Anda di halaman 1dari 21

PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER BANGSA INDONESIA

DALAM MENGANTISIPASI KETIDAKSTABILAN NEGARA AKIBAT HOAX


Makalah ini dikerjakan untuk memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah Nasionalisme
Dosen: Prof. Dr. Armaidy Armawi, M.Si.

Penyusun:

Cerlang Wilfrid D 16/397356/FI/04221

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
DI. YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Globalisasi yang disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah berdampak pada masyarakat Indonesia, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi diterima sebagai
kemajuan sehingga masyarakat harus mampu menyesuaikan demi beradaptasi dengan
perkembangan zaman, termasuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan salah satu hasil yang didapat dari kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi tersebut, namun di sisi lain pemahaman mengenai
teknologi informasi dan komunikasi di kalangan masyarakat wajib ditingkatkan. Hal
ini dikarenakan adanya dampak yang berbeda-beda, di antaranya dampak positif dan
negative yang mengiringi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut.
Pengetahuan mengenai hal tersebut dinamai sebagai literasi teknologi informasi.

Literasi pada dasarnya sangat berkaitan dengan dunia pendidikan, Di era digital
seperti sekarang ini tantangan dunia pendidikan kedepannya akan lebih berat, oleh
karena itu optimalisasi teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu
alternative dalam membawa dunia pendidikan Indonesia ke kancah global. Beriringan
dengan hal tersebut, penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi juga kerap
terjadi di Indonesia, pasalnya marak bermacam kasus mengenai berita bohong, atau
yang lebih dekat dikenal dengan sebutan hoax.

Hoax pada waktu dan keadaan tertentu, dengan propagandanya dapat


menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat yang berakhir pada menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap warga yang berarti kehilangan loyalitas horizontal,
juga timbulnya kecurigaan terhadap pemerintahan yang berarti kehilangan loyalitas
vertikal. Hoax dengan segala kemungkinan yang dapat ditimbulkan, kini menjadi
ancaman serius bagi bangsa dan Negara, maka Negara dan pihak-pihak terkait
teknologi informasi dan komunikasi harus dapat mengatasi permasalahan mengenai
hoax ini. Negara khususnya, harus menjaga nilai-nilai ideologi fundamentalnya
berjalan dengan semestinya, sehingga kelak tidak akan timbul hal-hal yang tidak
diinginkan di masyarakat. Di era digital seperti sekarang ini, informasi sangat cepat
menyebar dan masyarakat kerap mempercayai informasi yang didapat tanpa adanya
konfirmasi dan verifikasi berita yang didapat sehingga masyarakat dapat terpengaruh
hal-hal yang kelak dapat merugikan Negara, juga bangsa.

2. Rumusan Masalah
1. Apa Dampak Informasi Hoax Terhadap Warganegara dan Pemerintah?
2. Bagaimana Cara Melakukan Reduksi Informasi Hoax Berbasis Pancasila?
3. Bagaimana Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila Yang Dapat Dilakukan Di Era
Digital Ini?
BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengantar masyarakat global


pada globalisasi yang membuka proses intergrasi internasional dengan mengadakan pertukaran
pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. (Al Rodhan,
2006). Peristiwa yang menghilangkan batas-batas kewilayahan ini menyebabkan hubungan
antar negara baik diplomatik maupun non-diplomatik semakin mudah tercapai. Keberadaan
globalisasi mengantarkan masyarakat dunia kepada konsep persatuan negara-negara di dunia
baik yang bersifat universal maupun regional.

Globalisasi meningkatkan integrasi budaya yang melintasi batas negara, namun juga
mengurangi peran negara dalam mengendalikan proses integrasi tersebut. Peningkatan
integrasi budaya antar negara ini memiliki pengaruh besar pada perubahan gaya hidup
masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia tergolong
mudah menerima dan dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan sosial bangsa lain. Penyebab
utama hal ini menurut Fachri dalam bukunya yang berjudul The Real Art of Hypnosis:
Kolaborasi Seni Hipnosis Timur-Barat, adalah masyarakat Indonesia memiliki tingkat sugesti
yang tinggi dan mudah dipengaruhi oleh sugesti tersebut, yang berarti bahwa masyarakat
Indonesia dengan nilai “rasa” yang tinggi membuatnya dapat mengaktualisasikan alam bawah
sadar dalam diri manusia sehingga sangat mudah terpengaruh oleh bangsa dan budaya asing
yang tidak dikenali sebelumnya (Fachri, 2009: 8).

