Anda di halaman 1dari 3

Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII

Tak satupun di antara kader PMII yang menghendaki PMII menua, memfosil dan
kehilangan peran kesejarahannya. Tudingan negatif di atas sebaiknya menjadi cambuk bagi
PMII untuk kembali melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprahnya
selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none
yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak
zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu
menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan peradaban dimana ia tidak
hanya menjadikan kader PMII kembali kritis dan pejuang perubahan. Lebih dari itu,
kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting mengejawantahkan berbagai nilai-
nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan
datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain, Pertama,
berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5) fakta
organisasi ; 1). Ideologi dan paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ; 3). Sistem
pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). Logistik organisasi. Kedua, platform dan
pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi ; 1).
Relasi PMII - negara ; 2). Relasi PMII - rakyat serta kekuatan sipil lainnya ; 3), Relasi
PMII - kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII - kekuatan
kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung idologi yang jelas. Ideologi
berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap
dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics
of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII
dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII diandaikan (mesti) mampu memerankan dirinya pada
kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi
bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh
dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan
ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan
masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak
tercapai, maka kedua, PMI berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu
sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII
sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk
mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga
bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak
dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai
panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam
tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang
menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi
kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan
pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang
memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII
kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik
manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna
hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan
perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian
(merumuskan) jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus
mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain,
sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta
kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-
trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan
gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap
agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman
keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1).
Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz
tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP
PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai
menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan
gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan
hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan
paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi
sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII
menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan,
dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia didalam masyarakatnya
dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal tradisi
pemahaman ke-Islaman bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai
manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-
nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan
background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas
sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Thomas S. Kuhn yang memandang pradigma sebagai serangkaian konstelasi teori,
pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami
kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas
sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas
dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi
cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan
berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII
memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini
termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII
Medan tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan kesimpangsiuran
konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII.
Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini,
sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.
Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja
dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih
terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII
kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi
dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada
bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam
tradisional ?. Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para
aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba”
dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak
dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997 an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-
transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstatasi ini menempatkan
manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi
(khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral
dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas
memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di
sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan
penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus,
yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah
di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII,
1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya
penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban
apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa
warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di
lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan
seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih
transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-
transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya,
realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah
revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ?
Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai
rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan
waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya,
paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan
sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu,
watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami
perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah
kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis
transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya. Sebab, dengan memasukkan paradigma
tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring
untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu
sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen
dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu
diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali
rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri?
Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma
itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit
menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu
dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.

Anda mungkin juga menyukai