Anda di halaman 1dari 18

.

Teori Hierarki Norma Hukum


Pertanyaannya adalah adakah teori yang dapat menjelaskan tentang norma hukum dalam
suatu negara hukum, jelas ada, secara teoretik dalam tataran ilmu hukum khususnya ilmu hukum
tata negara mengenal teori Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie Hans Kelsen)
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang norma hukum (Stufentheorie). Dalam teori
tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif serta
abstrak, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi
dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma
yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed [1]
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf
Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar
pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi
norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku
(rechtskracht) yang relative, oleh karena itu masa berlakunya suatu hukum itu tergantung norma
hukum yang ada diatasnya.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma
yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi
norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma
yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya,
sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di
bawahnya.[2]
Pertanyaan bagaimana struktur hierarki Norma Hukum dalam suatu negara ? Untuk
menjawab pertanyaan ini, perlu dieksplorasi lebih dalam perkembangan teori hierarki Hans
Kelsen berikut ini.
B Hierarki Norma Hukum Negara
Teori perkembangan dimaksud dinamaan die Theorie vom Stufenordnung der
Rechtsnormen dari Hans Nawiasky, siapakah Hans Nawiasky, beliau adalah salah seorang
murid Hans Kelsen yang mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma hukum dalam
kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.
Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang
disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis
dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara
lain:[3]
Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang Formal);
Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi guru besar ilmu
hukum UI membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan
tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi
menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk
piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata
hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan
3. Formell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota.[4]
Secara teoretik struktur tata hukum di atas dipaparkan satu persatu karakteristiknya
Pertama, Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm)
Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum
Negara adalah staatsfundamentalnorm. Istilah staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh
Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama ( 10
November 1995) dengan Pokok kaidah fundamental Negara kemudian joeniarto, dalam bukunya
yang berjudul sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia menyebutnya dengan istilah norma
pertama, sedangkan A. Hamid S. attamimi menyebutkan istilah staatsfundamentalnorm ini
dengan Norma Fundamental Negara.
Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi
bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu Negara
dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika
norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, maka ia bukan merupakan
norma yang tertinggi.
Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu Negara
(staatsfundamentalnorm), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu
staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.
Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut
Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsesus bersama tentang sifat dan bentuk suatu
kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form einer politischen einheit), yang
disepakati oleh suatu bangsa.
Selain hal itu norma dasar (grundnorm atau disebut juga ursprungsnorm atau urnorm)
sebagaimana yang disebutkan bersifat pre-supposeddan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat
diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan
untuk tidak menggoyahkan lapisan-lapisan bangunan tata hukum yang pada akhirnya
menggantungkan atau mendasarkan diri kepadanya.
Di dalam suatu Negara norma dasar ini disebut juga staatsfundamentalnorm.
Staatsfundamentalnorm suatu Negara merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung
kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan Negara lebih lanjut.[5]
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori
jenjang norma (stufentheorie) dari Hans kelsen dan teori jenjang norma hukum (die theorie vom
stufenordung der rechtsnormen) dari Hans Nawiasky.
Persamaanya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang
dan berlapislapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
di atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya
lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi
sumber dan asalnya, tetapi bersifat pre-supposed dan axiomatis.
Perbedaanya adalah 1) Hans Kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu,
sedangkan Hans Nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok yang berlainan.
Perbedaan lainya adalah 2) teori Hans Kelsen membahas jenjang norma secara umum (general)
dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma (termasuk norma hukum Negara), sedangkan
Hans Nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yaitu dihubungkan
dengan suatu Negara.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, 3) di dalam teorinya Hans Nawiasky menyebutkan
norma dasar negara itu tidak dengan sebutan staatsgrundnorm melainkan dengan istilah
staatsfundamentalnorm. Hans Nawiasky berpendapat bahwa istilah staatsgrundnorm tidak tepat
apabila dipakai dalam menyebut norma dasar negara, oleh karena pengertian grundnorm itu
mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah, atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu
negara norma dasar negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu
pemberontakan, kudeta dan sebagainya. Pendapat Hans Nawiasky ini dinyatakan sebagai berikut
:
Norma tertinggi dalam Negara sebaiknya tidak disebut staatsgrundnorm melainkan
staatsfundamentalnorm, norma fundamental Negara. Pertimbangannya adalah karena
grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma
tertinggi suatu Negara mungkin berubah-ubah oleh pemberontakan, coup detat, putsch,
Anschluss dan sebagainya[6]

Kedua, Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)


