Anda di halaman 1dari 10

Pergolakan Ideologi: Munculnya Pemberontakan Gerakan

Radikal Islam (DI/TII) di Masa Orde Lama


Mochamad Iqbal Jatmiko
Mahasiswa Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Pendahuluan
Sejarah panjang dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia telah banyak melahirkan
fenomena-fenomena baru demi terciptanya sebuah negara yang dapat bersaing dengan
Negara-negara lain di dunia yang terus berkembang. Setidaknya terdapat tiga tahapan sejarah
bangsa Indonesia yang telah mencoba membuat peradaban bangsa Indonesia ke arah negara
yang lebih baik dan mapan, yaitu; Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Dari ketiga tahapan
ini semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak sepenuhnya bisa
di ungkapkan lewat kata-kata oleh masyarakat Indonesia.
Dalam ketiga tahapan masa tersebut setidaknya terdapat dua tahap menarik yang
mungkin sampai saat ini masih tidak bisa diterima dan dilupakan oleh umat Islam dalam
sejarah perpolitikan bangsa Indonesia. Tahapan tersebut mulai terjadi pada pasca
kemerdekaan (Orde Lama) sampai jatuhnya rezim Orde Baru. Pada masa orde lama dapat
dilihat pada saat pertarungan atau perebutan politik dalam mengisi dasar negara Indonesia
pasca kemerdekaan, selain itu juga pertarungan ideology yang terjadi di bangsa Indonesia
antara ideology islam dengan nasionalis, dimana kaum Islamis ingin mewujudkan harapan
untuk memiliki Negara, hokum, dan system yang sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan
pada masa orde baru masalah yang dihadapi kaum Islamis adalah kesulitan-kesulitan bagi
mereka untuk bisa bertahan di bawah tekanan rezim yang sangat otoriter dan memiliki
kekuasaan di semua lini atau bagian, khususnya pada militer dan birokrasi.
Pada saat jatuhnya kekuasaan Orde Baru yang otoriter menandai munculnya
zaman atau masa baru di Indonesia (reformasi), ditandai dengan suasana demokrasi yang
membawa perubahan besar pada bidang politik di Indonesia. Masa tersebut tidak hanya
ditandai oleh peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibi, melainkan juga ditandai
dengan munculnya berbagai partai politik dengan beragam landasan ideology.
Dihapusnya undang-undang keormasan tahun 1985 yang mewajibkan semua organisasi
massa untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideology, merupakan
momentum yang memunculkan partai dan organisasi massa, tidak terkecuali gerakan
Islam. Setelah itu, semua masyarakat menyaksikan era baru, yaitu liberalisasi politik
yang luar biasa. Atas nama demokrasi, partai politik menjamur dan pemilu yang diikuti
puluhan partai kembali terulang lagi yang berdampak pada munculnya gerakan-gerakan–
khususnya berbasis agama– dan yang tak terduga adalah maraknya terjadinya konflik
horizontal yang mewabah disetiap daerah. Di tengah kebebasan tersebut, kekuatan-
kekuatan ideology yang hampir mati mendapat ruang sosial politik kembali.
Memanfaatkan kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, dan berkumpul.
Beberapa ideology kemudian berusaha menemukan pola dan bentuk baru, yakni melalui
partai politik (baru atau lama) ataupun gerakan social di dalam masyarakat. Adapun
tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan atau hegemoni baik melalui jalur demokratis
