Anda di halaman 1dari 13

Nama : Nadia

NIM : 18/424723/SP/28271

Mata Kuliah : Psikologi Kebencanaan dan Krisis

Dosen Pengampu: Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc., Ph.D.

 Asisten Dosen: Nevi kurnia Arianti

Rani attiqah gusbet

Bencana Media Sosial: Hoaks dan krisis literasi

(Diajukan untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Psikologi Kebencanaan dan Krisis)

Abstrak

Tulisan ini akan membahas bencana yang terjadi di lingkungan


sekitar, hal ini bertujuan untuk mendorong agar para pembaca dapat
lebih peduli dan memperhatikan kondisi yang berlangsung di
lingkungan masing-masing. Dengan mengangkat isu terkait hoaks
dan krisis literasi, tentu saja bukan hal yang sulit bagi pembaca untuk
melihat keterkaitan tulisan ini dengan lingkungan sekitar. Melihat
bagaimana penggunaan media social di zaman sekarang yang sudah
merambah di segala penjuru dunia, baik itu tua maupun muda
pastinya dapat dengan mudah mengaksesnya. Sehingga pembahasan
terkait bahaya yang mengintai dalam bermedia social perlu untuk
dibahas, dengan harapan dapat menjadi pengingat dan petunjuk
dalam menggunakan media social.

Kata kunci: Hoaks, Krisis Literasi, dan Media Sosial.

Pendahuluan

Kemajuan teknologi semakin hari semakin cepat, hal ini mengakibatkan banyaknya
terjadi perubahan social yang terjadi di masyarakat. Banyak sector yang mengalami
perubahan akibat dari perubahan teknologi, salah satunya ialah cara manusia melakukan
interaksi social. Sejak terjadinya kemajuan teknologi, interaksi social yang terjadi di
masyarakat memiliki kecenderungan dilakukan dengan cara tidak langsung. Dalam artian
interaksi yang terjadi bukan lagi antara manusia bertemu dengan manusia, melainkan terdapat
perangkat teknologi yang menjadi penghubung di antara mereka. Meskipun begitu, hal ini
selamanya memberi dampak buruk di masyarakat. Kemajuan teknologi juga dapat
mempererat komunikasi bagi sebagian orang yang terpisah oleh jarak yang jauh, sehingga
jarak bukan lagi menjadi alas an putusnya komunikasi di zaman ini. Namun, kita juga
menyadari bahwa teknologi juga memberi dampak buruk, hal ini tentu saja jika individu yang
terpapar teknologi tidak mampu mengontrol sikap mereka selama menggunakan kemajuan
teknologi.

Teknologi yang sangat berkaitan dengan kehidupan social salah satunya adalah media
social. Seperti namanya, media social memberikan ruang interaksi bagi masyarakat, baik itu
untuk tujuan menghilangkan bosan, maupun merambah ke arah kegiatan ekonomi. Dapat kita
lihat disekitar kita banyak sekali toko online yang muncul akhir-akhir ini. Dengan
kemudahan akses dan jaminan keamanan yang diberikan membuat orang-orang lebih
memilih berbelanja online dibandingkan harus membuang waktu untuk mendatangi toko. Hal
ini menjadi bukti nyata bahwa media social tidak hanya digunakan untuk berinteraksi antar
individu dalam kontek social saja, tetapi juga sebagai ruang kegiatan ekonomi.

Media social, menjadi hal yang sangat erat di kehidupan sehari-hari masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa media social sudah menjadi alternative ruang bagi orang-orang untuk
melakukan interaksi social. Hal ini tentu saja akan mempermudah masyarakat untuk
terkoneksi antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, bagi sekelompok orang yang memiliki
kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain di kehidupan nyata, media social sangat
membantu mereka untuk lebih nyaman dalam berinteraksi dengan manusia lain, inilah salah
satu alasan yang menyebabkan media social juga dikenal dengan istilah dunia maya. Dimana
bagi sebagian orang dunia yang terbentuk di media social hanyalah dunia buatan sesuai
keingin pemiliknya, bahkan tak jarang orang-orang menyebutnya “dunia tipu-tipu”.

