Anda di halaman 1dari 14

WASIAT

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester

Mata Kuliah Hukum Hibah dan Wasiat

Dosen : Dr. H.M. Athoillah, M.Ag.

Disusun Oleh :

Nama : Ega Nugraha

NIM : 201601006

JURUSAN EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH (STIS)

AS-SA’ADAH SUKASARI SUMEDANG

2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah swt, atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama kepada kami sehingga
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum
Hibah dan Wasiat dengan judul “wasiat”
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan berdasarkan
metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami sehingga dapat menambah
wawasan pemikiran para pembaca.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya adanya kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pembaca agar dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................................... 2
D. Manfaat .................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASA…………………………………….………………………….3
A. Pengertian wasiat.................................................................................................... 3
B. Dasar hukum wasiat ................................................................................................ 3
C. Kedudukan hukum wasiat ...................................................................................... 5
D. Rukun wasiat .......................................................................................................... 7
E. Syarat-syarat wasiat................................................................................................ 7
F. Status barang ........................................................................................................... 7
G. Kadar wasiat ........................................................................................................... 8
H. Hikmah wasiat ......................................................................................................... 8
I. Pembatalan wasiat .................................................................................................. 9
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 11
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 11
B. Saran ....................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam perjalanan hidup akan mengalami tiga dekade atau peristiwa yang
paling penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat
seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya terdapat
sebuah keluarga. Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan pengemban dari
hak dan kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan perkawinan yaitu ketika
ia telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi kawan hidupnya untuk
membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya sebuah keturunannya.

Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggal dunia. Peristiwa tersebut
merupakan peristiwa yang sangat penting, sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang
sangat penuh dengan kerahasiaan dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang meliputi
seluruh keluarga yang ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak masa hidupnya.
Dimasa yang seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah seorang meninggal
dunia yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan bagaimana hukumnya dan
apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hukum) wasiat
yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya.

Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia
membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang
ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan
kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu berbentuk harta.
Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang
memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 343).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wasiat?
2. Apakah dasar dan hukum wasiat?
3. Apa saja rukun dan syarat wasiat?
4. Bagaimanakah status barang dan ukuran wasiat?
5. Apa sajakah hikmah wasiat?
6. Hal-hal apa sajakah yang membatalkan wasiat?

C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian wasiat
2. Untuk menjelaskan dasar dan hukum wasiat
3. Untuk menjelaskan rukun dan syarat wasiat
4. Untuk menjelaskan status barang dan ukuran wasiat
5. Untuk mendeskripsikan hikmah wasiat
6. Untuk mendeskripsikan hal-hal apa sajakah yang membatalkan wasiat

D. Manfaat
1. Menambah wawasan kita terutama yang menyangkut dengan pengertian wasiat, dasar
dan hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, status barang dan ukuran wasiat, dan hikmah
wasiat serta hal-hal yang membatalkan wasiat
2. Sebagai bahan referensi bagi kita semua dalam meningkatkan pengetahuan kita
mengenai wasiat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat
Kata “wasiat” artinya pesan yang di sampaikan oleh seseorang, artinya
lafdhiyahnya adalah menyampaikan sesuatu. Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang maupun manfaat
untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat itu, sesudah orang yang berwasiat itu
meninggal dunia. Sebagian ahli hukum islam mendefinisikan wasiat itu adalah pemberian
hak milik secara suka rela yang dilaksanakan setelah si pemberinya wafat.

Wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah
pemberinya mati. Dari sini jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat. Pemilikan yang
diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan pemilkan yang diperoleh dari
wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Ini dari satu segi;
sedangkan dari segi lain, hibah itu berupa barang; sementara wasiat bisa berupa barang,
piutang ataupun manfaat.

B. Dasar Hukum Wasiat


Wasiat dilaksanakan dengan landasan hukum sebagai berikut:

Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:

َ ‫ض َر أ َ َح َد ُك ُم ا ْل َم ْوتُ إِ ْن ت َ َركَ َخ ْي ًرا ا ْل َو ِصيَّةُ ِل ْل َوا ِل َد ْي ِن َو ْاْل َ ْق َر ِب‬


‫ين‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم إِذَا َح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ ‫ب‬ .
‫علَى ا ْل ُمت َّ ِقين‬َ ‫وف َحقًّا‬ِ ‫ِبا ْل َم ْع ُر‬

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(Q.S.
Al-Baqarah: 180)
2. An- Nisa’ayat 11:

‫ق اثْنَت َ ْي ِن فَلَ ُه َّن‬ َ ِ‫َّللاُ فِي أ َ ْو ََل ِد ُك ْم ِللذَّك َِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاْل ُ ْنثَيَ ْي ِن فَ ِإ ْن ك َُّن ن‬
َ ‫سا ًء فَ ْو‬ َّ ‫وصي ُك ُم‬
ِ ُ‫ي‬
‫ُس ِم َّما‬ ِ ‫ْف َو ِْلَبَ َو ْي ِه ِلك ُِل َو‬
ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ال‬
ُ ‫سد‬ ُ ‫اح َدةً فَلَ َها النِص‬
ِ ‫ثُلُثَا َما ت َ َركَ َوإِ ْن كَانَتْ َو‬
َ ‫ث فَ ِإ ْن ك‬
ُ‫َان لَه‬ ُ ُ‫َان لَهُ َولَ ٌد فَ ِإ ْن لَ ْم َيك ُْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أَبَ َوا ُه فَ ِِل ُ ِم ِه الثُّل‬
َ ‫ت َ َركَ ِإ ْن ك‬
‫وصي بِ َها أ َ ْو َد ْي ٍن آَبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم ََل‬ ِ ُ‫ُس ِم ْن بَ ْع ِد َو ِصيَّ ٍة ي‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ِإ ْخ َوةٌ فَ ِِل ُ ِم ِه ال‬
‫ع ِلي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫َّللاَ ك‬
َ ‫َان‬ َّ ‫ضةً ِم َن‬
َّ ‫َّللاِ إِ َّن‬ ُ ‫ون أَيُّ ُه ْم أ َ ْق َر‬
َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْفعًا فَ ِري‬ َ ‫تَد ُْر‬
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”
(Q.S. An-Nisa’: 11)

3. Al- Maidah ayat 106:

َ ‫ض َر أ َ َح َد ُك ُم ا ْل َم ْوتُ ِح‬
‫ين ا ْل َو ِصيَّ ِة اثْنَا ِن ذَ َوا‬ َ ‫ش َها َدةُ َب ْي ِن ُك ْم ِإذَا َح‬ َ ‫ِين آ َ َمنُوا‬َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذ‬ .4
ُ‫صابَتْ ُك ْم ُم ِصيبَة‬ َ َ ‫ض فَأ‬ ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِي ْاْل َ ْر‬ َ ‫غ ْي ِر ُك ْم إِ ْن أ َ ْنت ُ ْم‬َ ‫ان ِم ْن‬ ِ ‫ع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم أ َ ْو آ َ َخ َر‬َ
‫شت َ ِري بِ ِه ث َ َمنًا‬ْ َ‫ارت َ ْبت ُ ْم ََل ن‬
ْ ‫اَّللِ إِ ِن‬
َّ ِ‫ان ب‬
ِ ‫س َم‬ ِ ‫ص ََل ِة فَيُ ْق‬
َّ ‫سونَ ُه َما ِم ْن بَ ْع ِد ال‬ ُ ِ‫ت ت َ ْحب‬ ِ ‫ا ْل َم ْو‬
َ ‫َّللاِ إِنَّا إِذًا لَ ِم َن ْاْلَثِ ِم‬
‫ين‬ َّ َ‫ش َها َدة‬ َ ‫َان ذَا قُ ْربَى َو ََل نَ ْكت ُ ُم‬ َ ‫َولَ ْو ك‬
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[454],
jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan
kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan
sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat,
dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau
demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".

Hadis Rasulullah saw; yang artinya: “Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, dari
Ibnu Umar r.a. dia berkata, “Rasulullah sawbersabda,hak bagi orang muslim yang
mempunyai sesuatu yang hendak di wariskan, sesudah bermalam selama dua malam, tiada
lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikanya.” Ibnu Umar berkata, “tidak berlalu
bagi ku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah saw mengucapkan hadis itu,
kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.”

Pengertiah hadis tersebut ialah wasiat itu dalam bentuk tertulis selalu berada di sisi
orang yang berwasiat, sebab kemungkinan orang yang berwasiat itu meninggal dunia
secara mendadak. Karena itu imam Syafi’i mengatakan, tidak ada kehati-hatian dan
keteguhan bagi seorang muslim, melainkan bila wasiatnya itu tertulis dan berada di sisinya
jika dia mempunyai sesuatu yang hendak di wasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya
akan datang. Sebabnya jika dia meninggal dunia, sedang wasiatnya tidak tertulis dan tidak
berada di sisinya kemungkinan besar wasiatnya itu tidak akan bisa terlaksana.

