Siksaan atau penyiksaan (Bahasa Inggris: torture) digunakan untuk merujuk pada penciptaan
rasa sakit untuk menghancurkan kekerasan hati korban. Segala tindakan yang menyebabkan
penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis, yang dengan sengaja dilakukkan terhadap
seseorang dengan tujuan intimidasi, balas dendam, hukuman, sadisme, pemaksaan informasi,
atau mendapatkan pengakuan palsu untuk propaganda atau tujuan politik dapat disebut sebagai
penyiksaan. Siksaan dapat digunakan sebagai suatu cara interogasi untuk mendapatkan
pengakuan. Siksaan juga dapat digunakan sebagai metode pemaksaan atau sebagai alat untuk
mengendalikan kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi suatu pemerintah. Sepanjang
sejarah, siksaan telah juga digunakan sebagai cara untuk memaksakan pindah agama atau cuci
otak politik.
Penyiksaan hampir secara universal telah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia,
seperti dinyatakan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Para penandatangan Konvensi Jenewa Ketiga
dan Konvensi Jenewa Keempat telah menyetujui untuk tidak melakukan penyiksaan terhadap
orang yang dilindungi (penduduk sipil musuh atau tawanan perang) dalam suatu konflik
bersenjata. Penanda tangan UN Convention Against Torture juga telah menyetujui untuk tidak
secara sengaja memberikan rasa sakit atau penderitaan pada siapapun, untuk mendapatkan
informasi atau pengakuan, menghukum, atau memaksakan sesuatu dari mereka atau orang
ketiga. Walaupun demikian, organisasi-organisasi seperti Amnesty International memperkirakan
bahwa dua dari tiga negara tidak konsisten mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut.
Saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP), yang salah satunya membahas tentang tindak pidana penyiksaan. Tindak pidana ini
diatur dalam Bab ‘Tindak Pidana Jabatan’ dan berada dalam bagian ‘Tindak Pidana Paksaan dan
Tindak Pidana Penyiksaan. RKUHP, dalam penjelasan mengenai tindak penyiksan ini,
menguraikan bahwa penyiksaan merupakan salah satu tindak pidana internasional melalui
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/UNCAT). Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tersebut, dan oleh karenanya penyiksaan dikategorikan sebagai tindak pidana.
Hukum Indonesia juga tegas melarang penyiksaan. Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar
1945, menyatakan hak untukbebas dari penyiksaanadalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Hak untuk bebas dari penyiksaan juga tertuang dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Berbagai peraturan yang lebih khusus dan berbagai peraturan internal institusi keamanan telah
melarang penyiksaan, yang misalnya mengatur larangan bagi anggota kepolisian untuk
melakukan kekerasan dan penyiksaan. Komitmen Indonesia untuk melarang penyiksaan semakin
kuat dengan keikutsertaan Indonesia sebagai negara pihak dalam perjanjian internasional HAM,
yakni dengan meratifikasi ICCPR dan UNCAT.
Masuknya tindak pidana penyiksaan dalam R KUHP perlu didukung secara serius. Oleh karena
itulah maka tulisan ini bertujuan untuk mencoba memberikan analisa tentang perumusan
kejahatan penyiksaan dalam RKUHP dan merekomendasikan perbaikan perumusan kejahatan
penyiksaan dalam hukum pidana nasional.
Karya ilmiah tentang KEKERASAN TERHADAP ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus
kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir. Menurut data
pelanggaran hak anak yangdikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Anak . Dari data induk lembaga
perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut,
pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007
jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Disamping itu Komnas Anak juga melaporkan bahwa selama periode
Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat
merekaseperti orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut,
ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang
terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses
sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta
kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak
adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan
bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal
ini sering dialami olehanak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya.
Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan
anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga
menurunkan prestasi anak disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman - temannya menjadi
terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang
dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau
membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas,mengalami
mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.
Manfaat Penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua bahwa sebenarnya
kekerasan terhadap anak tidak lagi pantas dilakukan, karena anak-anak juga mendapat
perlindungan dari Komisi Perlindungan Anak. Disini juga anak-anak harus menjaga sikap
sehingga emosi orangtua tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu,
perlu adanya kesadaran dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.
· Bagi penulis
Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.
· Bagi lembaga/ tempat.
Sebagai rujukan untuk penulis selanjutnya dalam menyelesaikan karya ini dengan topic yang
sama.
