Anda di halaman 1dari 15

Analisis Yuridis Pengadaan Tanah Proyek Strategis Nasional

Pada Kawasan Hutan Lindung yang Dikuasai Oleh Masyarakat


(Studi Pada Pembangunan PLTA Asahan 3)

The Title Should Be Brief and Informative No More Than 15


Words in English

Manahan Tua Siringoringo, mt.ringo2@gmail.com


Prodi atau Jurusan Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, Indonesia

Abstrak
Pembangunan Infrastruktur masih menjadi fokus pemerintah hingga saat ini. Ada sejumlah Proyek
Strategis Nasional yang sedang dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya adalah Program
Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Dalam melaksanakan Percepatan Pembangunan
Infrastuktur Ketenagalistrikan, ketersediaan lahan menjadi syarat yang harus dipenuhi, dan tidak
menutup kemungkinan penggunaan kawasan hutan sebagai lokasi pembangunan. Permasalahan yang
dikaji dalam penelitian ini adalah proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTA
Asahan 3 yang berada pada kawasan hutan, kemudian mekanisme penyelesaian hukum terhadap
lahan kawasan hutan yang dikuasai masyarakat dalam rangka Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analisis
melalui pendekatan kualitatif, dengan menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari bahan
literatur dan berkaitan dengan objek penelitian. Pembangunan PLTA Asahan 3 merupakan
pembangunan yang dilakukan diluar kegiatan kehutanan. Mekanisme Pengadaan tanah dengan
menggunakan Kawasan Hutan dapat dilakukan PT PLN (Persero) melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan untuk
Penyelesaian terhadap penguasaan tanah, bangunan, dan/atau tanaman oleh masyarakat di kawasan
hutan dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dapat diselesaiakan
oleh PT PLN (Persero) melalui mekanisme Penyelesaian Teknis.
Kata Kunci: Infrastruktur Ketenagalistrikan, Pengadaan Tanah, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan,
Penyelesaian Teknis

Abstract
Infrastructure development is still the focus of the government until now. Several national strategic
projects are being carried out by the Government, one of which is the Development of Electricity
Infrastructure. In carrying out the Acceleration of Electricity Infrastructure Development, land
availability is a condition that must be met, and does not rule out the possibility of using forest areas as
development sites. The concerns studied in this research are the process of implementing land acquisition
for the construction of PLTA Asahan 3 which is located in a forest area, then the mechanism for the legal
settlement of forest area land controlled by the community to Accelerating Electricity Infrastructure
Development. The research was a juridical normative, analytic study by a qualitative approach, using
secondary data sources derived from literature and subject research. The construction of the Asahan 3
hydropower plant is construction carried out outside of forestry activities. The mechanism for land
acquisition using Forest Areas can be carried out by PT PLN (Persero) through a Borrow-to-Use Forest
Area Permit issued by the Minister of Environment and Forestry. Meanwhile, the settlement of control
over land, buildings, and/or plants by the community in forest areas in the context of accelerating the
development of electricity infrastructure can be completed by PT PLN (Persero) through a Technical
Settlement mechanism.

Keywords: Electricity Infrastructure, Land Acquisition, Forest Area Borrowing Permit, Technical
Settlement .