C. Kedudukan Hukum Wasiat


Mengenai kedudukan hukum wasiat, ada yang berpendapat bahwa wasiat itu wajib
bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak ataupun sedikit. Pendapat
ini di katakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlaz. Pendapat ini berpatokan pada Al-Quran
surah Al-Baqarah ayat 180 yang mewajibkan wasiat ketika seseorang menghadapi
kematian.

Pendapat kedua menyatakan bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib
kerabat yang tidak mewarisi dari si mayat itu wajib hukumnya.

Pendapat ketiga adalah pendapat empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah yang
menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan
harta (pendapat pertama), dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib
kerabat yang tidak mendapat harta warisan (pendapat kedua): tetapi wasiat itu hukumnya
berbeda-beda menurut keadaan. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang
haram, terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).

- Wasiat itu wajib dalam keadaan manusia mempunyai kewajiban syara’ yang
dikhawatirkan akan di sia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan utang
kepada Allah dan utang kepada sesama manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban
zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau dia mempunyai
amanat yang belum disampaikan, atau dia mempunyai utang yang tidak diketahui selain
oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang di persaksikan.
- Wasiat itu di sunatkan jika diperuntukan kepada kebajikan, karib kerabat, orang-orang
fakir, dan orang-orang saleh.
- Wasiat itu diharamkan jika merugikan ahli waris. Misalnya, wasiat yang melebihi 1/3
harta warisan, apalagi menghabiskan harta waris. Diharamkan pula mewasiatkan khamar,
membangun gereja, atau tempat hiburan.
- Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempunyai
seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula, dimakruhkan
wasiat kepada orang-orang yang fasik jika diketahui atau di duga dengan keras. Bahwa
mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila
orang yang berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan
menggunakan harta itu untuk ketaatan, wasiat demikian menjadi sunat.
- Wasiat itu di perbolehkan jika ditujukan untuk orang-orang yang kaya, baik orang
yang di wasiati itu kerabat maupun orang yang jauh (bukan kerabat).

D. Rukun wasiat
Rukun wasiat adalah sebagai berikut:

- Ada pewasiat
- Ada yang diberi wasiat atau penerima wasiat
- Ada sesuatu yang di wasiatkan, berupa harta atau manfaat sesuatu
- Ada akad atau ijab kabul wasiat secara lisan atau tulisan.
E. Syarat-syarat wasiat
Syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:

a. Orang yang memberi wasiat telah baliq, berakal, benar-benar hak atas harta benda
yang akan di wasiatkan. Disamping itu pewasiat tidak dalam keadaan pengaruh
atau tekanan,

b. Orang yang menerima wasiat masih hidup,

c. Jika yang diwasiatkan harta, jumlahnya tidak melebihi 1/3 harta waris;

d. Wasiat dilaksanakan jika yang memberikannya meninggal dunia.

e. Pernyataan yang jelas.

F. Status barang
Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara
pemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan demikian, sahlah wasiat
mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang maupun manfaat. Sah pula wasiat
tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina sebab yang
demikian dapat dimiliki melalui warisan. Selama yang diwsiatkan itu ada wujudnya pada
waktu orang yang mewasiatkan meninggal dunia, orang yang diberi wasiat berhak atasnya.
Ini jelas berbeda dengan wasiat mengenai barang yang tidak ada. Sah pula mewasiatkan
piutang dan manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan.

Tidak sah mewasiatkan bukan harta, sperti bangkai, dan yang tidak bernilai, bagi
orang yang mengadakan askad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslim.

Orang yang berwaiat biasanya ada yang memiliki ahli waris dan tidak. Bila dia
mempunyai ahli waris maka dia tidak boleh mewaistkan lebih dari 13 hartanya. Apabila
dia mewasiatkan hartanya lebih sepertiga, maka wasiat itu tidak di laksanakan, kecuali atas
izin dari ahli waris, dan untuk melaksanakanya di perlukan dua syarat sebagai berikut.

