Anda di halaman 1dari 27

Siksaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Jump to navigation Jump to search

Siksaan atau penyiksaan (Bahasa Inggris: torture) digunakan untuk merujuk pada penciptaan
rasa sakit untuk menghancurkan kekerasan hati korban. Segala tindakan yang menyebabkan
penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis, yang dengan sengaja dilakukkan terhadap
seseorang dengan tujuan intimidasi, balas dendam, hukuman, sadisme, pemaksaan informasi,
atau mendapatkan pengakuan palsu untuk propaganda atau tujuan politik dapat disebut sebagai
penyiksaan. Siksaan dapat digunakan sebagai suatu cara interogasi untuk mendapatkan
pengakuan. Siksaan juga dapat digunakan sebagai metode pemaksaan atau sebagai alat untuk
mengendalikan kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi suatu pemerintah. Sepanjang
sejarah, siksaan telah juga digunakan sebagai cara untuk memaksakan pindah agama atau cuci
otak politik.

Penyiksaan hampir secara universal telah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia,
seperti dinyatakan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Para penandatangan Konvensi Jenewa Ketiga
dan Konvensi Jenewa Keempat telah menyetujui untuk tidak melakukan penyiksaan terhadap
orang yang dilindungi (penduduk sipil musuh atau tawanan perang) dalam suatu konflik
bersenjata. Penanda tangan UN Convention Against Torture juga telah menyetujui untuk tidak
secara sengaja memberikan rasa sakit atau penderitaan pada siapapun, untuk mendapatkan
informasi atau pengakuan, menghukum, atau memaksakan sesuatu dari mereka atau orang
ketiga. Walaupun demikian, organisasi-organisasi seperti Amnesty International memperkirakan
bahwa dua dari tiga negara tidak konsisten mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut.

Tindak Pidana Penyiksaan dalam R KUHP


admin 08/16/2017 Publikasi No Comments

Saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP), yang salah satunya membahas tentang tindak pidana penyiksaan. Tindak pidana ini
diatur dalam Bab ‘Tindak Pidana Jabatan’ dan berada dalam bagian ‘Tindak Pidana Paksaan dan
Tindak Pidana Penyiksaan. RKUHP, dalam penjelasan mengenai tindak penyiksan ini,
menguraikan bahwa penyiksaan merupakan salah satu tindak pidana internasional melalui
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/UNCAT). Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tersebut, dan oleh karenanya penyiksaan dikategorikan sebagai tindak pidana.

Hukum Indonesia juga tegas melarang penyiksaan. Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar
1945, menyatakan hak untukbebas dari penyiksaanadalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Hak untuk bebas dari penyiksaan juga tertuang dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.

Berbagai peraturan yang lebih khusus dan berbagai peraturan internal institusi keamanan telah
melarang penyiksaan, yang misalnya mengatur larangan bagi anggota kepolisian untuk
melakukan kekerasan dan penyiksaan. Komitmen Indonesia untuk melarang penyiksaan semakin
kuat dengan keikutsertaan Indonesia sebagai negara pihak dalam perjanjian internasional HAM,
yakni dengan meratifikasi ICCPR dan UNCAT.

Selama ini pemeriksan kasus penyiksaan umumnya menngunakan pasal-pasal penganiayaan


dalam KUHP. Namun, masalahnya pengaturan ‘penganiayaan’ dalam KUHP tidak cukup
mampu menghadapi kompleksitas suatu tindakan penyiksaan, baik dari sisi tingkat kejahatan
(gravity of the offence) penyiksaan maupun kemampuan untuk menjangkau aktor-aktor yang
terlibat dan harus dihukum. Akibatnya, banyak kasus penyiksaan yang kemudian diperlakukan
sebagai kejahatan biasa dan hanya menjangkau para pelaku langsung dengan hukuman yang
relatif ringan.

Masuknya tindak pidana penyiksaan dalam R KUHP perlu didukung secara serius. Oleh karena
itulah maka tulisan ini bertujuan untuk mencoba memberikan analisa tentang perumusan
kejahatan penyiksaan dalam RKUHP dan merekomendasikan perbaikan perumusan kejahatan
penyiksaan dalam hukum pidana nasional.
Karya ilmiah tentang KEKERASAN TERHADAP ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus
kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir. Menurut data
pelanggaran hak anak yangdikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Anak . Dari data induk lembaga
perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut,
pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007
jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Disamping itu Komnas Anak juga melaporkan bahwa selama periode
Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat
merekaseperti orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut,
ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang
terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses
sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta
kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak
adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan
bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal
ini sering dialami olehanak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya.
Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan
anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga
menurunkan prestasi anak disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman - temannya menjadi
terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang
dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau
membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas,mengalami
mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.