ataupun non-demokratis yang pada akhirnya diharapkan akan mampu memengaruhi
proses politik dan kebijakan (Said, 2012).
Pada era reformasi tersebut banyak tokoh-tokoh Islam tampil mewarnai sekaligus
menentukan arah reformasi. Tidak hanya dari gerakan Islam seperti NU dan
Muhammadiyah yang memang dari awal telah berakomodasi dengan negara, tetapi pada
masa tersebut muncul juga gerakan Islam yang menolak berakomodasi ke dalam entitas
negara Indonesia karena menginginkan umat Islam berada di bawah satu kekhalifahan
dunia. Munculnya gerakan-gerakan baru yang bercorak Islam di Indonesia ini menjadi
kekuatan sosial yang tak terduga. Salah satu gerakan Islam yang mencita-citakan
mendirikan khilafah Islamiyah adalah Hizbut Tahrir yang ingin membentuk Darul Islam.
Yang dimaksud darul Islam tersebut adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem
Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan (Tahrir,
2007: 7). Jika dilihat konsep dari darul Islam yang dibawa Hizbut Tahrir mempunyai
kesamaan dengan konsep pemberontakan DI/TII yang pernah terjadi pada masa orde
lama, yaitu ingin membentuk Negara Islam Indonesia dengan Tentara Islam Indonesia
dan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan konsep Islam. Selain itu juga menjadikan
ideology bangsa Indonesia dengan dasar syariat Islam. Tetapi antara kedua gerakan ini
juga mempunyai perbedaan, seperti yang dilihat jika Hizbut Tahrir adalah sebuah
gerakan transnasional sedangkan DI/TII gerakan yang lingkupnya kecil atau kedaerahan,
namun mempunyai cabang di setiap daerah. DI/TII sendiri muncul karena ketidakpuasan
atas perjanjian renville yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu. Jika dilihat
kembali memang secara garis besar kedua gerakan ini mempunyai tujuan yang sama
tentang pembentukan Negara Islam di Indonesia dan merubah seluruh aspek kehidupan
dengan konsep Islam serta menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara.
Dalam konteks Indonesia, hal mengenai ideology dan pembentukan Negara Islam
dapat menjadi sebuah persoalan yang sangat membahayakan karena ideology yang
dibawa oleh gerakan tersebut berbenturan dengan ideology bangsa Indonesia yaitu
ideology Pancasila. Sebagai sebuah ideology bangsa, Pancasila tidak terbentuk begitu
saja, akan tetapi terbentuk dari realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya.
Realitas sejarah telah berproses dalam kurun waktu yang tidak sebentar di nusantara dan
pada akhirnya memunculkan rumusan ideology baru di tengah pertarungan ideology saat
itu. Pancasila dapat menjadi ideology alternatif di tengah pertarungan ideology (netral)
yang ada karena Pancasila berakar pada masyarakat Indonesia yang bersifat plural yang
diikat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kemajemukan merupakan sifat alami yang
melekat pada bangsa Indonesia yang telah memproklamasikan diri sebagai negara pada
tanggal 17 Agustus 1945 dengan dasar negara yaitu Pancasila, maka menjadi sebuah ironi
saat Pancasila kemudian digugat oleh beberapa gerakan yang ingin menggantinya
dengan ideology lain. Termasuk Hizbut Tahrir Indonesia dan DI/TII yang menginginkan
Indonesia menjadi bagian dari Negara yang berideologikan Islam.