G. Kadar Wasiat
Batas maksimal dalam memberikan wasiat adalah sepertiga dari harta peninggalan,
tidak boleh melebihi kecuali apabila diizinkan oleh ahli warisnya sesudah meninggalnya
orang yang berwasiat sebagaimana sabda Rosulullah SAW:

َ ‫ث أَ ْم َوا ِل ُك ْم ِع ْن َد َوفَا ِت ُك ْم ِز َيا َدةً ِفي َح‬


‫سنَا ِت ُك ْم‬ ِ ُ‫علَ ْي ُك ْم ِبثُل‬
َ ‫َّق‬
َ ‫صد‬َ َ‫ِإ َّن هللاَ ت‬
Artinya: “sesungguhnya Allah menganjurkan untuk bersedekah atasmu dengan sepertiga
harta pusaka kamu, ketika menjelang wafatnya, sebagai tambahan kebaikanmu” (H.R.
Daruquthni)
H. Hikmah Wasiat
 Bagi yang berwasiat dengan mencari ridho Allah, maka allah akan memberikan pahala
yang berlipat ganda, dan memberikan berkah yang bermanfaat bagi penerima dan
masyarakat sekitarnya.
 Pemberi wasiat mendapat amal kebajikan yang banyak dari harta wasiatnya kepada
orang lain selama harta wasiat itu dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak.
 Mentaati perintah Allah swt. Sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah :180
 Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
 Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagai kerabat atau orang lain yang
tidak mendapat warisan.
I. Pembatalan Wasiat
Ada bebrapa hal yang bisa menjadikan batalnya wasiat yang mana Kompulasi telah
mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197:
1. wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hokum tetap yang dihukum karena:
- dipersalhkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
wasiat.
- dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduhan bahwa pewasiat telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
- dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat
atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
- dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan wasiat itu.

2. wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
- tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat.
- mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerimanya.
- mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak
sampai ia meninggal sebelum meninggalnya wasiat.
3. wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Dalam rumusan fiqh, sayid sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat
sebagai berikut:
- jika pewasiat menderita gila hingga meninggal.
- Jika penerima wasiat itu meninggal sebelum pewasiat meninggal.
- Jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang
menerima wasiat.

 Pencabutan Wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 kompilasi, yang berbunyi:
- Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sudah menyatakan persetujuannya tapi kemudian menarik kembali.
- Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaries
bila wasiat dahulu dibuat secara llisan.
- Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara trtulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan notaries.
- Bila wasiat dibuat dengan akte notaries, maka hanya dapat dicabut dengan akte
notaries.
- Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut maka surat wasiat yang dicabut itu
diserahkan kembali kepada pewasiat(pasal 203 ayat (2))

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah
pemberinya mati
2. Dasar hukum wasiat, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 180, yang artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
3. Rukun wasiat: Ada pewasiat, Ada yang diberi wasiat atau penerima wasiat, Ada
sesuatu yang di wasiatkan, berupa harta atau manfaat sesuatu, Ada akad atau ijab
kabul wasiat secara lisan atau tulisan.
4. Syarat wasiat: Orang yang memberi wasiat telah baliq, berakal, benar-benar hak atas
harta benda yang akan di wasiatkan. Disamping itu pewasiat tidak dalam keadaan
pengaruh atau tekanan, Orang yang menerima wasiat masih hidup, Jika yang
diwasiatkan harta, jumlahnya tidak melebihi 1/3 harta waris, Wasiat dilaksanakan jika
yang memberikannya meninggal dunia, Pernyataan yang jelas.
5. Hikmah wasiat: Bagi yang berwasiat dengan mencari ridho Allah, maka allah akan
memberikan pahala yang berlipat ganda, dan memberikan berkah yang bermanfaat
bagi penerima dan masyarakat sekitarnya, Pemberi wasiat mendapat amal kebajikan
yang banyak dari harta wasiatnya kepada orang lain selama harta wasiat itu
dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak, dan Mentaati perintah Allah swt.
B. Saran
1. Dalam pembagian wasiat, harus mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan yang
telah ditetapkan dalam al-qur’an.
2. Dalam pembagian wasiat, sebaiknya dilakukan musyawarah sebelumnya agar tidak
terjadi perselisihan antara anggota keluarga.

`DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shomad , KELUARGA SAKINAH, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1995.


M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, cet. 6, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1996.

Pasribu, Chairuman dan Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta,
Sinar Grafika, 1994.

Saebani, Beni Ahmad dan Falah, Syamsul, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung,
CV Pustaka Setia, 2011.

Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1994.

Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Islam, Surabaya, PT, Bina Ilmu, 1995

Anda mungkin juga menyukai