1
*E-mail: mt.ringo2@gmail.com
2550-1305 (Online)
ISSN

2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Infrastruktur secara luas diakui sebagai salah satu faktor kunci yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi serta memfasilitasi penurunan tingkat ketimpangan dan
kemiskinan, terutama di negara berkembang (Tusk Advisory, 2018). Indonesia
memperoleh peringkat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam hal
kualitas infrastruktur dan penyediaan infrastruktur yang tidak memadai sehingga
menjadi kendala beberapa perusahan untuk beroperasi dan investasi. Menindaklanjuti
hal tersebut, pemerintah berkomitmen untuk menetapkan infrastuktur sebagai salah
satu prioritas melalui upaya pembangunan proyek strategis nasional.
Pemerintah juga mendorong peningkatan infrastruktur ketenagalistrikan di Tanah
Air, hal ini dilakukan dengan menerbitkan Perpres No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Sesuai dengan amanah Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PT PLN (Persero) sebagai
Badan Usaha Milik Negara berkewajiban secara institusional maupun konstitusional
untuk menjamin ketersediaan pasokan listrik di seluruh wilayah Republik Indonesia
dengan kualitas, mutu dan harga optimal untuk kepentingan umum. Salah satu upaya
yang dialakukan oleh PT PLN (Persero) untuk mendukung program tersebut adalah
dengan melakukan Pembangunan PLTA Asahan 3.
Salah satu unsur dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang tidak bisa
dihindari lagi adalah masalah kebutuhan akan lahan atau tanah. Tanah merupakan
kebutuhan dalam pelaksanaan pembangunan yang menduduki komponen paling utama,
karena itu sebelum pelaksanaan pembangunan harus ada terlebih dahulu tersediaya
komponen yang paling prinsip yaitu lahan atau tanah. Tanpa adanya komponen yang
utama ini, maka pembangunan tidak akan bisa diwujudkan secara optimal (Mudakir
Iskandar Syah, 2020: 40). Faktanya, pembangunan sering terhalang oleh ketersediaan
tanah. Sitorus dan Limbong (2004, 1) menyebutkan bahwa ketersediaan Tanah Negara
yang “bebas” yaitu yang sama sekali tidak dihaki atau diduduki orang atau pihak-pihak
berkepentingan sangat terbatas. Tanah di Indonesia umumnya sudah dipunyai atau
setidaknya sudah ada yang menduduki. Akibatnya, apabila ada kegiatan pembangunan
yang membutuhkan tanah maka tanah diperoleh melalui kegiatan pengadaan tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk Pembangunan PLTA Asahan 3 terletak di
wilayah pemerintahan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Toba, lahan yang akan
digunakan berada di Kawasan Hutan Lindung. Penyiapan lahan bagi pembangunan telah
diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, beserta segenap
peraturan pelaksanaannya yang terkait. Regulasi tersebut tidak mengatur mengenai
perolehan atau pelepasan tanah yang berada pada kawasan hutan. Akibatnya, apabila
ada obyek pengadaan tanah berada pada kawasan hutan maka perolehan atau
pelepasannya dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundangan di bidang kehutanan.
Ditinjau dari perspektif hukum kehutanan, penggunaan kawasan hutan untuk
pembangunan PLTA Asahan 3 dikategorikan sebagai penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 41
Tahun 1999 menentukan bahwa “penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung”. Secara normatif, Penguasaan tanah kawasan
hutan seharusnya berada dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK), namun pada kenyataaannya ditemukan penguasaan tanah yang dilakukan oleh

3
masyarakan di dalam kawasan hutan. Masyarakat mengklaim bahwa penguasaan tanah
dalam kawasan hutan tersebut diperoleh berdasarkan hukum adat. Tanah yang dikuasai
merupakan warisan orang tua mereka terdahulu dari hasil membuka lahan hutan. Oleh
karenanya secara akademik jurnal ini akan membahas tentang Pengadaan Tanah Proyek
Strategis Nasional Pada Kawasan Hutan Lindung yang Dikuasai Oleh Masyarakat dengan
studi kasus pada Pembangunan PLTA Asahan 3.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini disusun sebagai suatu penelitian hukum normatif yang meneliti
bahan-bahan hukum dan berkaitan dengan Isu, pengaturan hukum mengenai pengadaan
tanah dalam kawasan hutan dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan. Dalam penelitian hukum normatif dikenal beberapa metode
pendekatan (Marzuki, 2008: 93-95). Pendekatan Peraturan Perundang-undangan
(statute approach) dilakukan dengan menelaah instrument hukum nasional yang
mengatur tentang isu pengadaan tanah dalam kawasan hutan dan dikuasai oleh
masyarakat. Pendekatan analisis/konsep (analytical or conceptual approach) (Ibrahim,
2006), selanjutnya digunakan dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai
Pengadaan Tanah di Kawasan Hutan dalam rangka pembangunan Proyek Strategis
Nasional. Proyek Pembangunan PLTA Asahan 3 menjadi lokasi penelitian ini dilakukan,
yang terletak di wilayah pemerintahan Kabupaten Toba dan Asahan, dimana Lokasi
tersebut berada di dalam Kawasan Hutan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk PIK di Dalam Kawasan Hutan Lindung.
Pengadaan tanah adalah proses pelepasan hak atas kepemilikan orang atas tanah
dan/atau benda-benda yang ada diatasnya yang dilakukan secara sukarela untuk
kepentingan umum. Oloan Sitorun (2004: 5) berpendapat bahwa Pengadaan Tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak. Aktivitas pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan secara teoritik didasarkan pada prinsip/asas tertentu dan terbagi menjadi
dua subsistem:
(1) Pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum;
(2) Pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum
(komersial).
Pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan diatur dalam
ketentuan perundang-undangan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, beserta peraturan pelaksanaannya
yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang perubahan atas
peraturan presiden Nomor 71 Tahun 2012. Sebagai rujukan pelaksanaan teknis juga
diterbitkan peraturan kepala badan pertanahan republic Indonesia Nomor 5 Tahun 2012
tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah.
Pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 memuat
beberapa perubahan fundamental dalam kegiatan pengadaan tanah, diantraranya bahwa