Oleh karena itu, penulis menganggap fenomena tentang pembentukan Negara


Islam dan ideology Islam ini sangat penting untuk dibahas lebih dalam dan rinci
mengenai persoalan tentang ideology, khususnya pada masa orde lama yang dibawa oleh
DI/TII. Dalam tulisan ini, penulis lebih memfokuskan pada periode orde lama dengan
mengangkat kasus DI/TII yang muncul atau terbentuk di Jawa Barat, dan juga melihat
pembentukan serta penyebaran ideology Islam yang terjadi. Dikarenakan ideology
merupakan sesuatu yang sangat penting dan benar-benar vital bagi kelangsungan sebuah
bangsa, sebab ideology memberikan kejelasan identitas nasional, kebanggaan, dan
kekuatan yang dapat mengilhami untuk mencapai cita-cita di dalam aspek sosial dan
politik. Dalam kehidupan politik, ideology politik menjadi penggerak utama dalam
kehidupan organisasi atau lembaga politik (politik suatu Negara), bahkan ideology
juga berfungsi untuk menyatukan ide-ide atau pemikiran dari seluruh rakyat.
Deskripsi Kasus
Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah dihadapkan
dengan berbagai macam permasalahan, seperti masalah ekonomi, sosial, hubungan luar
negeri maupun masalah pertahanan dan keamanan. Khususnya dibidang pertahanan dan
keamanan muncul berbagai pemberontakan yang menentang Pemerintah. Salah satu
pemberontakan tersebut yaitu pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
di Jawa Barat yang dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, dengan pasukannya yang
diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII).
Kartosuwiryo merupakan sosok sentral dibalik pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.
Ia telah sejak lama menginginkan terbentuknya suatu negara Islam yang dinamakan Darul
Islam. Upaya Kartosuwiryo dalam merealisasikan gambaran tentang negara Islam itu, mulai
berlangsung setelah ditandatanganinya perjanjian Renville. Perjanjian Renville tersebut,
ditandatangani oleh Pemerintah RI dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948 di atas kapal
USS Renville, kapal milik Amerika Serikat (Agung, 1991: 71).

Penyebab munculnya DI/TII

Penandatanganan perjanjian Renville telah memecah belah kekuatan RI. Akibat dari
perjanjian itu wilayah RI di pulau Jawa hanya meliputi sebagian wilayah Jawa Tengah dan
Banten. Hal tersebut membawa akibat anggota tentara harus ditarik dari wilayah pendudukan
Belanda dan harus pindah ke wilayah RI yang sempit. Tentara di daerah Jawa Barat yang
telah menempati daerah yang strategis untuk melakukan gerilya, terpaksa harus segera
melakukan hijrah ke daerah RI (Dengel, 1994: 64). Sebagian besar pasukan Divisi Siliwangi
dipindahkan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Pada waktu pasukan Divisi Siliwangi
melaksanakan hijrah ke daerah Jawa Tengah, tidak semua kesatuan tentara ikut serta
melakukan hijrah. Mereka yang tidak ikut hijrah terus melakukan perang gerilya di daerah
Jawa Barat. Kesatuan tentara yang tidak ikut hijrah diantaranya ialah pasukan Sabilillah dan
Hizbullah yang dipimpin oleh Kartosuwiryo (Dijk, 1983: 63)

Melihat situasi dan kondisi yang seperti itu maka dengan segera Kartosuwiryo
memanfaatkan keadaan untuk mewujudkan keinginannya. Pada tanggal 10-11 Februari 1948
di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya, ia beserta kawan seperjuangannya seperti
Raden Oni dan Kamran mengadakan suatu konferensi yang berhasil membentuk TII. Dimana
anggota TII ini merupakan gabungan dari pasukan Sabilillah dan Hizbullah. Organisasi
militer TII yang dibentuk oleh Kartosuwiryo tersusun dalam bentuk satuan-satuan tingkat
divisi, resimen, batalyon sampai pada satuan tingkat regu. Namun dalam setiap taktik dan
gerakannya, TII tidak pernah bergerak dalam satuan-satuan besar. Kegiatan mereka paling
besar hanya sampai pada tingkat batalyon. Hal ini sejalan dengan siasat gerilya yang telah
digariskan oleh mereka. Inti dari kekuatan TII terdiri dari pasukan Hizbullah dan Sabilillah
yang tidak mau masuk menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, untuk
menambah kekuatan tempur TII, pihak DI/TII merekrut pemuda-pemuda desa untuk
dijadikan sebagai anggota TII. Sementara modal persenjataan TII diperoleh dari hasil
rampasan perang, terutama pada waktu TII melakukan pertempuran-pertempuran melawan
Tentara Belanda maupun melawan Tentara RI.

