Anda di halaman 1dari 12

Tugas uts mata kuliah Islamic cyber media

Review 10 jurnal penelitian tentang fenomena komunikasi di media siber Dosen


Pengampu : Ustadzah Salma Laila Qodriyah, S, Sos., M.I.Kom

Disusun Oleh :
Raihan Yuda Utama 422021521051

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKSI


FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
PONOROGO
1444 H / 2023 M
PENDAHULUAN

Perkembangan dunia dan kehidupan manusia selalu disertai dengan perkembangan


teknologi. Sejak masa niraksara, kehidupan manusia selalu berkembang mulai dari masa
berburu sampai manusia bisa bercocok tanam dan lambat laun tidak lagi hidup nomaden. Saat
itu alat-alat bercocok tanam yang terbuat dari batu dianggap sebagai sebuah teknologi. Lalu,
ketika tulisan hadir di tengah-tengah kehidupan manusia, tulisan pun dikatakan sebagai
teknologi. Plato menganggap tulisan adalah teknologi eksternal (Ong 2013).
Kini, ditemukannya teknologi komputer dan internet memang mengubah sebagian besar
cara manusia bertahan hidup. Sebelum internet dan komputer ditemukan, manusia
berkomunikasi dengan perantara verbal atau dengan cara saling berkirim surat. Setelah
hadirnya internet, manusia tidak perlu lagi menulis surat, menunggu sampai surat itu sampai
ke penerima dan harus menunggu lagi untuk mendapatkan balasan. Hanya dengan menekan
beberapa tombol pada gawai masing-masing, seseorang sudah bisa terhubung dengan orang
lain bahkan di jarak yang jauh sekalipun. Bisa dikatakan, internet merekatkan yang jauh
menjadi dekat. Namun tidak dapat dipungkiri jika internet juga membawa dampak buruk lain
(Wati2 2021).
Tidak hanya cara berkomunikasi, munculnya internet juga memberikan napas baru dalam
dunia sastra. Hadirnya cyber sastra atau sastra siber adalah salah satu bukti dampak dari
internet terhadap dunia sastra. Menurut Endraswara (2013, hlm. 182-183) istilah cyber sastra
berasal dari bahasa Inggris yaitu kata cyber, saat kata itu tidak bisa berdiri sendiri. Cyber
sendiri memiliki arti „internet‟. Sehingga cyber sastra berarti aktivitas sastra yang
memanfaatkan komputer atau internet. Kehadiran sastra siber sendiri memang belum lama di
Indonesia. Munculnya sastra internet berkaitan dengan hadirnya internet di Indonesia di
kurun waktu 90-an (Yulhasni, 2018). Sastra siber hadir pada kisaran tahun 1990-an ditandai
dengan diterbitkannya buku Antologi Puisi Cyber. Sejak saat itu kemunculan media cyber
dalam dunia sastra menjadi semakin masif. Dimulai dari situs dan portal-portal seperti blog,
forum-forum yang terdapat di berbagai media sosial seperti Facebook, hingga munculnya
berbagai aplikasi baca-tulis seperti Wattpad, Webtoon.
Perkembangan media siber, berjalan beriringan dengan menyeruaknya berbagai isu yang
selama ini tidak banyak mendapat porsi di dalam media tradisional, antara lain isu
keberagaman. Sementara kesadaran dan kepedulian masyarakat termasuk di Indonesia terkait
keberagaman sudah mulai meningkat, khususnya dalam konteks konstruksi sosial dan politik
