Laporan ini menjadi landasan dilakukannya proses pe-
nyelidikan dan/atau penyidikan. Laporan ditandatangani
oleh anggota Polri yang membuat laporan disahkan oleh
Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian  (SPK) setempat agar
dapat dijadikan dasar untuk proses penyidikan perkara-
nya.
Sumber : Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Per-
kara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia

PENYIDIKAN. Tindakan dari para aparat penegak hu-


kum (penyidik) dalam mencari dan menemukan, me-
ngumpulkan alat bukti serta mencari tahu siapa pelaku
tindak pidana.
Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Bagaimana Langkah Menangani Ujaran Kebencian


yang “dapat dibatasi” dan “tidak perlu dibatasi”?

1. Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga mela-


kukan ujaran kebencian.
2. Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran
kebencian dengan korban ujaran kebencian.
3. Bersama pemangku kepentingan lain seperti tokoh aga-
ma atau tokoh masyarakat mencari solusi perdamaian
antara pihak-pihak yang bertikai.

45
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

4. Memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan


timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.

Bagaimana melakukan tindakan pencegahan?

1. Memaksimalkan dan mengedepankan fungsi intelijen


untuk mengetahui kondisi nyata di wilayah-wilayah
rawan konflik terkait hasutan-hasutan atau provokasi.
2. Merumuskan hasil kerja intelejen menjadi pemetaan
lapangan (aktor, korban, jenis tindakan, dan lain-lain)
sebagai bagian dari proses peringatan dini (early war-
ning) dan deteksi dini (early detection);
3. Mengedepankan fungsi “binmas” dan “polmas”, teruta-
ma untuk penyuluhan atau menyosialisasikan tentang
ujaran kebencian dan dampak-dampak negatif yang
ditimbulkannya;
4. Mengedapankan binmas untuk melakukan kerja sama
yang konstruktif dengan tokoh agama, tokoh masyara-
kat, tokoh pemuda, dan akademisi untuk optimalisasi
tindakan represif atas ujaran kebencian

Tindakan pencegahan menurut SE Kapolri No.


SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech)

1. Setiap anggota Polri agar memiliki pengetahuan dan pe-


mahaman mengenai bentuk-bentuk ujaran kebencian
yang timbul di masyarakat
2. Melalui pemahaman atas bentuk-bentuk ujaran keben-
cian dan akibat yang ditimbulkannya maka personil
Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap
gelaja-gejala yang timbul di masyarakat yang berpotensi
menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian
3. Setiap anggota Polri agar melakukan kegiatan analisis
atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkung-

46
Tim Imparsial

annya masing-masing terutama yang berkaitan dengan


perbuatan ujaran kebencian
4. Setiap anggota Polri agar melaporkan kepada pimpinan
masing-masing atas situasi dan kondisi di lingkungan-
nya terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran
kebencian
5. Kepada para Kasatwil agar melakukan kegiatan:
a. mengefektifkan dan mengedepankan fungsi intelijen
untuk mengetahui kondisi real di wilayah-wilayah
yang rawan konflik terutama akibat hasutan-hasut-
an atau provokasi, untuk selanjutnya dilakukan pe-
metaan sebagai bagian dari early warning dan early
detection;
b. mengedepankan fungsi binmas dan Polmas untuk
melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada ma-
syarakat mengenai ujaran kebencian dan dampak-
dampak negatif yang akan terjadi
c. mengedepankan fungsi binmas untuk melakukan
kerja sama yang konstruktif dengan tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan akademisi
untuk optimalisasi tindakan represif atas ujaran
kebencian;
d. apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi
mengarah pada tindak pidana ujaran kebencian
maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindak-
an:
1) memonitor dan mendeteksi sedini mungkin
timbulnya benih pertikaian di masyarakat;
2) melakukan pendekatan pada pihak yang diduga
melakukan ujaran kebencian;
3) mempertemukan pihak yang diduga melakukan
ujaran kebencian dengan korban ujaran keben-
cian;

47
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

4) mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak


yang bertikai; dan
5) memberikan pemahaman mengenai dampak
yang akan timbul dari ujaran kebencian di ma-
syarakat;

Tindakan Penegakan Hukum menurut SE Kapolri


No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech)

Jika tindakan preventif sudah dilakukan anggota Polri na-


mun tidak menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari
tindakan ujaran kebencian, maka penyelesaian dapat dilaku-
kan melalui penegakan hukum dengan mengacu pada pasal
156 KUHP, Pasal 157 KUHP c; Pasal 310 KUHP, Pasal 311
KUHP, Pasal 28, Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 16
UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskri-
minasi Ras dan Etnis.