4
pembangunan untuk kepentingan umum menjadi salah satu dasar bagi pemerintah
untuk melegitimasi dalam pengadaan tanah. Oleh karena itu, filosofi pengadaan tanah
dalam ranah ini adalah bahwa pemerintah menjamin tersedianya tanah untuk
kepentingan umum, dan bagi pihak pemegang hak atas tanah wajib melepaskan
tanahnya yang akan digunakan untuk kepentingan umum. Meskipun demikian,
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tetap memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, serta
dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 menerapkan 4 (empat) tahapan proses, yang memberikan
kejelasan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam setiap tahapan proses, termasuk
output yang terukur serta tata laksana waktu yang jelas. Keempat tahapan tersebut
adalah 1) Perencanaan, 2) Persiapan, 3) Pelaksanaan, dan 4) Penyerahan Hasil.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTA Asahan 3 dimulai pada
tahun 2012 yang ditandai dengan terbitnya keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor
1884/128/KPTS/2012 tanggal 17 Februari 2012 tentang Izin Penetapan Lokasi seluas
210 Ha di Kabupaten Asahan dan kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara.
Selanjutnya, PT PLN (Persero) telah memperoleh Izin Lingkungan Kegiatan
Pembangunan PLTA Asahan 3 berkapasitas 174 (2 x 87 MW) dan jaringan Transmisi 150
kV ke Gardu Induk Simangkuk berdasarkan keputusan Kepala Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Provinsi Sumatera Utara Nomor 660/72/BPPTSU/2/4.1/VIII/2013
tanggal 30 Agustus 2013.
Pada prinsipnya, pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan dilakukan melalui pengadaan tanah berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum, sebagaimana tercantun dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden No. 4
Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, dikutip
sebagai berikut:
(1) Penyediaan tanah utuk pelaksanaan PIK dilakukan oleh PT PLN (Persero),
anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dalam rangka pelaksanaan PIK.
(2) Penyediaan tanah sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengadaan tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
dengan menggunakan waktu minimum.
Dengan memperhatian pasal tersebut diatas, maka pelaksanaan pengadaan tanah
untuk pembangunan PLTA Asahan 3 adalah melalui tahapan penyelenggaran tanah yang
tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dengan cara pemberian ganti kerugian dan
pelepasan hak. Akan tetapi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tidak mengatur tentang
bagaimana tahapan pelaksanaan pengadaan tanah yang berlokasi di dalam kawasan
hutan lindung. Secara Normatif, memiliki 3 (tiga) fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:
Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. Fungsi Konservasi;
b. Fungsi Lindung;

5
c. Fungsi Produksi
Walaupun demikian kawasan hutan masih dapat dilakukan penggunaannya untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal
38 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan
kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan
hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui
pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan Batasan
luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Prihatno (2017) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) mekanisme penggunaan tanah
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yaitu: (a)
tukar menukar kawasan hutan; (b) pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat
dikonversi; dan (c) pinjam pakai kawasan hutan.
Ditinjau dari perspektif hukum kehutanan, Penggunaan Kawasan Hutan adalah
penggunaan atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dari peruntukan kawasan hutan, dan hanya
dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.
Penggunaan Kawasan Hutan sebagai lokasi pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010
tentang Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah dan terakhir digantikan
dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan kehutanan.
Untuk dapat menggunakan kawasan hutan sebagai lokasi pembangunan
Infrastruktur Ketenagalistrikan, PT PLN (Persero) harus mendapatkan izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2010 beserta perubahannya sebagai berikut:
Pasal 6:
(1) Penggunaan Kawasan Hutan dilakukan berdasarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan
Pasal 7:
(1) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
diberikan oleh Menteri berdasarkan Permohonan.
(2) Menteri dapat melimpahkan wewenang pemberian izin pinjam pakai kawsan
hutan dengan luasan tertentu kepada gubernur untuk pembangunan fasilitas
umum yang bersifat nonkomersial
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimahan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan mengenai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.18/Menhut-II/2011 sebagaimana telah
diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia No. P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2019 tentang