Dibalik kemudahan yang diberikan, media social pada praktiknya juga menyimpan
bahaya bagi masyarakat. Dengan kemudahan akses bagi setiap orang secara tidak langsung
juga memberi ruang bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menjalankan aksinya,
hal ini yang kemudian menghadirkan istilah Cybercrime. Cybercrime merupakan sebutan
bagi segala bentuk aktivitas illegal yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab yang
merugikan orang lain dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi computer (FISIP UI,
2021). Bentuk dari cybercrime ini beragam, baik itu pencurian data pribadi, provokator,
ujaran kebencian, pembulian, hoaks, dan lain-lain.

Semakin majunya perkembangan teknologi menjadi pendorong bagi kemunculan


bentuk kejahatan di internet. Akses internet saat ini juga sangat mudah didapatkan oleh
semua orang, sehingga untuk mengontrol aktivitas penggunanya juga sangat sulit dilakukan
saat ini. Tidak heran jika pada bulan April tahun 2020 hingga bulan juli 2021 setidaknya
terdapat 937 kasus yang tercatat di data POLRI. Dengan tiga kasus yang menjadi primadona,
yaitu kasus provokatif dan ujaran kebencian dengan jumlah 473 kasus, kemudian disusul
kasus penipuan online sebanyak 259 kasus, dan konten porno sebanyak 82 kasus (FISIP UI,
2021). Dari sedikit data tentang kasus cybercrime ini cukup sebagai penguat argument media
social yang di anggap sebagai dunia maya pada faktanya dapat menyebabkan bencana di
dunia nyata. Sehingga kita sebagai pengguna perlu lebih berhati-hati dalam melakukan
aktifitas di dalamnya.

Cybercrime bukanlah hal sulit untuk dijumpai di kehidupan sehari-hari, terdapat bentuk
cybercrime yang paling mudah untuk kita jumpai di lingkungan sekitar yaitu hoaks. Hoaks
dimasukan sebagai bagian dari cybercrime karena informasi palsu ini akan berakibat fatal
bagi masyarakat, dimulai dari yang dampaknya masih ringan hingga yang berdampak besar.
Bahkan terdapat undang-undang yang mengatur terkait hukuman bagi para pelaku penyebar
hoaks di media social. Sebagai pengguna social media tidak mungkin kita tidak pernah
menemukan hoaks di media yang kita gunakan. Hoaks sendiri merupakan berita-berita yang
kebenarannya tidak jelas, isi dari berita tidak dapat dipertanggung jawabkan, meskipun itu si
penyebar berita sendiri (Kalia, 2021). Harus diakui bahwa untuk membedakan mana berita
yang merupakan fakta dan berita palsu bukanlah perkara yang mudah, pelu dilakukan
konfirmasi berkali-kali dan teliti.

Menggunakan media social, meskipun hanya sebagai hiburan atau mengisi waktu
senggang pada faktanya tetap harus berhati-hati. Membaca, pada faktanya perintah Tuhan
yang pertama ini masih perlu kita lakukan dalam menggunakan media social. Rendahnya
literasi dalam bermedia social pada akhirnya berhasil memancing dampat negative dari
kemajuan internet, baik itu pelanggaran privasi, cyberbullying, pornografi, hoaks, dan lain-
lain (Putranto, 2018). Dengan membaca setidaknya kita dapat mencari kebenaran terkait
informasi yang kita terima, baik itu membandingkannya dengan berita lainnya, maupun
mengecek sumber informasinya. Karena tidak jarang hoaks berawal dari pembaca berita yang
hanya membaca judul beritanya saja, sedangkan judul berita tidak jaranag hanya sebagai
clickbait dari penulis berita untuk memancing minat pembaca. Hal ini terus berulang dan
menyebar, hingga informasi keliru terus berkembang di lingkup wilayah yang besar.

Jika dikaitkan dengan kondisi pandemic seperti saat ini, kedua hal ini sangat berbahaya.
Sering kita jumpai bahwa banyaknya hoaks yang beredar selama pandemic yang tidak jarang
sampai memakan korban. Seperti kasus yang terjadi di Depok, seorang pasien covid yang
termakan omongan dari seorang dokter yang sempat viral akhirnya harus meregang nyawa
karena tidak mau mengosumsi obat (Wareza, 2021). Banyak warga justru lebih mempercayai
berita yang tidak jelas sumbernya dibandingkan berita resmi yang diberikan oleh pemerintah,
hal ini tak membuat para pembuatan berita hoaks semakin giat menulis kebohongan.