· Bagi masyarakat atau pembaca.
Sebagai pedoman agar tidak terjadinya tindakan kekerasan.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Uraian materi
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun
2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan
kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan
rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio,
poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi,
instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya
masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara
langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa
kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh
korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang
terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga
dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah
pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban.
(Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang
berakibat penderitaan terhadap anak.
Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian (Child Neglect).
Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan:
1. Lingkaran kekerasan
2. Stres dan kurangnya dukungan
3. Pecandu alkohol atau narkoba
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan fisik atau luka fisik;
2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada
anak, takut menikah, merasa rendah diri.
3.2 Saran
Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai kemampuan dalam
mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan penelantaran anak, terutama sekali dari
kunjungan pasien ke tempat prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban
penyiksaan dan penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan
biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.
Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian
bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam
penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak.
Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik tidak berupah
dengan kekerasan fisik atau mental.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar
Tindak pidana penyiksaan merupakan jenis tindak pidana yang baru dalam hukum
Dalam RUU KUHP, kejahatan penyiksaan hanya diatur dalam satu pasal, yaitu dalam
Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia, Pasal 406, yang menyebutkan:
paling lama 20 (dua puluh) tahun setiap pejabat publik atau orang-orang
lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau setiap
penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental
segala bentuknya”.
orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau
setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat
publik
atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang
informasi
atau pengakuan,
Beberapa Catatan
Rumusan tindak pidana penyiksaan dalam RUU KUHP tersebut bila dilihat secara
sepintas hampir sama dengan rumusan dengan pasal 1 CAT, namun jika dilihat lebih
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi, penyiksaan terdiri dari lima
(1) rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani;
mengancam atau memaksa, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
Rumusan dalam Pasal 406 RUU KUHP ini sebagaimana kewajiban terhadap ratifikasi
dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi,[2] Tampak bahwa rumusan dalam RUU KUHP telah
terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan untuk
mencover unsur dari kalimat terakhir Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yakni: “Hal itu tidak
meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada,
tersebut merupakan “tindak pidana yang dikenal dengan nama Torture”. Tindak
pidana ini sudah menjadi salah satu tindak pidana internasional melalui konvensi
seksama, judul dari Konvensi Menentang Penyiksaan pada hakikatnya tidak hanya
mengatur mengenai kejahatan penyiksaan, tetapi juga perlakuan atau penghukuman
Disamping itu, sangat disayangkan, ketentuan Pasal 404 RUU KUHP hanyalah
apabila tindakan semacam itu dilakukan oleh, atau atas hasutan dari,
secara parsial, mengadopsi definisi penyiksaan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi.
Namun hal itu tidaklah cukup. Oleh karena itu, seharusnya RUU KUHPidana, yang
nantinya akan berperan sebagai “payung hukum” dari semua peraturan perundang-
universal. Satu-satunya sumber yang dapat dipakai sebagai acuan secara universal
Namun, Konvensi ini masih dirasa kurang memadai karena Konvensi ini tidak
Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee), melalui Komentar Umum No.
20, menyatakan bahwa “Kovenan tidak memuat definisi apapun mengenai konsep
yang tercakup dalam Pasal 7, dan Komite tidak menganggap bahwa adalah penting
untuk menyusun sebuah daftar tentang tindakan-tindakan yang dilarang atau untuk
perlakuan; pembedaan akan tergantung pada sifat dasar, tujuan dan kekejaman
perlakuan”.[4] Hal serupa juga ditegaskan oleh Sir Nigel Rodley, mantan Pelapor
Khusus PBB untuk Penyiksaan, mengedepankan tiga bagian terkait dengan definisi penyiksaan,
yakni: (1) intensitas relatif dari kesakitan atau penderitaan yang ditimbulkan; (2) tujuan dari
kesakitan atau penderitaan itu; dan (3) status si pelaku, misalnya pelaku bertindak dalam
kapasitasnya sebagai pejabat publik.[5]
Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia pada umumnya dibedakan dari “tingkat kekejaman” dan
“tujuan”. Banyak pendapat yang menginterpretasikan penyiksaan sebagai “bentuk perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan tingkat kekejaman
(severity) yang jauh lebih berat”.[6] Akibatnya, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia dianggap sebagai bentuk perlakuan sewenang-wenang yang
tidak cukup serius untuk dikategorikan sebagai penyiksaan.[7] Lebih lanjut, perlakuan yang
merendahkan dapat diklasifikasikan sebagai perlakuan yang tidak manusiawi, dan jika sudah
mencapai taraf yang paling serius, dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan. Bertolak belakang
dari beberapa pendapat tersebut di atas, beberapa pakar menganggap bahwa pendekatan “tingkat
kekejaman” dan “tujuan” sangat problematik dan pembentukan hirarki antara penyiksaan dan
bentuk-bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang (ill-treatment) harus dihindari.[8]
Berbagai pendekatan terhadap definisi penyiksaan juga telah dipakai, baik oleh badan-badan
internasional maupun regional. Sebagai contoh, Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Komite Hak Asasi Manusia (HRC) melihat
mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation, FGM) dari sudut pandang yang
berbeda. CEDAW, berdasarkan Rekomendasi Umum No. 14 dan 19[9], mempertimbangkan
FGM sebagai bentuk diskriminasi, bukan penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang.
