Anda di halaman 1dari 7

DAMPAK SOSIOLOGIS PENYEBARAN HOAX

PADA HUBUNGAN ANTARPRIBADI DI DUNIA NYATA

TAUFIK UMAR PRAYOGA, taufikumarprayoga@gmail.com


NIM: 015754642
Program Studi Ilmu Komunikasi
FHISIP Universitas Terbuka UPBJJ – Bogor

Abstrak

Hoax (berita bohong) merupakan fenomena yang tengah menjadi masalah akhir-akhir ini,
penyebaran informasi yang salah dengan tujuan tertentu seakan menjadi jamur di tengah
hujan informasi yang mendera dunia saat ini. Dampak yang ditimbulkan tidak main-main,
bisa menyasar siapa saja yang terpapar berita atau informasi yang palsu itu. Kemudahan
mengakses informasi digital pada saat ini memudahkan setiap orang menerima informasi
dari berbagai arah dan fenomena untuk unjuk eksistensi yang tidak wajar, sehingga kerap
menimbulkan gesekan bagi mereka yang tidak sefaham atau korban dari berita yang
dibagikan yang sesungguhnya jauh dari fakta atau kebenaran. Warganet perlu mendapatkan
literasi digital dalam arti panduan untuk tetap dalam koridor norma dan nilai-nilai budaya
meskipun dalam ranah daring untuk menurunkan jumlah arus informasi yang meresahkan.
Perilaku penyebaran berita hoax berdampak pada hubungan-hubungan sosial dengan
munculnya umpan balik berupa persekusi, perundungan dan ujaran kebencian di dunia
nyata. Mengenai perilaku di dunia maya seyogyanya menjadi perhatian bersama, selain
kesadaran bertoleransi, saling mengingatkan, mengecek keabsahan suatu berita, karena
warganet sendiri yang memang menjadi pemakai dan pelaku interaksi sosial di ranah
daring. Upaya penyaradan akan pentingnya etika dan perilaku di dunia maya perlu kembali
digaungkan dan komitmen bersama.

Kata Kunci: Hoax, Berita Bohong, Sosial Media

Pendahuluan

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia,
di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain atau sebaliknya. (Gerungan, 1996: 51).

Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia


yang hidup bersama oleh karena adanya hubungan antar mereka. Hubungan tersebut antara
lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan juga suatu
keadaan untuk saling menolong. (Mac Iver dan Charles dalam Soekanto, 1987: 105).

Interaksi sosial manusia dekade ini telah mengalami transformasi dengan pesatnya
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, keberadaan gawai yang kini bisa dimiliki
siapa saja dari beragam kalangan tanpa batasan usia dan golongan sosial. Fenomena ini juga
menjadi daya tarik para pengembang aplikasi gawai yang seolah memindahkan ruang-ruang
interaksi dunia nyata ke dalam jejaring sosial dalam ranah maya. Beragam informasi mudah
sekali dibagikan dalam lingkaran jejaring, mulai dari informasi yang benar-benar bernilai
berita, propaganda atau hanya sebatas iklan semua bisa diakses dalam satu genggaman.

Namun sangat disayangkan, kemudahan mengakses informasi ini digunakan oleh


pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang merugikan
pihak lain atau kelompok. Tujuannya beragam, mulai dari motif politik, persaingan usaha
atau hanya sekedar iseng belaka. Hoax atau penyebaran berita palsu kini menjangkiti
sebagian pengguna sosial media dan mulai merusak sendi-sendi sosial hingga ke ranah dunia
nyata. Seorang yang dengan mudah membagikan berita atau informasi dengan judul-judul
bombastis, membangkitkan emosi yang bersumber dari pihak yang tidak bertanggungjawab
berpotensi terjadi gesekan antar masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, penyebaran
berita palsu ini mengakibatkan tindak kriminal berupa perundungan, persekusi yang termakan
isu-isu dan timbal balik dari disinformasi tersebut.