Covid-19 memang menjadi penyakit yang ganas, penyakit ini mampu menjadi ancaman
bagi seluruh Negara di dunia. Namun terdapat hal yang lebih ganas dari pada penyakit itu
sendiri, yaitu hoaks. Merebaknya hoaks pada faktanya lebih berbahaya dibandingkan covid-
19 (Dwipura, 2020). Berita palsu yang menyebar di masyarakat tidak hanya hanya
mengganggu masyarakat, tetapi juga mampu mengiring asumsi-asumsi liar terhadap kondisi
yang berlangsung. Tidak jarang kita temui warga-warga yang tidak mempercayai keberadan
covid-19 hanya karena membaca postingan tidak jelas terkait teori konspirasi yang menyebar
di internet, atau menolak vaksin karena akan dimanfaatkan oleh elit dunia. Maka dari itu
penting untuk melihat hoaks dan krisis literasi sebagai suatu bencana dalam bermedia social.
Karena meskipun media social hanya dunia maya, namun dampak yang ditimbulkan tetap
akan terbawa ke dunia nyata penggunanya.

Hoaks dan Krisis Literasi

Hoaks dan krisis literasi sudah terjadi bahkan sebelum adanya pandemic, namun dua
hal ini seperti sedang naik daun saat awal-awal masuknya pandemic di Indonesia, bahkan
hingga saat ini. Krisis literasi erat kaitannya dengan penyebaran hoaks, karena kurangnya
para pengguna media social dalam hal membaca akan semakin mempermudah mereka untuk
di bohongi oleh berita. Hal ini jika diperhatikan kembali akan menunjukan bahwa awal mula
penyebabnya ialah perbedaan kepentingan. Para jurnalis menggunakan judul berita yang
emnarik yang tidak jarang berbeda jauh dari isi berita demi kepentingan mereka yang ingin
menaikan jumlah pembaca. Sedangkan para pembaca yang kurang memiliki minat membaa
secara keseluruhan hanya membaca judul saja tanpa mengetahui kebenaran dari berita yang
mereka baca. Hal ini tidak hanya terjadi sekali, melainkann terus berulang-ulang dilakukan
oleh para pembaca yang malas membaca ini. bahkan tidak jarang ada yang langsung
menyebarkan informasi tanpa mengonfirmasi kembali kebenaran berita yang mereka peroleh,
sehingga berita yang tidak jelas dengan cepat akan meluas di masyarakat. Di dukung dengan
kemudahan yang disediakan di media social, para pengguna hanya butuh satu jempol untuk
membagikan apa yang ingin mereka bagikan ke orang lain.

Dari uraian diatas cukup membuktikan bahwa membaca merupakan hal yang sangat
penting, hal ini juga yang menjadi alasan terdapat peribahasa yang mengatakan bahwa
membaca (buku) adalah jendela dunia. Bahkan dalam agama islam, perintah pertama yang
yang diturunkan Tuhan adalah Iqro’ yang artinya Bacalah. Namun pada praktiknya, harus
kita akui bahwa membaca sangat minim peminatnya, di zaman yang serba instan sedikit
banyak membuat orang-orang lebih tertarik kepada hal yang cepat. Sehingga mereka merasa
bahwa dengan membaca akan menghabiskan waktu mereka.

Di Indonesia sendiri, krisis literasi sudah lama berlangsung. Dapat dilihat dari peringkat
Indonesia yang selalu menurun berdasarkan survei dari Programme for International
Assesment (PISA), dimana yang mulanya berada di peringkat 57 dari 65 negara peserta di
tahun 2015 menjadi peringkan 74 dari 80 negara peserta (Putra, 2020). Hal ini cukup
memberi gambaran bagaimana buruknya kualitas literasi yang dimiliki Negara ini. literasi
sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk kepada kemampuan yang
diperlukan individu di kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kemampuan membaca,
berbicara, menghitung, berbicara, dan memecahkan masalah (Deliani, 2021).

