Anda di halaman 1dari 3

BUDAYA BERKOMENTAR

WARGANET DI MEDIA SOSIAL:


UJARAN KEBENCIAN SEBAGAI
SEBUAH TREN

Permasalahan yang belakangan muncul di media sosial terjadi karena adanya semacam web
forum dikolom komentar instagram, tiktok, twitter, Facebook, yang menyebabkan pengguna
media sosial secara tidak sengaja membentuk sebuah kebudayaan baru yang dilakukan secara
virtual dan dinamakan budaya komentar (Comment Culture). Umumnya alasan utama
pengguna media sosial melakukan budaya komentar karena cara ini dianggap sebagai hak
menyampaikan pendapat didepan publik.

Tidak sedikit yang menganggap budaya komentar dapat mendatangkan masalah dan bersifat
merugikan bagi penggunanya, karena dapat menyebabkan perang komentar buruk yang
berujung pada masalah tindak pidana hukum.

Perkembangan masyarakat modern yang disertai dengan kecanggihan teknologi informasi dan
komunikasi menyebabkan semakin terbukanya kesempatan individu untuk berinteraksi dengan
sesama. Media sosial menjadi sebuah tempat bagi para warganet atau netizen dalam
menjalankan beberapa ajang interaksi tanpa harus mengenal, mengetahui identitas, dan saling
bertemu. Salah satu bentuknya dengan saling memberikan komentar tentang apa yang suatu
individu lihat dan rasakan dalam sebuah postingan atau berita.

Komentar menurut KBBI merupakan sebuah ulasan atau tanggapan atas berita, pidato, dan
sebagainya untuk menerangkan atau menjelaskan. Sehingga, berkomentar dapat disebut
sebagai kegiatan mengulas atau menanggapi. Berkomentar merupakan suatu hal yang wajar,
sebagai bentuk curahan ekspresivitas suatu individu. Namun, tidak jarang komentar dalam
media sosial kerap menggiring suatu tren untuk memberikan hujatan atau ujaran kebencian
pada suatu individu atau kelompok. Tidak tersedianya pembatasan pertimbangan baik dan
buruk dalam berkomentar menjadi awal penyalahgunaan media sosial di era gawai (Ningrum et
al., 2018). Hal tersebut tentu saja dapat mengakibatkan polemik antar individu atau kelompok,
seperti perasaan sakit hati, kegaduhan, hingga kekerasan.
Ujaran kebencian bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa, sama hal
nya dengan etika berkomunikasi (Ningrum et al., 2018). Menurut Beryandhi (2020), terdapat
banyak faktor pendorong seseorang melakukan ujaran kebencian, seperti permasalahan
emosional pribadi, berita bohong, dan bahkan sekadar iseng. Kasus ujaran kebencian yang
dapat ditemukan di media sosial sangat beragam. Dapat berupa penghinaan terhadap suatu
ras, penghinaan terhadap fisik atau penampilan seseorang, bahkan hal miris seperti menyuruh
suatu individu untuk mati atau menghilang. Ujaran kebencian di media sosial termasuk ke
dalam cyberbullying. Dilansir dari kompas.com, komentar jahat atau ujaran kebencian memang
ditujukan untuk menghina, merendahkan, membuat korban merasa sakit. Masalah tersebut
tentu saja tidak bisa diabaikan karena dapat mempengaruhi permasalahan mental seseorang.

Ujaran kebencian atau komentar negatif umumnya banyak ditemukan di media sosial. Hal ini
dapat dilihat dari hasil program Virtual Police yang dibentuk dengan tujuan menegur akun yang
dinilai melakukan pelanggaran UU ITE yang berisi ujaran kebencian dan SARA. Sejak
pembentukan Virtual Police tersebut dalam rentang 100 hari kerja (23 Februari 2021 – 31 Mei
2021), Twitter menjadi media sosial yang paling banyak mendapat teguran sebanyak 215 akun,
disusul Facebook 180 akun, Instagram 14 akun, dan Youtube 19 akun (Dirgantara, 2021).

Kebebasan di media sosial menjadi penyebab individu tidak merasa takut untuk meninggalkan
beberapa ujaran kebencian di suatu postingan atau berita. Anonimitas yang disediakan media
sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman untuk mengatakan hal apapun, bahkan
meninggalkan ungkapan cacian, kutukan, dan hinaan tanpa diketahui identitasnya oleh orang
banyak. Terlebih orang yang mereka hujat bukanlah orang yang mereka kenal sehingga
mengurangi dampak perasaan bersalah.

Sudah menjadi hal umum, bahwa banyak individu yang memberikan hujatan dengan kedok
mengkritik. Mereka berdalih menyampaikan suatu pesan untuk memperbaiki sesuatu yang
dianggap salah dari individu yang dikritik. Sayangnya, hal yang disebut kritik tersebut bahkan
sudah tidak dapat dianggap membangun dan cenderung mengarah terhadap penghinaan. Jadi,
apa esensi dari kritik tersebut? Apakah mungkin hanya untuk sensasi pribadi semata? Selain
itu, komentar negatif berupa hujatan juga mudah mempengaruhi pikiran individu lain yang
membacanya. Sehingga timbulah fenomena “ikut-ikutan” yang menyebabkan banyaknya
warganet tergiring untuk ikut melemparkan komentar negatif. Sekadar untuk mendapat banyak
dukungan, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti
permasalahannya.

2
Dampak ujaran kebencian bagi para korban dapat sangat berbahaya. Apalagi media sosial
merupakan tempat yang terbuka sehingga ujaran kebencian yang dilontarkan dapat terlihat
oleh khalayak ramai. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan sosial, stress, trauma, hingga
bunuh diri bagi korban. Selain itu, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan korban merasa
takut berada dalam lingkungan sosial. Sehingga, korban akan memilih untuk mengisolasikan
diri, mengumpat di rumah, dan tidak lagi berinteraksi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran
lebih bagi para warganet dalam menyaring ujaran yang ingin diungkapkan. Kesadaran akan
pidana UU ITE juga sangat diperlukan, agar warganet lebih berhati-hati dalam
mengungkapkan pikirannya saat berkomentar.

Sebelum mengunggah komentar seharusnya kita sebagai sesama manusia, ikut memikirkan
dampak yang akan diterima bagi diri sendiri maupun orang yang menerimanya. Warganet
dapat mengunggah ungkapan yang dirasa bermanfaat dan menghapus ungkapan yang dirasa
dapat menimbulkan kondisi negatif. Pintar dalam menyerap suatu opini juga sangat penting,
agar ujaran kebencian kedepannya tidak menjadi sebuah tren dan bisa diminimalisir.

Anda mungkin juga menyukai