Anda di halaman 1dari 18

Analisis Peran Literasi Digital dalam Penggunaan Media Sosial Terhadap

Fenomena Cancel Culture

Disusun Oleh:
Samuella Christy, 2106713955

Makalah Penulisan dan Presentasi Ilmiah Kelas K

Dosen: Annisah, M.Kesos

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK

Digitalisasi merupakan fenomena yang tidak dapat terpisahkan dari kondisi


masyarakat saat ini. Hampir semua kebutuhan sehari-hari terlibat dalam proses
digitalisasi, mulai dari pendidikan, pekerjaan, infrastruktur, dan penyebaran informasi.
Beragam dampak positif pun bisa dirasakan masyarakat akibat kemudahan akses serta
lebih banyak waktu luang yang tersedia, Namun, efek samping digitalisasi juga
menimbulkan dampak negatif, seperti keberadaan berita hoaks yang tidak terbendung
sehingga masyarakat semakin bingung dalam beretika di media sosial. Akhirnya, hal ini
berdampak pada proses pengolahan informasi oleh masyarakat yang berujung pada
munculnya budaya cancel culture. Hadirnya cancel culture sebagai budaya baru pun
turut membutuhkan peran literasi digital dalam menangkal dampak buruknya. Oleh
karena itu, penulis tertarik membuat makalah ini dengan tujuan untuk mengetahui urgensi
literasi digital sebagai bentuk pengendalian sosial dan kontrol diri dalam menghadapi
budaya cancel culture ini. Dalam mendukung penulisan ini, penulis melakukan studi
dokumen terhadap data-data terdahulu yang menganalisis dampak signifikan cancel
culture terhadap korban dan eksperimen sosial yang menunjukkan kondisi psikologis
masyarakat terkait mob mentality. Dari hasil studi dokumen tersebut, cancel culture dapat
dikatakan sebagai budaya baru yang berbahaya karena efeknya yang bisa mengekang
kebebasan seorang publik figur sekaligus menerapkan konsep kebebasan yang
bertanggung jawab. Selain itu, mob mentality yang muncul dari budaya cancel culture ini
bisa berujung pada kekacauan di mana keadaan masyarakat yang tidak bisa membedakan
opini publik dengan pribadi. Maka dari itu, salah satu hal terpenting dalam menghadapi
tren cancel culture yang saat ini marak terjadi adalah meningkatkan literasi digital.
Dengan peningkatan kesadaran akan literasi digital, masyarakat akan mampu
menafsirkan setiap informasi dalam media sosial tanpa ada kekeliruan yang serius.
Kehadiran iterasi digital dapat berperan efektif dalam menanggulangi tren cancel culture,
memastikan kebebasan berpendapat di media sosial, dan self-control warganet beriringan
dengan baik.

Kata Kunci : cancel culture, literasi digital, media sosial, kebebasan berpendapat, mob
mentality.

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………....... 2
1.3 Tujuan……………………………………………………………..3
1.4 Metodologi Penelitian......................................................................3

BAB II KONSEP TEORI


2. 1 Landasan Teori…………………………………………………....6

BAB III PEMBAHASAN


3. 1 Analisis Data…………………………………………………….. 7
3.2 Pembahasan.....................................................................................9