Aturan dasar negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) merupakan kelompok
norma hukum dibawah norma fundamental Negara. Norma-norma dari aturan dasar
Negara/aturan pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan
aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum
tunggal.
Menurut Hans Nawiasky, suatu dasar negara/aturan pokok Negara dapat dituangkan
dalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan dalam
dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah staatgrundgesetz.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok Negara biasanya diatur hal-hal
mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur juga
hubungan antara lembaga-lembaga Negara, serta mengatur Negara dengan warga negaranya,
atau yang biasa kita sebut sebagai konstitusi.
Pada pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara, seperti apa yang
dikatakan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada adanva pemerintahan,
karena pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh karena itu, menurut
Thomas Paine: A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a
government, and a government without a constitution is power without right. Konstitusi
bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat oleh
rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan
kekuasaan tanpa kewenangan.
Di Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara ini tertuang dalam Batang Tubuh
UUD 1945, ketetapan MPR serta hukum dasar tidak tertulis yang disebut Konvensi
Ketatanegaraan. Aturan dasar negara ini menjadi dasar bagi pembentukan undangundang
(formell gesetz) atau aturan yang lebih rendah[7]
Secara historis yuridis dalam Penjelasan Umum Angka IV UUD 1945 sebelum
amandemen UUD Neg RI 1945 menyebutkan :
Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok,
hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara Negara untuk mnyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
Terutama bagai Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya
memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan
pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat,mengubah
dan mencabut.
Dengan demikian jelaslah bahwa Batang Tubuh UUD 1945 merupakan aturan dasar
Negara/aturan pokok Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu
Undang-Undang (formell Gesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu
peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.
Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang lainnya adalah aturan-aturan yang
tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR yang merupakan garis-garis besar haluan Negara.
Ketetapan ini juga masih merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan ketetapan
umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal serta belum disertai
norma sanksi. Ketetapan MPR ini berisi pedoman-pedoman dalam pembrentukan peraturan
perundang-undangan walau hanya secara material.
Selain Batang Tubuh UU 1945 dan Ketetapan MPR, masih dikenal pula adanya Aturan
dasar Negara/aturan pokok Negara lain yaitu Konvensi Ketatanegaraan yang merupakan hukum
dasar tidak tertulis yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat. Diakuinya hukum dasar
tidak tertulis di Indonesia dapat dilihat secara historis yuridis dalam Penjelasan Umum Angka I
UUD 1945 yang berbunyi :
Undang-Undang Dasar satu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu.
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping Undang-Undang
Dasar itu berlaku juga Hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dari praktek penelenggara Negara meskipun tidak tertulis
Contoh dari Hukum Dasar tidak tertulis adalah adanya kebiasaaan penyelengaraan pidato
kenegaraan oleh Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus.

Ketiga, UNDANG-UNDANG FORMAL (formell Gesetz).


Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar Negara/aturan pokok
negara (staatsgrundgesetz) adalah formell Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan
Undang-Undang formal. Norma dasar Negara yaitu norma-norma dalam suatu Undang-Undang
sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan rinci, serta sudah dapat lansung berlaku
didalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum
yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang
berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya,
dengan demikian dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang
bersifat sanksi, bai itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu undang-undang
(wet/gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena itu suatu undang-
undang merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif. [8][8]
Di Indonesia istilah formell Gesetz atau formell wetten ini sayogjanya diartikan dengan
undang-undang saja tanpa menambah kata formal dibelakangnya. Oleh karena itu apabila formell
gesetz diartikan Undang-Undang formal, hal itu tidak sesuai dengan penyebutan jenis-jenis
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang dapat diartikan secara arti luas maupun arti sempit, dalam arti luas
Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat langsung
setiap penduduk pada suatu daerah. Dengan demikian yang dimaksud dengan UU dalam arti luas
adalah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang tinggi sampai tingkat yang
rendah yang isinya mengikat setiap penduduk.
Sedangkan Undang-Undang dalam arti sempit berarti legislatif act atau akta hukum yang
dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Naskah
hukum tertulis tersebut disebut dengan legislative act bukan executive act, karena dalam proses
pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif sagat menentukan keabsahan materiel
peraturan yang dimaksud.

