Pendahuluan
Sejarah panjang dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia telah banyak melahirkan
fenomena-fenomena baru demi terciptanya sebuah negara yang dapat bersaing dengan
Negara-negara lain di dunia yang terus berkembang. Setidaknya terdapat tiga tahapan sejarah
bangsa Indonesia yang telah mencoba membuat peradaban bangsa Indonesia ke arah negara
yang lebih baik dan mapan, yaitu; Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Dari ketiga tahapan
ini semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak sepenuhnya bisa
di ungkapkan lewat kata-kata oleh masyarakat Indonesia.
Dalam ketiga tahapan masa tersebut setidaknya terdapat dua tahap menarik yang
mungkin sampai saat ini masih tidak bisa diterima dan dilupakan oleh umat Islam dalam
sejarah perpolitikan bangsa Indonesia. Tahapan tersebut mulai terjadi pada pasca
kemerdekaan (Orde Lama) sampai jatuhnya rezim Orde Baru. Pada masa orde lama dapat
dilihat pada saat pertarungan atau perebutan politik dalam mengisi dasar negara Indonesia
pasca kemerdekaan, selain itu juga pertarungan ideology yang terjadi di bangsa Indonesia
antara ideology islam dengan nasionalis, dimana kaum Islamis ingin mewujudkan harapan
untuk memiliki Negara, hokum, dan system yang sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan
pada masa orde baru masalah yang dihadapi kaum Islamis adalah kesulitan-kesulitan bagi
mereka untuk bisa bertahan di bawah tekanan rezim yang sangat otoriter dan memiliki
kekuasaan di semua lini atau bagian, khususnya pada militer dan birokrasi.
Pada saat jatuhnya kekuasaan Orde Baru yang otoriter menandai munculnya
zaman atau masa baru di Indonesia (reformasi), ditandai dengan suasana demokrasi yang
membawa perubahan besar pada bidang politik di Indonesia. Masa tersebut tidak hanya
ditandai oleh peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibi, melainkan juga ditandai
dengan munculnya berbagai partai politik dengan beragam landasan ideology.
Dihapusnya undang-undang keormasan tahun 1985 yang mewajibkan semua organisasi
massa untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideology, merupakan
momentum yang memunculkan partai dan organisasi massa, tidak terkecuali gerakan
Islam. Setelah itu, semua masyarakat menyaksikan era baru, yaitu liberalisasi politik
yang luar biasa. Atas nama demokrasi, partai politik menjamur dan pemilu yang diikuti
puluhan partai kembali terulang lagi yang berdampak pada munculnya gerakan-gerakan–
khususnya berbasis agama– dan yang tak terduga adalah maraknya terjadinya konflik
horizontal yang mewabah disetiap daerah. Di tengah kebebasan tersebut, kekuatan-
kekuatan ideology yang hampir mati mendapat ruang sosial politik kembali.
Memanfaatkan kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, dan berkumpul.
Beberapa ideology kemudian berusaha menemukan pola dan bentuk baru, yakni melalui
partai politik (baru atau lama) ataupun gerakan social di dalam masyarakat. Adapun
tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan atau hegemoni baik melalui jalur demokratis
ataupun non-demokratis yang pada akhirnya diharapkan akan mampu memengaruhi
proses politik dan kebijakan (Said, 2012).
Pada era reformasi tersebut banyak tokoh-tokoh Islam tampil mewarnai sekaligus
menentukan arah reformasi. Tidak hanya dari gerakan Islam seperti NU dan
Muhammadiyah yang memang dari awal telah berakomodasi dengan negara, tetapi pada
masa tersebut muncul juga gerakan Islam yang menolak berakomodasi ke dalam entitas
negara Indonesia karena menginginkan umat Islam berada di bawah satu kekhalifahan
dunia. Munculnya gerakan-gerakan baru yang bercorak Islam di Indonesia ini menjadi
kekuatan sosial yang tak terduga. Salah satu gerakan Islam yang mencita-citakan
mendirikan khilafah Islamiyah adalah Hizbut Tahrir yang ingin membentuk Darul Islam.