1.2 Rumusan Masalah


Kekerasan yang dilakukan banyak orang terhadap anak dan perempuan, mempunyai dampak
yang kurang baik. adapun seperti beberapa pertanyaan di bawah ini, antara lain:
1.2.1 Apakah kekerasan terhadap anak itu ?
1.2.2 Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang sering melakukan tindakan
kekerasan tersebut ?
1.2.3 Apa yang terjadi pada anak jika kekerasan yang dilakukan sangat menyiksa ?
1.2.4 Berikan solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak ?
1.2.5 Bagaimana upaya pemerintah untuk menyikap kekerasan tersebut ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak.
1.3.2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan tindakan kekerasan.
1.3.3 Mengetahui kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan.
1.3.4 Mencari solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
1.3.5 Mencari tahu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat Penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua bahwa sebenarnya
kekerasan terhadap anak tidak lagi pantas dilakukan, karena anak-anak juga mendapat
perlindungan dari Komisi Perlindungan Anak. Disini juga anak-anak harus menjaga sikap
sehingga emosi orangtua tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu,
perlu adanya kesadaran dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.

· Bagi penulis
Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.
· Bagi lembaga/ tempat.
Sebagai rujukan untuk penulis selanjutnya dalam menyelesaikan karya ini dengan topic yang
sama.
· Bagi masyarakat atau pembaca.
Sebagai pedoman agar tidak terjadinya tindakan kekerasan.

1.5 Sistematika penulisan


Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu:

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah

1.2 Rumusan masalah


1.3 Tujuan penulisan

1.4 Manfaat penulisan

1.5 Sistematika penulisan

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Uraian materi
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kekerasan terhadap anak


Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua
adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan,
peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga
adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga
dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan
kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-
tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua
menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak
yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu
melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada
tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan
atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan
juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan
terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti
orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi
ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa
berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak
Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan
merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan
buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan
Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang
seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak
tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

2.2 Sebab terjadinya kekerasan pada anak


Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat sering
beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak
pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang
sabar dan kurang dewasa secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi
kebutuhan anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau
emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal
itu terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya. Menurut Richard
J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat
kategori utama, yaitu sebagai berikut :

2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar generasi


Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian berkembang menjadi
tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Penelitian menunjukkan
bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan.
Mereka meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari
bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa
mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan
lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar
pada mereka.

2.2.2 Ketegangan Sosial


Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan pada
anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

2.2.3 Isolasi sosial


Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak cenderung kurang
bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan bergabung dengan berbagai
organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang berkomunikasi dengan teman-teman atau
kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang
tua pelaku tindak kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau
ketegangan dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah
keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu
pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua
sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi
mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.

2.2.4. Struktur Keluarga


Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak kekerasan pada anak.
Sebagai contoh :
• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan
orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih
sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko
tindak kekerasan.
• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada
pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-
keluarga tanpa masalah seperti ini.
• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi pengambilan keputusan
yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan
mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah –
mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di
dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.

2.3 Dampak kekerasan pada anak


Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi
sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin
relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya
sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh
kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat,
seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk
membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) ,
antara lain;
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan
menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya.
Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang
dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua
jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika
dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama
akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga
menyebabkan korban meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang
tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping
mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola
makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan
bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa
karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku
merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun
kecenderungan bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang
masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat
eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan
eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab
keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil
pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan
simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah
kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika
anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman,
gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian
diri pada masa yang akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam
mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian
dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.
2.4 Solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
· Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak
kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun
fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan
yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya
kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
· Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak
monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata
menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan
rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi
lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-
anaknya dan seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak
acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan
dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh
pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk
berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk
mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi )
anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga
pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ).
Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen
dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh
atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
· Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang
efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce
(prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui
intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di
Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban
kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena
sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar
meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam
kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan
segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas
edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi
anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling
berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam
berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan
menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya
dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang
mungkin ditimbulkannya antara lain
· Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi,
akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri
sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan
justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa
berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
· Orang tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu
tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang
berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.