Keempat, Peraturan Pelaksanaan Dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome


Satzung)
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan
peraturan otonom (Autonome Satzung) yang merupakan peraturan yang terletak dibawah undang-
undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang. Peraturan
pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedang peraturan otonom bersumber dari
kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pemberian
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet(Undang-
Undang dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga pemerintahan/Negara.
Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap
waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.
Contohnya : Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (1) memberi kewenangan kepada
presiden untuk membentuk peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang jika terjadi hal
ihwal kegentingan yang memaksa.
Delegasi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pelimpahan
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perunang-undangan yang lebih rendah.,
baik pelimpahan dilakukan dengan tegas atau tindakan.
Berlainan dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan delegasi kewenagan tersebut
tidak diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain itu kewenagan delegasi ini bersifat sementara
dalam arti kewenangan ini dapat di selenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.
Contohnya : Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaiman mestinya.
Persoalannya adalah bagaimana kekuatan berlakunya norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan ? Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan
perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam
kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
Pertama, Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai
anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila
penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
2. W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau
kaedah tersebut, op de vereischte wrijze is tot stant gekomen (Terjemahannya: ...terbentuk
menurut cara yang telah ditetapkan);
3. J.H.A Logeman mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila
menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
Kedua, Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas
kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori:
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie; The Power Theory) yang pada pokoknya menyatakan
bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh
penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
2. Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie, The Recognition Theory ) yang berpokok pangkal
pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh
mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
Ketiga, Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi
(Uberpositieven Wert), misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[9]
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan
perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara
lain:
1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula
(Lex superiori derogat legi inferiori);
4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-
undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);
5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex
posteriori derogat legi priori);
6. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun
individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.[10]
Dalam teks hukum negara ketika membentuk peraturan perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan keterbukaan.[11]
Namun dalam teks hukum di Indonesia ada asas-asas materi muatan yang dimuat dalam
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-an;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. [12]

Dalam doktrin ilmu hukum, pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan


pernah disampaikan oleh I.C. Van Der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi. Menurut I.C. Van Der
Vlies membaginya menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas yang formal dan asas-asas yang
material. Asas-asas yang formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus). [13]
Sedangkan asas-asas material antara lain meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en
duidelijke systematiek);
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijk-heidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);
5. Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtbedeling).[14]
Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
1. Cita Hukum Indonesia;
2. Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan yang berdasar Konstitusi;
3. Asas-asas lainnya.[15]
Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia
yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan oleh :
a. Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku
sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai bintang pemandu;
b. Norma Fundamental Negara juga tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut
berlaku sebagai Norma);
c. (1) Asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat
pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts);
(2) Asas-asas pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi yang menempatkan Undang-Undang
sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.[16]
Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan perundang-
undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada
yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas,
terdapat peraturan perundangan-undangan yang diluar hierarki. Pasal 8 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu dilakukan pengujian
undang-undang. Baik di dalam kepustakaan maupun praktek dikenal adanya 2 (dua) macam hak
menguji, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (material
toetsingsrecht).[17]
Adapun yang dimaksud dengan hak uji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah
suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
ataukah tidak.[18] Sedangkan hak uji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[19]
Dalam mekanisme pengujian undang-undang dikenal ada 3 (tiga) model pengujian
undang-undang, yaitu executive review, legislatif review, dan judicial review. Dalam
model executive review, mekanisme pembatalan ini dapat juga disebut mekanisme pengujian,
tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun legislator, melainkan oleh lembaga
pemerintahan eksekutif tingkat atas.
Dalam model legislative review, pengujian konstitusionalitas (constitutional review)
dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan yang terkait dengan cabang kekuasaan
legislatif. Misalnya Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 yang menentukan bahwa Majelis
inilah yang diberi secara aktif menilai dan menguji konstititusionalitas undang-
undang. Sedangkan dalam model judicial reviewtidak memerlukan lembaga baru, melainkan
cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah
yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau Pelindung Undang-Undang
Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).[20]
URUTAN PEMBENTUKAN PERATURAN

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) UU/Perppu;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU/Perppu;
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi;
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
1. Pembentukan hukum perundang-undangan

Dalam sistem hukum nasional Indonesia berdasarkan UUD 1945, hukum perundang-undangan
meliputi Undang-Undang Dasar, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan Mentri, dan seterusnya.
Undang-Undang dan TAP MPR ditetapkan oleh MPR, sedangkan UU dibentuk oleh Presiden
dengan persetujuan DPR. Sementara itu, Perpu dibuat oleh Presiden tetapi dalam waktu satu
tahun sudah harus dimintakan persetujuan DPR. Jika disetujui, Perpu meningkat statusnya
menjadi UU dan jika ditolak maka Perpu harus dicabut dan tidak dapat diajukan lagi di DPR
pada masa sidang berikutnya.