Yang dimaksud darul Islam tersebut adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem
Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan (Tahrir,
2007: 7). Jika dilihat konsep dari darul Islam yang dibawa Hizbut Tahrir mempunyai
kesamaan dengan konsep pemberontakan DI/TII yang pernah terjadi pada masa orde
lama, yaitu ingin membentuk Negara Islam Indonesia dengan Tentara Islam Indonesia
dan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan konsep Islam. Selain itu juga menjadikan
ideology bangsa Indonesia dengan dasar syariat Islam. Tetapi antara kedua gerakan ini
juga mempunyai perbedaan, seperti yang dilihat jika Hizbut Tahrir adalah sebuah
gerakan transnasional sedangkan DI/TII gerakan yang lingkupnya kecil atau kedaerahan,
namun mempunyai cabang di setiap daerah. DI/TII sendiri muncul karena ketidakpuasan
atas perjanjian renville yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu. Jika dilihat
kembali memang secara garis besar kedua gerakan ini mempunyai tujuan yang sama
tentang pembentukan Negara Islam di Indonesia dan merubah seluruh aspek kehidupan
dengan konsep Islam serta menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara.
Dalam konteks Indonesia, hal mengenai ideology dan pembentukan Negara Islam
dapat menjadi sebuah persoalan yang sangat membahayakan karena ideology yang
dibawa oleh gerakan tersebut berbenturan dengan ideology bangsa Indonesia yaitu
ideology Pancasila. Sebagai sebuah ideology bangsa, Pancasila tidak terbentuk begitu
saja, akan tetapi terbentuk dari realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya.
Realitas sejarah telah berproses dalam kurun waktu yang tidak sebentar di nusantara dan
pada akhirnya memunculkan rumusan ideology baru di tengah pertarungan ideology saat
itu. Pancasila dapat menjadi ideology alternatif di tengah pertarungan ideology (netral)
yang ada karena Pancasila berakar pada masyarakat Indonesia yang bersifat plural yang
diikat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kemajemukan merupakan sifat alami yang
melekat pada bangsa Indonesia yang telah memproklamasikan diri sebagai negara pada
tanggal 17 Agustus 1945 dengan dasar negara yaitu Pancasila, maka menjadi sebuah ironi
saat Pancasila kemudian digugat oleh beberapa gerakan yang ingin menggantinya
dengan ideology lain. Termasuk Hizbut Tahrir Indonesia dan DI/TII yang menginginkan
Indonesia menjadi bagian dari Negara yang berideologikan Islam.
Penandatanganan perjanjian Renville telah memecah belah kekuatan RI. Akibat dari
perjanjian itu wilayah RI di pulau Jawa hanya meliputi sebagian wilayah Jawa Tengah dan
Banten. Hal tersebut membawa akibat anggota tentara harus ditarik dari wilayah pendudukan
Belanda dan harus pindah ke wilayah RI yang sempit. Tentara di daerah Jawa Barat yang
telah menempati daerah yang strategis untuk melakukan gerilya, terpaksa harus segera
melakukan hijrah ke daerah RI (Dengel, 1994: 64). Sebagian besar pasukan Divisi Siliwangi
dipindahkan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Pada waktu pasukan Divisi Siliwangi
melaksanakan hijrah ke daerah Jawa Tengah, tidak semua kesatuan tentara ikut serta
melakukan hijrah. Mereka yang tidak ikut hijrah terus melakukan perang gerilya di daerah
Jawa Barat. Kesatuan tentara yang tidak ikut hijrah diantaranya ialah pasukan Sabilillah dan
Hizbullah yang dipimpin oleh Kartosuwiryo (Dijk, 1983: 63)
Melihat situasi dan kondisi yang seperti itu maka dengan segera Kartosuwiryo
memanfaatkan keadaan untuk mewujudkan keinginannya. Pada tanggal 10-11 Februari 1948
di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya, ia beserta kawan seperjuangannya seperti
Raden Oni dan Kamran mengadakan suatu konferensi yang berhasil membentuk TII. Dimana
anggota TII ini merupakan gabungan dari pasukan Sabilillah dan Hizbullah. Organisasi
militer TII yang dibentuk oleh Kartosuwiryo tersusun dalam bentuk satuan-satuan tingkat
divisi, resimen, batalyon sampai pada satuan tingkat regu. Namun dalam setiap taktik dan
gerakannya, TII tidak pernah bergerak dalam satuan-satuan besar. Kegiatan mereka paling
besar hanya sampai pada tingkat batalyon. Hal ini sejalan dengan siasat gerilya yang telah
digariskan oleh mereka. Inti dari kekuatan TII terdiri dari pasukan Hizbullah dan Sabilillah
yang tidak mau masuk menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, untuk
menambah kekuatan tempur TII, pihak DI/TII merekrut pemuda-pemuda desa untuk
dijadikan sebagai anggota TII. Sementara modal persenjataan TII diperoleh dari hasil
rampasan perang, terutama pada waktu TII melakukan pertempuran-pertempuran melawan
Tentara Belanda maupun melawan Tentara RI.