Di era digital seperti ini, literasi sangat penting bagi semua orang. Khususnya bagi para
pengguna media social, literasi digital menjadi suatu kewajiban yang perlu dikuasai. Literasi
digital sendiri merupakan kemampuan dan pengetahuan dalam memanfaatkan media digital,
alat komunikasi, dan jaringan untuk memperoleh suatu hal atau informasi untuk dievaluasi,
digunakan, dan dimanfaatkan dengan cara yang baik dan benar dalam rangka menjaga
keamanan selama melakukan interaksi social secara digital di kehidupan sehari-hari (Hanik,
2020). Dengan kata lain literasi digital perlu dikuasi oleh pengguna media social untuk
menjaga keberlangsungan media digital agar tetap terkendali. Sehingga jika terjadi krisis
literasi, keberlangsungan media digital, dalam hal ini media social akan menciptakan bencana
bagi para penggunanya. Dimana tidak ada jaminan keamanan dan adanya kemungkinan
dirugikan selama proses penggunaan media social.
Seperti yang sudah sebutkan sebelumnya, kemampuan literasi sangat perlu dimiliki
semua orang, salah satunya untuk dapat memilah informasi yang diterima ditengah kemajuan
lajunya arus informasi. Karena salah satu penyebab mudahnya hoaks menyebar adalah
minimnya literasi (Putra, 2020). Hoaks merupakan suatu informasi atau berita palsu yang
memiliki tujuan untuk merekayasa suatu keadaan untuk menutupi fakta sebenarnya (Azizah,
2021). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia
(MASTEL) pada tahun 2017, penyebaran hoaks mayoritas disebarkan melalui media social
dan aplikasi chatting (Fundrika dan Efendi, 2021). Hal ini tidak mengherankan jika kita lihat
kembali bagaimana kualitas literasi yang dimiliki Indonesia, penyebaran hoaks tentu saja
bukanlah hal yang sulit.

Banyak hal yang menjadi penyebab mudahnya hoaks berkembang di masyarakat.


Menurut Setyo (2021) setidaknya terdapat tiga hal yang mempengaruhi merebaknya hoaks di
masyarakat, yaitu kultur di masyarakat, perkembangan teknologi, dan terakhir rendahnya
literasi media. Penyebab yang pertama, kultur di masyarakat, seperti yang dapat kita rasakan,
kultur bergosip di masyarakat kita sangatlah kental, khususnya bagi masyarakat perdesaan
yang mana hubungan antar warganya sangat erat. Menyebarkan berita tanpa mengetahui
faktanya juga bukan hal tidak mungkin terjadi saat terjadi obrolan di antara warga, jikapun
ada yang mencoba meluruskan informasi yang diberikan, maka orang tersebut tidak jarang
akan kembali diperdebatkan. Kemudian penyebab yang kedua, perkembangan teknologi. Jika
menggosip cangkupan wilayah penyebaran hoaks relative kecil, maka dengan adanya
kemajuan teknologi akan mempermudah meluasnya infromasi. Kecepatan penyampaian
informasi palsu ini pun akan relative lebih capat dan mudah, tanpa harus mengulang cerita,
hanya butuh menekan tombol share, maka informasi akan dengan cepat tersebar. Hal ini terus
berulang hingga wilayah penyebarannya semakin meluas. Dan penyebab terakhir rendahnya
literasi media, selain budaya menggosip, budaya malas membaca juga menjadi penyebab
mudahnya penyebaran hoaks di masyarakat. Dengan minimnya pengetahuan yang dimiliki
seseorang, tentu saja mempermudah orang tersebut untuk dipengaruhi informasi palsu.

Hoaks sendiri memiliki berbagai macam bentuk dan jenisnya, Wardle (2017) membagi
hoaks menjadi tujuh jenis, hal ini dilihat dari tiga hal, yaitu jenis konten, alasan penyebaran,
dan cara penyebarannya (Adnan, 2019). Adapun ketujuh jenis tersebut ialah:

 Satire atau Parodi


Satire atau parodi merupakan jenis hoaks yang konten-kontennya dibuat dengan tujuan
menyindir. Hoaks jenis ini dapat dikatakan tidak terlalu membahayakan, namun cukup
mengecohkan bagi sebagian orang. Karena tidak jarang para pembaca menganggap
bahwa parody yang mereka baca merupakan suatu fakta.
 Misleading content
Misleading content atau konten menyesatkan merupakan jenis konten-kontennya berupa
informasi yang diedit sedemikian rupa menyesuaikan keinginan dari si pembuat
informasi. Isi dari kontenya biasanya diambil dari informasi yang asli, namun
disampaikan dengan diedit terlebih dahulu sehingga informasi yang disampaikan dalam
bentuk yang dilebih-lebihkan.
 Imposter content
Impostor content atau konten tiruan merupakan content yang meniru pernyataan dari
seseorang atau lembaga yang cukup terkenal, biasanaya para peniru ini mengatas
namakan. Seperti sms yang mengatas namakan telkomsel untuk undian hadiah dan
sejenisnya.
 Fabricated content
Fabricated content atau konten palsu merupakan jenis hoaks yang berbahaya, dimana isi
dari kontennya berisi informasi palsu yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, salah
satu buntuknya ialah informasi lowongan kerja palsu.
 False connection
False connection atau koneksi yang salah merupakan jenis hoaks yang dibuat dengan
tujuan untuk mendapat keuntungan, biasanya bentuknya berupa berita sensasional yang
dapat menarik minat orang untuk membaca.
 False context
False context atau konteks yang keliru merupakan berita yang menggunakan suatu
dokumen namun ditulis dengan berita yang berbeda. contohnya pengambilan video lama
yang dikaitkan dengan kejadian yang baru, padahal hal tersebut berbeda konteksnya.
 Manipulates content
Manipulates content atau konten manipulasi merupakan konten hasi editan dari informasi
yang sebelumnya sudah dimuat di media terpecaya. Contohnya mngedit judul dari suatu
berita yang berasal dari web terpecaya.

Penyebaran hoaks tentu saja sangat meresahkan, maka dari itu masyarakat perlu selalu
diingatkan untuk selalu menggunakan media social secara bijak agar tidak mudah termakan
informasi yang tidak jelas (Yunita, 2017). Penerimaan hoaks oleh seseorang dipengaruhi oleh
psikologis dari pembacanya. Menurut dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ, setidaknya terdapat tiga
factor psikologis yang dapat membuat seseorang percaya dengan hoaks. Faktor pertama,
memiliki kecenderungan untuk menyangkal keadaan yang berlangsung. Faktor kedua, rasa
tertarik dan percaya dengan teori konspirasi. Faktor ketiga, memiliki kesemaan aliran dengan
hoaks yang menyebar (Hanifah, 2021).

Hoaks dalam masa pandemic

Hoaks sebenarnya bukanlah hal yang baru, bahkan keberadaanya sudah terdeteksi sejak
manusia pertama yaitu nabi Adam diturunkan (Setyo, 2021). Namun, keberadaan hoaks di
masa pandemi ibaratkan menyiram luka dengan air garam, hanya memperburuk keadaan.
Tidak jarang kita temukan banyak berita-berita palsu tentang covid-19 yang menyebar
ditengah kondisi pandemic yang memburuk, mulai dari teori konspirasi mengenai keberadaan
covid-19, obat atau ramuan penangkal virus, hingga vaksin yang berbahaya. Hal ini tentu saja
sangat meresahkan dan melelahkan, di satu sisi kita harus berjuang melawan virus yang
sangat berbahaya, di sisi lain juga dipaksa harus berjuang melawan hoaks yang tak kalah
berbahaya juga.

Banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencoba mengatasi masalah
yang timbul akibat beredarnya hoaks di masyarakat, namun hal ini tidak terlalu memberi
dampak yang signifikan. Dari pemerintah sendiri, khususnya dari Kementrian Komunikasi
dan Informatika (kominfo) sudah berupaya untuk menghentikan penyebaran dari berita
hoaks. Hal yang sudah dilakukan berbagai pihak melawan perkembangan hoaks di
masyarakat. Mereka selalu rutin mengumumkan hasil temuan mereka terkait hoaks yang
beredar, dan berita tersebut akan ditarik dari peredaran di segala jenis media social (Kalia,
2021). Seperti yang dapat kita lihat, di social media khususnya Facebook postingan yang
mengandung berita palsu akan menghilang dari peredaran. Di web resmi dari kementrian ini
juga memberikan layanan pengaduan bagi warga yang ingin melapor adanya dugaan berita
palsu.
Sumber: https://aptika.kominfo.go.id/2021/08/kominfo-temukan-1-819-isu-hoaks-seputar-covid-19/

selain dari pemerintah, gerakan social dari lembaga non-pemerintah juga tak henti-hentinya
dilakukan.