PP dibuat sendiri oleh pemerintah tanpa persetujuan DPR dan biasanya PP dibuat atas perintah
UU untuk melaksanakan suatu UU. Karena itu, PP tidak bisa berdiri sendiri tanpa pendelegasian
dari materi UU yang sudah lebih dahulu. Sedangkan Keputusan Presiden dibentuk sendiri oleh
Presiden tanpa perlu dikaitkan dengan pendelegasian materi dari UU.

Di bawah Kepres ada Keputusan Mentri , Keputusan Kepala LPND, dan Keputusan Direktur
Jendral yang semuanya bersifat operasional dalam rangka pelaksanaan tugas menurut bidangnya
masing-masing.

2. Pembentukan hukum yurisprudensi

Yurisprudensi terbentuk atas dasar keputusan hakim yang telah mendapat kekuatan hukum tetap.
Putusan hakim yang demikian dapat dijadikan sandaran bagi hakim berikutnya dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum sejenis di kemudian hari dengan mempertimbangkan fakta-
fakta baru, baik karena perbedaan ruang dan waktu maupun karena perbedaan subjek hukum
yang terlibat. Asas-asas dan prinsip hukum yang ditemukan dalam kasus-kasus yang diselesaikan
dapat diambil menjadi dasar hukum untuk memutuskan perkara yang dihadapi.

3. Pembentukan hukum adat

Hukum adat terbentuk melalui proses pelembagaan nilai-nilai dan proses pengulangan perilaku
dalam kesadaran kolektif warga masyarakat menjadi norma yang dilengkapi dengan sistem
sanksi. Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa proses terbentuknya suatu norma hukum
dimulai dengan adanya perbuatan individu yang berulang-ulang dan menjadi kebiasaan pribadi.

Perbuatan pribadi itu lama kelamaan diikuti orang lain secara berulang-ulang pula. Makin
banyak orang yang terlibat dalam proses pengulangan dan peniruan itu, maka terbentuk suatu
kebiasaan kolektif yang dinamakan adat-istiadat. Kriteria yang mudah untuk mengenali suatu
kebiasaan kolektif itu, biasanya dikenakan sanksi sosial pula.
4. Pembentukan hukum volunter

Hukum volunter dalam perkembangan praktek dalam masyarakat biasa tumbuh sendiri sesuai
dinamika kehidupan bermasyarakat sebagaimana yang berkembang dalam lingkungan
masyarakat seperti yang disebut di atas. Bedanya hanyalah bahwa sistem yang berkembang
dalam praktek transaksi hukum di sini, terlibat berbagai logika hukum yang berasal dari banyak
sumber luar kesadaran masyarakat itu sendiri.

5. Pembentukan doktrin ilmu hukum

Pendapat hukum di kalangan ahli hukum dapat pula berkembang menjadi norma hukum
tersendiri, terutama jika pendapat itu diikuti oleh orang lain. Proses terbentuknya kurang lebih
sama juga dengan proses hukum adat ataupun proses hukum dalam praktek. Bedanya hanyalah
terletak pada sumber awalnya. Hukum adat bermula dari perbuatan individu yang berkembang
menjadi kesadaran kolektif dalam masyarakat yang bersangkutan. The professionals law
bermula dari pengalaman subjek hukum yang bersangkutan. Sedangkan doktrin ilmu hukum
berawal dari suatu pendapat hukum dari seorang akademisi yang karena otoritasnya kemudian
diikuti oleh orang lain menjadi pandangan banyak orang.
Pengertian Asas Hukum dan Macam-Macam Asas Hukum Setiap tatanan hukum pasti
memiliki asas hukum yang menjadi norma dasar dan menjadi petunjuk arah dalam pembentukan
suatu aturan hukum. Untuk itu, sebagai warga negara yang baik, minimal kita harus memahami
perihal asas hukum ini. Terutama asas hukum yang ada di negara kita (Indonesia).

A. Pengertian asas hukum

Pengertian asas hukum menurut para ahli sangatlah beragam bahkan bagi sebagian masyarakat
awam, penggunaan bahasa oleh para ahli hukum biasanya akan dirasa sangat berat sehingga sulit
dipahami. Nah, disini kita akan membahasnya secara perlahan yang dimulai dari pengertian asas.

Apa yang dimaksud dengan asas?, secara bahasa, asas mengandung tiga arti yaitu 1)
dasar/alas/pedoman, 2) kebenaran yang menjadi pokok atau dasar dalam berpendapat atau
berfikir dan 3) Cita-cita yang menjadi dasar suatu perkumpulan. Nah, dari tiga arti tersebut bisa
kita simpulkan bahwa asas merupakan dasar atau pokok dari sebuah kebenaran yang kemudian
digunakan sebagai tumpuan dalam berfikir atau berpendapat.