Indonesia, sama seperti Negara-negara lain juga memperoleh dampak dari globalisasi
dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang secara tidak langsung menuntut
masyarakat untuk memahami penggunaan dan penyaringan informasi dari kemajuan teknologi,
hal yang biasa disebut sebagai literasi teknologi informasi sangat dibutuhkan dalam
mengantisipasi adanya kesalahan dalam memahami teknologi informasi dan komunikasi,
terutama media digital dan media sosial yang pada era ini merupakan salah satu jaringan
terbesar penyebaran berita dan informasi.

Media sosial sendiri menurut Andreas Kaplan merupakan sebuah media daring, yang
para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi blog,
jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog dan jejaring sosial sendiri merupakan
bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat dunia, termasuk
masyarakat Indonesia. (Kaplan, 2010: 59), Pepitone (dalam Westerman, 2013) juga
mengatakan media sosial dianggap sebagai salah satu teknologi yang penggunaannya
meningkat sebagai sumber informasi.

Sementara Villanueva mengatakan media sosial merupakan bagian internet yang


memberikan kekuasaan setiap orang untuk menginformasikan gagasannya kepada orang lain,
baik secara interpersonal, maupun ke banyak orang (Winkelmann, 2012). Menurut Susanto
(2011) terdapat masalah yaitu pihak yang patut dipercaya dan bagaimana menyaring informasi
sehingga berguna bagi pembaca. Namun kemunculan media sosial yang memudahkan
pengguna dalam bertukar informasi dan mengirim pesan kerap kali disalahgunakan oleh
sebagian pengguna demi dapat mengarahkan opini publik. Ketidakjelasan sumber informasi
dan keberagaman informasi yang mengarah pada hoax tersebut cenderung menjadi teror

Penyebaran hoax (berita bohong) merupakan salah satu penyalahgunaan media sosial
yang sangat serius karena dampaknya yang dapat mengacaukan masyarakat, tidak hanya di
jagat maya, melainkan juga di kehidupan nyata. Banyak kasus buruk yang terjadi akibat hoax,
karena banyak oknum yang memang sengaja memanfaatkan hoax sebagai senjata digital,
terlebih lagi dalam kurun waktu dan situasi tertentu seperti tahun politik menjelang pemilihan
umum atau pemilihan presiden. Meski begitu, pemerintah berusaha menanggulangi sebaran
hoax dengan meregulasi melalui UU ITE, sementara pengembang platform berusaha
menyediakan fitur pelaporan berita dan penyaringan, termasuk yang telah dilakukan WhatsApp
pada Mei 2019 dengan membatasi fitur Forward.

DailySocial, sebuah portal berita startup dan inovasi teknologi dalam riset Hoax
Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018 berusaha untuk dapat mendalami
karakteristik persebaran hoax dari sudut pandang penggunaan platform. Riset ini mencatat
masih banyak orang Indonesia yang tidak dapat mencerna informasi dengan sepenuhnya dan
benar, tetapi memiliki keinginan kuat untuk segera membagikannya dengan orang lain.
Sayangnya, beberapa informasi dapat membawa banyak interpretasi dan sudut pandang.

Bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, DailySocial menanyakan kepada
2032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia tentang sebaran hoax dan apa yang
mereka lakukan saat menerima hoax. Menurut riset yang yang dilakukan oleh DailySocial,
informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook dengan persentase 82,21%,
WhatsApp dengan persentase 56,55%, Instagram dengan persentase 29,48%, Line dengan
persentase 32,97%, dan Twitter dengan persentase 21,70%, lainnya adalah Telegram dengan
persentase 10,09%, juga media sosial lain dengan persentase sebesar 2,51%. Dari 2032
responden yang berpartisipasi dalam survey yang dilakukan oleh DailySocial, 77,76%
responden selalu membaca seluruh isi informasi yang dibagikan lewat media sosial, namun
sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita
hoax. (Daily Social, 2018: Hoax Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018)

Penyebaran berita hoax yang telah lama terjadi menunjukkan tren peningkatan dalam
tiga tahun terakhir. Di tahun 2016 saja, sedikitnya terdapat delapan berita hoax yang mampu
menjadi perbincangan secara nasional. Berita hoax yang cukup viral salah satunya adalah
Gerakan Rush Money. Gerakan ini mulai diperbincangkan masyarakat pasca demo besar 4
November 2016, yang menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama diadili oleh
aparat penegak hukum. Isu ini mengajak masyarakat untuk menarik semua uangnya di bank
BUMN maupun Swasta. Viralnya isu ini sampai membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani
langsung memberikan imbauan agar masyarakat tidak mudah terhasut
(https://kumparan.com/@kumparantech/ konten-hoax-yang-meresahkan-selama2016 diakses
pada 18 Juni 2019 Pukul 15.40).

