Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PROBLEMATIKA PENERAPAN ASAS RETROAKTIF PADA PERKARA


PELANGGARAN HAM DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS LEGALITAS
DI INDONESIA

COVER

NAMA

NIM

TA
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Tuhan yang Maha Esa berkat limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah ….

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan bapak/ibu selaku
dosen pengampuh, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Apa yang penulis sajikan berdasarkan pencarian dari berbagai sumber


informasi, referensi, Jurnal maupun web. Makalah ini disusun oleh penulis dengan
berbagai rintangan, baik itu yang datang dari penulis sendiri maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa/I.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengampuh, penulis meminta masukan
demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penulis,

Desember, 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian...................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Risiko dan Kerugian pada Perjanjian Asuransi........................... 4
B. Jenis-jenis Risiko dalam Asuransi............................................................ 9
BABI III PENUTUP
A. KESIMPULAN ........................................................................................ 14
B. SARAN..................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 15

iii
A. PENDAHULUAN

Penerapan asas legalitas pada suatu negara menurut Ridwan HR ialah akan
menunjang berlakunya suatu kepastian hukum dan perlakuan yang sama.
Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam situasi yang
seperti ditentukan dalam ketentuan undang-undang berhak dan memiliki
kewajiban untuk berbuat seperti apa yang telah ditentukan didalam undang-
undang. Sementara kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat
membuat semua tindakan pemerintah yang akan dilakukan dapat diperkirakan
terlebih dahulu, dengan dasar melihat kepada suatu peraturan undang-undang
yang berlaku, maka pada asasnya dapat dilihat atau diharapkan pada apa yang
akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan.1

Asas legalitas, yakni nullum delicta nulla poena sine praevia lege yang
dahulu dicetuskan oleh sarjana hukum pidana Jerman bernama von Feurbach
(1775 – 1833) yang termuat dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht.2 Pada
mulanya hukum Romawi yang diterima di Eropa pada zaman Abad Pertengahan
tidak mengenal asas legalitas, namun dikenal adanya kejahatan yang dinamakan
criminal extra ordinaria (kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang),
sehingga memungkinkan para penguasa (raja-raja) untuk berbuat sewenang-
wenang. Oleh karena reaksi terhadap kesewenangwenangan tersebut maka
Montesqueiu menyampaikan ide adanya asas legalitas dalam bukunya L’esprit des
Lois (1748) dan demikian pula Rousseau dalam bukunya Dus Contract Social
(1762). Asas legalitas tersebut untuk pertama kalinya tertuang dalam undang-
undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789)
semacam undang-undang dasar pertama dalam Revolusi Perancis.3

Di dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas dimunculkan pada Pasal


1 ayat (1) KUHP. Pengertian asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut
menurut Moeljatno juga mempunyai arti bahwa perbuatan seseorang harus diadili
menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan itu dilakukan (lextemporis
1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), 96.
2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revi (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 23.
3
Ibid. 24.

1
delictie). Namun, apabila setelah perbuatan tersebut dilakukan terjadi perubahan
dalam perundang-undangan, maka dipergunakan aturan yang paling ringan bagi
terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sehingga
dengan demikian lextemporis delictie tersebut dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2)
KUHP tersebut.4

Asas legalitas senada dengan asas non rekroaktif, atau asas yang tidak
memperbolehkan hukum berlaku surut. Asas ini diulangi dalam hukum pidana
dan juga dimuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, yang
artinya larangan berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi
hukum pidana.