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan………………………………………………………. 12

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Milenial dan media sosial memberi kesan tentang dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Milenial begitu identik dengan perkembangan media sosial dan media sosial
juga begitu identik dengan milenial. Dalam data terbaru Google Consumer Behaviour,
Kemp (2018, h.1) menyatakan bahwa dari 265,4 juta populasi di Indonesia, 50% di
antaranya merupakan digital native. Menurut Helsper & Enyon (2009, h. 1), digital
native adalah generasi muda yang lahir saat internet sudah ada dan yang mempengaruhi
kehidupan mereka sejak masih dalam kandungan. Munculnya generasi digital native ini
menandakan era baru yang menuntut kita untuk memiliki kemampuan dasar berkaitan
dengan konsep digital itu sendiri.
Adanya peningkatan terhadap penggunaan internet secara komprehensif ini telah
membentuk budaya dialektika baru di kalangan masyarakat. Budaya membaca dan
menulis sudah beralih menjadi komunikasi digital di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Maraknya fenomena digitalisasi ini bukan tanpa dampak negatif. Menjamurnya berita
hoaks di dunia maya merupakan salah satu dari dampak negatif yang bisa kita temukan
sehari-hari dalam media sosial. Penyebaran berita hoaks di media sosial merupakan salah
satu dampak dari masifnya perkembangan digital di kehidupan masyarakat saat ini.
Informasi yang destruktif ini disebarkan oleh oknum-oknum dengan berbagai motif,
misalnya sebagai upaya untuk membangun popularitas dan mencari keuntungan semata.
Selain itu, pelaku penyebar berita hoaks bisa datang dari kalangan influencer. Salah satu
contoh kasus influencer yang menyebarkan hoax adalah seorang musisi bernama Anji
yang memiliki channel YouTube bernama “duniamanji”. Dalam salah satu video yang
diunggahnya, Anji menyebarkan berita bohong soal penemuan obat herbal yang dapat
menyembuhkan COVID-19. Karena dinilai menyesatkan, warganet pun meminta Anji
untuk bertanggung jawab dan menghapus video tersebut (Kompas, 2020).
Contoh kasus di atas membuktikan bahwa suara publik di media sosial memiliki
pengaruh besar untuk menyudutkan pelaku. Dalam hal ini, pelaku penyebar hoaks
mendapatkan sanksi sosial oleh masyarakat sebelum pihak yang berwenang turun tangan.
Dampak dari penyebaran hoaks seperti ini akan berpotensi lebih buruk jika

1
masyarakatnya memiliki latar belakang majemuk. Apabila informasi yang keliru tersebut
berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial, semakin tinggi pula tingkat kefatalan
yang diakibatkan. Maka dari itu, aksi netizen untuk menyerang personal influencer yang
menyebarkan hoaks disebut sebagai cancel culture.
Cancel culture merupakan salah satu bagian dari pop culture, yang mulai
berkembang sejak transformasi digitalisasi saat ini. Influencer yang mengalami
‘cancelled’ dapat dikatakan telah mengalami ‘pengenyahan’ dari lingkungan sosial secara
informal oleh masyarakat dunia maya. Perilaku cancelling yang dilakukan oleh warganet
kepada influencer di antaranya seperti melakukan boikot, tidak mendukung karya
influencer tersebut, diasingkan secara sosial, serta memutuskan kontrak kerja (Eve, 2020:
621-627: Ani, 2021).
Wujud aksi virtual baru ini menimbulkan pro kontra dari berbagai kalangan
masyarakat. Makna kegiatannya yang diartikan secara relatif dan permasalahan mengenai
kebebasan berpendapat di ruang digital serta pengendalian diri warganet juga
dipertanyakan. Ditambah, banyaknya warganet yang merasa berhak untuk beropini
apapun di media sosial dengan menggunakan payung pembenaran kebebasan
berpendapat. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa hak kebebasan tersebut
dibatasi oleh tanggung jawab khusus (Sabrina, 2019).
Dengan demikian, penting untuk mengetahui bagaimana keterampilan literasi
digital dibutuhkan sebagai upaya untuk mengatasi tren cancel culture di era post-truth
ini. Tulisan ini kemudian ingin mengelaborasi peran literasi digital sebagai cara untuk
mencegah dampak negatif dari tren cancel culture ini dan membekali kemampuan
kognitif pada warganet dalam mengolah informasi. Pokok fundamental dari literasi
digital ini sebagai upaya preventif dalam menangkal praktik kebebasan yang tidak
bertanggung jawab di media sosial. Literasi digital dapat dijadikan pedoman oleh
masyarakat agar terciptanya iklim media sosial yang lebih sehat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan analisis terkait contoh kasus cancel culture yang pernah terjadi dan
berbagai dampaknya, dapat disimpulkan bahwa tren cancel culture ini dapat
menimbulkan konsep masyarakat populis dengan pendapat mereka yang dianggap
mayoritas dan konsep “mereka yang berbeda” sebagai pihak yang terpinggir. Lebih