Isu selanjutnya adalah 10 Juta Tenaga Kerja China Masuk Indonesia. Isu ini
mengungkapkan bahwa Indonesia telah kedatangan 10 juta tenaga kerja asal China dan siap
untuk merebut lapangan kerja di Indonesia. Viralnya kabar ini membuat Kementerian
Sekretariat Negara sampai perlu memberikan klarifikasi di akun media sosialnya tentang tidak
benarnya berita tersebut (https://news.detik.com/berita/d3376443/pemerintah-tepis-isu-10-
jutatenaga-kerja-china-masuk-indonesia diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 15.41). Isu yang juga
menjadi perbincangan adalah tidak sehatnya keadaan utang pemerintah Republik Indonesia.
Banyak hoax yang beredar menyebut bahwa rasio utang telah melebihi ambang batas aman
dan menuduh pemerintah telah gagal mengelola utang secara cermat. Padahal, sudah berulang
kali Menteri Keuangan memberikann penjelasan bahwa utang yang dikelola pemerintah masih
berada dalam batas sangat aman. Nominal utang memang membesar, namun rasio dan nilai riil
nya semakin mengecil, jauh dari yang dituduhkan oleh berita-berita bohong yang tersebar.
(https://ekonomi.kompas.com/read/2017/ 09/04/162642626/sri-mulyani-tangkisserangan-
soal-utang-negara diakes pada 18 Juni 2019 Pukul 15.42).
Isu yang menyangkut masalah pangan juga pernah menjadi perbincangan hangat. Isu
telur palsu yang disebarkan seseorang bernama Syahroni menjadi viral dan sempat
menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Syahroni menyebarkan hoax melalui video
berdasarkan info yang didapat dari pesan di grup Whatsapp. Tak lama, polisi kemudian
mengamankan Syahroni dan Ia mengaku menyesal telah menyebarkan berita hoax. Namun,
video Syahroni terus menjadi viral dan tetap memberikan dampak negatif pada masyarakat.
(https://www.liputan6.com/news/read/34 10276/polri-syahroni-termakan-isuhoax-telur-palsu
diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 20.30).

Isu yang menjadi perbincangan masyarakat dan ternyata merupakan isu hoax lainnya
adalah gambar palu dan arit di desain uang kertas baru. Berita yang timbul akibat ucapan Habib
Rizieq Shihab ini kemudian dikaitkan dengan bangkitnya Partai Komunias Indonesia (PKI)
yang dilarang keberadaannya. Isu ini menjadi viral, dan membuat Bank Indonesia sampai harus
turun tangan memberikan klarifikasi bahwa hal tersebut tidak benar. Gambar tersebut
merupakan fitur pengaman uang dan tidak terkait dengan organisasi manapun
(https://finance.detik.com/moneter/d3392687/ini-simbol-di-rupiah-yangdituding-mirip-palu-
arit diakes pada 18 Juni 2019 Pukul 15.43). Kabar terkait dengan demo 411 yang didukung
oleh negara Turki juga sempat beredar. Kabar tersebut memberitakan bahwa Staff Duta Besar
Turki turut ikut dalam aksi Bela Islam tersebut. Berita ini menjadi ramai dan menuai pro dan
kontra di masyarakat. Kemudian, diketahui bahwa berita ini merupakan berita hoax karena
Kedutaan Besar Turki menegaskan mereka tidak terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut
(https://news.detik.com/berita/d3337161/viral-di-medsos-kedubes-turkibantah-dukung-demo-
4-november diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 15.45).