Apa itu Pemolisian Masyarakat (Polmas)?

Suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui ke-


mitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu
mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan keamanan
dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta
menemukan pemecahan masalahnya.

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Re-


publik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian
Masyarakat

Fungsi Polmas:

a. mengajak masyarakat melalui kemitraan dalam rangka


pemeliharaan Kamtibmas;

48
Tim Imparsial

b. membantu masyarakat mengatasi masalah sosial di ling-


kungannya dalam rangka mencegah terjadinya ganggu-
an Kamtibmas;
c. mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis, menetap-
kan prioritas masalah, dan merumuskan pemecahan
masalah Kamtibmas; dan
d. bersama masyarakat menerapkan hasil pemecahan ma-
salah Kamtibmas.

Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indo-


nesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat

Apa itu Binmas Kepolisian?

Binmas atau pembinaan masyarakat merupakan salah satu


model dalam polmas. Pelaksanaan Binmas masuk dalam
Model B (pasal 9 point b) berupa intensifikasi fungsi Polri
di bidang pembinaan masyarakat.

Binmas dapat diterapkan dengan beragam pendekatan,an-


tara lain bimbingan dan penyuluhan seperti:

1. Memberikan bimbingan Kamtibmas kepada warga ma-


syarakat dengan cara antara lain sosialisasi, konsultasi,
audiensi, mediasi, negosiasi; memberikan penyuluhan
Kamtibmas; penyampaian pesan-pesan Kamtibmas;
2. intensifikasi hubungan Polri dengan komunitas, antara
lain: komunitas intelektual; komunitas profesi; komu-
nitas hobi; komunitas olahraga; komunitas seni budaya;
komunitas tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh
adat; komunitas Kelompok Sadar Kamtibmas
3. Koordinasi dan kerja sama di bidang Kamtibmas de-
ngan badan/lembaga/instansi/swasta antara lain Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Perem-
puan); Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),

49
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

BNP2TKI, Pemerintah Daerah; Organisasi pengusaha;


dan Organisasi Bantuan Hukum.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia


Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat

PERHATIAN

PRINSIP PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN


PENCEGAHAN LEBIH BAIK DARI PENEGAKAN
HUKUM!

MENGAPA PENCEGAHAN LEBIH BAIK?

• Pemidanaan merupakan tindakan paling akhir. Sejauh


bisa dilakukan dan diselesaikan antar dua pihak yang
bertikai
• Menghindari kerugian yang lebih besar. Kerugian bi-
asa berupa hilangnya nyawa, trauma, material, sosial,
ekonomi, dan lain­lain.
• Mempertimbangkan prinsip kehati­hatian untuk tidak
melanggar hak-hak laai secara tidak sah.

Contoh Kasus
Lindungi Peringatan Asyura,
Aktivis Puji Polisi Semarang
RABU, 12 OKTOBER 2016 | 15:39 WIB

TEMPO.CO, SEMARANG – Upaya Kepolisian Resort Kota


Besar Kota Semarang memberikan perlindungan kegiatan
Asyuro (10 Muharram) kepada penganut Muslim Syiah di
Semarang diapresiasi aktivis Lembaga Studi Sosial dan Aga-
ma (eLSA) Jawa Tengah.  

50
Tim Imparsial

Tedi Kholiluddin, aktivis eLSA menyatakan kegiatan Asyu-


ro Masjid Yayasan Nuruts Tsaqolain, Kota Semarang bisa
dilaksanakan meski hendak digagalkan beberapa kelompok
yang mengatasnamakan umat Islam. “Jika kepolisian tak
memberi perlindungan dan pengamanan maka penganut
Syiah tak bisa melakukan kegiatan sesuai keyakinannya,”
kata dia kepada Tempo di Semarang, Rabu 12 Oktober
2016.