Sebagai penjabaran adanya gap antara das sollen dan das sein, penulis
hendak menjabarkan bahwa Indoesia menganut asas legalitas dan asas retroaktif
yang tidak memperkenankan adanya kejahatan yang dihukumi dengan regulasi
yang baru disahkan, sebab pada prinsipnya regulasi yang telebih dahulu ada lalu
kemudian adanya suatu delik. Namun baik asas retroaktif dan asas legalitas
sesungguhnya telah disimpangi pada kasus-kasus pelanggaran HAM, dimana
kasus pelanggaran HAM yang telah lampau lama terjadi dapat saja dibuka
kembali kasusnya yakni pada saat adanya suatu regulasi atau UU yang baru.
Padahal maksud dari retroaktif dan asas legalitas sendiri ialah bertujuan untuk
menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu
perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak. Maka tentunya, pada
pelaksanaan peradilan HAM dengan sifat retroaktif secara tidak langsung akan
memburamkan kepastian hukum terhadap masyarakat yang seharusnya ia harus
mengetahui terlebih dahulu perbuatannya merupakan tindak pidana atau tidak.

Maka, yang menjadi das sollen ialah maksud dari Pasal 1 ayat (1) KUHP
yakni menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus
tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak, adapun das seinnya
ialah penerapan hukuman pada kasus pelanggaran HAM lampau dengan
menggunakan asas non retroaktif.

4
Ibid. 31.

2
Adapun jurnal yang terkait dengan materi ini namun secara spesifik
tidaklah memiliki kesamaan yang serupa ialah penelitian yang ditulis oleh
Nurhidayatuloh, Akhmad Idris, Rizka Nurliyantika, dan Fatimatuz Zuhro dengan
judul “Anomali Asas Non-Retroaktif dalam Kejahatan Genosida, Bertentangan
dengan HAM?” (2022) yang juga turut menerangkan mengenai eksistensi asas
non retroaktif khususnya dalam hal genosida. Namun penelitian Nurhidayatuloh
dkk lebih menekankan pada sejauh mana waktu pemberlakuan “retroaktif” bisa
diterapkan dalam kasus kejahatan genocida.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka tujuan penulisan makalah
ini ialah:
1. Untuk mengetahui kedudukan asas retroaktif di Indonesia, serta
2. Untuk mengetahui dapatkah asas retroaktif diberlakukan dalam kasus
pelanggaran HAM di Indonesia atau tidak.

B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada dasarnya adalah cara ilmiah guna memperoleh
dataa dengan tujuan serta kegunaan tertentu. Agar dapat mencapai tujuan tersebut,
yang diperlukan adalah sebuah metode yang relevan.5 Metode perlu untuk
diperhatikan secara seksama agar makalah ini seusuai dengan aturan yang telah
ditetapkan serta agar memenuhi kriteria karya ilmiah yang telah ditentukan,
adapun uraian metode dalam makalah ini ialah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum/yuridis normatif, yakni sebuah
penelitian yang mengacu kepada berbagai norma hukum yang selaras atau
yang memiliki kaitan dengan isu yang tengah dibahas. Penelitian yuridis
normatif merupakan salah satu jenis penelitian yang dimaksudkan agar
penelitian terfokus pada penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
hukum positif.6
2. Pendekatan Penelitian

5
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. (Bandung: Alfabeta CV,
2017), 1.
6

3
Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan peraturan
perundang-undangan yang merupakan penelaahan semua undang-undang
maupun regulasi yang memiliki sangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani.7
3. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah dengan penelitian
kepustakaan kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, yang berkenaan
dengan masalah dan tujuan penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yakni data yang didapatkan
dari sumber-sumber kepustakaan dikumpulkan akan penulis seleksi dan
direduksi relevansinya melalui analisa kualitatif, sehingga akan muncul
hasil yang dapat disajikan secara deskriptif.

