Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arfinda Rakhmadina

NIM : 190210101008

Kontradiksi Pandangan HTI atas Pancasila

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan cabang Indonesia dari Hizbut Tahrir (HT)
internasional yang merupakan organisasi Islam yang didirikan oleh Taqiyudin Al-Nabhani,
telah mengembangkan paham keagamaan yang melampaui kebangsaan. Hal ini terlihat pada
cita-cita untuk menegakkan khilafah Islamiyah, dengan berporos di Indonesia. Dalam hal ini
menjadi penting bagi kita untuk memahami pandangan dari Pancasila HT mendeklarasikan
bahwa mereka merupakan partai politik meskipun mereka menolak terlibat dalam sistem
demokrasi (pemilu) Indonesia. HT ingin menawarkan konsep politik yang berbeda dengan
demokrasi, yakni khilafah Islamiyyah yang merupakan sebuah sistem politik otentik Islam
bersumber langsung pada praktik kenegaraan Nabi Muhammad SAW.

Kehadiran HT di Indonesia berawal dari diajaknya Abdurrahman Al-Baghdadi,


seorang aktivis HT yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor oleh Kiai Abdullah bin
Nuh, pemilik Pesantren Al-Ghazali, Bogor. Dia mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid
kampus di Masjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sinilah timbul pemikiran untuk membentuk
suatu pengajian-pengajian kecil untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Ajaran HT
mulai menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor melalui jaringan Lembaga Dakwah
Kampus (LDK), seperti UNPAD, IKIP Malang, UNAIR bahkan hingga keluar Jawa, seperti
UNHAS.

Pandangan atas Pancasila

Pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas Pancasila, mengandung kontradiksi. Di


satu sisi, Pancasila disebut merupakan ideologi kufur yang harus ditolak. Di sisi lain,
Pancasila diterima sebagai seperangkat falsafah (set of philosophy) yang merupakan gagasan
yang baik. Menurut padangan pertama (pancasila adalah ideologi kufur) mereka menduga
Pancasila mengakomodir pluralisme agama yang ditunjukkan sila ke-3, Persatuan Indonesia.
Hal ini bertentangan dengan prinsip HTI yang mendukung kebenaran tunggal islam. Pendapat
kedua karena pancasila merupakan ideologi yang majemuk seperti mengandung sosialisme,
demokrasi dan nasionalisme. Sedangkan menurut pandangan kedua pancasila merupakan
seperangkat falsafah (set of philosophy) dan merupakan gagasan filosofis yang baik. Hal ini
dikemukakan oleh juru bicara HTI, M. Ismail Yusanto. Hanya saja sebagai set of philosophy,
Pancasila tidak mencukupi untuk mengatur tata pemerintahan di Indonesia karena tidak
adanya rumusan sistem sebagai ejawantah dari Pancasila itu sendiri. Karena hal inilah
perwujudan nilai-nilai Pancasila kemudian dilakukan oleh ideologi-ideologi selain Pancasila.

Pandangan Ismail bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila


merupakan ideologi kufur, dikarenakan Pancasila merupakan serangkaian gagasan filosofis
yang merupakan hasil renungan para founding fathers yang dinamis. Ismail menekankan
dasar perjuangan HTI dari nilai-nilai Pancasila khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Bagi HTI, Piagam Jakarta merupakan kesepakatan yang diciptakan oleh Soekarno
termasuk tujuh kata, “Menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Tujuh kata ini
meimbulkan konflik dari dua kubu. Yang pertama dari kaum Islam yang menginginkan dasar
negara Islam. Serta tuntutan kaum nasionalis yang menolak dasar negara Islam. Hanya saja 7
kata ini juga ditolak oleh beberapa pemimpin islam,

Menurut mereka, syariat Islam tidak hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan
kepada seluruh umat di semesta alam sesuai dengan sifat Islam sebagai agama yang
rahmatan lil‘alamin. Akhirnya tujuh kata ini dihapus. Berdasarkan realitas ini HTI
mentimpulkan bahwa mereka telah gagal lagi dalam perumusan ponndasi negara yang
mereka inginkan. Namun, mereka tetap memperjuangkan tegaknya syariah meskipun harus
tetap dalam kerangka Pancasila. HTI hanya menerima Pancasila sebagai set of philosophy
bukan dasar negara, karena realitas politik di Indonesia tidak selalu mendasarkan diri pada
Pancasila sehingga ia tidak benar-benar ditempatkan sebagai dasar negara. Selain itu,
Pancasila hanyalah rumusan pemikiran dari founding fathers dan kebenarannya tidak mutlak
sehingga memiliki sifat dinamis. HTI bukanlah Pancasila, melainkan ideologi yang dijadikan
oleh tokoh politik Indonesia untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian,
ketika Pancasila ditempatkan sebagai ideologi nasional, menurut HTI bersifat tidak
mencukupi. Dengan didasarkan bukti bahwa para penguasa Indonesia masih perlu
menggunakan ideologi lain untuk menerjemahkan Pancasila.

Melihat hal ini pandangan HTI pada Pancasila menjadi jelas, HTI hanya menerima
Pancasila sebagai gagasan filosofis (set of philosophy). Dengan menempatkan Pancasila
menjadi gagasan filosofis biasa, tidak memiliki kemutlakan dalam bangsa Indonesia. Akibat
yang menunggu adalah, Pancasila bisa dibongkar, bisa ditambah atau dikurangi silanya, atau
bisa diganti dengan dasar negara lain. Sejak awal HTI mendasarkan konsepsi politiknya pada
Islam. Artinya, dalam konsep politik khilafah, dasar negara khilafah tentu bukan Pancasila,
tapi Islam. Maka dari itu, dalam kerangka set of philosophy, Pancasila tidak mutlak sebagai
dasar negara sehingga dalam kondisi politik yang memungkinkan, ia bisa diganti.

Kemudian HTI mengritik Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU


Ormas) tahun 2012 yang ingin menjadikan Pancasila sebagai dasar semua ormas di
Indonesia. HTI menawarkan asas kewajiban yang dimiliki ormas untuk tidak bertentangan
dengan Pancasila. Dalam hal ini asas Islam tentu tidak bertentangan dengan Pancasila. Oleh
karena itu sekarang dapat dipahami bahwa penempatan HTI atas Pancasila sebagai set of
philosophy menunjukkan keadilan pemikiran gerakan ini dalam menempatkan Islam secara
proporsional, dengan menunjukkan rasionalitas dari HTI yang selama ini mengklaim sebagai
gerakan Islam berbasis rasionalitas. Dengan demikian, pemikiran yang atas Pancasila ini
dapat ditempatkan dalam perjalanan menuju tujuan politik HTI yaitu menegakkan khilafah
Islamiyyah di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia dikira tepat untuk
pendirian khalifah, yaitu (1) dukungan yang besar dari umat islam (2) dakwah HTI berjalan
dengan aman dan meluas (3) Kepercayaan publik kepada pemerintah Indonesia semakin
merosot (4) Besarnya potensi SDM dan SDA di Indonesia (5) historis Indonesia yang cukup
banyak dalam menerapkan syariat islam. Ancaman dari HTI pun muncul bagi para pemimpin
nasional yang tidak mendukung pendirian khilafah. Yakni akan menghukum pihak-pihak
yang mengabaikan dan menghambat pendirian khilafah di Indonesia. Lontaran ancaman ini
dilakukan mengingat situasi politik Indonesia yang masih berada dalam kerangka
nasionalisme.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syaiful. 2016. Kontradiksi Pandangan HTI atas Pancasila. Jurnal Keamanan Nasional.
2(1) : 19-33

Anda mungkin juga menyukai