Kartosuwiryo mendirikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949 di


Malangbong, Jawa Barat (Chaidar, 1999: 25). Melalui gagasannya Kartosuwiryo berusaha
mengubah Konsep Tata Negara Republik menjadi Tata Negara Islam. Hal ini jelas
menimbulkan berbagai reaksi, terutama dikalangan pemerintah pusat (Dijk, 1983: 2).
Kartosuwiryo memiliki pandangan bahwa Islam adalah agama yang kesempurnaan yang
memberikan aturan terhadap segala aspek, pendidikan, pengajaran baik lahir maupun batin,
dari hal yang paling kecil hingga hal yang paling besar, dari mengurus masalah rumah tangga
hingga mengendalikan pemerintahan.

Kartosuwiryo menjadikan Islam sebagai ideologi politik, dimana menurutnya setiap


perjuangan politik harus berpegangan pada akidah politik, yaitu ideologi dan realistis.
Kartosuwiryo juga menjelaskan bahwa suatu Negara Islam haruslah negara yang memiliki
kemerdekaan dan kedaulatan penuh baik di dalam maupun di luar, secara de facto maupun
secara de jure sehingga kekuasaan negara tersebut adalah kekuasaan Islam yang penuh, tidak
tergantung dan terpengaruh oleh pihak manapun juga.

Menurut Kartosuwiryo suatu dasar negara haruslah tertanam dan hidup di dalam dada
dan hati rakyat yang sebagian besar memeluk agama Islam. Sementara Pancasila tidak
demikian, sejak berdirinya RI telah berpegang kepada pihak luar, pihak internasional.
Tegasnya Pancasila tidak berakar ke dalam melainkan keluar, tidak berdiri di atas kekuatan
dan tenaga rakyat sendiri, tidak sesuai dengan kehendak rakyat, melainkan kedaulatan dan
kemerdekaannya diperoleh dan dipertahankan dengan pegangan kepada pihak internasional
dan berdasar atas kasih sayang dan kemurahan pihak lain (Dijk, 1983: 79).

Selain itu Kartosuwiryo juga memandang bahwa dalam kenyataannya negara


Pancasila tidak mampu menjalankan hokum-hukum Allah dengan baik, bahkan tak jarang
membuangnya jauh-jauh. Oleh karena itu, Kartosuwiryo menegaskan bahwa tidak mungkin
hokum-hukum Allah akan berjalan baik dalam negara yang bukan Islam, baik itu negara
Komunis, Sosialis maupun negara Pancasila. Hokum-hukum Allah hanya akan berjalan baik
dalam sebuah Negara Islam, dengan demikian Kartosuwiryo menolak adanya Negara ataupun
ideology Pancasila.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran atau pandangan Kartosuwiryo
menganggap Islam merupakan agama yang sempurna, yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, dari hal yang paling kecil hingga hal yang paling besar, lahir maupun
batin, tidak hanya dalam kehidupan dunia tetapi lebih dari itu juga kehidupan akhirat,
sehingga hubungan Islam dan negara adalah sentral, tidak bisa dilepaskan satu sama lain,
karena dalam Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan Negara (Simatupang, 1988).

Pemberantasan DI/TII Jawa Barat

Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah RI untuk menumpas


pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo itu dimulai pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan
melancarkan operasi penumpasan akan tetapi belum mendapat hasil yang memuaskan.
Meskipun telah diadakan operasi penumpasan akan tetapi umumnya operasi tersebut bersifat
sporadis tanpa ada rencana penumpasan yang menyeluruh. Pada tanggal 5 juli 1959 operasi-
operasi terhadap DI/TII Kartosuwiryo diintensifkan dengan mencetuskan doktrin perang
wilayah. Dimana seluruh rakyat diikut sertakan sepenuhnya dalam pelaksanaan operasi
penumpasan (Dengel, 1995: 185). Sistemnya antara lain dikenal dengan Operasi Pagar Betis
yang kemudian dilancarkan dengan operasi Baratayudha. Pelaksanaan operasi Baratayudha
dilakukan oleh satuan KODAM VI Siliwangi, dibantu KODAM VII Diponegoro dan
KODAM VIII Brawijaya.