Menurut Kartosuwiryo suatu dasar negara haruslah tertanam dan hidup di dalam dada
dan hati rakyat yang sebagian besar memeluk agama Islam. Sementara Pancasila tidak
demikian, sejak berdirinya RI telah berpegang kepada pihak luar, pihak internasional.
Tegasnya Pancasila tidak berakar ke dalam melainkan keluar, tidak berdiri di atas kekuatan
dan tenaga rakyat sendiri, tidak sesuai dengan kehendak rakyat, melainkan kedaulatan dan
kemerdekaannya diperoleh dan dipertahankan dengan pegangan kepada pihak internasional
dan berdasar atas kasih sayang dan kemurahan pihak lain (Dijk, 1983: 79).
Analisis
Dengan melihat fenomena seperti ini kita dapat menganalisis dengan teori structural
konflik dari Ralf Dahrendorf, dimana memiliki asumsi dasar yaitu; Setiap masyarakat
terdapat perubahan social dan terjadi dimana-mana, di dalam masyarakat sering
memperlihatkan pertikaian dan konflik, dan setiap elemen dalam suatu masyarakat
menyumbang distengrasi dan perubahan. Dapat ditarik kesimpulan jika teori structural
konflik menunjukkan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat adanya konflik yang
berdampak pada perubahan social dikarenakan setiap elemen dalam suatu masyarakat
menyumbang distengrasi dan perubahan. Apabila dikaitkan dengan pemberontakan DI/TII
yang terjadi di Jawa Barat memang benar jika di dalam masyarakat selalu terdapat adanya
konflik yang mana terjadi antar masyarakat Indonesia yang berdasarkan konteks ideology–
islamis dan nasionalis. Sehingga terjadi disintegrasi antar masyarakat Indonesia yang
berideologikan Islam dengan yang berideologikan Nasionalis sehingga memunculkan
perubahan social di masyarakat itu sendiri, khususnya pada struktur politik masa itu. Peran
konflik ideology ini sangat besar karena dapat mengancam kelangsungan bernegara saat Orde
Lama, hal tersebut dikarenakan menyangkut ideology bangsa Indonesia yang bertarung
dengan ideology islam.
Awwas, Irfan S. 2008. Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat
Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Yogyakarta: Uswah.
Chaidar, Al. 1999. Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M Kartosoewirjo: Fakta
dan Data Sejarah Darul Islam. Jakarta: Darul Falah.
Dengel, Holk Harald. 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang
Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dijk, Corneles van. 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers.
Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Qahhar Mudzakar Dari Patriot Hingga Pemberontak. Jakarta: PT
Grasindo
Hizbut Tahrir. 2007. Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Setiardi, Heri. 1995. Peranan Pasukan Gerakan Banteng Nasional (GBN) Dalam Membendung
Infiltrasi Darul Islam Jawa Barat Ke Jawa Tengah. Skripsi: Fakultas Sastra Dan Seni Rupa.
Simatupang, Tahi Bonar. 1988. Masalah Darul Islam dalam Rangka Strategi untuk Mempertahnkan
dan Mengkosolidasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila,
Prisma, No. 7, Tahun XVII.
Sularto, Haji Agus Salim (1884-1954): tentang perang, jihad, dan pluralisme, Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 2004, hlm.27.