DISUSUN OLEH :
2012160953
IR 16 – 2C
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Globalization and Pop Culture, pada semseter VI di tahun ajaran
2015/2016, dengan judul : “Konsumerisme Sebagai Dampak Dari Globalisasi dan
Budaya Pop” .
Jakarta
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
3. Bagaimana peran masyarakat dan pemerintah dalam terkait dengan
budaya konsumerisme?
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 GLOBALISASI
Globalisasi adalah serangkaian proses yang mengarah kepada
penyempitan atau tenggelamnya dunia, yaitu semakin meningkatnya
hubungan global dan pemahaman kita diatasnya. Hal ini menjadikan interaksi
masyarakat di seluruh dunia menjadi semakin bebas dan terbuka, akibat
teramat mudah serta cepatnya masyarakat dalam mendapatkan berbagai
informasi. Tidak hanya informasi saja yang dapat disebarkan dengan cepat
namun budaya pun dapat dengan mudahnya disebarkan melalui media
massa.
Globalisasi budaya yang terus berkembang dalam segala lingkup
kehidupan masyarakat ini, kemudian memunculkan suatu istilah baru yaitu
budaya popular. Budaya pop atau budaya popular berkaitan dengann nilai-
nilai dan budaya tertentu dari suatu negara ke negara-negara lain di seluruh
dunia.
2.2 BUDAYA
Dalam buku Teori Budaya dan Budaya Pop yang ditulis oleh John
Storey, Raymond Williams menyebut budaya bagai “satu dari dua atau tiga
kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris”. Williams menawarkan tiga
definisi yang sangat luas.
Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada “suatu proses
umum perkembangan intelektual spiritual, estetis, para filsuf agung, seniman,
dan penyair-penyair besarnya. Ini rumusan budaya yang paling mudah
dipahami.
Kedua, budaya bisa berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat,
periode, atau kelompok tertentu.” Ketiga, Williams menyatakan bahwa budaya
pun bisa merujuk pada “karya dan praktik-praktik intelektual , terutama
aktivitas artistik.” Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan
memiliki fungsi utama untuk menunjukkan, menandakan, memproduksi, atau
kadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tertentu.
Maka, berbicara tentang budaya pop berarti menggabungkan makna
budaya yang kedua dengan makna ketiga di atas. Makna kedua-pandangan
5
hidup tertentu-memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-praktik,
seperti liburan ke pantai, perayaan Natal, dan aktivitas pemuda subkultur
sebagai contoh-contoh budayanya. Semua hal ini biasanya disebut sebagai
praktik-praktik budaya. Makna ke tiga – praktik kebermaknaan –
memungkinkan pembahasan mengenai drama, musik pop, komik, fashion dan
sebagainya sebagai contoh budaya pop.
6
penjualan buku, rekaman, dan juga rating audiens TV yang dinyatakan
sebagai budaya “pop”.
Setelah memfokuskan perhatian pada budaya maju (tinggi), cara
kedua untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan
mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Budaya pop menurut
definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik
budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata
lain, budaya pop didefinisikan sebagai budaya “sub-standar”. Sosiolog
Perancis, Pierre Bourdieau pernah mengatakan bahwa perbedaan
budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara
perbedaan klas. “Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah
kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri “klas”. Bourdieu
menyebut satu contoh, “konsumsi budaya”. Bagi Bourdieu, konsumsi
budaya “sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan
memenuhu fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial”. Pembatasan
ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya
komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi
adalah kreasi hasil kreativitas individu. Karena itu budaya tinggi adalah
budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan estetis yang lebih,
sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara
sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikannya.
Cara ketiga mendefinisikan budaya pop adalah menetapkannya
sebagai “budaya massa”. Definisi ini akan sangat tergantung pada
definisi sebelumnya. Persoalan pertama adalah mereka yang menyebut
budaya pop sebagai budaya massa dengan tujuan menegaskan bahwa
budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi
massa untuk konsumsi massa. Audiensnya adalah sosok-sosok
konsumen yang tidak memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya
sekedar rumusan, budaya ini dikonsumsi tanpa berpikir panjang dan
tanpa perhitungan.
7
Definisi keempat menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya
yang berasal dari “rakyat”. Ia mengangkat masalah ini melalui
pendekatan yang beranggapan bahwa budaya pop adalah sesuatu
yang diterapkan pada “rakyat”. Budaya pop adalah budaya otentik
“rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan budaya
dari rakyat untuk rakyat. Definisi pop dalam hal ini sering kali dikait-
kaitkan dengan kosep romantisme budaya kelas buruh yang kemudian
ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam kapitalisme
kontemporer.
Definisi kelima budaya pop berasal dari analisis politik tokoh
Marxis Italia, Antonio Gramsci terutama tentang pengembangan konsep
hegemoninya, Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu
pada cara di mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat
mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok subordinasi melalui
proses “kepemimpinan” intelektual dan moral. Teori hegemoni neo –
Gramscian, menganggap budaya sebagai tempat terjadinya pergulatan
antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi
kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam penggunaan ini, budaya
pop bukan merupakan budaya yang diberlakukan oleh teoritikus budaya
massa ataupun muncul secara spontan dari bawah sebagai budaya
oposisi seperti yang sudah ada dalam empat definisi budaya pop diatas.