Isu hoax juga menerpa nama Cut Meutia, pahlawan kemerdekaan dari Aceh. Sosoknya
yang digunakan dalam lembar uang kertas edisi terbaru menjadi perbincangan karena tidak
memakai jilbab. Hal ini dikatakan bertolak belakang dengan sosoknya yang muslimah. Namun,
berita hoax yang menyebar justru mengaitkan kemiripan Cut Meutia dengan pemilik Sari Roti,
Wendy Yap yang juga sedang menjadi sorotan publik di aksi bela Islam 411
(https://kumparan.com/@kumparantech/konten-hoax-yang-meresahkan-selama2016 diakses
pada 18 Juni 2019 Pukul 15.50). Berita hoax yang menyebar juga pernah berkaitan dengan
proyek infrastruktur. Beredar foto Jembatan Cisomang yang bengkok tiangnya, dan jembatan
yang melengkung. Foto ini viral di kalangan masyarakat dan menggiring opini tentang
buruknya kualitas infrastruktur di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Foto tersebut kemudian
diklarifikasi oleh pihak Jasa Marga sebagai hoax. Jembatan tersebut memang terjadi pergeseran
sebesar 53cm, namun tidak sampai membuat jembatan menjadi melengkung seperti tampak di
foto. Dalam keterangan resminya, Jasa Marga menulis bahwa foto tersebut merupakan hasil
suntingan oknum tidak bertanggung jawab yang hendak menyebarkan isu menyesatkan.
(https://properti.kompas.com/read/2016/12/23/190000821/jasa.marga.foto.jembatan.cisoman
g.bengkok.di.medsos.hoax. Diakes pada 18 Juni 2019 Pukul 20.31)

Jenis berita hoaks yang paling sering diterima oleh masyarakat, mengacu pada survei
yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 7-9 Februari 2017
terhadap 1.116 responden di Indonesia adalah hoax terkait dengan isu sosial-politik, seperti
pemerintah dan pilkada, terlihat dari 91,80 persen masyarakat yang menyatakan hal ini. Selain
isu tersebut, 88,6 persen masyarakat juga menyatakan paling sering menerima berita tidak tepat
tentang SARA. Menurut hasil survei Edelman Trust Barometer 2018, tujuh dari 10 masyarakat
dunia merasa khawatir jika berita palsu akan digunakan sebagai "senjata". Di Indonesia sendiri,
76 hingga 80 persen masyarakat khawatir akan pemanfaatan hoaks sebagai senjata untuk
menciptakan ketidakstabilan dalam negeri. (https://tirto.id/hoaks-dan-bahaya-rendahnya-
kepercayaan-terhadap-media-cKAx. Diakses pada 19 Juni 2019 Pukul 21:01)

Berita hoax yang kerap berisikan kebohongan mengenai isu sosial-politik yang
menyinggung pemerintahan dapat menimbulkan hilangnya loyalitas vertikal yang berarti
hilangnya kepercayaan terhadap pemerintahan, meskipun Indonesia menempati urutan ketiga
setelah China dan Uni Emirat Arab kategori Trust in Government dengan persentase
kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahnya secara berturut-turut menurut
Edelman: 53 persen (2014), 72 persen (2015), 58 persen (2016), 71 persen (2017), dan 73
persen (2018). (https://kumparan.com/@kumparannews/kepercayaan-tinggi-rakyat-indonesia-
ke-pemerintah-anomali-di-dunia. Diakses pada 19 Juni 2019 Pukul 21:09).

Karena itu beberapa upaya antisipasi penyebaran hoax harus dilakukan. Didik Haryadi
dalam wawancaranya untuk Jurnal Pekommas Vol. 3 no. 1 yang berjudul Interaksi Komunikasi
Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya oleh Christiany Juditha berpendapat bahwa hoax
dapat diatasi dengan dengan penegakan sistem, aturan, hukum dan literasi bagi publik. UU ITE
tetap relevan untuk menjerat pembuat dan penyebar berita hoax atau bohong di media sosial.
Disamping itu Kominfo bekerjasama dengan aparat hukum yang berwenang dan kampus,
untuk memetakan sumber berita hoax sekiranya dapat dilacak. Penegakan hukum bagi pelaku
berita hoax kelas kakap tetap yang utama. Cara mengantisipasi hoax dapat dilakukan dari 2 sisi
yaitu sisi khalayak virtual dan sisi regulasi. Dari sisi khalayak, perlu adanya proses gerakan
literasi media baru, ini penting sebab tidak jarang audien yang tidak tau apa-apa menjadi bagian
dari penyebar hoax. Dari sisi regulasi perlu punishment yang kuat tidak hanya berfokus pada
Si Penyebar hoax tapi lebih menitikberatkan pada Si Pembuat isi hoax. Dari sisi hukum, UU
ITE tetap perlu, namun juga perlu disediakan wadah/aplikasi/web yang didalamnya masyarakat
virtual bisa melapor, mengecek kebenaran berita, mengklarifikasi informasi yang sudah
didapat. Ini memang pekerjaan berat, tapi disinilah salah satu peran negara. Negara hadir disaat
masyarakat resah atau ragu terhadap informasi atau berita-berita yang diterimanya. (Juditha,
2018: 41).