Bahkan, kata Tedi, jika aparat kepolisian tidak menjaga di


sekitar lokasi kegiatan maka berpotensi terjadi bentrok. Se-
bab, beberapa organisasi sudah mendekat ke lokasi Asyuro,
tapi dihalau polisi. 

Tedi menyatakan kinerja kepolisian Semarang itu bisa


menepis anggapan selama ini dimana polisi sering tak
memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas. 

Acara peringatan 10 Muharram penganut Syiah di Jawa


Tengah memang dijaga ketat aparat kepolisian, Selasa (11
Oktober 2016). Penjagaan itu dilakukan setelah mengetahui
ada kelompok yang menolak dan ingin menggeruduk acara
tersebut.

Kelompok yang menginginkan Asyuro dibubarkan men-


capai ratusan orang. Mereka membawa berbagai atribut
seperti bendera. Mereka berseragam hitam-hitam dan ada
yang menggunakan topeng. Mereka berasal dari beberapa
kabupaten/kota di Jawa Tengah seperti Solo, Kendal, Ma-
gelang, Yogyakarta dan lain-lain.

Aparat kepolisian lalu menempatkan pasukan di berbagai


sudut gang masuk lokasi acara Asyura. Mereka mencegah
massa yang akan masuk ke lokasi acara Asyuro. Sebelum-
nya, para pendemo ini menggelar apel siaga di Simpang

51
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

Lima pada pagi hari. Setelah itu, mereka melakukan audi-


ensi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di kantor
gubernuran. Usaha mereka membubarkan acara Asyuro tak
berhasil karena dihalangi aparat kepolisian.

Kapolrestabes Semarang Komisaria Besar Abiyoso Seno Aji


menyatakan kegiatan ini dilindungi UU. “Sudah kewajiban
kami melindungi. Jika ada yang nekad yang menginisiasi
membubarkan maka akan berhadapan dengan kami,” ka-
tanya.

Tedi menyatakan kejadian tersebut menunjukan di Jawa


Tengah masih banyak bercokol organisasi yang berpotensi
merusak kebhinekaan. 

Tedi mengajak kelompok beragama untuk terus mengawal


dan memastikan bahwa hak semua warga bernegara bisa
memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Syiah
yang merupakan kelompok yang berkomitmen terhadap
negara Indonesia tak perlu diragukan lagi nasionalismenya,”
kata Tedi.

ROFIUDDIN

https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/12/
063811650/lindungi-peringatan-asyura-aktivis-puji-polisi-
semarang

Apa yang bisa dilakukan Masyarakat Jika mengetahui


Peritiswa Ujaran Kebencian?

Jika masyarakat melihat tindakan yang diduga ujaran keben-


cian, berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan.
1. Catat dan isi pertanyaan-pertanyaan berikut
a. Di mana lokasi peristiwa terjadi (bisa dengan daerah
atau jalan?)

52
Tim Imparsial

b. Medium apa yang dipakai (media massa, media so-


sial, orasi, ceramah agama, dan lain-lain)?
c. Kapan peristiwa terjadi?
d. Siapa pelakunya?
e. Siapa korbannya?
f. Apa tindakannya?
g. Deskripsikan singkat peristiwanya. Minimal menja-
wab siapa melakukan apa, kepada siapa
h. Lampirkan bukti-bukti
2. Masyarakat bisa melaporkan peristiwa tersebut ke salah
satu atau lebih lembaga-lmebaga beikut ini:
a. Kepolisian
b. Komnas HAM
c. Dewan pers jika terkait pemberitaan pers baik cetak
maupun online
d. Komisi Penyiaran Indonesia jika terkait dengan
pemberitaan dan liputan stasiun televisi dan radio
e. Kemenkominfo terkait media-media online yang
bukan produk pers
f. Organisasi masyarakat sipil yang melakukan peman-
tauan HAM

53
BAB VI
KESIMPULAN

Masalah ujaran kebencian di ruang publik memang penting


untuk dicegah dan ditangani karena mengancam demokrasi,
hak asasi manussia, dan keberagaman. Satu institusi yang
memiliki peran penting dalam penanganan hal itu adalah
kepolisian. Sebagai aktor keamanan dan penegak hukum,
Polisi dengan tugas dan wewenang yang dimilikinya tentu
dituntut untuk melakukan pencegahan dan penindakan se-
cara optimal atas ujaran-ujaran kebencian.