Dalam ranah maya atau sosial media pengguna menerima arus informasi yang begitu
dahsyat, bahkan muncul istilah Tsunami Informasi yang mau tidak mau menghantam siapa
saja. Tensi politik menjadi salah satu pemicu maraknya penyebaran informasi hoax ini.
Perilaku penyimpangan komunikasi ini menjadi komoditas empuk sebagian kalangan yang
memiliki tujuan tertentu, tersebarnya informasi dengan luas sehingga menjadi perbincangan
yang menjurus pada fitnah adalah tujuan yang diinginkan kelompok penyebar ini. Sebagian
pengguna sosial media boleh jadi hanya menjadi korban atas dasar ketidakcermatan dalam
memilah informasi yang ada. Dampaknya hingga merambah ke dunia nyata, contoh yang
konkrit adalah penyebaran pesan berantai mengenai isu adanya bom di sebuah pusat
perbelanjaan, berita yang secara berantai ini merusak ketenteraman an menimbulkan
kepanikan dan membahayakan.

Dunia maya dengan sosial medianya merupakan wadah untuk berinteraksi dan solusi
berkomunikasi dengan memangkas jarak dan waktu, juga menjadi sarana menjalin
pertemanan yang lebih luas dengan tujuan-tujuan positif. Pesan-pesan informatif, edukatif
dan terjalinnya sebuah jejaring komunikasi yang seharusnya menimbulkan sikap toleransi dan
saling menghargai antar masyarakat dalam bingkai keberagaman.

Isi

Penyebaran (share/sharing) merupakan karakter lainnya dari media sosial. Medium


ini tidak hanya dapat menghasilkan konten yang dibangun dari dan dikonsumsi oleh
penggunanya, tetapi juga didistribusikan sekaligus dikembangkan oleh penggunanya
(Benkler, 2012; Cross 2011).

Tidak sedikit warga masyarakat mudah terpengaruh, dicengkram, dan dikendalikan


oleh hoax. Rupanya banyak orang sebegitu mudah terjerat hoax. Teror-teror yang ditebarkan
melalui hoax tak terbendung. Akibatnya, ketenangan, kekacauan, dan ketakutan sosial
menimpa masyarakat luas. Suasana hidup bersama mengalami goncangan berlarut-larut.
(William, 2018:89)

Jenkins memberikan sebuah term mengenai konten di media sosial dengan sebutan
populer user generated content (UGC). Term ini menunjukan bahwa di sosial media konten
sepenuhnya milik dan berdasarkan kontribusi pengguna atau pemilik akun. (Rulli, 2017: 31)

Luasnya sidang pembaca di media sosial menuntut setiap pemilik akun dalam
jejaring sebagai pemilik konten untuk lebih bijaksana dalam menyebarkan informasi, saring
sebelum sharing mungkin kerap kita dengar dalam pelbagai kampanye anti-hoax. Namun
tagline ini tidak dibarengi dengan upaya-upaya dari para pengguna media sosial untuk
melakukan kroscek hingga sebuah informasi tersebut dikatakan benar dan tidak menimbulkan
keresahan bagi khalayak.

Karakteristik masyarakat modern yang cenderung lebih bebas berpendapat bukan


tidak mengandung resiko atau efek samping. Keragaman khalayak atau sidang pembaca di
sosial media kerap tidak diperatikan oleh pemilik akun yang memang sengaja menyebarkan
informasi bohong. Misalnya, sebuah akun membagikan informasi mengenai sebuah bencana
letusan gunung berapi di sebuah daerah. Bagi masyarakat yang mudah percaya ini dapat
menimbulkan kepanikan, padahal informasi tersebut tidak benar atau hanya isu yang disbar-
besarkan saja.

Atau contoh baru-baru ini dalam dunia nyata dua orang anggota legislatif di daerah
ditangkap sebelum menaiki pesawat karena bercanda tentang bom, tak ayal meskipun diakui
hanya iseng belaka namun dampak sosiologisnya akan terjadi dengan kekacauan bahkan
dapat menunda penerbangan. Perilaku seperti ini boleh jadi akibat mudahnya seseorang
menganggap bahwa menyebarkan berita bohong adalah hal wajar.

Pada kasus lain akibat maraknya berita tidak utuh yang disebarkan oleh pihak yang
tidak bertanggungjawab terjadi kecurigaan kepada sekelompok orang, ambil contoh kepada
wanita yang bercadar diasosiasikan oleh penyebar opini sesat sebagai pendukung aksi
radikalisme. Meskipun tidak secara verbal, penolakan dengan menghindar dari wanita
bercadar ini merupakan dampak dari disinformasi yang tersebar di media sosial, mengambil
sikap netral dan menyaring informasi adalah upaya terbaik untuk menjaga hubungan-
hubungan harmonis antarpribadi dan khalayak.