6
Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.27/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Kewajiban bagi pemegang IPPKH mengacu pada ketentuan sebagaimana tercantum
dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 berserta perubahannya,
dikutip sebbagai Berikut:
a) Membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan;
b) Melakukan Penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;
c) Melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi;
d) Menyelenggarakan perlindungan hutan;
e) Melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang
dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan; dan
f) Melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Bahwa PT PLN (Persero) sebagai pemegang IPPKH juga berkewajiban melaksanakan
kompensasi untuk menyediakan lahan bukan kawasan hutan atau membayar sejumlah
uang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 1, Ayat (10) Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.16/Menhut-II/2014 sebagai
berikut:
“Kompensasi adalah salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan
hutan untuk menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan atau
membayar sejumlah dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.
Dijelaskan lebih lanjut mengenai PNBP Penggunaan Kawasan Hutan adalah
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan yang berlaku pada kementerian
kehutanan sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya PT PLN (Persero) telah mendapatkan Persetujuan Prinsip Penggunaan
Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan No. S.527/Menhut-VII/2013 tanggal 5
September 2013, untuk Pembangunan PLTA Asahan 3, Pada Kawasan Hutan Lindung di
Kabupaten Assahan dan Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara, melalui
prosedur Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan kompensasi membayar PNBP
penggunaan kawasan hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi
daerah aliran sungan dengan ration 1:1, dengan dibebani kewajiban sebagai berikut:
a. Melaksanakan tata batas kawsan hutan yang disetujui, dengan supervise dari
Balai Pemantapan Kawasan Hutan;
b. Melakukan inventarisasi tegakan guna pemenuhan pembayaran PSDH, DR dan
Ganti Rugi Nilai Tegakan dengan supervise dari Pengawasan Tenaga Teknis
Perencanaan Hutan dengan Pembinaan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan
Produksi (BP2HP);
c. Membuat pernyataan dalam bentuk akta notaril yang memuat kesanggupan;
1) Melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;
2) Memberikan kemudahan bagi apparat kehutanan baik pusat maupun
daerah pada saat melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan;

7
3) Memenuhi kewajiban keuangan sesuai peraturan perundang-undangan,
meliputi:
a) Membayar penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH), Dana Reboisasi (DR);
b) Membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan
Hutan;
c) Kewajiban keuangan lainnya akibat diterbitkan izin pinjam pakai
kawasan hutan.
4) Melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar areal izin pinjam pakai
kawasan hutan;
d. Melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
e. Melakukan revisi rencana kerja penggunaan kawasan hutan dan
menyampaikan baseline penggunaan kawasan hutan sesuai dengan hasil tata
batas persetujuan prinsip; dan
f. Mengakomodir kegiatan kepada instansi Kehutanan Provinsi dan Kabupaten.
Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
No. 61 Tahun 2021, dalam hal PT PLN (Persero) sebagai Pemegang Persetujuan Prinsip
Penggunaan Kawasan Hutan, telah memenuhi seluruh kewajiban sebagaimana tersebut
diatas, maka Menteri Menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan melalui Keputusan
Kepala Badaan Koordinasi Penanaman Modal No. 35/1/IPPKH/PMDN/2015 tentang Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) Asahan 3 dan Jaringan Transmisi 150 kV Pada Kawasah Hutan lindung atas nama
PT PLN (Persero), di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera
Utara Seluas 284 ,10 Hektar.
Berdasarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tersebut PT PLN (Persero) berhak
sebagai berikut:
1) Berada, menempati dan mengelola serta melakukan kegiatan yang meliputi
pembangunan PLTA Asahan 3 dan Jaringan Transmisi 150 kV serta melakukan
kegiatan lainnya yang berhubungan dengan itu dalam kawasan hutan yang
dipinjam pakai;
2) Memanfaatkan hasil kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan kegiatan
PLTA Asahan 3 dan Jaringan Transmisi 150 kV pada kawasan hutan yang
dipinjam pakai;
3) Melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan
membayar penggantian nilai tegakan dan provisi sumber daya hutan dan/atau
dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelesaian Hukum Terhadap Penguasaan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat


dalam rangka Pengadaan Tanah Pembangunan Proyek Strategis Nasional
Secara normatif, penguasaan tanah kawasan hutan berada dibawah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun pada kenyataannya ditemukan penguasaan
tanah yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan. Masyarakat mengklaim bahwa
penguasaan tanah dalam kawasan hutan tersebut diperoleh berdasarkan warisan orang tua
mereka terdahulu dari hasil membuka hutan secara turun temurun.