C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS


1. Tinjauan Teori Efektivitas Hukum
Efektifitas merupakan bentuk proses dalam mencapai sebuah tujuan,
proses itu dapat dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuannya. Dalam
peraturan hukum atau perundang-undangan dapat dikatakan efektif apabila telah
tercapainya tujuan dari peraturan hukum itu sendiri dengan ditaatinya peraturan
hukum, dan perundang-undangan dapat dikatakan efektif apabila telah tercapainya
tujuan dari perundang-undangan itu sendiri.8
Menurut Max Black, permasalahan utama di dalam keefektifan suatu
hukum terletak pada peranan hukum, sehingga Black pun menyarankan ideal
hukum (suatu pedoman yang didiuraikan dalam perundang-undangan atau
berdasarkan putusan hakim) terhadap realitas hukum.9 Hal ini menunjukkan suatu

7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), 93.
8
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2017), 110.
9
Djaenab, “Efektifitas Dan Berfungsinya Hukum Dalam Masyarakat,” Jurnal Pendidikan
Dan Studi Islam Ash-Shahabah 4, no. 2 (2018): 151.

4
sistem hukum yang dinyatakan efektif apabila mempunyai tingkatan yang tinggi
antara kebijakan hukum dan tingkah laku manusia.10
Tercapainya efektifitas hukum disebabkan oleh beberapa elemen penting
yaitu elemen hukum, elemen penegak hukum, elemen fasilitas dan sarana
prasarana hukum, elemen masyarakat, dan elemen budaya. Pada elemen yang
pertama yaitu elemen hukum, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan merupakan
unsur yang terkandung dalam hukum, dalam memutuskan suatu perkara seorang
hakim tidak hanya dapat memutuskan secara penerapan undang-undang saja
karena ada kalanya dalam memutuskan suatu perkara tidak tercapainya keadilan
yang merupakan salah satu faktor yang berkembang di masyarakat. Hukum tidak
hanya dapat dipandang dari segi hukum tertulis saja dan keadilan dapat dijadikan
sebagai prioritasjuga dalam memutuskan suatu perkara, hal ini dikarenakan sifat
hukum berwujud nyata atau konkret sedangkan keadilan bersifat abstrak, keadilan
sendiri masih menjadi perdebatan karena keadilan memiliki unsur subjektif dari
masing-masing orang.11
2. Tujuan Pembahasan
a. Kedudukan Asas Retroaktif Di Indonesia
Terterapkannya asas legalitas akan menimbulkan permasahalan
retroaktif, asas legalitas dibagi pada tiga komponen, diantaranya Nulla
poena sine lege (ketidakberlakuan sebuah pidana dengan tidak adanya
sebuah perundangundang yang telah ditetapkan), Nulla poena sine crimine
(semua jenis pidana pasti melalui tindak kejahatan) dan Nullum crimen
sine poena legali (semua tindakan pidana disebabkan adanya ketetapan
akan pidana itu sendiri berdasarkan perundang-undangan).12
Sebuah pasal yang ditetapkan tentunya memiliki konsekuensi, salah
satunya ialah sebuah kontrol yang menghalangi adanya penerapan atas
surut suatu perundang-undangan pidana (non rektroaktif). Penerapan

10
Trianah Sofiani dan Saif Askari, “Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Corporal
Punishment Di Sekolah,” Jurnal Bina Mulia Hukum 4, no. 2 (2020): 231.
11
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
Grafindo Persada, 1983), 90.
12
Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana” (Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2006), 84.

5
sebuah hukum surut diperbolehkan apabila penerapannya selaras dengan
kebijakan yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Adanya
sebuah kontrol agar tidak mengijinkan penerapan sebuah asas rektroaktif
dilandaskan pada argumen.13
Di Indonesia, asas retroaktif dipandang sebagai pengingkaran atai
pengecualian dari asas legalitas yang Indonesia anut. Asas legalitas pada
intinya berisi asas “lex temporis delicti” hanya memberikan perlindungan
kepada individu pelaku tindak pidana dan kurang memberikan
perlindungan kepada kelompok masyarakat yang menjadi korban tindak
pidana, sehingga akses memperoleh keadilan bagi korban terhambat.
Asas legalitas merupakan asas fundamental bagi Negara-Negara yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan,
namun berlakunya tidak mutlak dalam arti pembentuk undang-undang
dapat menyatakan suatu perbuatan yang telah terjadi sebagai tindak pidana
dan dapat dipidana asalkan perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum
tidak tertulis.14
Negara adalah pihak yang wajib melakukan segala upaya termasuk
membentuk peraturan perundang-undangan nasional guna kesejahteraan
masyarakat.15 Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dilandasi oleh
prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti keadilan bagi pelaku tindak
pidana maupun keadilan bagi korban tindak pidana, merupakan
menyeimbang asas legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian
hukum dan asas keadilan untuk semuanya. Pemberlakukan hukum pidana
secara retroaktif dengan kondisi-kondisi seperti baik kepentingan
kelompok masyarakat. bangsa, maupun Negara yang selama ini kurang
mendapat perlindungan dari asas legalitas dapat diterima guna memenuhi
tuntutan moral pembalasan masyarakat.