2
lanjut, tren ini juga bertendensi ke arah mobokrasi, di mana masyarakat hanya
menerjemahkan preferensi mayoritas dalam melihat isu-isu di sekitarnya. Hal ini tentu
menciptakan ruang di dunia maya yang tidak sehat sehingga demokrasi pun tidak berjalan
semestinya. Dalam menanggapi keadaan ini, literasi digital dibutuhkan sebagai upaya
preventif untuk menggalakkan pengendalian diri masyarakat dan penggunaan media
sosial secara optimal. Oleh karena itu, dapat dirumuskan beberapa masalah berikut ini:

• Bagaimana urgensi literasi digital sebagai bentuk kontrol diri masyarakat


dalam menghadapi hoaks dan cancel culture?
• Bagaimana pengaruh pengendalian sosial dan kebebasan berpendapat oleh
tren cancel culture di ruang digital?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian untuk mengetahui:

• Penjelasan mengenai urgensi literasi digital sebagai bentuk kontrol diri


masyarakat dalam menghadapi hoaks dan cancel culture

• Pengaruh pengendalian sosial dan kebebasan berpendapat oleh tren cancel


culture di ruang digital

1.4 Metodologi Penelitian

Analisis data terkait kasus yang penulis bahas dalam makalah ini diambil dari data
sekunder berupa video yang diunggah di kanal YouTube milik Korea Reomit dengan
judul "Di Korea Sekali Kena Skandal Langsung Kehilangan Karir?", Delhi Talks dengan
judul "Social Experiment on Mob Mentality", dan National Geographic dengan judul
"Question The Herd: Brain Games". Objek permasalahan yang dibahas adalah mengenai
dampak dari kasus cancel culture dan eksperimen sosial dari Mob Mentality di
masyarakat umum.

3
BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Cancel Culture

Secara definitif, cancel culture atau call-out-culture merupakan budaya


pembatalan yang berbentuk public shaming yang diarahkan kepada seorang individu
(biasanya seseorang yang memiliki power) karena problematikanya atau opininya yang
berbeda dengan opini masyarakat mayoritas (Tanudjaya, 2019). Budaya pengenyahan
umumnya dilakukan dengan cara "membatalkan" seorang publik figur di media sosial.
Seorang tokoh yang “dibatalkan” (cancelled) akan diboikot, produk mereka tidak lagi
digunakan, atau karya mereka yang tidak diminati lagi (Ani, 2021).

Fenomena ini bersifat massal dan bertujuan untuk mengucilkan korbannya.


Akibatnya, budaya cancel culture ini bersifat sangat destruktif dan kadang tidak melihat
perspektif dari segala arah. Menurut Potter (2010:10), publik yang melanggengkan
budaya ini tidak menyaring informasi sesuai keakuratannya dan tidak melakukan
verifikasi data terlebih dahulu. Dampak fatalnya adalah miskonsepsi terhadap isu dan
berita lebih mudah terjadi. Kemudian, penyebaran berita hoax pun menjamur di media
sosial seakan menjadi mata rantai yang tak ada habisnya.

2.1.2 Mentalitas Massa atau Mob Mentality

Mulanya, budaya cancel culture ini bertujuan agar orang-orang yang dianggap
bersalah oleh masyarakat dapat merasa jera dengan adanya sanksi sosial yang didapat
(Tanudjaya, 2019). Memang, realitanya seorang public figure mempunyai beban untuk
menjangkau dan mengakomodasi semua orang. Namun, budaya ini lama kelamaan
digunakan seseorang untuk mendiskreditkan orang lain tanpa alasan yang kuat. Masalah
utama yang dilahirkan budaya ini adalah pengguna internet yang malas berpikir dan
mencari tahu (Anchieng, 2018). Saat satu orang mengatakan ada seseorang yang memiliki
opini berbeda, opininya langsung dicap salah. Kemudian, warganet dengan mudahnya

4
ikut mengejek orang itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa orang itu
melakukan kesalahan tersebut.