Tertangkapnya Kartosuwiryo dan sebagian besar pasukannya di daerah Gunung


Geber tidak berarti keamanan di Jawa Barat telah pulih kembali. Beberapa anggota TII masih
berkeliaran di hutan-hutan. Diantara anggota TII yang masih berada di hutan yaitu Agus
Abdullah (Panglima KPWB 1/Jawa dan Madura), dan juga komandan pengawalnya yang
bernama H. Syarif alias Ghozin (Awwas, 2008: 267-268). Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengajak pasukannya yang masih berkeliaran itu maka Mohammad Darda
mengeluarkan suatu pengumuman yang ditujukan kepada seluruh anggota TII pada tanggal 6
Juni 1962. Seruan tersebut ditandatangani oleh Mohammad Darda. Ditentukan pula bahwa
setiap anggota pasukan TII harus mendatangi pos-pos TNI terdekat. Sesudah dikeluarkannya
seruan itu, sebagian besar anggota TII menyatakan kembali ke pangkuan RI. Akhirnya Agus
Abdullah dan pengawalnya itu mematuhi seruan dari Mohammad Darda dan mereka berdua
kemudian dijemput dengan sebuah helikopter di Gunung Ceremai (Majalengka) pada tanggal
1 Agustus 1962 (Awwas, 2008: 268).
Panglima Kodam VI Siliwangi, Kolonel Ibrahim Adji selaku komandan langsung
yang memimpin Operasi Bratayudha, menyerukan kepada setiap anggota TII yang masih
berada di hutan, agar mereka menghentikan setiap kegiatannya dan segera turun serta
melaporkan diri dengan membawa semua senjata dan alat perlengkapan lainnya demi
keselamatan mereka dimasa kini dan dimasa yang akan datang. Selain itu ia juga telah
memerintahkan agar pos-pos TNI menerima anggota pasukan TII yang turun dari hutan-
hutan. Diantara anggota-anggota TII yang turut menyerahkan diri ini terdapat sejumlah
remaja berusia 10 sampai 12 tahun dengan seragam lengkap TII dengan membawa
senjata mereka (Dengel, 1995: 195). Dengan Tertangkapnya Kartosuwiryo serta banyaknya
anggota dari TII yang menyerahkan diri dan menghentikan setiap kegiatannya maka telah
berakhir sudah gerakan DI/TII yang terjadi di Jawa Barat.

Analisis
Dengan melihat fenomena seperti ini kita dapat menganalisis dengan teori structural
konflik dari Ralf Dahrendorf, dimana memiliki asumsi dasar yaitu; Setiap masyarakat
terdapat perubahan social dan terjadi dimana-mana, di dalam masyarakat sering
memperlihatkan pertikaian dan konflik, dan setiap elemen dalam suatu masyarakat
menyumbang distengrasi dan perubahan. Dapat ditarik kesimpulan jika teori structural
konflik menunjukkan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat adanya konflik yang
berdampak pada perubahan social dikarenakan setiap elemen dalam suatu masyarakat
menyumbang distengrasi dan perubahan. Apabila dikaitkan dengan pemberontakan DI/TII
yang terjadi di Jawa Barat memang benar jika di dalam masyarakat selalu terdapat adanya
konflik yang mana terjadi antar masyarakat Indonesia yang berdasarkan konteks ideology–
islamis dan nasionalis. Sehingga terjadi disintegrasi antar masyarakat Indonesia yang
berideologikan Islam dengan yang berideologikan Nasionalis sehingga memunculkan
perubahan social di masyarakat itu sendiri, khususnya pada struktur politik masa itu. Peran
konflik ideology ini sangat besar karena dapat mengancam kelangsungan bernegara saat Orde
Lama, hal tersebut dikarenakan menyangkut ideology bangsa Indonesia yang bertarung
dengan ideology islam.