Keberadaan hoax kerap kali mengancam perpecahan dalam masyarakat, maka dari itu
Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dapat ditelusuri
filosofinya sebagai basis perbaikan karakter bangsa di era teknologi informasi dan komunikasi.
Pendidikan karakter berbasis Pancasila merupakan solusi dalam menanggulangi perpecahan
bangsa yang diakibatkan oleh hoax yang mengakibatkan propaganda politik. Pendidikan
merupakan investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategi bagi
kelangsungan peradapan manusia di dunia. Oleh sebab itu hampir semua negara menempatkan
variabel pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama dalam konteks pembangunan
bangsa dan negara. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu jalur yang sangat penting
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
Indonesia yang berkualitas, cerdas, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab.

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang


memfokuskan pada pembentukan warga negara yang mampu memahami dan melaksanakan
hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang berkarakter dan
Nasionalisme. Pendidikan Kewarganaan juga disebut sebagai pendidikan orang dewasa yang
yang mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang memahami perannya sebagai warga
negara (Sapriya, 2011 : 32). Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa dapat
mendapatkan pembelajaran untuk menjadi seorang warga negara yang baik. Warga negara
yang baik adalah warga yang selalu menuhbuhkan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila
ini menjadi landasan dasar, serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-
hari dan dalam kenegaraan. Pancasila juga berperan untuk menumbuhkan karakter pada
penerus bangsa ini.

Karakter adalah watak, sifat, ataupun kepribadian yang membedakan seorang individu
lainnya atau karakter dapat dikatan juga sebagai keadaan yang sebenarnya dari dalam diri
seorang individu, yang membedakan antara dirinya dengn individu lain, sedangkan karakter
menurut menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian dan akhlaq
mulia, perilaku, sifat, dan watak (Fathurrohman 2013 : 16). Pendidikan karakter sangat penting
pada warga negara Indonesia khususnya siswa sekolah agar siswa sekolah menumbahkan jiwa-
jiwa yang berkarter jujur dan disiplin.Untuk itu warga negara Republik Indonesia khususnya
siswa sekolahdiharapkan memiliki jiwa nasionalisme dengan tetap bertahan pada nilai-nilai
budaya bagnsa indonesia meskipum banyak nudaya asing masuk di negaran indonesia.
Nasionalisme merupakan satu faham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan
sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia
yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional,
dan nasionalisme di lingkungan masyarakat.

Alur pikir pembangungan karakter menempatkan pendidikan merupakan salah satu


strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa yang dalam pelaksanaanya harus dilakukan
secara koheren dengan beberapa strategi yang mencakup sosialisasi atau penyadaran,
pemberdayaan, pembudayaan dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Pembangunan
karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga,
satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, anggota legislatif, media massa, dunia usaha
dan industri (Kemdiknas, 2011:6). Dalam melaksanakan dan mengawal pembentukan karakter
bangsa diperlukan komitmen yang serius sehingga penanamana nilai-nilai kebaikan kepada
warga sekolah dapat menjadikan peserta didik menjadi insan paripurna yang tentu saja
melibatkan isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga
sekolah, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan berbagai kegiatan peserta didik,
pemberdayaan sarana dan prasarana serta etos kerja seluruh warga sekolah yang berdasarkan
kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan rasa cinta dan berla terhadap negara dan tanah air

Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya. Bahkan dapat dikatakan bahwa “bangsa yang besar dapat dilihat dari
kualitas/karakter bangsa (manusia) itu sendiri”. Membangun berarti bersifat memperbaiki,
membina, mendirikan, dan mengadakan sesuatu. Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lainnya. Jadi
membangun karakter adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina,
memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak, insan manusia
sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan nilainilai Pancasila
(Suhady dan Sinaga, 2006:64-66).

Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa perlu diimplementasikan untuk


membangkitkan karakter bangsa yang semakin menurun. Pancasila merupakan refleksi kritis
dan rasional sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh. Pancasila sebagai
ideologi baik dalam pengertian ideologi negara atau ideologi bangsa masih dipertahankan.
Namun, seiring kesalahan tafsir bahwa Pancasila dipergunakan untuk memperkuat
otoritarianisme negara. Salah satu ciri kekuasaan yang otoriter di manapun adalah selalu
menganggap ideologi sebagai maha penting yang berhubungan erat dengan stabilitas atau
kohesi sosial. Tetapi asumsi bahwa usaha menyeragamkan ideologi penting demi menciptakan
stabilitas dan memperkuat kohesi masyarakat adalah menyesatkan (Wahyudi, 2004:3).