· Orang tua yang terlalu keras.


Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi
penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).

2.5 Upaya yang dilakukan pemeritahan


Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-
anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota
keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah
pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi
konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-
Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta
Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4). Sering pejabat terkait seperti
Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga setiap
ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih
selalu mengacu pada KUH Pidana.

Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun
2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan
kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan
rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio,
poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi,
instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya
masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara
langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa
kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh
korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang
terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga
dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah
pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban.
(Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang
berakibat penderitaan terhadap anak.
Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian (Child Neglect).
Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan:
1. Lingkaran kekerasan
2. Stres dan kurangnya dukungan
3. Pecandu alkohol atau narkoba
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan fisik atau luka fisik;
2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada
anak, takut menikah, merasa rendah diri.

3.2 Saran
Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai kemampuan dalam
mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan penelantaran anak, terutama sekali dari
kunjungan pasien ke tempat prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban
penyiksaan dan penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan
biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.
Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian
bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam
penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak.
Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik tidak berupah
dengan kekerasan fisik atau mental.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta :Penerbit Nuansa,Emmy


Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan Terhadap Anak.
Mafrukhi dkk. (2006). Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta :Penerbit Erlangga.
Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go . Didwonload
September 2007.http://www.setneg.go.id
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

Tindak Pidana Penyiksaan (Torture) Dalam RUU KUHP


Published Januari 17, 2008 Opini 2 Comments

Tindak Pidana Penyiksaan (Torture) Dalam RUU KUHP

Betty Yolanda & Supriyadi Widodo Eddyono

Pengantar

Tindak pidana penyiksaan merupakan jenis tindak pidana yang baru dalam hukum

pidana di Indonesia. Kemunculan pengaturan mengenai tindak pidana penyiksaan ini

tidak lepas dari kewajiban Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Menentang

Penyiksaan (Konvensi) melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.[1] Dalam Konvensi tersebut


disebutkan bahwa salah satu kewajiban Negara Pihak adalah mengkriminalisasi

perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan penyiksaan.

Dalam RUU KUHP, kejahatan penyiksaan hanya diatur dalam satu pasal, yaitu dalam

Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia, Pasal 406, yang menyebutkan:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun setiap pejabat publik atau orang-orang

lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau setiap

orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang

pejabat publik, yang melakukan perbuatan yang menimbulkan

penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental

terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh dari orang

tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan, menjatuhkan

pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah

dilakukan atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi atau memaksa

orang-orang tersebut atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam

segala bentuknya”.

Berdasarkan rumusan tersebut bisa dilihat elemen-elemen utamanya yakni:

 setiap pejabat publik atau

 orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau
 setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat

publik

 Melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan

 atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang

 dengan tujuan untuk

o memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga

 informasi

 atau pengakuan,

o menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau

dicurigai telah dilakukan

o atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi

o atau memaksa orang-orang tersebut

o atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya

Beberapa Catatan

Rumusan tindak pidana penyiksaan dalam RUU KUHP tersebut bila dilihat secara

sepintas hampir sama dengan rumusan dengan pasal 1 CAT, namun jika dilihat lebih

cermat rumusan ini juga mengurangi pengertian dari Konvensi tersebut.

Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yang menyebutkan:


“Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah
dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa
orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan
pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-
mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum
yang berlaku.”

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi, penyiksaan terdiri dari lima

elemen penting, yakni:

(1) rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani;

(2) dilakukan dengan sengaja;

(3) untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau

mengancam atau memaksa, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada

setiap bentuk diskriminasi;

(4) ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau

sepengetahuan pejabat publik;


(5) tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari,

melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.

Rumusan dalam Pasal 406 RUU KUHP ini sebagaimana kewajiban terhadap ratifikasi

konvensi, seharusnya tidak mengurangi pengertian penyiksaan yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi,[2] Tampak bahwa rumusan dalam RUU KUHP telah

mencoba memasukkan beberapa rumusan penting yang berkaitan dengan

penyiksaan dalam Konvensi. Di antaranya: menggunakan unsur “mengancam”,

dengan istilah intimidasi. Menggunakan itilah digerakkan atau sepengetahuan untuk

menggatikan istilah “persetujuan”, dan menggunakan unsur menjatuhkan pidana

terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan untuk

mencover unsur dari kalimat terakhir Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yakni: “Hal itu tidak

meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada,

atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku”.

Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 404 RUU KUHPidana, ketentuan

tersebut merupakan “tindak pidana yang dikenal dengan nama Torture”. Tindak

pidana ini sudah menjadi salah satu tindak pidana internasional melalui konvensi

internasional Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment, 10 December 1984…”. Apabila kita perhatikan secara

seksama, judul dari Konvensi Menentang Penyiksaan pada hakikatnya tidak hanya
mengatur mengenai kejahatan penyiksaan, tetapi juga perlakuan atau penghukuman

lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

Disamping itu, sangat disayangkan, ketentuan Pasal 404 RUU KUHP hanyalah

memberikan penekanan atas kejahatan penyiksaan menurut Pasal 1 Konvensi dan

tidak mengatur mengenai jenis kejahatan yang kedua sebagaimana tercantum di

dalam Pasal 16 ayat (1) Konvensi yang berbunyi:

“Setiap Negara Pihak harus berusaha untuk mencegah, di dalam

wilayah jurisdiksinya, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,

tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, yang tidak

termasuk tindak penyiksaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1,

apabila tindakan semacam itu dilakukan oleh, atau atas hasutan dari,

atau dengan persetujuan atau sepengetahuan, seorang pejabat publik

atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Secara

khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, 11, 12

dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan pada tindak penyiksaan atau

acuan pada perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak

manusiawi atau merendahkan martabat manusia.”

Pasal 16 menjadi penting terkait dengan kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan

lain yang tidak jatuh dalam kategori kejahatan penyiksaan sebagaimana


dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi. Memang Pasal 404 RUU KUHP telah

secara parsial, mengadopsi definisi penyiksaan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi.

Namun hal itu tidaklah cukup. Oleh karena itu, seharusnya RUU KUHPidana, yang

nantinya akan berperan sebagai “payung hukum” dari semua peraturan perundang-

undangan di Indonesia, mengadopsi ketentuan-ketentuan Konvensi Menentang

Penyiksaan secara komprehensif.

Kejahatan penyiksaan memang harus dibedakan dari bentuk perlakuan sewenang-

wenang (ill-treatment) lainnya, karena terdapat kewajiban-kewajiban hukum pidana

yang melekat secara khusus pada penyiksaan, misalnya penerapan jurisdiksi

universal. Satu-satunya sumber yang dapat dipakai sebagai acuan secara universal

berkaitan dengan definisi penyiksaan adalah Konvensi Menentang Penyiksaan.

Namun, Konvensi ini masih dirasa kurang memadai karena Konvensi ini tidak

menyediakan definisi yang jelas mengenai perlakuan sewenang-wenang lainnya.[3]

Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee), melalui Komentar Umum No.

20, menyatakan bahwa “Kovenan tidak memuat definisi apapun mengenai konsep

yang tercakup dalam Pasal 7, dan Komite tidak menganggap bahwa adalah penting

untuk menyusun sebuah daftar tentang tindakan-tindakan yang dilarang atau untuk

menetapkan pembedaan yang tajam antara pelbagai jenis penghukuman atau

perlakuan; pembedaan akan tergantung pada sifat dasar, tujuan dan kekejaman

perlakuan”.[4] Hal serupa juga ditegaskan oleh Sir Nigel Rodley, mantan Pelapor
Khusus PBB untuk Penyiksaan, mengedepankan tiga bagian terkait dengan definisi penyiksaan,
yakni: (1) intensitas relatif dari kesakitan atau penderitaan yang ditimbulkan; (2) tujuan dari
kesakitan atau penderitaan itu; dan (3) status si pelaku, misalnya pelaku bertindak dalam
kapasitasnya sebagai pejabat publik.[5]

Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia pada umumnya dibedakan dari “tingkat kekejaman” dan
“tujuan”. Banyak pendapat yang menginterpretasikan penyiksaan sebagai “bentuk perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan tingkat kekejaman
(severity) yang jauh lebih berat”.[6] Akibatnya, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia dianggap sebagai bentuk perlakuan sewenang-wenang yang
tidak cukup serius untuk dikategorikan sebagai penyiksaan.[7] Lebih lanjut, perlakuan yang
merendahkan dapat diklasifikasikan sebagai perlakuan yang tidak manusiawi, dan jika sudah
mencapai taraf yang paling serius, dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan. Bertolak belakang
dari beberapa pendapat tersebut di atas, beberapa pakar menganggap bahwa pendekatan “tingkat
kekejaman” dan “tujuan” sangat problematik dan pembentukan hirarki antara penyiksaan dan
bentuk-bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang (ill-treatment) harus dihindari.[8]

