Fakta saat ini adalah bahwa keberadaan gawai telepon genggam telah
menjadi “extended self” yang memungkinkan orang lain bisa membaca
emosi, pikiran dan aktivitasnya dari waktu ke waktu. Telepon genggam
jadi jendela terbuka untuk mengetahui dunia batin seseorang yang dulu
dianggap wilayah privat.
Penggunaan media sosial ini juga dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara atau
ASN yang turut serta memanfaatkannya dalam kegiatan sehari-sehari baik
itu aktifitas remeh temeh maupun urusan kedinasan sebagai pendukung
sebuah pekerjaan. Akan tetapi penggunaan media sosial yang dilakukan
oleh ASN ada batasan serta etika yang harus diindahkan agar jangan
sampai menjadi sebuah persoalan.
Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web
page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi
informasi dan komunikasi dengan menggunakan media sosial mampu
mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan member
kontribusi dan feedback / umpan balik secara terbuka, memberi komentar,
serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.
Ruang media sosial yang tidak terbatas inilah yang dikhawatirkan akan
disalahgunakan oleh ASN, dengan menyebarluaskan berita hoax bahkan
memposting ujaran kebencian yang berakibat merugikan orang lain.
Sebagai ASN, tentu saja ada etika dalam menggunakan media sosial, hal ini
sebagaimana telah diatur dalam Surat Keputusan Bersama Tentang
Penanganan Radikalisme Dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan
Pada Aparatur Sipil Negarayang ditandatangani 6 menteri dan 5 pimpinan
lembaga/instansi pada bulan November 2019.
Sesuai dengan rilis BKN Nomr 006/V/2018 ada enam aktivitas ujaran
kebencian berkategori pelanggaran berkategori pelanggaran disiplin ASN,
yakni
Sejatinya media sosial adalah media berbasis internet yang bersifat dua
arah dan terbuka bagi siapa saja, yang memungkinkan para penggunanya
dengan mudah berinteraksi, berpartisipasi, berdiskusi, berkolaborasi,
berbagi, serta menciptakan dan berbagi isi.