13
Ibid.
14
Barda Nawawi Arief, Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara (Semarang: Ananta, 1994), 71.
15
Hana Farah Dhiba, “Regulasi Hukum Terhadap Keterlibatan Korban Tindak Pidana
Penyelundupan Manusia,” Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi 4, no. 2 (2021): 268.

6
Dalam sejarah hukum pidana retroaktif itu hanya untuk hukum pidana
materiil, tidak dalam hukum acara pidana, karena asas legalitas yang
tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP itu memang dilahirkan sebagai
akibat dari rezim yang otoriter. Asas legalitas dimaksudkan untuk
membatasi kewenang-wenangan, dan hingga saat ini tidak ada perubahan.
Penentuan delik berkaitan dengan ranah hukum pidana materiil, yang
ditetapkan oleh pembuat undang-undang (legislatif). Dengan demikian
pemberlakuan secara retroaktif sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat
(1) secara jelas menunjuk pada hukum pidana materiil, tetapi asas non
retroaktif dapat disampingi berdasarkan pasal 103 KUHP. Asas non
retroaktif merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana,
sehingga tidak dapat disampingi begitu saja, hanya karena telah diatur
dalam sebuah undang-undang. Dengan kata lain, penyimpangan yang
diperolehkan menurut pasal 103, tidak berlaku terhadap asas non
retroaktif. Pemberlakuan asas retroaktif hanya berkaitan dengan hukum
pidana materiil. Dari kalimat “nullum delictum” yang artinya “tidak ada
delik” dan “nulla poena” yang artinya “tidak ada pidana” menunjukan
bahwa hal tersebut merupakan ranah hukum pidana materiil. Penentuan
delik dan pidana, ditentukan dalam hukum pidana materiil.
b. Asas Retroaktif Diberlakukan Dalam Kasus Pelanggaran HAM Di
Indonesia
Hukum merupakan perangkat penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, ia hadir untuk mengatur segala bentuk tingkah laku manusia
dalam rangka menyambut terciptanya tatanan kehidupan yang ideal.
Dalam negara yang bermartabat, konsep perlindungan dan penegakan
HAM seringkali menjadi barometer utama dalam memberikan nilai bagi
keberhasilan dan kemajuan suatu negara hukum. Begitu pula Indonesia
yang berlatar belakang sejarah luka-luka kemanusiaan, setelah sekian lama
dijajah dan ditindas oleh bangsa penjajah, otomatis melahirkan semangat
untuk melahirkan negara dengan perangkat hukum yang siap menjamin.