8
Pengelolaan dan pemanfaatan tanah sebagai kawasan hutan yang bersifat sektoral, tidak
terintegrasi dengan UUPA menjadi penghambat pengadaan tanah di kawasan hutan bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, dan memarginalisasi hak prioritas rakyat mengakses
tanah berdasarkan hubungan langsung yang bersifat Magish Religious sebagaimana diatur
dalam UUPA.
Mekanisme penyelesaian hukum terhadap penguasaan lahan kawasan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat dalam rangka pengadaan tanah untuk Pembangunan PLTA Asahan 3
adalah mengacu pada ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 Perpres Nomor 4
Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, dikutip sebagai
berikut:
(1) Dalam hal lokasi yang pengadaan tanah bagi PIK yang dikuasai oleh masyarakat
berada pada kawasan Hutan, PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero),
atau PPL meminta kepada Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan keterangan
atas kepemilikan tanah dimaksud.
(2) Badan Pertanahan Nasional dalam rangka memberikan keterangan atas kepemilikan
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
(3) Dalam hal Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa masyarakat tidak memiliki
hak atas tanah yang berada pada Kawasan Hutan, PT PLN (Persero), anak Perusahaan
PT PLN (Persero), atau PPL melakukan penyelesaian melalui Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan.
(4) Terhadap masyarakat yang berada pada kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang tanahnya digunakan untuk PIK, dilakukan penyelesaian teknis oleh PT
PLN (Pesero), anak Perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL bersama dengan
kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dengan memperhitungkan kebutuhan
dan dampak sosial.
(5) Ketentuan penyelesaian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan
peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi
dan sumber daya mineral.
Pada ketentuan pasal 36 Perpres No. 4 Tahun 2016, mensyaratkan adanya
koordinasi dari Lembaga yang memiliki kewenangan di bidang pertanahan (dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional / BPN) dalam hal terdapat tumpang tindih antara kawasan
hutan dengan penguasaan masyarakat. Hasil verifikasi yang dikeluarkan oleh BPN
tersebut sebelumnya juga telah melalui koordinasi dengan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan
(Menteri LHK), sehingga menjadi jelas status hukum dari lahan yang akan digunakan.
PT PLN (Persero) telah mendapatkan keterangan atas kepemilikan tanah dari BPN
untuk Lokasi Pembangunan PLTA Asahan 3, termuat dalam Surat 274/2.100/U/2017,
tanggal 03 Februari 2017. Didalam surat tersebut Kepala Kantor Pertanahan
menyampaikan bahwa setelah dilakukan pengecekan pada buku tanah, belum ada terbit
sertifikat, baik perorangan maupun atas nama Badan Hukum pada Kantor Pertanahan.
Mengenai tanah Garapan yang ada bukti alas haknya berupa surat desa, atau SK Camat di
lokasi Pembangunan PLTA Asahan 3, Kepala Kantor Pertanahan tidak dapat

9
memverifikasi dikarenakan tanah tersebut belum terdaftar haknya di BPN, dan semua
data yang diterima pada lokasi tanah dimaksud masih berada dalam Kawasan Hutan.
Berdasarkan validasi dilapangan, bukti penguasaan oleh masyarakat atas tanah yang
berada dalam kawasan hutan lindung sangat beragam. Sebagian besar memiliki surat jual beli
dibawah tangan, ada juga masyarakat yang memiliki Surat keterangan Tanah dari Desa,
Sporadik. Namun tidak sedikit juga yang tidak memiliki bukti atau surat penguasaan atas tanah
dalam kawasan hutan lindung tersebut, sehingga penguasaan tanah tersebut didasarkan pada
penggunaan fisik secara turun temurun dalam jangka waktu yang lama.
Selanjutnya terhadap masyarakat yang berada dalam pada kawasan hutan dan
menguasai tanah yang akan digunakan untuk Pembangunan PLTA Asahan 3, maka
dilakukan penyelesaian teknis. Ketentuan penyelesaian teknis diatur lebih spesifik dalam
Peraturan Menteri dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 33 Tahun 2016.
Definisi penyelesaian teknis berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Permen ESDM No. 33 Tahun
2016 dapat dikutip sebagai berikut:
“Penyelesaian teknis adalah proses pemberian sejumlah uang kepada masyarakat
yang menguasai tanah, bangunan, dan/atau tanaman pada kawasan hutan”
Berdasarkan definisi diatas, telah jelas perihal penyelesaian teknis sebagai suatu proses
pemberian sejumlah uang kepada masyarakat yang menguasai tanah, bangunan, dan/atau
tanaman pada kawasan hutan. Secara hukum, subjek hukum yang melakukan penguasaan
(bezitter) atas suatu objek kebendaan (dalam hal ini tanah) belum tentu juga merupakan pemilik
(eigenaar). Hal ini tergambar dalam ketentuan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 33 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Teknis Terhadap Tanah, Bangunan, dan/atau Tanaman yang Dikuasai
Masyarakat Pada Kawasan Hutan dalam Rangka Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan, sebagaimana dikutip berikut ini:
(1) PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dapat melaksanakan
pengadaan tanah untuk PIK pada kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) yang dikuasai masyarakat.
(2) Penguasaan masyarakat atas tanah di kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada:
a. Hak atas tanah; atau
b. Penguasaan dan penggunaan lainnya
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa hak atas tanah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penguasaan dan penggunaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
berupa penguasaan dan penggunaan lainnya yang tidak didasarkan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(5) Penguasaan dan penggunaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
merupakan pemanfaatan terhadap tanah pada kawasan hutan oleh masyarakat
untuk mendirikan bangunan dan/atau menanam tanaman.
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa penguasaan tanah oleh
masyarakat dapat didasarkan oleh adanya suatu ha katas tanah sebagaimana tercantum