Lalu, apa pengertian asas hukum itu?

Berikut pengertian asas hukum menurut beberapa ahli.

1. Pengertian asas hukum menurut Bellefroid

(Suatu) norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif yang (dimana) oleh ilmu hukum tidak
dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.

2. Pengertian asas hukum menurut P. Scholten

Kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan (oleh) pandangan kesusilaan kita pada hukum


(yang) merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang
umum, akan tetapi yang tidak boleh tidak harus ada (harus ada).

3. Pengertian asas hukum menurut The Liang Gie

Suatu dalil umum yang dinyatakan dalam (suatu) istilah umum tanpa menyarankan cara-cara
khusus (mengenai) pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi
petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

4. Pengertian asas hukum menurut Van Eikema Hommes

Asas hukum (itu) tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, tetapi perlu
dianggap sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Dalam
pembentukan hukum praktis (itu) perlu berorientasi pada asas-asas hukum. (Nah,) dengan kata
lain, pengertian Asas Hukum yaitu dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif.

5. Pengertian asas hukum menurut C.W. Paton

Suatu alam (didalam) pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma
hukum. (Adapun) unsur-unsur yang terdapat pada asas antara lain alam pikiran, rumusan yang
luas dan dasar bagi pembentukan norma hukum.

Dari pengertian asas hukum menurut para ahli di atas kita bisa merangkumnya menjadi sebuah
pengertian bahwa asas hukum merupakan dasar-dasar (bersifat umum) yang terkandung dalam
peraturan hukum. Dasar-dasar ini mengandung nilai-nilai etis yang diakui oleh suatu masyarakat.
Nah, dari asas hukum inilah kemudian dibuat peraturan-peraturan hukum secara konkrit (nyata).
Jika asas hukum ini sudah dibuat dalam peraturan hukum yang nyata, maka barulah bisa
digunakan untuk mengatur sebuah peristiwa. Namun jika belum dibuat dalam sebuah bentuk
peraturan hukum yang nyata, maka belum bisa digunakan atau diterapkan dalam sebuah
peristiwa.

Dalam sebuah asas hukum dapat muncul peraturan-peraturan hukum yang jumlahnya tidak
terbatas. Pada umumnya, sebagai masyarakat awam, bila kita melihat suatu peraturan hukum
akan terasa pusing dan bingung, -maksudnya peraturan ini apa? kok banyak banget?-. Perasaan
seperti ini sangatlah wajar, karena untuk benar-benar bisa memahami suatu hukum (misalnya
dalam sebuah negara), maka kita harus memahami peraturan hukum tersebut hingga ke asas-asas
hukumnya. Ibarat ingin mengetahui laut, maka kita harus menyelaminya, tidak bisa menilai dari
permukaannya saja. Jika kita telah memahami peraturan hukum sampai ke asas hukumnya, maka
nanti akan dapat mamahami nilai-nilai dan tuntunan etis masyarakat yang menjadi penghubung
dalam perwujudan cita-cita sosial. Bisa dikatakan bahwa asas hukum itu ibarat rohnya atau
nyawa-nya sehingga peraturan hukum akan terasa hidup dan berkembang.

B. Macam-macam asas hukum di Indonesia

Dalam tatanan hukum di Indonesia dikenal adanya dua asas yaitu asas hukum umum dan asas
hukum khusus.

1. Asas hukum umum

Asas hukum umum merupakan asas hukum yang berhubungan dengan keseluruhan bidang
hukum. Misalnya

a. asas lex posteriori derogat legi priori (peraturan yang baru akan menghapus peraturan yang
lama), misalnya UU No. 13 Tahun 1965 diganti dengan UU No.14 Tahun 1992 tentang UU Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.

b. asas lex speciali derogat legi generali (peraturan yang lebih khusus akan mengesampingkan
peraturan yang bersifat lebih umum), misalnya KUH Dagang dapat mengesampingkan KUH
perdata dalam hal perdagangan.
c. asas lex superior derogat legi inferior (peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan
peraturan yang lebih rendah), misalnya Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004.

2. Asas hukum khusus

Asas hukum khusus ialah asas yang berlaku dalam lapangan hukum tertentu. Misalnya

a. dalam hukum perdata berlaku asas pacta sunt servanda (setiap janji itu mengikat), asas
konsensualisme.

b. dalam hukum pidana berlaku Presumption of innocence (asas praduga tak bersalah), asas
legalitas.

Nah, pengertian asas hukum dan macam-macam asas hukum sangat penting bila kita ingin suatu
peraturan hukum lebih mendalam.

Anda mungkin juga menyukai