7
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia bagi setiap orang dan
kelompok.
Hak untuk hidup merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
yang begitu penting dan mendasar. Terdapat banyak kategori HAM,
namun sedikit hak yang mendapatkan kategori sebagai hak yang penting
dan mendasar.16 Dengan lahirnya UUD 1945 sebagai konstitusi dalam
negara, maka semua hak yang melekat pada diri setiap individu atau
perseorangan dijamin. Dengan demikian dalam Pasal 28 huruf A UUD
1945 telah mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Sepanjang perjalanannya, prinsip-prinsip HAM telah berkembang di
berbagai negara di dunia, salah satunya Indonesia. Puncak kekuasaan
pemerintahan Orde Baru yang begitu restriktif (represif) yang berlangsung
kurang lebih 32 tahun berkuasa telah menggugah kesadaran masyarakat
akan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Contoh kecilnya adalah kurangnya perlindungan dalam
menyampaikan pendapat di depan umum dan sebagainya.
UUD 1945 telah menjamin sepenuhnya keistimewaan yang melekat
pada diri manusia, yang mereka anggap sebagai hak yang tidak dapat
ditawar atau dikurangi dengan cara apapun, maka kita biasa menyebutnya
sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Berbagai hak asasi manusia yang
dijamin oleh konstitusi Indonesia tertuang dalam Pasal 28 I UUD 1945,
yaitu:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak bisa
dikurangi dalam bentuk apapun”.

Sejalan dengan ketentuan di atas dalam Pasal 4 Undang-undang


Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat klausul yang

16
Triantono, “Konsep Moderasi Pidana Mati RKUHP Dalam Perspektif HAM Dan
Kepentingan Negara,” Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi 5, no. 1 (2022): 119.

8
sama persis yaitu “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut”, ketentuan yang sama juga terdapat dalam asas-asas umum. dari
KUHP. yaitu Asas Legalitas yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1)
menyatakan, “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
peraturan perundang-undangan pidana yang ada”.
Pasal 28 I UUD 1945 tersebut diatas jelas-jelas sejalan dengan asas
non retroaktif dan asas legalitas, yakni tidak memperbolehkan hukum
berlaku surut kebelakang. Artinya, jika ada kasus hukum ham yang
lampau, maka ia tidak bisa diadili dengan uu Ham baru yang datang
kemudian.
Asas legalitas dalam konsep negara hukum merupakan asas yang
paling mendasar, ia tidak hanya lahir dalam rangka menegakkan hukum
sebagaimana mestinya, tetapi selain itu bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam menjalankan
kehidupannya. Sehingga ada perlindungan terhadap hak setiap warga
negara dari kesewenang-wenangan penguasa ketika berhadapan dengan
hukum. Di antara perlindungan hak-hak tersebut tidak hanya bagi pelaku
perorangan tetapi juga bagi korban perorangan yang diberikan jaminan
langsung oleh asas legalitas, karena merupakan standar dan inti hukum
pidana yang tidak dapat dilanggar atau diberlakukan sebaliknya.17
Menyikapi Pasal 28 I UUD 1945 diatas khususnya pada frasa “suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan peraturan perundang-
undangan pidana yang ada”, secara prinsip dan substansi hampir sama
bahkan bisa dikatakan sama persis yang menjamin bahwa seseorang tidak
dapat dipidana kecuali telah diatur hukumnya. Pada dasarnya tiga aturan
tersebut secara eksplisit mengatur tentang asas legalitas (nullum crimen
sine lege) dimana suatu tindak pidana baru dapat dihukum ketika ada
aturannya.

17
Nurhidayatuloh, “ASEAN and European Human Rights Mechanisms, What Should Be
Improved?,” Padjadjaran Journal of Law 6, no. 1 (2019): 152.