baik dalam hal agama, etnis, suku dan ras.
Perkembangan media siber dan isu keberagaman merupakan isu yang belum banyak
menjadi perhatian di dalam studi komunikasi (Riris Loisa 2019). halnya media massa lain,
melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi kepada masyarakat. Keistimewaan media siber
terletak pada teknologi pendukungnya yang memungkinkan pelaporan peristiwa kepada
masyarakat dengan segera dan selalu mendapatkan informasi (Thorsen 2018).
Aktivisme dakwah yang ditampilkan melalui media digital menandai terhadap
munculnya fenomena perkembangan masayarakat keagamaan kontemporer saat ini, seiring
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Keberadaanya tidak sekedar
sebagai inovasi teknologi baru, tetapi juga merupakan sebagai jenis baru dari inovasi
teknologi yang berimplikasi pada tatanan kehidupan sosial keagamaan sehari-hari.2
Sementara, perkembangan teknologi Informasi ini dinilai oleh kalangan teoritis akan dapat
memengaruhi terhadap cara berkomunikasi, berinteraksi, berpolitik, bahkan juga beragama,
sehingga tatananya dapat berlangsung secara efektif (Wass 2003).
Dakwah yang ditampilkan melalui media komunitas keagamaan siber ini telah menjadi
tempat berkumpul dan bertemu secara virtual khususnya bagi para pengikut aktif melalui
laman komentar pada setiap platform media sosial yang digunakan sebagai media
publikasinya. Mereka selain menfungsikan sebagai saluran dakwah, juga sebagai sarana
saling berinteraksi dan bercakap-cakap dalam merespon setiap isu-isu politik dan keagamaan
yang dinarasikan pada setiap unggahan pesan dakwah (Jauhari 2021). Meskipun sebagian
respon dapat menerima baik pada setiap pesan dakwah yang ditampilkan, namun sebagian
lagi juga menunjukkan penolakan terhadap pesan dakwah yang disampikan oleh media
komunitas yang tidak bisa sepaham secara ideologi. Hal ini dapat dilihat bagaimana jejak
narasi dan percakapan yang terekam secara digital dapat ditelususri bahkan temuan studi ini
juga menunjukkan jejak percakapan yang menggambarkan terjadinya benturan-benturan antar
komunitas.
Tidak heran jika para pelaku dakwah baik secara individu seorang muslim, maupun
komunitas keagamaan yang memiliki visi dakwah lebih memanfaatkan keberadaan media
digital sebagai saluran baru dalam aktivitas dakwahnya. Syarif Hidayatullah menuliskan
beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan internet sebagai media dakwah
yaitu dakwah dapat dilaksanakan tidak tergantung waktu, cakupan yang luas, pendistribusian
yang cepat, dan memperoleh banyak keragaman cara penyampaian (Syarif Hidayatullah
2003) bahkan Di samping itu, banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan istilah dakwah dalam
konteks yang berbeda. Bahkan, hasil penelitian Dzikron Abdillah mengatakan bahwa kata
dakwah di dalam al-Qur’an diungkapkan kira-kira 198 kali yang tersebar dalam 55 surat (176
ayat) Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 221.