Bagaimanapun sejarah telah membuktikan bahwa nilai materiil Pancasila merupakan


sumber kekuatan bagi perjuangan bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan pengikat
sekaligus pendorong dalam usaha menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan sehingga
menjadi bukti bahwa Pancasila sesuai dengan kepribadian dan keinginan bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan sublimasi nilai-nilai budaya yang mernyatukan masyarakat Indonesia
yang beragam suku, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila merupakan jiwa kepribadian, dan pandangan hidup masyarakat
di wilayah nusantara sejak dahulu (Laksono, 2008:2).

Oleh karena itu pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang


membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila yang meliputi: 1. Mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik dan berprilaku baik. 2. Membangun
bangsa yang berkarakter Pancasila 3. Mengembangkan potensi warga negara agar memiliki
sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia
(Kemdiknas, 2011:7). Selama ini nilai-nilai dan prinsip-prinsip UUD 1945 dan Pancasila telah
diwariskan dan telah menjadi kesepakatan seluruh rakyat seperti Proklamasi Kemerdekaan,
lima sila dalam Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercermin dalam
pembukaan UUD 1945.

Sementara prinsip-prinsip penjelmaan Pancasila yang tercantum dalam UUD 1945


mengenai negara kesatuan yang berbentuk republik, menjunjung tinggi hak asasi manusia,
sistem Bhineka Tunggal Ika, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah, sistem
ekonomi sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan, sistem pembelaan negara
berdasarkan hak dan kewajiban semua warga negara, pemerintahan presidentil dan
pengawasan oleh DPR (Suhady dan Sinaga, 2006:55-59). Melihat nilai-nilai dan prinsip-
prinsip UUD 1945 tersebut, maka pendidikan karakter yang dikembangkan memang mengarah
kepada nilai dan prinsip tersebut yang intinya untuk membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh
iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Pendidikan karakter berbasis Pancasila yang berfokus pada penanggulangan


perpecahan yang diakibatkan oleh hoax dapat menekankan sila Persatuan Indonesia yang
merupakan sila ke-3 dalam Pancasila sebagai landasan yang tepat dalam mengantisipasi hoax
dan akibat buruknya yang dapat menimpa masyarakat dengan perpecahan karena makna
“Persatuan Indonesia“ dibentuk dalam proses sejarah yang cukup panjang sehingga seluruh
bangsa Indonesia memiliki suatu persamaan nasib, satu kesatuan kebudayaan, kesatuan
wilayah serta satu kesatuan asas kerokhanian Pancasila yang terwujud dalam persatuan bangsa,
wilayah, dan susunan negara. Persatuan adalah hal yang terbentuk tidak secara instan begitu
saja, melainkan dengan proses yang panjang.

Persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh, tidak terpecah belah; persatuan
mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan. Jadi, persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia.
Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena didorong untuk mencapai
kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah Negara yang merdeka dan berdaulat.
Persatuan Indoneia merupakan factor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia,
bertujuan memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. (Poespowardojo, 1994)
Persatuan Indonesia adalah perwujudan paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Karena itu, paham
kebangsaan Indonesia tidaklah sempit (chauvinistis), tetapi dalam arti menghargai bangsa lain.
Hakikat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang
berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang- undang dasar Negara
Indonesia.

1. Pasal-pasal 1, 32, 35, dan 36 UUD 1945.


2. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, memberikan petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud
pengamalan sila “Persatuan Indonesia” sebagai berikut: Menempatkan persatuan,
kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi
atau golongan, Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, Cinta tanah air
dan bangsa, Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah air Indonesia,
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tungga
Ika.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia
pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan
menyeluruh. Maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh, hierarkis dan
sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat.
Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri,
melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.

Pancasila sebagai filsafat bangsa dan Negara Republik Indonesia mengandung


makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan
harus berdasarkan nilai nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Nilai filosofi yang terkandung di dalam sila Persatuan Indonesia bahwa negara adalah sebagai
pen"elmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Di dalam Negara konsekuensinya adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri
dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Persatuan merupakan kata yang tak boleh dipandang remeh karena dengan persatuan,
semua suku bangsa ,golongan, ras, agama, etnis, dan lain sebagainya dapat bersatu tanpa
memandang dalam hal apapun. Indonesia dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika'
yang berarti meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan tentunya memilliki rasa satu kesatuan yang tinggi. Dengan pengamalan, penghayatan
serta pelaksanaan sila ke 3 ini, bangsa Indonesia tetap teguh walaupun beragam macam isu
sektarian, agama, dengan keyakinan teguh dan tekad yang kuat, persatuan dan kesatuan
Indonesia dapat dipertahankan. Inilah yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
bangsa lainnya di dunia.

Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai
penjelmaan sifat kodrat manuasia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Negara adalah suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang
membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama.
Karena perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-
elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beranekaragam tetapi satu,
mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang diliukiskan dalam Bhineka Tunggal Ika.
Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan
pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama
untuk mewujudkan tujuan bersama. (Kaelan, 2002)

Sudah diterangkan di atas bahwa negara Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya,
bahasa, agama, dan ras. Semua perbedaan tersebut harus memiliki wadah untuk bergabung
menjadi satu yaitu persatuan. Maka dari itu sangatlah penting sebuah persatuan di dalam
Negara agar terwujud kesatuan dan persamaan. Negara Indonesia sendiri sangatlah besar dan
luas sehingga sangatlah sulit untuk mengaturnya apabila tidak ada persatuan. Bahkan sudah di
sebutkan di dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. (Foulcer, 2008)
Sudah terlihat jelas makna dari sumpah pemuda yang berisi cita-cita para pendiri negara
di atas. Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia maksudnya mau membela
bangsa Indonesia yang masuk ke dalam kategori bela negara. Mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia maksudnya kita hanya mengakui bahwa kita hidup di Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini dan berani menjunjung tinggi negara Indonesia ini. Menjunjung Bahasa
Persatuan, Bahasa Indonesia maksudnya kita memiliki bahasa persatuan untuk memudahkan
berkomunikasi antar banyak ras suku di Indonesia yaitu bahasa nasional bahasa Indonesia.
Maka dari itu kita harus menjunjung tinggi persatuan di Indonesia.

Agar persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dapat terwujud maka haruslah ada rasa
toleransi diantara setiap warga masyarakat di Indonesia. Sikap dan rasa toleransi inilah yang
membawa sebuah negara menjadi sejahtera dan damai. Dalam kenyataanya sangatlah berbeda
dengan harapan yang diinginkan. Banyak orang malah merasa benar meskipun belum tentu
benar. Jadi kalau begitu semua hal tersebut berasal dari dalam diri sendiri. Kita satukan banyak
orang yang memiliki latar dan sifat yang beragam untuk menraih persatuan. Perasaan senasib,
serasa, sependeritaan pun dapat mempererat persatuan. Dengan kesamaan rasa orang akan
berfikir orang lain adalah bagian dari hidupnya dan muncul rasa untuk saling menolong.

Gagasan yang relevan dengan kondisi saat ini dan dapat mengampu Pancasila, tidak
hanya Sila ke-3 melainkan juga seluruh sila yang terdapat dalam Pancasila sebagai konten
utama dalam pembangunan karakter adalah gagasan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa pengajaran (onderwijs) itu tidak lain dan tidak
bukan adalah salah satu bagian dari pendidikan di mana selain memberikan ilmu atau
pengetahuan juga memberi kecakapan (keterampilan) kepada anak-anak yang keduaduanya
dapat berfaedah baik lahir maupun batin (Dewantara, 1962:67). Pendidikan menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada diri seseorang agar dapat hidup sebagai individu dan
masyarakat yang berguna di masa yang akan datang. Pendidikan adalah upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran dan tubuh anak
yang tidak dapat dipisah-pisahkan sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak.

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara disebut diengan konsep pendidikan sistem


among yang meliputi ing ngarsa sung tuladha (jika di depan memberi teladan mengandung
nilai keteladanan, pembimbingan dan pemanduan), ing madya mangun karsa (jika ditengah-
tengah atau sedang bersama-sama menyumbangkan gagasan, yang bermakna peserta didik
didorong untuk mengembangkan karsa atau gagasannya-mengandung nilai kreativitas dan
pengembangan gagasan serta dinamisasi pendidikan) dan tut wuri handayani (jika dibelakang
menjaga agar tujuan pendidikan tercapai dan peserta didik diberi motivasi serta diberi
dukungan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan – mengandung nilai memantau,
melindungi, merawat, menjaga, memberikan penilaian dan saran-saran perbaikan, sambil
memberikan kebebasan untuk bernalar dan mengembangkan karakter peserta didik)
sebenarnya sarat akan nilai-nilai karakter (Samani dan Hariyanto, 2011:6).