10
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 maupun oleh adanyan penguasaan dan
penggunaan lainnya yang tidak didasarkan pada ha katas tanah. Penguasaan dan
penggunaan lainnya dimaksud merupakan pemanfaatan untuk mendirikan bangunan
dan/atau menanam tanaman.
Selanjutnya PT PLN (Persero) dapat melaksanakan Penyelesaian teknis terhadap
masyarakat yang menguasai tanah pada kawasan hutan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1) Sosialisasi.
Sosialisasi adalah proses pelepasan kepada Pihak yang Berhak mengenai rencana
Pengadaan Tanah untuk pelaksanaan pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
bagi kepentingan penyediaan tenaga listrik. Sosialisasi dilakukan untuk
meminimalisir perselisihan. Tujuan dari sosialisasi ini untuk memberi informasi
kepada pihak yang berhak tentang rencana pembangunan PLTA Asahan 3 dan
penggunaan lahan yang dikuasai oleh masyarakat untuk dilakukan Penyelesaian
Teknis.
2) Inventarisasi / Identifikasi Penguasaan
PT PLN (Peresero) menunjuk PT. Surveyor Indonesia untuk mengidentifikasi, dan
menginventarisiasi tanah, bangunan dan/atau tanaman yang diketahui langsung oleh
pihak yang menguasai tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan oleh
PT Surveyor Indonesia dilaporkan untuk menjadi dasar penilaian penyelesaian
teknis oleh Lembaga Penilai Publik.
3) Penilaian
PT PLN (Persero) melakukan penilaian terhadap tanah, bangunan, dan/atau
tanaman yang dikuasai masyarakat yang berada pada kawasan hutan dengan
menggunakan jasa Lembaga Penilai. PT PLN (Persero) menunjuk Kantor Jasa Penilai
Publik (KJPP) sebagai Penilai Penyelesaian Teknis. Dasar penilaian yang diterapkan
oleh KJPP adalah Nilai Penggantian Wajar (Fair Replacement). Nilai Penggantian
Wajar adalah nilai untuk kepentingan pemilik yang didasarkan dengan Nilai Pasar
atas suatu Properti, dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian non
fisik yang diakibatkan adanya pengambilalihan ha katas properti dimaksud. Nilai
Penggantian Wajar merupakan hasil penggabungan/penjumlahan Nilai pasar dari
fisik objek yang diganti rugi seperti tanah, bangunan, tanaman, ruang atas tanah dan
bawah tanah, dan benda yang berkaitan dengan tanah seperti utilitas dan sarana
pelengkap bangunan yang merupakan kerugian fisik, ditambah kerugian non-fisik,
yaitu berupa penggantian terhadap kerugian pelepasan hak dari pemilik seperti
kehilangan pekerjaan atau pendapatan, kerugian emosional (solatium), biaya
transaksi, kompensasi masa tunggu, kerugian sisa tanah dan kerusakan fisik lainnya.
Selanjutnya Hasil penilaian yang telah diterbitkan oleh KJPP tersebut menjadi dasar
bari PT PLN (Persero) untuk melaksanakan Penyelesaian Teknis.
4) Pelaksanaan penyelesaian Teknis
Pelaksanaan penyelesaian teknis diberikan langsung kepada masyarakat yang
menguasai tanah, bangunan, dan/atau tanaman dan disaksikan paling sedikit 2 orang
saksi dari unsur pimpinan kelurahan/desa/aparat setempat dengan disertai tanda
terima penyelesaian teknis. Seluruh biaya pelaksanaan Peneyelesaian Teknis
dibebankan kepada PT PLN (Persero). Dalam hal masyarakat keberatan/penolakan
terhadap besaran nilai penyelesaian teknis, masyarakat diberikan kesempatan untuk