PEMBAHASAN

 Fenomena komunikasi di media Siber


1. Fenomena Cyber-bullying di Instagram

Pada Fase 1990 hingga hari ini, perkembangan teknologi maya selain mengalami
perkembangan yang positif, tetapi mempunyai efek negatif seperti kebebasan berbicara,
anonimitas, yurisdiksi hukum, norma perilaku dalam komunitas virtual. Sehingga
permasalahan perundungan maya selalu dihadapkan dengan etika dan moralitas.
Fenomena cyber-bullying/penindasan maya pada Instagram. Dapat dialami oleh semua
orang baik orang biasa dan public figure. Pada kasus yang ekstrem perundungan terjadi
pada bentuk konten berupa video dan teks (Muhammad Irfan1 2020).
Instagram merupakan aplikasi pengambilan foto dan berbagi gambar. Memiliki
kelebihan untuk menambahkan filter agar terlihat retro, dan kemudian membagikannya
dengan situs-situs seperti Twitter, Flickr, Tumblr, dan Facebook. Fungsi lain adalah
jejaring sosial sederhana dari foto orang lain. Anda dapat "menyukai" atau mengomentari
foto, konten dan melihat apa yang baru. Inilah salah satu alasan mengapa itu menjadi
sangat populer dengan cepat. Akan tetapi ada beberapa kelemahan dalam instagram,
seperti user lain dapat memberi komentar sebagai respons terhadap suatu konten. Berupa
komentar negatif, mengancam, serta menyebarkan postingan dan penggunaan profil akun
anomali tertentu untuk melakukan perundungan maya.
Pada awal November 2019 Artis Presenter Ruben Onsu membuat laporan ke ranah
hukum terhadap oknum pengguna media sosial instagram yang penghina putranya.
Betrand Peto menjadi korban aksi perundungan maya berawal ketika pelaku mengedit foto
Betrand dan mengganti dengan gambar wajah hewan. Belakangan diketahui kalau pelaku
perundungan adalah anak di bawah umur. (Kompas.com, 18 Januari 2020). Beberapa
bulan kemudian terdapat dalam video berdurasi kurang dari satu menit tersebut, terlihat
seorang remaja yang berbicara di depan kamera. Ia menyebutkan jika Betrand adalah anak
pungut. Menurut pelaku perundung maya tersebut bahwa Betrand tidak memiliki wajah
ganteng, bahkan ia merasa lebih tampan dari anak asuh Ruben. Kemudian dalam videonya
terlihat memukul layar ponsel dan memperlihatkan gesture kekesalan. Kemudian
kelanjutan dari peristiwa tersebut Ruben merespon dengan statement "STOP menggunakan
kata Anak pungut. tulis Ruben. (Suara Jogya.id, 04 Desember 2020)
Dalam konteks Instagram sebagai sebuah aplikasi menghadapi perundungan maya,
instagram sudah pernah merespon hasil survei Ditch The Label yang menyimpulkan
bahwa tercatat fakta satu dari lima remaja di Inggris merupakan korban cyber-bullying.
Tanggapan dari pihak Policy Chief Instagram bahwa Instagram terus meningkatkan
layanannya untuk memberantas cyber-bullying. Policy Chief Instagram, Michelle Napchan
mengatakan bahwa komentar yang diposting orang lain dapat berdampak besar dan
karenanya kami berinvestasi pada teknologi untuk membantu Instagram menjadi platform
yang aman dan positif. Teknologi machine learning pada Instagram memungkinkan
komentar-komentar kasar dapat diblok dari akun user secara otomatis. Instagram juga
memberikan pilihan bagi user untuk menonaktifkan komentar, atau membuat daftar kata
dan emoji yang ingin mereka sensor dari kolom komentar (kompas.com, 21 Juli 2017)
Korban perundungan maya remaja dan beberapa pelaku juga tergolong usia remaja.
Dapat dipastikan kesadaran tentang etika dan moral belum bisa dipahami dengan baik.
Bahkan tidak memahami resiko hukum yang meliputi hal tersebut. Peneliti menduga
anakanak dan remaja begitu mudahnya memiliki, memalsukan akun. Sehingga
konsekuensi tentang dampak akibat dari memiliki akun tidak teredukasi dengan baik.
Instagram sebagai platform harus dipertanyakan ulang, bagaimana kemampuan memfilter
calon penggunanya supaya tidak menyasar kepada anak-anak dan mengedukasi remaja
untuk memahami konsekuensi memiliki akun instagram. Kegiatannya didelegasikan
kepada pemerintah daerah, IDKita Kompasiana, Yayasan Kita, Buah Hati, ICT Watch dan
AWARI. Salah satu program yang menjadi bukti nyata yaitu “Insan Masuk Pesantren” di
Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan diluar pulau jawa sosialisasi INSAN
diselenggarakan di perbatasan Indonesia-Malaysia (Entikong, Kalimantan Barat).
2. Fenomena Relasi Media Siber Aparat Pemerintah