Definisi keenam budaya pop berasal dari pemikiran
postmodernisme yang menyatakan bahwa budaya postmodern adalah
budaya yang tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya
tinggi dan pop. Akibatnya postmodernis menyatakan sekarang “semua
budaya adalah budaya postmodern”. Mereka juga menentang
pembatasan tegas budaya pop dengan budaya massa.
2.4 KONSUMERISME
Budaya konsumen dilatarbelakangi oleh munculnya masa kapitalisme
yang diusung oleh Karl Marx yang kemudian disusul dengan liberalisme.
8
Budaya konsumen yang merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah
budaya yang di dalamnya terdapat bentuk halusinasi, mimpi, artifilsialitas,
kemasan wujud komoditi, yang kemudian dikonstruksi sosial melalui
komunikasi ekonomi (iklan, show, media) sebagai kekuatan tanda (semiotic
power) kapitalisme.
Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses industrialisasi pada
awal abad ke-19. Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material
dari proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh
kepemilikan alat-alat produksi. Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga
aspek lain dalam hubungan antarmanusia dengan kesadaran, kebudayaan,
dan politik dikatakan dikonstruksikan oleh relasi ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan oleh Marx adalah suatu cara produksi
yang dipremiskan oleh kepemilikan pribadi sarana produksi. Kapitalisme
bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan
mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai surplus dalam bentuk uang diperoleh
dengan menjual produk sebagai komoditas. Komoditas adalah sesuatu yang
tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan komodifikasi adalah proses yang
diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda berubah
menjadi komoditas.
9
buying more than they need to produce designer employed toput new twists
on established models, to advertisers seeking ti create new needs..”
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 GAYA HIDUP KONSUMERISME SEBAGAI DAMPAK DARI GLOBALISASI
DAN BUDAYA POP
Gaya hidup merupakan cara hidup seseorang yang dapat
diidentifikasikan dengan menilai bagaimana seseorang mengabiskan waktu
mereka, apa yang mereka anggap penting bagi mereka (ketertarikan), dan
apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga tentang
lingkungan sekitar. Gaya hidup setiap masyarakat tentu saja berbeda-beda
dan tentu saja memiliki perubahan yang dinamis dari masa ke masa.
11
3.2 PERKEMBANGAN MALL SEBAGAI PENUNJANG BERKEMBANGNYA
KONSUMERISME
Perubahan gaya hidup masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kehadiran
pusat-pusat perbelanjaan modern. Era baru budaya konsumen ditandai dan
dilembagakan dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Gedung yang selalu
berlimpah barang ini menawarkan kebebasan baru dan kesempatan untuk
masyarakat menjadi gemar berbelanja. Belanja ditransformasikan dari
persediaan kebutuhan atau negosiasi terhadap kepemilikan baru. Di pusat-
pusat perbelanjaan, masyarakat akan dibimbing oleh suatu pola konsumtif
yang sistematis, dan ini memang sudah dipelajari dari sikap dan gaya hidup
masyarakat melalui berbagai penelitian mendalam dan dan waktu yang
panjang. Oleh sebab itu masyarakat saat ini bukan saja hanya menjadi pelaku
ekonomi namun juga sebagai produk budaya yang lahir dari suatu tatanan
sistematis sebagai dampak dari neoliberalisme.
Kecenderungan masyarakat saat ini berbelanja di mal, hipermarket,
dan supermarket sering kali melampaui kebutuhan dan keperluan yang
semestinya. Ciri dari masyarakat konsumsi yang paling menonjol, yaitu bahwa
arena konsumsi adalah kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat,
dalam hal ini mal, hipermarket, dan supermarket sebagai sarana konsumsi
memfasilitasi berbagai aktivitas masyarakat ikut andil dalam membentuk sikap
dan perilaku konsumen.
Perkembangan mal yang pesat di Indonesia juga dipengaruhi oleh
berkembangnya aktivitas masyarakat di dalam pusat perbelanjaan, yaitu
rekreasi atau mencari suasana lain, hal ini tentu saja merupakan penunjang
semakin terbukanya budaya konsumerisme di Indonesia.
13
3.4 PERAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH TERKAIT KONSUMERISME
DAN MARAKNYA PEMBANGUNAN MALL
14
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Seperti yang telah kita ketahui bahwa globalisasi adalah hal yang tidak
dapat dihindari, tentu saja hal tersebut tidak menutup kemungkinan jika kita
pun akan terbawa dan mengikuti arus globalisasi tersebut. Perubahan gaya
hidup masyarakat perkotaan tidak bisa dilepaskan dari kehadiran pusat-pusat
perbelanjaan modern. Era baru budaya konsumen ditandai dan dilembagakan
dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Dalam masyarakat modern saat
ini konsumsi telah menjadi suatu kebutuhan vital yang tidak hanya berguna
secara instrumental atau sekedar mengambil atau menghabiskan nilai
fungsional dari suatu komoditi. Saat ini pengertian konsumsi sendiri telah
mengalami perubahan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bantul : Kreasi
Wacana.
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Notebooks (hlm 57). London :
Lawrence& Wishart.
Storey, John. 2003. “Teori Budaya dan Budaya Pop” (disunting dan
diterjemahkan oleh Dede Nurdin). Yogyakarta : CV Qalam Yogyakarta.
16