Penebaran kebencian perlu ditangani bukan hanya karena


tindakannya yang melanggar hukum, tapi juga ancamannya
terhadap hak asasi, kebebasan, dan keberagaman di masya-
rakat. Misalnya adalah ujaran kebencian menjadi salah satu
faktor yang ikut mendorong merebaknya intoleransi dan
kekerasan atas dasar agama pada masa reformasi.

Meski demikian, upaya penanganan atas ujaran-ujaran ke-


bencian di ruang publik penting untuk tetap memastikan
ruang kebebasan berekspresi di masyarakat terlindungi. Ke-
pentingan itu bisa terpenuhi jika pola-pola penanganan itu
dilakukan secara akuntabel dan mengadovsi prinsip-prinsip
HAM. Untuk itu, instrumen HAM telah menyediakan nor-
ma dan standar yang dapat dirujuk oleh pemerintah sebagai
panduan bagi penanganan masalah ujaran kebencian.

54
PROFIL IMPARSIAL

Imparsial didirikan oleh 18 orang pekerja hak-hak asasi ma-


nusia Indonesia. Lembaga ini berbadan hukum Perkumpulan
dengan akte pendirian Nomor 10/25 Juni 2002 oleh notaris
Rina Diani Moliza, SH.

Para pendiri Imparsial adalah, antara lain, T. Mulya Lubis,


Karlina Leksono, M.M. Billah, Wardah Hafidz, Hendardi,
Nursyahbani Katjasungkana, [Alm] Ade Rostina Sitompul,
Robertus Robet, Binny Buchory, Kamala Chandrakirana,
H.S. Dillon, [Alm] Munir, Rachland Nashidik, Rusdi Mar-
paung, Otto Syamsuddin Ishak, Nezar Patria, Amiruddin,
dan Poengky Indarti.

Para pendiri berbagi concern yang sama: kekuasaan negara


dengan kecenderungan praktik-praktik represifnya menun-
jukkan kecenderungan menguat di Indonesia saat ini. Tepat
di seberangnya, lembaga-lembaga masyarakat yang bekerja
dalam bidang promosi dan perlindungan hak-hak asasi ma-
nusia justru menunjukkan kecenderungan melemah.

VISI DAN MISI

Imparsial diambil dan kata impartiality: pandangan yang


memuliakan kesetaraan hak setiap individu –dalam ke-
beragaman latarnya– terhadap keadilan, dengan perhati-
an khusus terhadap mereka yang kurang beruntung (the
less fortunate). Kami menerjemahkan impartiality sebagai
mandat untuk membela setiap korban pelanggaran hak-hak
asasi manusia tanpa membedakan asal-usul sosialnya, jenis
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

kelamin, etnisitas atau ras, maupun keyakinan politik dan


agamanya.

Visi Imparsial adalah menjadi wadah bagi masyarakat si-


pil Indonesia dalam mempromosikan civil liberties, mem-
perjuangkan fundamental freedom, melawan diskriminasi,
mengupayakan keadilan bagi para korban dan menegakkan
pertanggungjawaban.

Misi Imparsial adalah: pertama, memonitor dan menyeli-


diki pelanggaran hak-hak asasi manusia, mengumumkannya
kepada publik, memaksa pelakunya bertanggungjawab, dan
menuntut pemegang kekuasaan negara memenuhi kewajib-
annya untuk melindungi hak-hak warga serta mengakhiri
praktik kekuasaan yang jahat.

Kedua, menggalang solidaritas di antara sesama warga dan


menghimpun sokongan internasional demi mendorong pe-
megang kekuasaan negara tunduk pada hukum internasio-
nal hak-hak asasi manusia.