Kecenderungan individu mengadopsi preferensi mayoritas di sekitar mereka


disebut mob mentality (Polito, 2017). Teori ini menjelaskan bagaimana paham seseorang
dapat dipengaruhi secara mudah oleh circle of influence orang tersebut. Seorang manusia
memiliki kecenderungan untuk mengikuti arah pemikiran orang-orang di sekitarnya,
terlepas dari pemikiran dan perasaannya sendiri. Salah satu faktor utama terbentuknya
mentalitas massa ini adalah karena manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki
kebutuhan untuk membentuk konformitas (Lee, 2018) . Sebagai makhluk sosial, manusia
memiliki naluri untuk membangun imaji kolektif dengan kelompok sosialnya. Karena
kebutuhan konformitas tersebut, manusia didorong untuk selalu bisa adaptif. Perdebatan
dan pertengkaran karena pendapat atau pandangan yang berbeda menjadi sesuatu yang
dihindari manusia pada umumnya (Tanudjaya, 2019).

2.1.3 Literasi Digital

Kata “literasi”, yang bermakna kemampuan untuk membaca dan menulis,


secara perlahan memiliki perluasan makna dengan berkembangnya teknologi media
digital. W. James Potter (2004:4) menyatakan bahwa makna literasi ini diperluas dari
yang awalnya hanya literasi membaca menjadi literasi visual serta literasi komputer.
Ketiganya merupakan komponen independen dalam keseluruhan istilah literasi media
(Sabrina, 2019). Dengan berkembangnya digitalisasi, barulah muncul istilah literasi
digital yang selanjutnya dimaknai dengan kemampuan untuk memahami informasi
berdasarkan format digital seperti kata-kata, rekaman suara, dan gambar yang melebur
menjadi satu. Bahan-bahan kombinasi yang kerap diistilahkan dengan "multimedia" ini
memang bukan hal baru, tetapi bahan penyusunnya lah yang yang hadir dengan cara baru.
Warganet memiliki kesempatan untuk mengubah dan menafsirkan gambar, suara, dan
kata-kata secara bebas (Lanham, 1995:198: Sabrina, 2019).

Menurut Alkalai (2004), terdapat 5 cara bagaimana literasi digital ini diterapkan.
Pertama, literasi visual yang mencakup kemampuan untuk menangkap dan
menyimpulkan informasi dari visual. Kemudian, ada reproduksi literasi yang menuntut
seseorang untuk menggunakan teknologi digital untuk menghasilkan karya baru dari

5
pekerjaan yang sudah ada dan percabangan literasi yang melihat keberhasilan masyarakat
dalam menavigasi media nonlinear dari ruang digital. Selanjutnya, ada kemampuan sosio-
emosional literasi yang mengacu pada aspek-aspek emosional melalui proses sosialisasi
dan interaksi secara online. Terakhir, informasi literasi untuk menilai kemampuan
seseorang dalam mencari, memverifikasi, dan mengevaluasi secara kritis informasi yang
didapat dari media sosial (Eshet, 2004).

Adapun beberapa manfaat dari penerapan literasi digital di masyarakat menurut


Harvey J. Graff (2006) adalah menambah pembendarahaan kata seseorang, meningkatkan
fungsi kognisi otak karena terus dilatih dalam kegiatan menulis dan membaca, mendapat
berbagai pengetahuan baru, mengoptimalkan kemampuan interpersonal seseorang,
mengembangkan daya pikir analitis dan konsentrasi seseorang, serta meningkatkan
kemampuan verbal seseorang (Eti, 2020).

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Analisis Data

3.1.1 Data Terkait Dampak Cancel Culture Bagi Korban

Dilansir dari akun YouTube milik Korea Reomit yang berjudul "Di Korea Sekali
Kena Skandal Langsung Kehilangan Karir?", Jang Hansol memaparkan besarnya dampak
kasus Cancel Culture di Korea Selatan terhadap individu atau sebuah perusahaan yang
bersangkutan. Cancel culture terjadi paling sering di kalangan selebritis karena label
mereka sebagai artis yang dianggap menjadi panutan bagi banyak penggemarnya.
Berdasarkan anggapan tersebut, ketika seorang artis melakukan kesalahan yang berujung
pada sebuah skandal, K-Netz akan bertindak tegas sebagai bentuk penegakan norma dan
moral. Hal inilah yang menjadikan kasus cancel culture menjadi tradisi kental di
masyarakat Korea (Korea Reomit, 2021).