Realitas keberagaman yang disampaikan dari persepektif pemerintah merupakan persepsi


yang telah melalui filter kepentingan kekuasaan, dan bukan merupakan realitas yang
dialami secara langsung oleh orangorang yang terlibat di dalam peristiwa keberagaman itu
sendiri. Sumber informasi seperti ini memperlihatkan bahwa di dalam memberitakan isu
keberagaman, media siber kembali membangun jalur informasi yang bersifat satu arah dari
narasumber elit kepada masyarakat. Sebagai realitas yang telah dipersepsi sesuai
kepentingan elit kekuasaan.
Sementara media siber memilih narasumber elit, para jurnalis profesional sendiri acapkali
dikategorikan sebagai kelompok elit demokrasi, berperan sebagai narasumber elit, yang
berperan memberikan pencerahan, sebagai gate keepers yang menjalankan fungsi
informasi bersifat topdown kepada masyarakat (Hermida, et.all.dalam Josephi, dalam
Witschge, Anderson, Domingo & Hermida, 2016: 14). Sebagai kelompok elit demokrasi,
media memilih isu yang akan diberitakan kepada masyarakat atau tidak, serta memberi
panduan tentang bagaimana memakainya.
Dengan demikian, terlihat indikasi bahwa relasi antara media siber dengan aparat
pemerintah dalam pemberitaan isu keberagaman seolah-olah menempatkan keduanya pada
posisi elit, pemerintah sebagai narasumber elit bagi jurnalis terkait kasus keberagaman,
sementara media siber sebagai sumber informasi elit bagi masyarakat. Duet dua kelompok
elit ini, menyebabkan realitas yang disajikan kepada masyarakat adalah yang telah
tersaring oleh kepentingan, bukan lagi realitas murni. Hal ini dapat menyebabkan isu
keberagaman yang diberitakan tidak lagi sebagai mana adanya seperti yang betul-betul
terjadi dikarenakan interaksi dan pemaknaan orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa
keberagaman itu sendiri.
3. Fenomena Aktivisme Dakwah Siber Di Tengah Konvergensi Media Digital
Aktivisme dakwah di ruang digital di tandai dengan ekspresi keagamaan yang
merepresentasikan tentang Islam dalam ruang digital. Aktivisme dakwah meliputi konteks
komunikasi keagamaan yang dimediasi oleh fitur-fitur internet sebagai medium
komunikasi, gerakan-gerakan sosial keagamaan yang muncul melalui
komunitaskomunitas keagamaan, dan upaya-upaya sistematis untuk menfasilitasi
interaksi dakwah dilakukan secara online dalam ruang digital. aktivisme dakwah yang
ditampilkan dalam ruang digital tidak bisa lepas dari pengaruh perkembangan teknologi
dan informasi. Karena itu kehadiran teknologi informasi dan komunikasi ini tidak hanya
dipandang sebagai media dalam konteks conduits atau sarana, akan tetapi juga dapat
dipandang sebagai lingkungan. Jeff Zaleski mengungkapkan bahwa ruang siber
(cyberspace) merupakan sebagai ruang virtual yang tercipta melalui koneksi internet yang
dapat terbentuk ketika seorang pengguna internet melakukan komunikasi (Fahruroji
2017).
Ruang ini memberikan dan menyediakan fasilitas bagi pengguna untuk menemukan cara
baru dalam berinteraksi, baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan juga soal keagamaan.
Atas dasar ini, maka dalam artikel ini lebih melihat bahwa ruang media komunitas siber yang
dimunculkan oleh komunitas keagamaan sebagai ruang ekspresi dalam melakukan gerakan
dan aktifitas dakwah Islam. Sementara media ruang komunitas siber yang tercipta ini
menjadikanya sebagai ruang yang dapat membuka saluran akses komunikasi secara terbuka
bagi siapa saja untuk berinteraksi. Fenomena keagamaan siber ini dapat memperkuat tesis
yang pernah disebutkan Moh. Fahrurozi bahwa ruang siber dapat menjadi ruang social baru
sebagai alternatif dalam tatanan kehidupan social kebudayaan saat ini (Fuchs 2008).
Bahkan perkembangannya juga telah mengubah berbagai cara dalam menjalankan
