Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

Dasar-Dasar Gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANDRI ERIADI

NIM : 21509104

KELAS : IV C

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu ciri negara hukum moderen adalah adanya perlindungan hukum terhadap hak
asasi manusia termasuk perlindungan hukum terhadap warga negara dari tindakan sewenang-
wenang penguasa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selalu terjadi interaksi hubungan
antara pejabat negara dan masyarakat. Hubungan interaksi tersebut kebanyakan biasanya terjadi
karena adanya tugas-tugas pemerintahan dan pembanunan yang dilakukan oleh Pejabat negara
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara pejabat administrasi
negara sebagai pelaksana urusan pemerintahan dan pembangunan dengan masyarakat, sering
terjadi benturan kepentingan yang melibatkan kedua pihak. Benturan kepentingan ini biasanya
diakibatkan oleh adanya keputusan pejabat negara.

Tindakan hukum Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dituangkan dalam bentuk Keputusan
tertulis, dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan. Disatu sisi, keputusan tersebut diambil
atas dasar kewenangan yang diberikan, namun disisi lain, pelaksanaan keputusan tidak boleh
mengurangi hak-hak warga negara. Setiap keputusan Badan/pejabat Tata Usaha Negara harus
berdasarkan prinsip negara hukum, oleh karena itu, keputusan tersebut tidak boleh melanggar
hak-hak warga negara.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang
mempunyai tugas dan wewenang : memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau
badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik
dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking),
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal
1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lembaga pelaksanan kekuasaan
kehakiman yang memberi keadilan bagi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Setiap warga negara berhak mengajukan gugatan terhadap
keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, apabila keputusan tersebut merugikan kepentingan
orang yang bersangkutan. Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, dianggap masih belum secara signifikan melindungi kepentingan
masyarakat. Adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, memberi perubahan bagi kemajuan
hukum yang melindungi kepentingan individu sebagai warga negara.

B. Rumusan Masalah
Yang menjadi Pembahasan makalah ini adalah dasar pengajuan gugatan pada Peradilan
Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Masalah dalam tulisan ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan PTUN?
2. Apa yang dimaksud dengan sengketa TUN? Serta landasan yuridisnya?
3. Apa dasar pengujian PTUN terhadap KTUN sebagai objek sengketa dalam gugatan ke-
TUN?
4. Bagaimanankah bentuk pengmbilan putusan yang dikeluarkan PTUN terhadap KTUN
sebagai objek sengketa?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Yang menjadi tujuan penulisan makalah yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha
Negara ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang maksud dan tujuan di bentuknya PTUN.
2. Mahasiswa dapat memahami sengketa TUN serta dapat menjabarkan landasan yuridisnya
secara eksplisit.
3. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang menjadi sengketa TUN dan proseduralnya.
4. Mahasiswa dapat memahami pengambilan keputusan dalam PTUN terhadap KTUN yang
menjadi objek sengketa.

Dan yang menjadi tujuan penulisan makalah yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) ini adalah :
1. Sebagai bahan imformasi dan pengetahuan bagi pihak yang berkepentingan (dalam hal ini
mahasiswa) dalam melihat kualitas dan kinerja PTUN dalam sengketa KTUN.
2. Untuk memperkaya kajian-kajian tentang Tata Usaha Negara (TUN), khususnya mengenai
sengketa dan penyelesaiannya di-PTUN pada era reformasi sekarang ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peradilan Tata Usaha Negara


Indonesia adalah negara hukum. Dalam prinsip negara hukum demokrasi terdapat adanya
pembagian kekuasaan, dan salah satu kekuasaan dalam pemerintahan adalah kekuasaan
kehakiman (judicative). Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di
bawah Mahkamah Agung. Pentingnya PTUN adalah untuk mengantisipasi kemungkinan
timbulnya sengketa antara pemerintah dengan warga Negara akibat adanya kegiatan pemerintah
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. PTUN berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang Tata Usaha Negara (TUN). Sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang
mempunyai tugas dan wewenang : memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau
badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik
dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking),
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal
1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara bersumber pada
tiga hal yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Selain tiga sumber tersebut, Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara diberi kebebasan untuk melakukan tindakan dan keputusan bebas (discretionary
decission) berdasarkan freies ermessen. Pengambilan keputusan secara bebas dilakukan karena
dua hal, yaitu : tidak semua tindakan diatur dalam perundang-undangan, dan pelaksanaan
pemerintahan dalam konsep negara kesejahteraan (walfare state).