9
Namun, ketika digali lebih jauh lagi asas pasal ini juga mengandung
makna asas non-retroaktif. Di Eropa bahkan telah dikuatkan berdasarkan
putusan-putusan hakim Pengadilan HAM Eropa yang menegaskan bahwa
larangan retrospective (retroaktif) adalah hal yang tanpa syarat yang tidak
hanya sebatas pada definisi tindak pidana semata akan tetapi juga
mencakup pada hukuman yang tidak boleh diterapkan.18
Terkait dengan dilakukannya asas atau prinisp retroaktif atau hukum
yang berlaku surut di Indonesia mulai ramai dibicarakan pada saat
pembuatan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 dimana dalam Pasal 43
dimungkinkan bahwa Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum undang-undang ini
dibuat. Bahkan pasal menurut MK sebagai pasal yang tidak dapat
dihindarkan lagi mengandung makna retroaktif.19
Artinya, hal tersebut mengabaikan UUD 1945, Pasal 28 (I) atau tidak
memathui asas legalitas dan asas non retroaktif yang tidak
memperbolehkan kasus HAM diadili dengan surut. Padahal UUD 1945,
Pasal 28 (I) dinyatakan dengan jelas bahwa mengabaikan asas non-
retroaktif dengan melakukan perbuatan pidana secara surut merupakan
pelanggaran konstitusi. Terlebih lagi, konstitusi juga menegaskan bahwa
ini adalah hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak dapat
dikurangi bahkan oleh negara.
Hanya saja dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Pasal 43 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.” Pasal ini berarti ada sebuah kewenangan yang
diberikan kepada Pengadilan HAM ad hoc untuk Menangani perkara yang

18
Nurhidayatuloh, “Anomali Asas Non-Retroaktif Dalam Kejahatan Genosida,
Bertentangan Dengan HAM?,” Jurnal Konstitusi 19, no. 2 (2022): 9.
19
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 0065/PUUII/2004.

10
terjadi sebelum aturan ini lahir. Hal ini juga diperkuat dengan penjelasan
pasal yang menyatakan bahwa:
“Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan Hukum
internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal
mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J (2)
UUD NRI 1945 dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat
diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri.”

Hal ini juga diperkuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)


Nomor 0065/ PUU-II/2004 bahwa dalam pertimbangannya MK sendiri
menegasikan sifat multak asas non retroaktif dengan menyatakan bahwa:
“Menimbang bahwa ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,
menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang
berlaku surut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Meskipun rumusan harfiah demikian
menimbulkan kesan seolah-olah bahwa hak untuk tidak dituntut
berdasarkan hukum yang berlaku surut bersifat mutlak, namun sesuai
dengan sejarah penyusunannya, Pasal 28I ayat (1) tidak boleh dibaca
secara berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan
Pasal 28J ayat (2). Dengan cara demikian maka akan tampak bahwa,
secara sistematik, hak asasi manusia -termasuk hak untuk tidak
dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut- tidaklah bersifat
mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib
tunduk pada pembatasan yang ditentukan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis sebagaimana
diatur dalam Pasal 28J ayat (2). Dengan membaca Pasal 28I ayat (1)
bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), tampaklah bahwa hak untuk
tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroaktif)
tidaklah bersifat mutlak, sehingga dalam rangka ‘memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban,’ dapat dikesampingkan.”20

Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini mengemukakan secara tegas


ternyata penerapan asas non-retroaktif tidak bersifat mutlak oleh karena

20
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 0065/PUUII/2004.”