Dalam videonya, Jang Hansol memberi contoh skandal aktor Korea Selatan, Kim
Seon Ho, yang sempat mengejutkan publik akibat tuduhan pemaksaan aborsi terhadap
mantan kekasihnya yang bernama Choi. Meskipun tuduhan itu hanya berupa postingan
anonim di internet yang belum divalidasi agensi maupun Kim Seon Ho sendiri, respons
masyarakat yang ekstrim membuat karir Kim Seon Ho langsung terkena dampak
signifikan. Imbas dari skandal tersebut adalah sejumlah brand menghilangkan wajah Kim
Seon Ho dari iklan mereka dan stasiun televisi yang membatalkan penayangan drama
yang diperankan oleh Kim Seon Ho. Selain itu, Kim Seon Ho pun dipecat dari program
talkshow 2 Days 1 Night yang sudah dibintanginya selama beberapa tahun silam.
Akibatnya, pihak agensi Kim Seon Ho yang bersangkutan pun turut mengganti rugi
sejumlah brand atau program televisi yang batal tayang tadi (Korea Reomit, 2021).

Hal yang disayangkan dalam kasus Kim Seon Ho ini adalah bagaimana
masyarakat tidak memberi kesempatan bagi Kim Seon Ho untuk membuktikan
pernyataan anonim tersebut. Masyarakat langsung menolak tayangan apapun mengenai

7
Kim Seon Ho di televisi. Dengan adanya konfirmasi lanjutan dari pihak anonim bahwa
Kim Seon Ho tidak bersalah dalam hal tersebut, barulah masyarakat kembali menerima
Kim Seon Ho.

3.1.2 Data Terkait Mob Mentality

Budaya Cancel Culture melahirkan mob mentality atau mentalitas massa. Hal ini
yang ingin dibuktikan dalam eksperimen sosial yang ditayangkan oleh Delhi Talks.
Eksperimen sosial ini berfokus pada seorang perempuan yang sedang menunggu dalam
sebuah klinik. Saat sebuah bunyi terdengar, semua orang yang ada dalam ruang tunggu
klinik tersebut berdiri. Beberapa kali bunyian terdengar dan melihat semua orang juga
berdiri, alhasil perempuan tadi ikut berdiri saat orang lain berdiri tanpa mengetahui
mengapa sebenarnya mereka semua yang ada di dalam ruang tunggu klinik itu berdiri
(Delhi Talks, 2016).

Selanjutnya, fenomena mob mentality ini juga ditampilkan oleh kanal YouTube
milik National Geographic yang berjudul Question the Herd: Brain Games. Peserta yang
tergabung dalam eksperimen ini ditempatkan dalam satu barisan untuk memilih jawaban
yang benar antara A, B, dan C. Peserta yang berada di barisan pertama memilih A, diikuti
oleh peserta kedua, ketiga, dan seterusnya juga memilih A. Saat tiba waktunya peserta
terakhir memilih, ia sempat bimbang untuk memilih A atau C. Menurut perkiraan peserta
terakhir ini, C adalah jawaban yang tepat. Namun, peserta terakhir ini pun memutuskan
untuk menyamakan jawaban dengan yang lainnya, memilih A (National Geographic,
2015).

Dalam kedua eksperimen di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat seseorang


juga turut dipengaruhi oleh pendapat orang di sekitarnya. Saat pendapat satu individu
berbeda dengan yang lainnya, opininya dipertanyakan dan diragukan. Karena dirasa tidak
benar, seseorang juga dapat dengan mudahnya mengubah opinya menyesuaikan
preferensi mayoritas yang ada. Hal ini yang kemudian disebut mob mentality atau
mentalitas massa.