Untuk menghindari kita terpapar dan terpengaruhi oleh berita hoaks, menurut Dewan
Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (WANTIKNAS) setidaknya kita dapat
melakukan 5 hal, yaitu:

 Perhatikan Judul Informasi, kita harus lebih peka terhadap judul berita yang memiliki
kecenderungan berlebih. Karena biasanya berita hoaks menggunakan judul yang
provokatif untuk membuat orang penasara.
 Lihat Sumber Berita, perlu kita lihat lagi dari mana suatu berita itu berasal. Karena
berita hoaks biasanya berasal dari sumber yang tidak jelas.
 Periksa Foto dan Video, tidak hanya berbentu tulisan, hoaks juga sering berupa foto
dan video. Maka dari itu kita perlu lebih pintar lagi untuk mengecek apakah foto dan
video tersebut asli atau hasil editan.
 Waspada Dengan Bentuk Forward Messages, hoaks juga sering kali diberikan melalui
forward massages. Padalah berita yang diberikan bukanlah berita yang jelas asal
usulnya, namun masih saja ada oknum yang rajin membagikan berita tersebut.
 Laporkan Kepada Kominfo Jika Menemukan Berita Hoaks, seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya, bahwa kominfo memiliki layanan untuk pengaduan berita
hoaks di web resmi mereka. Maka dari itu jika kita menemukan berita hoaks, kita
perlu melaporkannya.

Untuk sumber berita yang jelas, khusus terkait covid-19, sudah ada web resmi yang dapat
diakse melalui https://www.covid19.go.id/. Selain berisi informasi seputar covid-19, di web
ini juga terdapat kumpulan-kumpulan berita hoaks terkait covid-19. Dengan memilik bagian
“hoaks buster” kita akan disajikan beberapa hasil penelusuran hoaks yang menyebar di
masyarakat.

Sumber: https://covid19.go.id/p/hoaks-buster

Kesimpulan

Dari apa yang sudah dipaparkan, dapat kita simpulkan, bahwa hoaks dan krisis literasi
menjadi suatu bencana dalam bermedia social. Dampak dari bencana ini pada praktiknya
tidak hanya mengganggu di media social, tetapi juga menyebabkan masalah yang cukup
serius di dunia nyata. Indonesia sebagai Negara yang cukup memperhatinkan dari segi
kualitas literasi membuat berbagai pihak perlu lebih giat mengupayakan gerakan melawan
hoaks. Karena literasi sangat erat kaitannya dengan penyebaran berita tersebut. Ditambah
dengan kemudahan akses atas kemajuan teknologi, hal ini berhasil memperparah keadaan
yang ada.

Kemajuan teknologi digital sudah seharusnya dibarengi dengan kemajuan kemampuan


dari manusia penggunanya. Jika kedua hal ini tidak berjalan beriringan, maka akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Karena kemudahan akses yang diperoleh jika tidak digunakan
dengan baik akan merambah kearah kemudahan akses untuk melakukan kejahatan dan tindak
criminal. Maka dari itu setiap individu perlu untuk meningkatkan kualitas diri dengan tujuan
mengimbangi kemajuan teknologi. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan banyak
belajar, baik itu membaca dan lebih teliti dalam menanggapi suatu hal.

Dari segi pemerintah dan komunitas, kepedulian mereka terhadap masyarakat sangat
bagus. Dapat kita lihat berbabgai upaya yang mereka lakukan untuk membantu masyarakat
ketertinggalan dan mengimbangi kemajuan teknologi. Baik itu berupa sosialisai dan edukasi,
maupun menyediakan wadah untuk masyarakat berpartisipasi melawan bahaya hoaks
bersama-sama.
Daftar Pustaka

Adnan, Sobih AW. (27 Oktober 2019). Mengenal Tujuh Jenis Hoaks. Diakses dari
https://www.medcom.id/telusur/cek-fakta/4KZ6rAqK-mengenal-7-jenis-hoaks pada
tanggal 5 Oktober 2021.

Azizah (2021) diakses dari https://www.merdeka.com/trending/hoaks-adalah-berita-bohong-


kenali-ciri-ciri-jenis-dan-cara-mengatasinya-kln.html pada tang Literasi adalah
Kemampuan Menulis dan Membaca, Kenali Jenis dan Tujuannya gal 5 Oktober 2021.