11
kemutlakan ini dibatasi dengan Pasal UUD 1945 28J ayat (2) yang mana
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan kemanan menjadi penghalang
sifat kemutlakan asas non-retroaktif ini. Sehingga ketika ada persoalan
mengapa Indonesia menganut ketidakmutlakan terhadap asas padahal hal
ini bertentangan dengan aturan hukum internasional tentang HAM adalah
karena asas ini dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain dan pembatasan
yang dibuat oleh undang-undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai keagamaan dan keamanan. Kemudian alasan demikian di dukung
oleh MK sebagai penjaga konstitusi.21
Adapun contoh kasus pelanggaran HAM yang padanya diberlakukan
asas retroaktif sekaligus bentuk pengabaian terhadap asas legalitas dan
asas non retroaktif ialah seperti kasus tragedi Tanjung Priok dan Timor-
Timur, yang mana dalam sejarahnya Timor-Timur mengeluarkan ide
melepaskan diri dari kesatuan republik indonesia. Berdasarkan konflik
tersebut akhirnya PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan
resolusi untuk menengahi kasus Timor-Timur tersebut, dimana dalam
resolusi tersebut berisi dua pilihan. Pertama Indonesia menyerahkan kasus
itu pada Mahkamah Internasional dan yang kedua menangani di dalam
Negara sendiri yang secara otomatis harus ada pembaharuan hukum dalam
rangka bisa untuk menanganinya. Menanggapi hal tersebut akhirnya
Indonesia memilih untuk mengadili di dalam negara sendiri.22
Salah satu di antara para pelanggar berat HAM Timor-timur yang
diadili yaitu mantan gubernur Timor-timur (Abilio Jose Soares) atas dasar
pemberlakuan surut melalui UU Pengadilan HAM, meskipun pada
akhirnya dalam upaya PK yang diajukannya ia berhasil dibebaskan dengan
putusan nomor 45 PK/PID.HAM.Ad.Hoc/2004. Prinsip pemberlakuan
surut sebagaimana dimaksud, yang dikenal dengan asas retroaktif
diperkuat dengan Pasal 43 (1) UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM
yang menyebutkan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
21
Nurhidayatulloh, Op.,Cit. 11.
22
Nevins Joseph, Pembantaian Timor-Timur Horor Masyarakat Internasional
(Yogayakarta: Galang Press, 2008), 12.

12
terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus
oleh pengadilan HAM ad hoc”.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan diatas, maka penulis dapat


menjawab sekaligus menyimpulkan 2 tujuan pembahasan dalam makalah ini,
yakni:

1. Kedudukan asas retroaktif di Indonesia tetap digunkan dalam sistem


hukum di Indonesia untuk menyeimbangkan asas legalitas yang semata-
mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan untuk
semuanya, adapun pemberlakuan asas retroaktif ialah pada kondisi atau
tindak pidana tertentu saja guna memenuhi tuntutan moral pembalasan
masyarakat, yang tidak bisa diraih dengan penerapan secara mutlak asas
legalitas dan asas non retribusi.
2. Mengenai asas retroaktif dapatkan diberlakukan dalam kasus pelanggaran
HAM di Indonesia atau tidak, jawabannya ialah dapat diberlakukan.
Adapun landasan hukumnya ialah Pasal 43 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 0065/ PUU-II/2004. Artinya keberadaan asas
retroaktof juga mendapat tempat, sekaligus menjawab dan menegaskan
bahwa asas legalitas dan asas non retroaktif tidak berlaku mutlak.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Semarang: Ananta,
1994.

Askari, Trianah Sofiani dan Saif. “Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap


Corporal Punishment Di Sekolah.” Jurnal Bina Mulia Hukum 4, no. 2
(2020).

Dhiba, Hana Farah. “Regulasi Hukum Terhadap Keterlibatan Korban Tindak


Pidana Penyelundupan Manusia.” Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan
Konstitusi 4, no. 2 (2021).

Djaenab. “Efektifitas Dan Berfungsinya Hukum Dalam Masyarakat.” Jurnal


Pendidikan Dan Studi Islam Ash-Shahabah 4, no. 2 (2018).

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.

Joseph, Nevins. Pembantaian Timor-Timur Horor Masyarakat Internasional.


Yogayakarta: Galang Press, 2008.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2009.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revi. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Nurhidayatuloh. “Anomali Asas Non-Retroaktif Dalam Kejahatan Genosida,


Bertentangan Dengan HAM?” Jurnal Konstitusi 19, no. 2 (2022).

———. “ASEAN and European Human Rights Mechanisms, What Should Be


Improved?” Padjadjaran Journal of Law 6, no. 1 (2019).

Raharjo, Agus. Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana”.


Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2006.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: Grafindo Persada, 1983.

———. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017.

14
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung:
Alfabeta CV, 2017.

Triantono. “Konsep Moderasi Pidana Mati RKUHP Dalam Perspektif HAM Dan
Kepentingan Negara.” Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi 5, no.
1 (2022).

15

Anda mungkin juga menyukai