3.2 Hasil dan Pembahasan

3.2.1 Cancel Culture Sebagai Budaya Baru Sekaligus Ancaman Kebebasan

8
Aksi cancel culture ini dapat bertahan menjadi budaya baru karena era digitalisasi
yang membuat media sosial menjadi wadah alternatif baru bagi masyarakat untuk
beraktivitas dan bersosialisasi. Fenomena yang terjadi di dunia nyata akan dialihkan
dalam dunia virtual seperti internet, salah satu contohnya adalah aksi sosial. Kegiatan
seperti mengadakan petisi online, pemboikotan online, termasuk cancel culture itu sendiri
juga merupakan aksi sosial yang beradaptasi. Selain itu, aksi cancel culture dapat
dikatakan sebagai implementasi fenomena perilaku masyarakat dalam sistem demokrasi,
di mana publik dari berbagai kalangan berhak berpendapat (Ani, 2021). Salah satu
contohnya adalah kasus yang menyeret penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling, yang
di-cancel karena penggambaran karakter tokoh transgender dalam bukunya dinilai terlalu
agresif dan tidak stabil. Ada pendapat kontra mengenai kasus ini, yaitu menyangkut
kebebasan J.K. Rowling dalam menulis karakter dalam bukunya sendiri patut
diperhatikan dan dihargai (Putsara, 2020).

Berdasarkan kasus yang menimpa Kim Seon Ho beserta dampak terhadap


karirnya, terdapat argumen yang menyatakan bahwa keberadaan tren ini menempatkan
media sosial sebagai tempat yang menolak dan mengukung kebebasan berpendapat
seorang publik figur (Primastiwi, 2020). Dalam kasus Kim Seon Ho, Hal ini disebabkan
oleh fakta bahwa seorang public figure tidak bisa bebas berpendapat karena resikonya
tinggi. Jika opininya tidak sesuai dengan status quo preferensi mayoritas saat ini atau
terlibat dalam skandal yang bersinggungan dengan moral dan norma, public figure dapat
dengan mudahnya di-cancel masyarakat. Seperti dalam kasus Kim Seon Ho misalnya,
adanya petisi untuk pembatalan kontrak iklan, program televisi, dan drama yang akan
tayang. Fenomena ini merupakan bagian dari dinamika sosial, di mana public figure sulit
untuk berpendapat bebas karena adanya beban yang harus dijangkau dan agreeable untuk
semua orang. Dalam artian lain, seorang public figure harus siap menanggung
konsekuensi ketika menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Adanya konsekuensi
inilah yang kemudian memunculkan istilah baru, yakni kebebasan berpendapat yang
bertanggung jawab.

Cancel culture menegaskan peran kebebasan berpendapat yang bertanggung


jawab ini di media sosial. Pelaku yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap opini yang
disampaikannya akan diberi sanksi sosial sehingga dapat membuat efek jera yang

9
berkelanjutan. Namun, di sisi lain, tindakan cancel culture yang berlebihan juga membuat
ruang kebebasan berpendapat menyempit di media sosial. Kesimpulannya, tren cancel
culture seperti pedang bermata dua dalam aktivitas media sosial. Maka dari itu, penting
untuk memahami literasi digital sebagai upaya untuk menanggapi dan mengatasi bahaya
dari tren cancel culture ini.

3.2.2 Urgensi Literasi Digital dalam Menanggulangi Bahaya Cancel Culture

Seperti yang sudah disinggung dalam landasan teori, cancel culture melahirkan
masyarakat yang cenderung mengadopsi preferensi mayoritas di sekitar mereka. Dari
contoh kasus di bagian analisis data, tendensi masyarakat tersebut akan berdampak buruk
saat mengolah suatu informasi di media sosial. Masyarakat dengan mudahnya akan ikut-
ikutan dalam menilai suatu informasi yang masuk tanpa paham apa yang sebenarnya
terjadi. Akibatnya, keos pun dapat terjadi karena ketidakhadiran informasi yang valid di
tengah masyarakat. Masyarakat hanya mendengar rumor, gosip, atau berita yang belum
teruji kebenarannya. Kehadiran literasi digital di tengah kekacauan tersebut menjadi
penting. Baran dan Dennis dalam (Tamburaka, 2013) menguraikan konsep literasi digital
sebagai gerakan melek media yang efektif untuk meningkatkan kontrol individu terhadap
informasi di media sosial.

Potter (2001: 10) dalam survei singkatnya telah menjelaskan bagaimana individu
dengan tingkat literasi digital yang rendah cenderung melihat informasi secara tersurat.
Dengan keterbatasan perspektif ini, individu memiliki pengetahuan kognitif yang lebih
sempit dan dangkal sehingga tidak kapabilitas dalam menyortir informasi media yang
ada. Akhirnya, individu tersebut akan kesulitan untuk mengidentifikasi keakuratan
informasi, mengolah konten, dan menyadari berita hoaks (Sabrina, 2019).