11
melakukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri sampai dengan Mahkamah Agung
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Penitipan Penyelesaian Teknis
PT PLN (Persero) dapat melakukan penitipan sejumlah uang yang ditetapkan
untuk Penyelesaian Teknis kepada kantor pengadilan negeri setempat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut diatur lebih rindi
dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Mahkaman Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Pengajuan Keberatan dan penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri
dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum.
PT PLN (Persero) dapat mengajukan permohonan penitipan kepada pengadilan
dalam hal memenuhi satu atau lebih keadaan berikut:
a. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya nilai Penyelesaian
teknis, tetapi tidak mengajukan keberatan ke pengadilan;
b. Pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya;
c. Objek pengadaan tanah yang akan diberikan penyelesaian teknis menjadi
objek perkara di pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya,
diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, dan menjadi jaminan hak
tanggungan.
Setelah seluruh tahapan tahapan tersebut telah dilaksanakan, maka PT PLN
(Persero) berhak untuk memanfaatkan lahan kawasan hutan lindung tersebut untuk
Pembangunan PLTA Asahan 3. Status lahan yang akan digunakan oleh PT PLN
(Persero) tidak mengalami perubahan dan tetap menjadi kawasan hutan.
Jika diamati lebih dalam, bahwa penyelesaian teknis sesungguhnya tidak
menyelesaikan permasalahan penguasaan atas tanah dalam kawasan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat. Bahwa pelaksanaan penyelesaian teknis hanya ditujukan
untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Tanpa
adanya penyelesaian status hukum bidang tanah dapat menimbulkan permasalahan
hukum lanjutan, yang dapat diperkirakan penguasaan kawasan hutan dapat berlanjut
dikemudian hari.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 33 Tahun 2016 merupakan ketentuan yang
mengatur penyelesaian tekni terhadap tanah, bangunan, dan/atau tanaman yang
dikuasai masyarakat pada kawsan hutan dalam rangka percepatan PIK. Berdasarkan
bagian menimbang dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 33 tahun 2016, terbitnya
peraturan tersebut sebagai amanat dan guna melaksanakan Pasal 36 ayat (4) dan (5)
Perpres Nomor 4 Tahun 2016.
Berkaitan dengan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawsaan hutan yang
berkaitan dengan penguasaan hutan oleh negara, pengukuhan kawasan hutan dan hutan
adat telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, sebagai instrumen hukum yang
akan digunakan oleh Pemerintah untuk melakukan penyelesaian penguasaan tanah
dalam kawasan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain, yaitu perorangan,
instansi, badan sosial, keagamaan, dan masyarakat hukum adat.
Dikeluarkannya Peraturan tersebut adalah menjadi keinginan Pemerintah
memberikan kepastian hukum untuk meningkatkan kesejahkteraan masyarakat yang

12
telah menguasai tanah di dalam kawasan hutan dalam jangka waktu yang lama, dan
besarnya komitmen pemerintah untuk dapat menyelesaikan sengketa atau konflik
pertanahan terutama penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Penguasaan tanah dalam kawasan hutan terdiri atas Bidang tanah yang telah
dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak diatasnya sebelum bidang
tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan; atau Bidang tanah yang dikuasai dan
dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan.
Penguasaan tanah dalam kawasan hutan tersebut dikuasai dan dimanfaatkan untuk
Permukiman, Fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, Lahan Garapan; dan/atau Hutan
yang dikelola masyarakat hukum adat. Permukiman sebagaimana dimaksud diatas
merupakan bagian di dalam kawsaan hutan yang dimanfaatkan sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
penghidupan masyarakat serta masyarakat adat. Fasilitas umum dan fasilitas sosial yang
dimaksud merupakan fasilitas di dalam kawsan hutan yang digunakan oleh masyarakat
untuk kepentingan umum. Lahan Garapan yang dimaksud merupakan bidang tanah di
dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang dapat berupa sawah, ladang, kebun campuran dan/atau tambak.
Penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan sebelum bidang
tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang
tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 7 Perpres Nomor 88 Tahun 2017 sebagai berikut:
“Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan
dan/atau sebelum tanah tersebut ditujuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan
mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan
hutan.”
Perubahan Batasan kawsaan hutan ini yang nantinya akan berujung pada
redistribusi hak milik dikarenakan untuk perubahan batas kawasan hutan ini adalah
permukiman yang sudah berpuluh-puluh tahun mendiami kawasan hutan. Skema ini
mrupakan penguatan asset masyrakat di kawasan hutan.
Sedangkan penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan setelah
bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan diatur dalam Pasal 8 Perpres
Nomor 88 Tahun 2017 sebagai berikut:
a. Mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas
kawasan hutan;
b. Tukar menukar kawasan hutan; Memberikan akses pengelolaan hutan melalui
program perhutanan sosial; atau
c. Melakukan resettlement.
Perhutani sosial lebih kepada akses pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh
masyarakat di kawasan hutan tanpa harus melepaskan status kawasan hutan.
Masyarakat diberi akses untuk memanfaatkan tanpa harus memiliki tanah tersebut.
Penyelesaian permasalahan penguasaan tanah dalam kawasan hutan tersebut
dilakukan oleh Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
(Tim Percepatan PPTKH) sebagaimana diatur dalam pasal 14 Perpres Nomor 8 Tahun

13
2017. Pembiayaan dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan
hutan dibebankan kepada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
c. Sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide
Pasal 33 Perpres Nomor 88 Tahun 2017)

SIMPULAN
Prosedur Pengadaan Tanah Pembangunan PLTA Asahan 3 pada Kawasan Hutan
Lindung dalam rangka Proyek Strategis Nasional yang dilakukan oleh PT PLN (Persero)
adalah melalui mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 36 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Jo. Peraturan pemerintah
Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2010.
Sedangkan mekanisme penyelesaian hukum yang dijadikan pedoman bagi PT PLN
(Persero) dalam Penyelesaian penguasaan lahan kawasan hutan oleh masyarakat dalam
rangka Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan adalah melalui mekanisme
Penyelesaian Teknis. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 36,
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Ketenagalistrikan, Jo. Peraturan Menteri ESDM Nomor 33 Tahun 2016
Tentang Penyelesaian Teknis Terhadap Tanah, Bangunan, dan/atau Tanaman Yang
Dikuasai Masyarakat Pada Kawasan Hutan Dalam Rangka Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Ketenagalistrikan.

DAFTAR PUSTAKA
Mudakir Iskandar Syah. (2020). Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum (Upaya Hukum
Masyarakat yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak). Edisi Revisi Kelima. Jakarta: Jala Permata
Aksara.
Muwahid. (2020). Hukum Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Surabaya: Duta
Media Publishing.
Aartje Tehupeiory. (2018). Putusan Pengadilan Pada Kasus Konsinyasi dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum. Cetakan I. Jakarta: Uki Press
Galudra. G, Sirait. M, Pasya. G, Fay. C, Suyatno, Van Noordwijk. M, & Prabu U. (2010). RaTA Manual Penilai
Cepat Konflik Pertanahan. Terjemahan Stefanus Aswar Herwinarko & Ariyanti E. Tarman.
Yogyakarta: STPN Press.
Zainuddin Ali. (2009). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Irene Eka Sihombing. (2011). Budaya dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Kumpulan Tulisan
dalam Rangka Memperingati 60 Tahun Prof. Arie Sukanti Hutagalung,S.H., M.L.I, Pergulatan
Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional-Suatu Pendekatan Multidisipliner.
Depok: FHUI
Dede Frastien. (2017). Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Untuk
Menjamin Hak Masyarakat Atas Tanah. UBELAJ. 2(2).
Kartiko Harnandi. (2018). Model Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Dea Margosari dan Penyelesaiannya
Pada Kawasan Hutan Lindung Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu. Jurnal Cepalo. 2(2): 88
Laode Muhammad Iqbal, Muhammad Dassir, & Risma Maulany. (2019). Respon Terhadap Konflik Oleh Masyarakat
Komunitas Kontu Dalam Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Jurnal Hutan
dan Masyarakat. 11(1).

14
Fatimah Azzahra. (2019). Status Hak Atas Tanah Penduduk Desa Dalam Kawsan Hutan Perum Perhutani. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 4(1): 48-60.
Firman Muntaqo, Sri Turatmiyah, Bagoes Mahendra Jaya, & Machdum Satria. (2020). Pengadaan Tanah Pada
Kawasan Hutan Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Sektor Migas. Jurnal Ilmiah Hukum
Kenotariatan. 9(22): 71-84.
Manto Siregar. (2018). Pengadaan Tanah Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan Dalam Upaya Mewujudkan Proyek 3500 MW. Riau Law Journal. 2(1): 110-125
Doni Triono. (2017). Penilaian Ganti Kerugian Tanah untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Standar Penilaian
Indonesia 2015. Substansi. 1(2): 265-279.
Dapiq Syahlal Mansyur, SH. (2013). Analisis Yuridis Terhadap Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan,
Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Indonesia
Adam Prakitri. 2019. Keberadaan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 33 Tahun
2016 Dalam Rangka Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang Dikuasai Oleh Masyarakat
Pada Kawasan Hutan di PLTA Asahan 3, Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Ketenagalistrikan. “Proyek Strategis Nasional”. kppip.go.id.
https://kppip.go.id/proyek-strategis-nasional/. Diakses tanggal 20 Agustus 2021

15

Anda mungkin juga menyukai