Berbagai pendekatan terhadap definisi penyiksaan juga telah dipakai, baik oleh badan-badan
internasional maupun regional. Sebagai contoh, Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Komite Hak Asasi Manusia (HRC) melihat
mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation, FGM) dari sudut pandang yang
berbeda. CEDAW, berdasarkan Rekomendasi Umum No. 14 dan 19[9], mempertimbangkan
FGM sebagai bentuk diskriminasi, bukan penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang.
Sedangkan HRC mempertimbangkan FGM sebagai berdasarkan Komentar Umum No. 20
mengenai Pelarangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Pasal 7 Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik).[10]

Rekomendasi
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, khususnya RUU KUHP, pemasukan

ketentuan mengenai perlakuan sewenang-wenang lainnya di luar penyiksaan sangat

penting mengingat definisi penyiksaan yang cukup sempit. Oleh karena itu,

beberapa catatan penting perlu diberikan berkenaan dengan Pasal 404 RUU KUHP,

yaitu: Pertama, jika RUU KUHPidana dipandang sebagai satu bentuk implementasi

dari dan sebagai konsekuensi atas ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam

UU No. 5 tahun 1998, maka kejahatan ini tidak perlu ditempatkan dalam BAB IX

walaupun kejahatan ini termasuk ke dalam international crime dan bahkan serious

crime[11] tetapi lebih tepat ditambahkan atau disandingkan dengan kejahatan

penganiayaan agar dapat menjangkau pejabat publik orang yang bertindak dalam

kapasitas publik. Hal ini dimaksudkan agar lebih mengekfektifkan ketentuan tentang

larangan penyiksaan yang memang sudah ada (punishable) dalam hukum pidana

semua negara[12].

Kedua, agar sesuai dengan judul lengkap Konvensi, yaitu UN Convention against

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen or Punishment, maka

perlu juga dimasukkan ketentuan mengenai perlakuan atau penghukuman lain yang

kejam, tidak manusia dan merendahkan martabat manusia.

[1]UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
[2] Lihat Lampiran UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang
Penyiksaan. Pengertian ini merupakan terjemahan resmi dari Pasal 1 ayat (1) Konvensi Menentang
Penyiksaan.

[3] Sejak tahun 2000, Komite Menentang Penyiksaan (CAT) mulai mendiskusikan perlu atau
tidaknya mengadopsi satu Komentar Umum (General Comment) tentang Pasal 1 Konvensi Menentang
Penyiksaan. Komentar Umum ini menjadi penting di dalam pengimplementasian Konvensi
Menentang Penyiksaan di dalam hukum domestik Negara-Negara Pihak pada Konvensi.

[4]Komentar Umum No. 20: Menggantikan Komentar Umum No. 7 mengenai Pelarangan
terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam (Pasal 7), Sesi ke-empatpuluh
empat, 10/03/92.

[5] Lihat Christian M. De Vos, Mind the Gap: Purpose, Pain, and the Difference between Torture and Inhuman Treatment, hlm.
1. Tersedia di www.wcl.american.edu/hrbrief/14/2devos.pdf?rd=1.

[6] Lihat Greek Case dan Ireland v UK, www.worldlii.org.

[7] Lihat Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Dijadikan Sasaran Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Declaration on the
Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), disahkan
oleh Resolusi Majelis Umum PBB 3452 (xxx), 09 Desember 1975.

[8] Lihat Association for the Prevention of Torture, the Definition of Torture: Proceedings of an Expert Seminar, APT,
Geneva, 2001, hlm. 18.

Lihat CEDAW General Recommendation No. 14 (ninth session, 1990), “Female Circumcision”
[9]
dan General Recommendation No. 19 (eleventh session, 1992), “Violence against Women”.

[10] Lihat General Comment No. 20: Replaces General Comment 7concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or
Punishment (Art. 7), 10/03/92.
[11] Lihat Princenton Principles, Principle 2: Serious Crimes Under International Law, butir (1) yang berbunyi: “For
purposes of these principles, serious crimes under international law include: (1) piracy; (2) slavery; (3) war crimes; (4) crimes against peace; (5)
crimes against humanity; (6) genocide; and (7) torture.”

[12] Di dalam KUHP saat ini pasal yang digunakan untuk penyiksaan adalah Pasal 351.

Anda mungkin juga menyukai