Ketiga, meneliti keadaan-keadaan sosial yang dibutuhkan


bagi perlindungan hak-hak asasi manusia dan merekomen-
dasikan perubahan-perubahan dalam kebijakan negara serta
mengawasi implementasinya.

Imparsial bersifat independen dari pemegang kekuasaan ne-


gara yang diawasinya, non-partisan, dan mendapatkan dana
bagi aktivitasnya dari sumber-sumber yang tidak mengikat,
serta sumbangan dari warga masyarakat dan iuran anggota.

TUJUAN

Menjadi wadah bagi masyarakat sipil di Indonesia untuk


mendorong terselenggaranya praktik dan kebijakan publik
yang bersesuaian dengan norma hak-hak asasi manusia in-
ternasional.

56
Tim Imparsial

KEKHASAN

Kekhasan Imparsial terletak pada program lembaga ini


yang mengintegrasikan alternative human rights policy, pe-
nyusunan standar pelaporan yang dapat memenuhi keper-
luan legal remedy dan pembentukan sistem perlindungan
bagi para pekerja hak-hak asasi manusia.

CIRI KERJA

Dalam kerja-kerjanya, Imparsial memerhatikan keterkaitan


antara partisipasi dari para pekerja hak-hak asasi manusia
pada tingkat lokal, nasional dan internasional dengan upaya
mendorong perubahan public policy dalam bidang hak-hak
asasi manusia pada tingkat nasional dengan didukung oleh
riset dan dokumentasi yang berdisiplin.

PROGRAM IMPARSIAL

Dalam beberapa tahun ke depan, Imparsial telah menetap-


kan tiga sub program besar yang akan dijalankan.

A. Riset dan Monitoring HAM

Output monitoring akan tampil, terutama dalam produk


urgent action call, yakni suatu seruan kepada publik un-
tuk memberikan perhatian yang segera terhadap kasus pe-
langgaran hak-hak asasi manusia yang sedang berlangsung.
Selanjutnya tim riset dan monitoring akan menghasilkan
Annual Human Rights Report, sistem dokumentasi menge-
nai kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan
basis Huridocs, dan kampanye Hak Asasi Manusia.

Sasaran program ini adalah masyakat internasional serta


publik domestik yang luas. Strategi yang digunakan adalah
kampanye dan inseminasi.

57
Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia

B. Perlindungan Pekerja Hak Asasi Manusia


dan Peningkatan Kapasitasnya

Perlindungan terhadap para pekerja hak-hak asasi manusia


adalah program yang menjadi ciri khas Imparsial. Fokus
program ini adalah membangun sistem perlindungan bagi
para pekerja hak asasi manusia (human rights defender) di
Indonesia dan usaha sistematik untuk meningkatkan kapa-
sitas mereka agar dapat melakukan pekerjaannya dengan
lebih baik.

Adapun peningkatan kapasitas para pekerja hak-hak asasi


manusia menunjuk secara spesifik pada training-training
yang diselenggarakan untuk memberi atau meningkatkan
pengetahuan serta kemampuan teknis para pekerja hak asasi
manusia dalam hal investigasi, dokumentasi, archiving hing-
ga penyusunan laporan kasus-kasus pelanggaran hak- hak
asasi manusia yang memenuhi syarat bagi kepentingan legal
remedy.

C. Kritik terhadap Kebijakan Negara


dengan Perspektif HAM

Konsep kritik dengan perspektif HAM dikemas dalam sebu-


ah briefing paper yang berisi analisis, kiritik, dan rekomen-
dasi terhadap produk kebijakan negara. Fokus program ini
adalah menyediakan analisis HAM yang komprehensif terha-
dap kebijakan negara dalarn masa transisi politik Indonesia.

Output dari program ini adalah: briefing paper yang disebar-


kan kepada pemerintah, DPR, dan NGO HAM, penerbitan
buku dan artikel dengan menggunakan analisis berperspek-
tif HAM, lobi ke pemerintah dan parlemen, pengorganisir-
an seminar, FGD (focus group discussion), dan lokakarya
menyangkut kebijakan alternatif negara dengan perspektif
HAM.

58

Anda mungkin juga menyukai