keberagamaan dan spiritualitas, meskipun perubahan tersebut lebih mengarah pada
bentukbentuk virtual. Tidak hanya itu, perkembangan ruang siber ini dinilai juga telah
mengguncang perhatian terhadap pengertian-pengertian dasar atas segala sesuatu yang
berkaitan dengan dunia keberagamaan dan spiritualitas (Yasraf 2011).
4. Proses komunikasi masyarakat siber dalam interaksi simbolik
Ada lima konsep dasar interaksi simbolik yang diungkapkan Blumer menurut
pandang George Herbert Mead seperti yang termasuk diri sendiri, berunding dan
berwawancara dengan diri sendiri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk
menerima diri sendiri sebagai objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi
subjek maupun objek, untuk mempunyai diri, individu sehingga mampu mengevaluasi
diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Dalam bertindak rasional ini
mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara inpersonal, objektif dan tanpa emosi,
Mead mengidentifikasi dua aspek atau fase diri, yang ia namakan I dan me.
Kedua, konsep perbuatan (action), dalam pandangan Blumer karena perbuatan
manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan
itu berlainan sama sekali dari gerak mahkluk-makhluk yang bukan manusia. Manusia
menghadapi berbagai hal seperti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain
pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self
image- nya, ingatannya dan cita -citanya untuk masa depan.
Ketiga, konsep objek, Blumer memandang manusia hidup di tengah objek –objek,
kata objek dimengerti dalam arti luas dan meluputi semua yang menjadi sasaran
perhatian aktif manusia. Objek dapat bersifat fisik, maupun bersifat abstrak seperti
konsep kebebasan, hidup atau tidak hidup, terdiri atasgologngan atau terbatas pada satu
orang, bersifat pasti seprti golongan darah, dan agak kabur seperti suatu ajaran filsafat.
Keempat, konsep interaksi sosial. Interaksi, dalam pandangan Blumer, berarti bahwa
para peserta masing -masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi
orang lain. Proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yangmelebihi
jumlah total unsur-unsurnya berupa maksud, dan sikap masing-masing peserta.
Kelima, konsep joint action yaitu aksi kolektif yang lahir dimana
perbuatanperbuatan masing-masing peserta dicocokkan di serasikan satu sama lain.
Realitas sosial dibentuk dari joint actions ini merupakan objek sosiologi yang
sebenarnya. Unsur konstititif mereka bukanlah unsur kebersamaan, melainkan
penyesuaian dan penyerasian dimana masing - masing pihak mencari arti maksud dalam
perbuatan orang lain dan memakainya dalam menyusun kelakuannya.
5. Ulama dan tantangan dakwah media social
Islam merupakan agama dakwah baik secara teoritis maupun praktis sebagai agama
dakwah, kedudukan Islam melebihi agama-agama dakwah yang lain dan ini disebabkan oleh
klaim Islam sendiri bahwa ia merupakan wahyu terakhir dan penyempurna dari agamaagama
sebelumnya terutama Yahudi dan Nasrani. Ismail Raji Al Faruqi, dengan mengutip beberapa
ayat al-Qur„an menegaskan bahwa dakwah bukan saja merupakan keharusan melainkan
tugas terbesar kaum muslim yang harus ditunaikan, karena itu, dapat dipahami jika semangat
untuk menyampaikan dan memperjuangkan kebenaran Islam terus membara dalam jiwa
muslim. Bahkan, Ismail Raji al-Faruqi (1989: 187-188) menjelaskan, cita-cita hidup seorang
muslim yang taat adalah membawa manusia ke dalam suatu kehidupan yang Islam dapat
diterima dan menjadi agama (system hidup seluruh umat di dunia). Dakwah adalah cara
untuk merealisasikannya.
Pada level arus globalisasi yang dicirikan penggunaan media elektronik, komputer