Sebaliknya, pada tingkat individu dengan kesadaran literasi digital yang tinggi.
Potter (2001:10) menjelaskan bahwa individu tersebut secara aktif dapat menggunakan
segala interpretasi dalam mengelaborasi pesan-pesan media secara terstruktur. Lebih
lanjut, Potter juga menyatakan individu tersebut akan mengetahui bagaimana menyeleksi
pilihan makna dan mempunyai kuasa kontrol diri atas media sosial yang baik (Sabrina,
2019).

10
Kondisi di atas memberikan penekanan akhir akan pentingnya kemampuan
literasi media. Ragam permasalahan yang muncul ini karena banyak masyarakat yang
tidak handal dalam memanfaatkan pengetahuan literasi media sebagai pedoman dalam
beretika di media sosial. Situasi ini semakin menggambarkan bagaimana struktur
pengetahuan literasi digital menjadi penting bagi publik. Terkait berbagai sisi positif yang
dapat ditemukan apabila peningkatan literasi digital diterapkan secara sistematis dalam
kehidupan media sosial, literasi digital juga akan meningkatkan self-control warganet.
Peningkatan literasi digital akan memberi titik tekan pada kemampuan kritis individu
yang berpijak pada pemrosesan informasi dan melibatkan kemampuan memverifikasi
data agar publik lebih peka ketika menyaring informasi. Publik yang cerdas mampu
memilah mana yang baik dan benar dalam beretika di media sosial. Selain itu, kecakapan
literasi digital juga bisa menunjang publik dalam menghadapi kasus-kasus yang bisa
berujung ke cancel culture. Kondisi ini akan menangkal dampak buruk dari maraknya
tren cancel culture saat ini karena adanya self-control warganet yang baik.

11
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Dari berbagai kompleksitas yang ditawarkan oleh era digital, tren cancel culture
yang saat ini marak terjadi merupakan salah satu fenomena yang tidak bisa dielakkan.
Tren ini seolah menormalkan argumen hipersensitivitas yang semakin membatasi orang-
orang untuk membicarakan topik kontroversial atau mengutarakan opini dengan jaminan
kebebasan berpendapat yang semestinya. Istilah lainnya yang muncul berdampingan
dengan tren cancel culture ini adalah mob mentality, di mana masyarakat menggunakan
preferensi mayoritas dan membangun kamar-kamar khusus bagi setiap opini yang
berbeda dengan mayoritas. Mental masyarakat yang seperti ini tentu akan memperkeruh
diskursus publik, ruang aman masyarakat, dan angka toleransi suatu negara. Dengan kata
lain, kebebasan berpendapat di dunia maya menjadi tidak sehat.

Perubahan paling mendasar yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini adalah
semakin terbukanya kesempatan untuk mendapat informasi sehingga ruang kebebasan
berpendapat semakin nyata. Kebebasan berpendapat merupakan suatu hak yang
pemenuhannya penting dan dijamin dalam hukum setiap negara. Namun, kebebasan
berpendapat seseorang juga direstriksi oleh kebebasan berpendapat individu lain. Maka
dari itu, konsekuensi dari setiap opini yang disampaikan itu nyata adanya. Tren cancel
culture ini memberi pandangan bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab, terutama
bagi seorang public figure yang mempengaruhi opini publik.

Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan cancel culture ini menginisiasikan


urgensi literasi digital. Literasi digital dapat menjadi upaya preventif yang tepat dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan di atas. Kemampuan literasi digital membuat
publik dapat melihat suatu isu dengan objektif dan memilah data yang kredibel. Dengan
peran serta kebijakan pemerintah dan dukungan aktif masyarakat, implementasi literasi
digital akan mengarahkan demokrasi di media sosial ke arah yang lebih baik serta
menghasilkan generasi bangsa yang cerdas dalam era globalisasi ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Achieng, Garnett. The problem with “cancel culture”. (2020, 19 Desember). Diakses
melalui http://www.womensmediacenter.com/fbomb/the-problem-with-cancel-culture