Selain mengenai pemberontakan dan pembentukan Negara Indonesia yang


berideologikan Islam ini, di dapatkan juga sebuah gambaran bahwa lahirnya suatu gerakan
Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat yang diikuti oleh berbagai daerah
lainnya, seperti; Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan disebabkan
oleh masalah atau latar belakang yang berbeda-beda. Munculnya DI/TII di Jawa Barat yang
terjadi karena ketidakpuasan perjanjian Renville yang dilakukan pemerintah, dan akan
berbeda pula pada daerah lainnya yang menyebabkan perubahan sosial. Hal tersebut
dikarenakan adanya variasi dan komposisi terhadap situasi serta kondisi yang berbeda pada
masing-masing daerah sehingga menghasilkan pola yang berbeda pula. Sedangkan dalam
skala nasional (seluruh gerakan DI/TII) mempunyai kesamaan bentuk dan tujuan, yaitu untuk
mengganti Negara Republik menjadi Negara Islam dan berideologikan Islam.
Sebenarnya latar belakang penyebab terjadinya pemberontakan DI/TII yang terjadi di
berbagai daerah di Indonesia muncul bukan karena satu hal melainkan oleh berbagai hal yang
terkait dan berakumulasi sehingga terdorong kepermukaan (Gonggong, 1992: viii).
Penyebabnya bisa berupa adat istiadat, ketegangan social, kekecewaan, ataupun factor politik.
Sepertinya DI/TII yang terjadi di Jawa Barat dan sebagai awal munculnya pemberontakan
daerah berbasis Islam di sebabkan karena tiga factor, yaitu ketegangan social, kekecewaan,
dan factor politik. Mengapa ketiga factor tersebut sangat memengaruhi terbentuknya DI/TII
di Jawa Barat, yang pertama di sebabkan kekecewaan atas perjanjian Renville telah
memecah belah kekuatan RI sehingga tentara di daerah Jawa Barat terpaksa harus segera
melakukan hijrah ke daerah RI. Kedua terjadinya ketegangan social antara pihak Belanda
dengan Indonesia dalam kekuasaan serta kedaulatan Belanda sehingga mengadakan
perjanjian Renville yang merugikan bangsa Indonesia. Ketiga factor politik dimana
Kartosuwirjo ingin memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia dengan ideology
syariat Islam. Mungkin saja keinginan Kartosuwirjo ini dilatarbelakangi keinginan menguasai
politik Indonesia saat itu, dan bisa juga sebuah impian lama yang tertunda (pergulatan
ideology Islam dengan Nasionalis) dari elite politik Islam pada pasca orde kemerdekaan atau
orde lama untuk membentuk Negara Islam.
Pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah, khususnya Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia di Jawa Barat merupakan sebuah gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang
(pasukan Sabilillah dan Hizbullah) yang menunjukan reaksi kolektif, sebagaimana yang
dikemukakan Chusnul,1990 (dalam Setiardi, 1995: 1)
“Konsepsi gerakan adalah tindakan kolektif yang dilakukan sekelompok orang
yang setia kawan dan bersifat institusional atau ilegal, yang bersumber pada
suatu keyakinan tertentu dengan tingkat kesadaran tentang nasib, kolektif dan
mempunyai suatu tujuan”.
Dengan mengacu kepada pernyataan tersebut maka benar jika DI/TII di jawa Barat
dibentuk didasarkan pada keinginan bersama yang dipelopori atau dipimpin oleh
Kartosuwirjo dalam mencapai sebuah tujuan bersama yaitu untuk membentuk sebuah Negara
dan seluruh aspek kehidupan berdasarkan syariat Islam.
DI/TII yang bercita-cita ingin membentuk Negara Islam dan dengan ideology Islam
merupakan sesuatu hal yang sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia, kerena Indonesia
sendiri terdiri dari berbagai macam suku, budaya, bahasa, dan agama sehingga sulit untuk
menggunakan ideology yang bersifat tertutup dan statis. Apabila bangsa Indonesia