dan media cetak, redefinisi dakwah pada bidang-bidang tersebut perlu dilakukan. Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa difusi dan infiltrasi kebudayaan merupakan
fenomena umum dalam era globalisasi. Oleh sebab itu bukan tidak mungkin bahwa
dakwah dengan muatan-muatan doktrinal-empiriknya akanterlibat dalam proses difusi
dan infiltrasi kebudayaan tersebut. Hanya saja kemampuan dan kecakapan untuk
memanfaatkan berbagai media dan sarana tersebut perlu ditangani secara serius
denganmengintensifkan pelatihan dan pengadaan prasarananya (jika dipandang
mungkin). Meskipun tidak harus berarti bahwa media tradisional diterlantarkan (Nafis,
2005: 9).
Dengan kecanggihan teknologinya, media massa saat ini lebih memudahkan proses
penyebaran dakwah. Paul Lazarsfeld dan Robert K Merton (2008: 38) juga melihat
media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan. Sejalan dengan
itu harus dipahami manfaat dan mudharat teknologi informasi dan komunikasi, serta
secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan-tujuan mereka
(pembuat dan pencipta teknologi).
Dengan demikian tantangan para dai untuk berdakwah semakin tinggi, di saat akses
terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi semakin terbuka akan tetapi
di lain pihak profesionalisme lembaga dakwah dan para dai dituntut lebih baik, serta
tantangan yang paling berat adalah dikala memanfaatkan media yang yang sudah
menjadi industri yang profitable untuk tujuan dakwah, dibalik pesan-pesan yang
disampaikan. Sebab pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini adalah
suatu keniscayaan yang tidak mungkin diabaikan.diabaikan Seperti media internet yang
akhirakhir ini perkembangannya sangat fenomenal memiliki pengaruh langsung yang
sangat kuat kepada pembacanya. Jaringan sosial di dunia maya tersebut sangat potensial
untuk dimanfaatkan sebagai saran dakwah.
Ulama harus tetap menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi dengan
melakukan dakwah yang tantangannya sangat kompleks. Media sosial menjadi salah satu
alternatif media (wasilah) dakwah yang bisa dimaksimalkan, mengingat masyarakat
Indonesia kini hampir-hampir 50% menggunakan internet, terutama media sosial. Tentu
ini menjadi ladang basah yang harus digarap oleh mereka, sekalipun dalam ladang itu
banyak terdapa ular dan lintah yang senantiasa mengancam. Karena itu, diperlukan
kesiapan lahir batin untuk menjalaninya (Aziz 2017).
6. Fenomena Propoganda islam di media siber
Pertautan propaganda dan agama bukan merupakan hal baru. Sejarah asal mula
propaganda menunjukkan bahwa propaganda awalnya digunakan oleh Martin Luther
untuk menyebarkan pesan-pesan keagamaan. Contoh lain, pada tahun 1622 Paus
Gregorius VX membentuk The Sacra Congreratio de Propaganda Fide (Majelis Suci
untuk Propaganda Agama). Tujuannya untuk menyebarkan misi suci agama dan
mengawasi misionaris agama Katolik Roma. Selanjutnya, di tangan Napoleon Bonaparte
dan Adolf Hitler, istilah propaganda identic dengan perang, penaklukan dan kediktatoran.
Hitler misalnya, pupoler dengan ungkapan Deutsh Uber Ales (Jerman di atas segala-
galanya) dan Ein Reich! Ein Volk! satu negara, satu bangsa, satu pemimpin).
Salah satu penelitian yang menyoal propaganda dan agama adalah penelitian
Burhanuddin Muhtadi tentang pembingkaian berita mengenai Yahudi di Media Dakwah.
Yahudi kerap dijadikan ‘kambing hitam’ oleh media media cetak terbitan DDII (Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia) tersebut. Media Dakwah menggunakan istilah ‘kospirasi
Yahudi’ untuk melihat peristiwa-peristiwa besar yang menyudutkan Islam, seperti tragedy
9/11 misalnya. Inilah Teknik propaganda dengan memberi label buruk (name calling)
terhadap suatu kelompok/Lembaga.