B. Sengketa TUN dan Landasan Yuridisnya


Dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 menjelaskan
bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang
mempunyai tugas dan wewenang : memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau
badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik
dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking),
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi
subjek di Peradilan TUN adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di
Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) Keputusan Tata Usaha
Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas,
dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari:
1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis. Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit,
individual dan final. Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum `
Perdata.
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan
tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan.
Selanjutnya Mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai
subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 : Badan atau Pejabat Tata Usaha negara
adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah
segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas
legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan
juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan
dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam
konteks sebagai subjek di Peratun.
3. Berisi Tindakan Hukum TUN. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan
Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang
demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat
dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan
suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku. Kata berdasarkan dalam rumusan tersebut
dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau
Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena
hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan
(dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN
pemerintah.
4. Bersifat Konkret, Individual dan Final. Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya
objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau
dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y
dan sebagainya. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum,
tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal
yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang
nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan
mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif.
Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari
satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu
telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. Menimbulkan Akibat
Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata. Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya
menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis
itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan
untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak
dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan
suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu
menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti
melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan
suatu status dan sebagainya.

Selanjutnya dalam pasal 2 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004. Dijelaskan
pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu : Tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-
undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum

Selanjutnya Pembatasan KTUN yang dapat dijadikan obyek sengketa TUN berada pada
pasal 1 ayat 3, pasal 2 huruf a sampai g, pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 5 tahun 1986
tentang Peradilan TUN. Sengketa TUN hanya terjadi bila KTUN tersebut merugikan pihak yang
ditujukan. Misalnya :
1. Sengketa keabsahan penerbitan sertifkat hak milik tanah atau sengketa kepemilikan tanah
2. SK pemberhentian tidak dengan hormat
3. Gugatan tata usaha negara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu gubernur NTB periode 2008-2013.
4. Penyalahgunaan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk tujuan lain daripada
yang dimaksudkan dalam undang-undang. Penggunaan prosedur yang lain daripada prosedur
yang telah ditentukan sebelumnya
5. Pemerintah beri izin khusus BUMN Pertambangan. Izin khusus itu mengharuskan para
kepala daerah untuk mendahulukan perusahaan milik pemerintah ketimbang perusahaan tambang
swasta dalam memberikan izin kuasa pertambangan.
6. Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah
yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
7. Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak sah.

C. Dasar Pengujian Keputusan TUN


Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Alasan-alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

I. Keputusan TUN Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan.


Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 bahwa, yang termasuk dalam kelompok Peraturan Perundang-Undangan
adalah: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah.
Selain 5 (lima) peraturan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan
lembaga kenegaraan memiliki kedudukan sebagai peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 53 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan istilah
Perundang-Undangan Yang Berlaku. Tidak ada penjelasan mengenai istilah tersebut, namun
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Perundang-Undangan yang berlaku adalah
hukum positif. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang telah dicabut, atau pasal-
pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Badan/Pejabat yang berwenang, tidak dapat dijadikan
sebagai dasar bagi hakim PTUN untuk melakukan pengujian terhadap Keputusan Badan/Pejabat
TUN.

Mengacu pada pengertian Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka hukum yang tidak tertulis dan dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat yang tidak berwenang, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguji keputusan
Badan/Pejabat TUN.

Kata bertentangan tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Kata
bertentangan dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, yaitu: (a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang
bersifat prosedural (formal); (b) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-
undangan yang bersifat substansial (materil); dan (c) dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang tidak
berwenang.

II. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik


Sebagian ahli berpendapat bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
merupakan asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan dalam keadaan tertentu dapat ditarik dalam
aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Praktek hukum di Belanda, AAUPB yang mendapat
tempat dalam aturan hukum adalah: (1) asas persaman; (2) asas kepercayaan; (3) asas kepastian
hukum; (4) asas kecermatan; (5) asas pemberian alasan (motivasi); (6) asas larangan
penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir).