Sedangkan HRC mempertimbangkan FGM sebagai berdasarkan Komentar Umum No. 20
mengenai Pelarangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Pasal 7 Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik).[10]
Rekomendasi
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, khususnya RUU KUHP, pemasukan
penting mengingat definisi penyiksaan yang cukup sempit. Oleh karena itu,
beberapa catatan penting perlu diberikan berkenaan dengan Pasal 404 RUU KUHP,
yaitu: Pertama, jika RUU KUHPidana dipandang sebagai satu bentuk implementasi
dari dan sebagai konsekuensi atas ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam
UU No. 5 tahun 1998, maka kejahatan ini tidak perlu ditempatkan dalam BAB IX
walaupun kejahatan ini termasuk ke dalam international crime dan bahkan serious
penganiayaan agar dapat menjangkau pejabat publik orang yang bertindak dalam
kapasitas publik. Hal ini dimaksudkan agar lebih mengekfektifkan ketentuan tentang
larangan penyiksaan yang memang sudah ada (punishable) dalam hukum pidana
semua negara[12].
Kedua, agar sesuai dengan judul lengkap Konvensi, yaitu UN Convention against
perlu juga dimasukkan ketentuan mengenai perlakuan atau penghukuman lain yang
[1]UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
[2] Lihat Lampiran UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang
Penyiksaan. Pengertian ini merupakan terjemahan resmi dari Pasal 1 ayat (1) Konvensi Menentang
Penyiksaan.
[3] Sejak tahun 2000, Komite Menentang Penyiksaan (CAT) mulai mendiskusikan perlu atau
tidaknya mengadopsi satu Komentar Umum (General Comment) tentang Pasal 1 Konvensi Menentang
Penyiksaan. Komentar Umum ini menjadi penting di dalam pengimplementasian Konvensi
Menentang Penyiksaan di dalam hukum domestik Negara-Negara Pihak pada Konvensi.
[4]Komentar Umum No. 20: Menggantikan Komentar Umum No. 7 mengenai Pelarangan
terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam (Pasal 7), Sesi ke-empatpuluh
empat, 10/03/92.
[5] Lihat Christian M. De Vos, Mind the Gap: Purpose, Pain, and the Difference between Torture and Inhuman Treatment, hlm.
1. Tersedia di www.wcl.american.edu/hrbrief/14/2devos.pdf?rd=1.
[7] Lihat Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Dijadikan Sasaran Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Declaration on the
Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), disahkan
oleh Resolusi Majelis Umum PBB 3452 (xxx), 09 Desember 1975.
[8] Lihat Association for the Prevention of Torture, the Definition of Torture: Proceedings of an Expert Seminar, APT,
Geneva, 2001, hlm. 18.
Lihat CEDAW General Recommendation No. 14 (ninth session, 1990), “Female Circumcision”
[9]
dan General Recommendation No. 19 (eleventh session, 1992), “Violence against Women”.
[10] Lihat General Comment No. 20: Replaces General Comment 7concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or
Punishment (Art. 7), 10/03/92.
[11] Lihat Princenton Principles, Principle 2: Serious Crimes Under International Law, butir (1) yang berbunyi: “For
purposes of these principles, serious crimes under international law include: (1) piracy; (2) slavery; (3) war crimes; (4) crimes against peace; (5)
crimes against humanity; (6) genocide; and (7) torture.”
[12] Di dalam KUHP saat ini pasal yang digunakan untuk penyiksaan adalah Pasal 351.