Pengguna sebagai produser sekaligus konsumen (prosumer) pada dasarnya


merupakan komoditas yang dimanfaatkan oleh berbagai sumber. Pengguna media sosial
merupakan bentuk baru dari pekerja digital yang tidak memerlukan upah atau dalam bahasa
Fuch (2014) unpaid internet prosumer labour. (Rulli, 2017: 100)

Perilaku penyebaran hoax yang sudah menjamur ini dapat berdampak hukum melalui
jeratan Undang-Undang ITE, pelakunya bisa menyasar siapa saja, tidak memandang status,
latar belakang pendidikan, atau usia. Ambil contoh seorang dosen yang menyebarkan berita
bohong harus menerima konsekuensi hukum atas ucapan dan tindakannya di ranah maya.
Belum lagi dampak horisontalnya dengan lingkungan dia tinggal, rasa malu dan cibiran
sebagai sanksi sosial harus diterima akibat ulahnya, disini terlihat ketidakbijakan dalam
menggunakan sebuah media, cenderung ingin terlihat eksis dan lupa dampak yang akan
ditimbulkan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Resistensi terhadap penyebaran berita bohong membuahkan reaksi bagi mereka yang
tidak terima, sebut saja sebuah kasus yang menimpa seorang anggota legislatif di daerah yang
mengunggah gambar tokoh yang dianggap tidak baik oleh sebagian orang yang memicu
amarah, reaksi yang timbul adalah persekusi di dunia nyata, dalam konteks ini meskipun
komunikasi dilakukan secara tertutup dalam sebuah grup komunikasi percakapan, namun
bukan berarti tidak bocor ke publik.

Kemajuan teknologi yang sebegitu canggih ikut menimbulkan masalah-masalah


sosial, politik, kultural, hukum dan moral yang terbelit. (William, 2018: 75)

Reaksi terhadap penyebar hoax kian mecemaskan, agresifitas pihak yang tidak
senang atas perbuatan tersebut memicu konflik-konflik baru yang sejatinya tidak perlu
terjadi. Perdebatan di ruang maya bisa merambah ke ruang nyata dan sejatinya hal ini tidak
akan terjadi bila kedua pihak saling menahan amarah dan mengedepankan tabayun.
Mekanisme umum untuk saling mengonfirmasi sebuah masalah. Bagi mereka yang
terdampak berita hoax, atau boleh disebut korban, akan tidak mudah untuk memulihkan
kembali, terlebih bila hoax tersebut menjurus pada fitnah yang sangat berbahaya bagi
kehidupan bermasyarakat. Saling curiga, saling tidak percaya dan disharmoni adalah dampak
yang bisa dirasakan oleh korban.

Sigmun Freud mengungkapkan mengenai komunikasi verbal sebagai alat untuk


berbohong, dia menyatakan bahwa tak ada makhluk hidup yang bisa memegang rahasia.
Apabila bibirnya membisu maka dia akan berbicara dengan menggunakan jarinya,
pengkhianatan yang terus menerus dari setiap lubang pori-porinya. (dalam Baskin & Aronoff,
1980: 102)

Kenderungan untuk ingin mengaktualisasikan diri tanpa diiringi sikap, etika dalam
bersosial media memberikan peluang timbulnya distorsi dalam berkomunikasi secara daring.
Ketiadaan tatap muka secara langsung boleh jadi mempersempit seseorang sadar akan
khalayak yang ada dihadapannya.

Upaya menyadarkan akan bahaya penyebaran hoax harus intensif dilakukan, sejak
usia dini kesadaran ini harus dipupuk bahwa ketika menerima berita yang masih tidak jelas
sumbernya agar tidak lantas menelan mentah-mentah, hal ini perlu dilatih mulai dari
komunitas terkecil, dengan memberitakan hal-hal positif dan ajakan untuk berinternet secara
sehat. Pelajaran berharga mengenai dampak buruk yang ditimbulkan akibat beredarnya berita
bohong mesti terus diingatkan, pemerintah dan semua yang merasa bahwa berita bohong
akan meresahkan harus bahu-membahu membangun kesadaraan bahaya hoax ini.