Ani, R. (2021). Cancel Culture sebagai Pengendalian Sosial terhadap Influencer


Penyebar Berita Hoaks mengenai Pandemi Covid-19. Diakses Melalui
http://repository.unair.ac.id/108726/

Delhi Talks. Social Experiment on Mob Mentality. (2016, 06 September). [Video]


https://www.youtube.com/watch?v=Ia9aE3RH1Uc&t=17s

Eshet, Y. (2004). Digital Literacy: A Conceptual Framework for Survival Skills in the
Digital Era. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 13(1), 93-106.
Norfolk, VA: Association for the Advancement of Computing in Education
(AACE). Diakses melalui https://www.learntechlib.org/primary/p/4793/

Eti Sumiati, W. (2020). Manfaat Literasi Digital bagi Masyarakat dan Sektor Pendidikan
pada Saat Pandemi Covid-19. Buletin Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, 3(2)
2020, 65-80.

Helsper, E., & Enyon, R. (2009). Digital natives: Where is the evidence?
British Educational Research Journal. (hal 1-18).

Kemp, S. (2018). Digital in 2018: World’s Internet Users Pass The 4 Billion Mark.
Diakses dari <https:// wearesocial.com/blog/2018/01/global-digital report-2018>

KOMPAS. Hari Ini Polisi Panggil Anji Terkait Konten Video Hoaks Temuan Obat
Covid-19. (2020, 10 Agustus). Diakses melalui
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/10/07151591/hari-ini-polisi-panggil-
anji-terkait-konten-video-hoaks-temuan-obat-covid?page=all

13
Korea Reomit. Di Korea Sekali Kena Skandal Langsung Kehilangan Karir?. (2021, 25
Oktober). [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=MkcPE_AnIp8

Lanham, R. (1995). Digital Literacy: Scientific American, 273(3), 198-200. Diakses


dari http://www.jstor.org/stable/24981795

Lee, R. The Acceptance of Group Mentality. (2018, 08 Juli). Diakses melalui


https://psychcentral.com/blog/the-acceptance-of-group-mentality/

National Geographic. Question the Herd: Brain Games. (2015, 25 Februari). [Video].
https://www.youtube.com/watch?v=0IJCXXTMrv8&list=RDLVIa9aE3RH1Uc&index
=2

Ng, E. (2020). Reflections on Cancel Culture and Digital Media Participation. 21 (6),
621-627. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1527476420918828

Polito, K. What is “Mob Mentality”?. (2017, 08 Maret). Diakses melalui


http://inpathybulletin.com/what-is-mob-mentality/

Potter, W. James. (2001). Media Literacy 2nd Edition. California: Sage Publications.

Potter, W. James. (2004). Argument for the Need for a Cognitive Theory of Media
Literacy. American Behavioral Scientist, 48 (2), 266-272.
Diakses melalui http://journals.sagepub.com.ezproxy.ugm.ac.id/doi/pdf/10.1177/00027
64 204267274

Primastiwi, E. “Cancel Culture” di Indonesia: Kesadaran Sosial atau Sekedar Ikut-


Ikutan?. (2020, 17 September). Diakses melalui
https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/cancel-culture-di-indonesia-
kesadaran-sosial-atau-sekedar-ikut-ikutan/

14
Putsanra, V. D. Penyebab RIP JK Rowling Jadi Trending: Bukunya Dinilai
Transphobic. (2020, 15 September). Diakses dari https://tirto.id/penyebab-rip-jk-
rowling-jadi-trending-bukunya-dinilai-transphobic-f4rD

Sabrina, A. Literasi Digital Sebagai Upaya Preventif Menanggulangi Hoax.


Communicare : Journal of Communication Studies, 5(2), 31 - 46. (2019,16 Januari)
Diakses melalui https://doi.org/10.37535/101005220183

Tamburaka, A. (2013). Literasi Media : Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa.


Jakarta: Rajawali Pers Raja Grafindo Persada.

Tanudjaya, E. Kejatuhan James Charles : Cancel Culture dan Bahaya Mentalitas


Massa. (2019, 20 September). Diakses melalui
https://www.economica.id/2019/09/20/kejatuhan-james-charles-cancel-culture-dan-
bahaya-mentalitas-massa/

15

Anda mungkin juga menyukai