Sebelum adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, AAUPB


belum dijadikan sebagai alasan gugatan, namun setelah adanya Undan-Undang Nomor 9 Tahun
2004, AAUPB secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang tersebut sebagai dasar pengajuan
gugatan. Dalam undang-undang ini tidak secara mendetail menyebutkan AAUPB, karena
acuannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam teori hukum, AAUPB terdiri atas 13 (tiga belas bagian) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Marbun dan Mahfud, serta menurut pendapat Ridwan HR, namun dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa, AAUPB hanya meliputi 7 (tujuh)
bagian, yaitu: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum;
(4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pengertian AAUPB disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28


Tahun 1999, yaitu:

1. Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan Peraturan Perundang-
Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara.
D. Putusan Peradilan TUN
Jika pemeriksaan sengketa telah selesai kedua pihak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat masing-masing yang berupa kesimpulan setelah ini dikemkakan oleh
para pihak , siding ditunda untuk memberi kesempatan kepada Majelis Hakim untuk
bermusyawarah dalam ruang tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu yang
dikemukakan dalam sidang,dan diberi putusan atas sengketa.
Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) :
Gugatan ditolak
Gugatan dikabulkan.
Gugatan tidak diterima
Gugatan gugur.

Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-


kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa
Pasal 97 ayat (9) Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan. Pencabutan Keputusan TUN
yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru. Penerbitan Keputusan TUN
dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan
juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian
rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.

Dalam hal gugatan dikabulkan, dalam putusan Pengadilan dapat ditetapkan kewajiban
yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN berupa:
pencabutan KTUN yang disengketakan pencabutan KTUN yang bersangkutan disertai
penerbitan KTUN yang baru, atau menerbitkan KTUN (yang tadinya tidak diterbitkan.

Kewajiban ini tidak disertai pembebanan ganti rugi. Bila putusan itu mengenai masalah
kepegawaian maka di samping kewajiban tersebut dapat disertai melakukan rehabilitasi.

Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Ps. 108).
Ini merupakan syarat mutlak sebab jika tidak demikian maka hal ini berakibat bahwa putusan
pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Ps. 108 ayat 1 jo 3). Apabila salah
satu pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua
Sidang, salinan putusan disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adanya suatu kepentingan yang dirugikan, merupakan suatu alasan yang digunakan oleh
orang atau badan hukum privat dapat mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN untuk menuntut
agar KTUN dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Pihak yang merasa
kepentingannya dirugikan sebagai akibat keluarnya KTUN dan menggugat KTUN di PTUN.
Kepentingan adalah hak yang seharunsya dilindungi oleh hukum, dan kerugian dalam sengketa
tata usaha negara harus dapat diukur secara materil yang dapat dinilai dengan uang.
Dasar pengujian KTUN bagi hakim adalah: (1) Keputusan pejabat TUN itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Keputusan Pejabat TUN bertentangan
dengan Asas-Asas Umum Pemerintaha Yang Baik (the general principles of good government)
sebagaimana yang terdapat dalam UU 1999/28 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. AAUPB adalah meliputi: (1) kepastian hukum; (2)
tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6)
profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam UU 1999/28 Tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

B. Saran
Dalam pembahasan makalah ini saya telah menguraikan berbagai macam persoalan yang
berkaitan dengan PTUN dalam penyelesaian sengketa TUN dan juga landasan yuridisnya, agar
supaya masyarakat pada umumnya dan mahasiswa ilmu hukum pada khususnya tidak terjebak
pada hal-hal yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
DAFTAR REFERENSI

- Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, cet.2, Malang, 2005.


- Yos Johan Utama, Menggugat PTUN Sebagai Salah Satu Akses Warga Negara Untuk
Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara, UMS e-jurnals, Vol. 10, No. 1,
Maret 2007, hlm. 40-41
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman
- Hardi Anwar dan Abdullah Harahap, Artikel: Sengketa Tata Usaha Negara,
www.diaryhukum.co.ac/.../alurpenyelesaiansengketatatausahanegara.html,
- Agung juari, Artikel : Contoh ugatan PTUN, http://agungjuari.blogspot.com/2008/12/contoh-
gugatan-ptun.html
- Safiudin, artikel : gugatan dalam peradilan TUN
http://safiudin.wordpress.com/2009/12/30/gugatan-dalam-ptun

Anda mungkin juga menyukai