Anda di halaman 1dari 2

Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Sudut Pandang

Psikologi
Kebebasan berekspresi di media sosial merupakan hak yang dimiliki seluruh
pengguna media sosial. Siapapun bebas mengunggah, memberikan komentar, dan
menyukai konten yang mereka sukai. Namun, kebebasan berekspresi di media sosial
ini sering disalah artikan dengan malah dijadikan ajang untuk menghujat orang lain.
Sering kali ujaran kebencian ini dilontarkan tanpa dasar dan menjadikan orang yang
tidak memiliki kesalahan apapun menjadi sasaran empuk bagi pelaku cyber bullying.
Berdasarkan data pada Tahun 2021, Kemenkominfo telah menangani kasus ujaran
kebencian berbasis SARA sebanyak 3.640 konten. Selain itu, pemerintah juga telah
membuat sebuah regulasi yang dapat menjerat pelaku ujaran kebencian di media sosial
melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Langkah nyata berupa peraturan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat Indonesia
tidak lantas membuat pelaku ujaran kebencian untuk lebih berhati-hati dalam
menggunakan media sosial. Mengapa fenomena ini terus bergulir hingga hari ini dan
peraturan yang ditetapkan pemerintah ini tidak lantas membuat para pelakunya menjadi
lebih awas dalam memberikan komentar di media sosial?
Ujaran kebencian merupakan kekerasan verbal yang menargetkan satu orang
atau lebih dengan alasan identitas yang mereka miliki. Beberapa alasan yang
melandaskan terjadinya kekerasan verbal adalah untuk melawan, mendapatkan
sesuatu, atau membatasi sasaran kekerasan untuk mendapatkan sesuatu. Bapak
Haidar Buldan T., yang merupakan seorang ahli psikologi internet, melalui talkshow
menyatakan bahwa ujaran kebencian ini dilakukan oleh seseorang karena beberapa
alasan. Pertama, pelaku memiliki persepsi negatif atas seseorang atau kelompok
tertentu. Persepsi negatif ini bisa berdasarkan alasan suku, etnis, agama, dan lainnya.
Selain itu, ada juga pelaku yang menunjukkan perilaku trolling. Berbeda dengan orang
yang memiliki persepsi negatif, pelaku trolling merasakan kesenangan tersendiri setelah
melakukan atau melontarkan ujaran kebencian pada orang lain. Perilaku trolling ini
merupakan salah satu bentuk dari kepribadian sadism yang merasakan kebahagiaan
atas kesulitan orang lain. Alasan terakhir adalah iklim media sosial saat ini yang sangat
mendukung untuk melakukan ujaran kebencian dengan sangat mudah. Saat ini,
siapapun bisa melakukan ujaran kebencian tanpa diketahui identitasnya. Hal ini
tentunya mendorong pelaku ujaran kebencian untuk melancarkan aksinya.

Selaku pengguna generasi muda Indonesia yang aktif menggunakan media


sosial, sudah seharusnya kita bertanggung jawab atas seluruh kata-kata yang kita
lontarkan di media sosial yang kita miliki. Kebebasan berekspresi yang kita miliki ini
sudah seharusnya kita gunakan untuk membentuk iklim media sosial Indonesia yang
lebih baik. Lebih dari itu, sebagai generasi muda yang sudah melek dengan pentingnya
kesehatan mental, kita seharusnya juga memahami bahwa kita tidak bisa tahu
bagaimana hidup seseorang bisa berubah hanya dengan satu ujaran kebencian yang
terlontarkan.

Anzalna Nuraini Alifah (46119120022)

Sumber
Ardhi, S. (2022, Juli 7). Kenapa Hate Speech Begitu Marak Terjadi di Internet?
Retrieved from Universitas Gajah Mada: https://ugm.ac.id/id/berita/22681-
kenapa-hate-speech-begitu-marak-terjadi-di-internet/
Setu, F. (2021, April 26). Sejak 2018, Kominfo Tangani 3.640 Ujaran Kebencian
Berbasis SARA di Ruang Digital. Retrieved from Kominfo:
https://www.kominfo.go.id/content/detail/34136/siaran-pers-no-
143hmkominfo042021-tentang-sejak-2018-kominfo-tangani-3640-ujaran-
kebencian-berbasis-sara-di-ruang-digital/0/siaran_pers

Anda mungkin juga menyukai