Deliani, Dhian. (19 Februari 2021). Literasi adalah Kemampuan Menulis dan Membaca,
Kenali Jenis dan Tujuannya. Diakses dari https://perpustakaan.setneg.go.id/index.php?
p=news&id=2550 Pada tanggal 5 Oktober 2021.

Dwipura (14 Maret 2020). Diakses dari


https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3637479/waspada-hoaks-virus-ganas-
selain-coronavirus-pengancam-kesehatan-mental pada tanggal 5 Oktober 2021.

FISIP UI. (16 Juli 2021). Cyber Crime Meningkat Tajam di Masa Pandemi. Diakses dari
https://fisip.ui.ac.id/bhakti-cybercrime-menjadi-jenis-kejahatan-yang-mengalami-
peningkatan-cukup-tinggi/ pada tanggal 4 Oktober 2021.

Fundrika, Bimo Aria dan Efendi, Dini Afrianti. (17 Juli 2021). Wajib Tahu! Sejarah,
Pengertian, dan Jenis-jenis Hoaks. Diakses dari
https://www.suara.com/lifestyle/2021/07/17/065500/wajib-tahu-sejarah-pengertian-
dan-jenis-jenis-hoaks?page=all pada tanggal 5 Oktober 2021.

Hanifah, Syifa. (29 Juni 2021). Dampak Buruk Hoaks Bagi Psikologis Masyarakat. Diakses
dari https://www.merdeka.com/cek-fakta/dampak-buruk-hoaks-bagi-psikologis-
masyarakat.html pada tanggal 5 Oktober 2021.

Elya umi Hanik. (2020). Self Directed Learning Berbasis Literasi Digital Pada Masa Pandemi
Covid-19 Di Madrasah Ibtidaiyah. Elementary Islamic Teacher Journal, 8, 183–
208.Kaila, B. S. C. (2021). Analisis Penyebaran Berita Hoaks Pandemi Covid-19 Di
Bondowoso Melalui Facebook. Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah
Jember.
Putera, Dewa Putu Ardita Darma. (28 Agustus 2019).Waspadai 7 Jenis Hoaks di Sekitar Kita,
Apa Saja?. Diakses dari https://www.medcom.id/telusur/cek-fakta/4KZ6rAqK-
mengenal-7-jenis-hoaks pada tanggal 5 Oktober 2021.

Putra, Muhammad Akbar Darojat Restu. (31 Agustur 2020). Krisis Literasi: Penyebab,
Dampak dan Solusi?. Diakses dari https://thecolumnist.id/artikel/krisis-literasi-
penyebab-dampak-dan-solusi-1153 pada tanggal 5 Oktober 2021.

Putranto (2018) diakses dari


https://internasional.kompas.com/read/2018/03/22/09480251/darurat-literasi-media-
sosial-berpacu-melawan-konten-negatif?page=all pada tanggal 5 Oktober 2021.

Rizkinaswara, Leski. (2 Agustus 2021). Kominfo Temukan 1.819 Isu Hoaks Seputar Covid-
19. Diakses dari https://aptika.kominfo.go.id/2021/08/kominfo-temukan-1-819-isu-
hoaks-seputar-covid-19/ pada tanggal 6 Oktober 2021.

WANTIKNAS. (10 Mei 2021). 5 Langkah Cerdas Lawan Hoaks. Diakses dari
https://www.wantiknas.go.id/id/berita/5-langkah-cerdas-lawan-hoaks pada tanggal 6
Oktober 2021.

Web Resmi Covid-19. (28 September 2021). Hoax Buster. Diakses dari
https://covid19.go.id/p/hoax-buster pada tanggal 6 Oktober 2021.

Yunita (2017) diakses dari https://kominfo.go.id/content/detail/9058/penyebaran-informasi-


hoaks-menimbulkan-keresahan-di-masyarakat/0/sorotan_media pada tanggal 5 Oktober
2021.

Wareza, Monica. (17 Juli 2021). Hoax dari dr Lois Akhirnya Memakan Korban Jiwa. Diakses
dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20210717172541-4-261686/hoaks-dari-dr-
lois-akhirnya-memakan-korban-jiwa pada tanggal 5 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai