Anda di halaman 1dari 3

Demonstrasi Mahasiswa Versus Hak Asasi Manusia

Oleh: Tasya Salsabila (B021181320)

Beberapa waktu terakhir, diberitakan banyaknya aksi demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa di
berbagai wilayah Indonesia dengan alasan resah terhadap berbagai rancangan dan pemilihan langkah
oleh pemerintahan saat ini. Bukan dengan wacana ingin menurunkan rezim, para mahasiswa menuntut
beberapa rancangan undang – undang yang dianggap tidak sesuai dengan nilai – nilai Pancasila, moral
hingga budaya Bangsa Indonesia.
Demonstrasi yang sering berujung kericuhan, menimbulkan stigma di masyarakat bahwa demonstrasi
mahasiswa terdengar sebagai sesuatu yang negatif, lekat sekali dengan anarkis, brutal, merugikan, dan
lain sebagainya. Bagi beberapa orang tua, demonstrasi mahasiswa membuat jantungnya berdegub
dengan keras apabila tau anaknya adalah salah seorang diantaranya. Takut hal buruk terjadi pada
anaknya yang sedang belajar di bangku perguruan tinggi itu. Bagi pemakai kendaraan, demonstrasi
menjadi momok yang mengesalkan, karena sering kali membuat lalu lintas terganggu dan atau macet.
Dan tentu pula bagi masyarakat sekitar tempat berlangsungnya demonstrasi, khawatir aksi yang
dilakukan ricuh dan berakhir dengan rusaknya beberapa fasilitas umum bahkan mungkin fasilitas milik
pribadi masyarakat. Ditambah dengan anggapan sebagai massa bayaran, dan ditunggangi oleh oknum-
oknum tertentu. Serta masih banyak lagi pihak yang menganggap demonstrasi mahasiswa sebagai
momok yang menakutkan dan tidak seharusnya dilakukan.
Terlepas dari stigma dan anggapan di atas, apakah demonstrasi mahasiswa dijamin dalam hak-hak asasi
sebagai manusia? Menurut penulis, iya. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi yang
bersemboyan pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini dapat
diartikan bahwa dalam demokrasi, suara rakyat sangat diperhitungkan dan menjadi bagian dalam
pemerintahan itu sendiri. Demonstrasi atau gerakan rakyat, merupakan hal wajar terjadi di negara-
negara penganut demokrasi. Justru demokrasi tanpa demonstrasi, itu yang aneh. Mahasiswa juga identik
dengan demonstrasi. Apalagi ketika suatu rezim atau pemerintahan sudah dirasa tidak baik atau
melenceng dari jalannya, biasanya mahasiswa yang paling kritis dan segera melakukan demonstrasi ke
jalan. Mahasiswa, dengan semangat dan gejolak masa muda serta sifat kritis yang ada di dalam otaknya,
dengan semangat melakukan demonstrasi dan menuntut terjadinya perubahan.

Seringkali dan paling disorot adalah ketika bentrok antar mahasiswa dan aparat yang tidak terhindarkan
selama demonstrasi berlangsung. Bahkan di suatu wilayah (Kendari, Sulawesi Tenggara) terdapat
korban jiwa dengan luka tembak di dada, namun tidak adanya respon mengenai tindakan represif aparat
terhadap para demonstran. Ditambah tindakan represif aparat juga dilakukan kepada pers dan relawan
medis, membuat banyak yang bertanya apakah itu merupakan standar operasional aparat saat ada
pengamanan aksi?

Padahal sudah jelas dalam naskah Universal Declaration of Human Rights dituliskan dalam pasal 19 :
“setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat;...”

Hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum juga dilindungi oleh
Konstitusi,Indonesia yakni dalam Pasal 28E UUD 1945. Lebih jauh mengenai mekanisme pelaksanaan
penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998).

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka
Umum (Perkapolri 9/2008) sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di
muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan
penanganan perkara (dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan
penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib (Pasal 2 Perkapolri 9/2008).

Maka dengan adanya pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara sudah
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi Polri yang termaktub dalam Pasal 13 Perkapolri 9/2008,

a. melindungi hak asasi manusia;

b. menghargai asas legalitas;

c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan

d. menyelenggarakan pengamanan.

Dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum Polri harus memperhatikan
tindakannya untuk membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka
umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum Pasal 23 ayat [1] Perkapolri 9/2008,

a. terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;

b. terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional;

c. terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku
dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.

Kendati demikian, pelaku pelanggaran yang telah ditangkap harus diperlakukan secara manusiawi
(tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).

Namun dalam keadaan darurat, dalam arti perlunya tindakan adanya upaya paksa dari Polri. Namun,
ditentukan dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari
terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:

a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar
pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;

b. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

c. tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai
tingkatannya;

d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;

f. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;

Peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No. 16 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (“Protap Dalmas”). Protap itu tidak mengenal ada kondisi
khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun,
Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing
perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan
yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan
seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.
Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:

1. Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa


2. Melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur
3. Membawa peralatan di luar peralatan dalmas
4. Membawa senjata tajam dan peluru tajam
5. Keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan
6. Mundur membelakangi massa pengunjuk rasa
7. Mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa
8. Melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan

Sementara, di dalam protap tersebut juga memuat kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa.
Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa
sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk
rasa selesai, dan patuh pada atasan. Dengan alasan apapun, aparat yang bertugas mengamankan jalannya
demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.

Tindakan pemukulan yang dilakukan oleh aparat ini adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di
muka umum. Jika hal tersebut dilanggar oleh Polri, dapat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk ditelusuri apakah ada
pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur pengamanan demonstrasi.

Beberapa kali juga disorot tentang tongkat yang dibawa oleh aparat. Berdasarkan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara
Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”), aparat diperlengkapi antara lain
dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat lecut, tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan
pelontar granat gas air mata.

Tongkat Lecut adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua) cm dengan panjang 90
(sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman pada bagian belakang tongkat, aman
digunakan untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan satu tangan kecepatan sedang.

Sedangkan tongkat sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 3 (tiga) cm dengan
panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang akan melawan petugas
(lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010) .

Jadi, memang aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi diperlengkapi dengan dua
macam tongkat sebagaimana tersebut di atas yang digunakan selama pengamanan jalannya demonstrasi
namun tidak membahayakan bagi demonstran.

Penulis menyimpulkan perlunya kajian dan tindakan lebih lanjut serta tegas terhadap tindakan represif
aparat terhadap aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa Indonesia beberapa waktu lalu.

Dasar hukum

1. Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
3. Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa;
4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara
Penyampaian Pendapat di Muka Umum;
5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara.

Anda mungkin juga menyukai