Hal lain yang dapat diupayakan untuk menangkal perilaku-perilaku hoax ini adalah
dengan mendukung kelompok-kelompok anti-hoax, dekalarasi masyarakat anti berita palsu
pun harus menjadi sebuah kegiatan rutin dengan harapan kasus-kasus yang terjadi akibat
penyebaran berita hoax bisa diminimalisir sedini mungkin.

Peran penting keluarga, tokoh masyarakat, politisi, agamawan dirasa harus


ditingkatkan untuk melawan perilaku penyebar hoax, bersikap jujur, adalah nilai-nilai penting
yang harus ditanamkan kepada siapapun pengguna media sosial, dengan begitu upaya untuk
menyebarkan berita bohong bisa diredam seluas-luasnya.

Setiap pribadi seharusnya menjadi semacam badan sensor terhadap setiap berita atau
informasi yang masuk. Informasi atau berita tidak dengan sendirinya adalah kebenaran.
Cross Check sangat penting. (William, 2018: 90)
Pentingnya membayangkan diri sendiri sebagai orang lain agar pengguna dapat
bercermin terhadap tindakan atau perilaku penyebaran informasi menyadari dampaknya
terhadap lingkungan dan masyarakat luas. Penting juga bagaimana kita bersikap bilamana
menjumpai penyebar berita hoax, yaitu dengan saling mengingatkan, memberikan data
pembanding sebagai referensi tajuk informasi yang benar. Bisa juga melaporkan hal tersebut
kepada pihak-pihak yang memang diberikan wewenang untuk menindak perilaku tersebut.
Hal ini seyogyanya dilakukan semata-mata untuk mereduksi perilaku-perilaku penyebar
hoax.

Bersosial media merupakan gaya hidup yang tengah digandrungi pada masa kini,
kemudahan dan kemajuan teknologi memungkinkan seseorang bersikap asosial, tidak peka
terhadap sekelilingnya. Hal ini akan berbahaya jika ketidaksadaran sosial ini menyangkut
pemberitaan atau berbagi informasi, juga sangat berbahaya jika sikap ketidakpekaan
mengenai isu-isu primordial dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) berkembang
dan tentu ini akan merugikan semua pihak.

Kesimpulan

Hoax (berita bohong) merupakan fenomena global, seiring dengan terbukanya


informasi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat. Pelaku dan korban penyebaran hoax
harus mendapat atensi lebih, melihat dampak yang ditimbulkan sangat serius, menyangkut
sendi-sendi sosial bermasyarakat saat ini. Upaya menghalau informasi palsu perlu
ditingkatkan, boleh jadi penyebar juga merupakan korban pihak-pihak yang memanfaatkan
kelengahan pengguna media. Melakukan penyaringan sebelum menyebarkan sebuah
informasi seyogyanya menjadi pemahaman umum dan menjadi etika berkomunikasi yang
standar bagi semua kalangan.

Keaktifan dalam bersosial media adalah hal yang lumrah saat ini, namun
ketidaksiapan dalam menerima dampak-dampak negatif perlu diantisipasi sebagai tembok
dalam menjaga nilai-nilai baik yang sudah selama ini tertanam dalam perilaku masyarakat
pengguna media.

Kemajuan teknologi informasi sejatinya harus menjadi stimulus dalam percepatan


pembangunan di berbagai bidang, kemudahan dalam menerima informasi bisa
menguntungkan dari beragam sisi. Namun kesadaran, toleransi, etika, dan menjaga
kerukunan harus selalu menjadi prioritas bersama.

Saran

Kampanye, sosialisasi, edukasi dan penyadaran akan bahaya yang ditimbulkan dari
perilaku penyebaran hoax adalah tanggung jawab bersama. Namun, respon cepat dari aparat
dalam menindak pelaku penyebaran hoax juga layak menjadi perhatian, agar efek jera bagi
pelaku dan calon pelaku penyebar hoax yang meresahkan dapat diredam dan diantisipasi.

Menyaring informasi dan memanfaatkan jejaring pertemanan dalam koridor positif


bisa menjadi gaya hidup yang lebih sehat, menjaga internet sebagai dimensi dalam
bersosialisasi selayaknya bersih dari perilaku penyebaran berita bohong, jika hal ini terjadi
maka potensi persekusi dan disharmoni antarpribadi akan berkurang.

Daftar Pustaka

William, C. (2018). Etika & Etiket Komunikasi. Yogyakarta : PT. Kanisius.


Rulli, N. (2017). Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.

Anda mungkin juga menyukai