KESIMPULAN

Perkembangan media siber, berjalan beriringan dengan menyeruaknya berbagai isu yang
selama ini tidak banyak mendapat porsi di dalam media tradisional, antara lain isu
keberagaman. Sementara kesadaran dan kepedulian masyarakat termasuk di Indonesia terkait
keberagaman sudah mulai meningkat, khususnya dalam konteks konstruksi sosial dan politik
baik dalam hal agama, etnis, suku dan ras. Aktivisme dakwah yang ditampilkan melalui
media digital menandai terhadap munculnya fenomena perkembangan masayarakat
keagamaan kontemporer saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. bahkan kemunculan media cyber dalam dunia sastra menjadi semakin masif.
Dimulai dari situs dan portal-portal seperti blog, forum-forum yang terdapat di berbagai
media sosial seperti Facebook, hingga munculnya berbagai aplikasi baca-tulis seperti
Wattpad, Webtoon.
perkembangannya juga telah mengubah berbagai cara dalam menjalankan keberagamaan dan
spiritualitas, meskipun perubahan tersebut lebih mengarah pada bentuk-bentuk virtual. Tidak
hanya itu, perkembangan ruang siber ini dinilai juga telah mengguncang perhatian terhadap
pengertian-pengertian dasar atas segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia keberagamaan dan
spiritualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Mokhamad Abdul. "MEDIA MASSA ISLAM DALAM TATANGAN GLOBAL." Islamic Comunication
journal 2 (juli-desember 2017).

Fahruroji, Moh. Dakwah di Era Media Baru; Teori dan Aktivisme Dakwah di Internet, Simbiosa
Rekatama Media. 2017.

Fuchs, Cristian,. Internet and Society: Social Theory in The Information Age. london, 2008.

Jauhari, Minan. "Aktivisme Dakwah Siber Di Tengah Konvergensi Media Digital." Jurnal Dakwah dan
Komunikasi Islam 7 (agustus 2021).

Muhammad Irfan1, Shelsa Bela Ramadani Putri2, Tiara Aryanti3, Anastasia Ari Kristina Susanti4.
"FENOMENA CYBER-BULLYING DALAM TEKNOLOGI MEDIA BARU (INSTAGRAM) PERSPEKTIF
ILMU KOMUNIKASI." JURNAL PUBLIC RELATIONS-JPR 1 (2020): 1-4.

Ong, W. J. Kelisanan dan keaksaraan. yogyakarta: Gading, 2013.

Riris Loisa, Eko Harry Susanto, Ahmad Junaidi, dan Felicia Loekman. "MEDIA SIBER, APARAT, DAN
PEMBERITAAN KEBERAGAMAN." Jurnal ASPIKOM 3 (januari 2019): 2.

Syarif Hidayatullah, Zulfikar S Dharmawan,. Islam Virtual, Keberadaan Dunia Islam di Internet,.
CIPUTAT: Penerbit Mifta, 2003.

Thorsen, Einar & Daniel Jackson. Seven Characteristics Defining Online. UK: limited trading, 2018.
Wass, Erica Shclesinger. Addresing the Word: National Identity and Internet Country Code Domains.
Oxford:. oxford: Rowman & Littlefield Publishares Inc, 2003.

Wati2, Raudhatul Jannah1 dan Rianna. "KONTRIBUSI MEDIA SIBER TERHADAP KEBERADAAN SASTRA
RELIGI DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM." Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia 11
(juli 2021): 2549-2594.

Yasraf, Piliang. Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajenasi, Bandung, Mizan. 2011.

Anda mungkin juga menyukai