menggunakan ideology yang bersifat tertutup dan statis maka akan terjadi sebuah chaos
dimana-mana sehingga rawan terhadap adanya konflik, khususnya konflik horizontal. Selain
itu ideology Islam sendiri tidak mencakup seluruh aspek di dalam masyarakat (tidak sejalan
dengan perjalanan sejarah bangsa) Indonesia yang mana dapat menyebabkan kesenjangan
bahkan culture lag di dalam masyarakat Indonesia.
Sebenarnya ideology yang sesuai dengan Indonesia adalah Pancasila, karena
pancasila adalah sebuah produk ideology yang murni dan asli dibentuk dari pemikiran
serta filsafah Indonesia sendiri,bukan ideology yang mengadopsi dari luar. Pancasila
juga terbentuk berdasarkan realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya.
Disisi lain pancasila juga sudah mengandung seluruh aspek kehidupan masyarakat
Indonesia, dinamis dengan perubahan zaman,dan Mencakup nilai–nilai positif berbagai
ideology, seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan
Sosial). Namun disisi lain pancasila juga mempunyai kekurangan yaitu pada kejelasan makna
pancasila sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Kesimpulan
Dari penjabaran kasus di atas dapat disimpulkan jika dalam sebuah pembentukan
ideology Negara harus di dasarkan pada pemikiran-pemikiran sendiri bukan dari hasil adopsi
atau mendatangkan ideology dari luar, dikarenakan ideology adalah sebuah pemikiran yang
berangkat dari pengalaman, fakta social, dan juga kebudayaan dimana pemikiran itu berada.
Dikarenakan ideology sangat memengaruhi segala aspek yang ada di dalam masyarakat.
Untuk itu pancasila sebagai produk pemikiran asli Indonesia harus tetap dijaga dan dijadikan
pedoman dalam bernegara khususnya system politik Indonesia. Karena banyak ideology-
ideologi dari luar yang ingin menggoyahkan Pancasila, seperti liberalisme, komunisme dan
islamis. Sedangkan pemberontakan yang terjadi seperi DI/TII dapat dijadikan sebuah
pengalaman kerena di dalam masyarakat akan selalu terjadi perubahan social dan konflik.
Selain itu juga pemberontakan DI/TII dapat memperkokoh ideology Pancasila dari serangan
atau paham ideology lain yang kurang sesuai di Indonesia.
Daftar Pustaka
Agung, Ide Anak Agung Gde. 1991. Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Awwas, Irfan S. 2008. Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan Umat
Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Yogyakarta: Uswah.

Chaidar, Al. 1999. Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M Kartosoewirjo: Fakta
dan Data Sejarah Darul Islam. Jakarta: Darul Falah.

Dengel, Holk Harald. 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang
Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Dijk, Corneles van. 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers.

Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Qahhar Mudzakar Dari Patriot Hingga Pemberontak. Jakarta: PT
Grasindo

Hizbut Tahrir. 2007. Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Setiardi, Heri. 1995. Peranan Pasukan Gerakan Banteng Nasional (GBN) Dalam Membendung
Infiltrasi Darul Islam Jawa Barat Ke Jawa Tengah. Skripsi: Fakultas Sastra Dan Seni Rupa.
Simatupang, Tahi Bonar. 1988. Masalah Darul Islam dalam Rangka Strategi untuk Mempertahnkan
dan Mengkosolidasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila,
Prisma, No. 7, Tahun XVII.

Sularto, Haji Agus Salim (1884-1954): tentang perang, jihad, dan pluralisme, Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 2004, hlm.27.

Said, As’ad. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3ES

Anda mungkin juga menyukai