Jadi dapat dilihat bahwa konsep Kaya Karsa mengadopsi konsep sistem among Ki
Hajar Dewantara, sehingga pendidikan karakter sebetulnya bukan hal yang baru, tetapi
merupakan penggalian nilai-nilai lama dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara. Guru dapat
menjadi contoh yang langsung dapat ditiru oleh peserta didik dengan mengikuti ajaran dan
fatwa Ki Hajar Dewantara dengan menonjolkan karakter:
1. Tetep-Mantep-Antep a. Tetep mempunyai makna bahwa dalam melaksanakan tugas
kependidikan dan pembangunan bangsa harus berketetapan hati. Tekun bekerja tanpa
menoleh kanan kiri yang berarti melenakan perjuangan. b. Mantep berarti tetap tertib
berjalan maju selalu setia dan taat asas, teguh iman sehingga tidak ada kekuatan yang
dapat dapat menahan gerak dan langkah kita. c. Antep berarti segala perbuatan dan
tindak laku kana berisi dan berharga, tidak mudah dihambat dan dirintangi orang lain.
2. Ngandel, Kendel, Bandel, Kandel a. Ngandel, Maknanya, kita harus percaya dan
yakin sepenuhnya, pada kekuasaan dan takdir serta pada kekuatan serta kemampuan
diri sendiri. b. Kendel artinya berani, berani menghadapi segala sesuatu yang
merintangi, tidak ada ketakutan, was was dan keraguan hati karena Ngandel. c. Bandel
artinya kokoh, teguh hati tahan banting disertai sikap tawakal kan kehendak Tuhan. d.
Kandel berarti tebal serta kuat lahir batin sebagai kekuatan untuk menuju cita-cita 3.
Neng-Ning-Nung-Nang a. Neng-meneng berarti tidak ragu dan malu b. Ning-wening
berarti bening, jernih pikiran, tidak mengedepankan emosi, mampu dan mudah
membedakan antara yang hak dan yang batil c. Nung – hanung berarti kokoh,
senantiasa kuat, teguh dan kukuh lahir batin d. Nang – menang dan wenang berarti
memperoleh kemenangan dan memiliki kewenangan berhak dan berkuasa memiliki
hasil jerih payah kita. Apabila pendidik mampu mengimplementasikan ajaran Ki Hajar
Dewantara untuk mencapai fungsi dan tujuan dari Kaya Karsa maka dapat dipastikan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa tidak akan hanya menjadi wacana saja tetapi
dapat dijadikan contoh kepada peserta didik sehingga menjadi panutan di sekolah.
(Dewantara, 1962: 70)

Dengan berkembangannya teknologi informasi dan komunikasi, gagasan-gagasan yang


membangun karakter bangsa dapat dikemas dalam bentuk yang lebih kekinian dan
informasinya dapat disebarkan dengan cepat lewat Internet. Pendidikan karakter berbasis
Pancasila dapat diterima oleh masyarakat jika pendidikan karakter berbasis Pancasila itu
sendiri dapat beradaptasi di era digital dengan memaksimalkan bentuk konten yang akan
disebarluaskan lewat media digital. Publikasi mengenai pendidikan karakter berbasis Pancasila
dan Pancasila itu sendiri harus dipublikasikan secara global, baik secara akademik melalui
tulisan-tulisan akademisi di jurnal internasional, atau dengan konten-konten digital kreatif yang
dapat diterima oleh masyarakat luas, terutama pelajar dan para generasi muda penerus bangsa
Indonesia.

Beriringan dengan pendidikan karakter berbasis Pancasila yang disebarluaskan secara


digital, literasi teknologi informasi juga harus berjalan sesuai dengan nilai-nilai dan norma
yang dianut oleh masyarakat yang secara luas merupakan Pancasila. Pengawasan
perkembangan literasi teknologi informasi berbasis Pancasila akan membantu penyaringan
informasi dan pengetahuan yang tidak hanya hoax, namun juga paham-paham yang dapat
mengganggu stabilitas Negara seperti paham-paham radikalisme, atau ideologi lain yang dapat
mengancam keberadaan dan pengamalan ideologi bangsa Indonesia; Pancasila. Penyaringan
informasi tersebut bertujuan untuk menjaga stabilisasi Negara dari hoax yang kerap kali
menjadikan Negara atau pemerintahan yang sedang berlangsung sebagai target. Hoax yang
kerap kali menimbulkan perpecahan dalam masyarakat harus dapat disaring dan dicek
kebenarannya oleh masing-masing masyarakat, itulah outpur yang diharapkan dengan
dilaksanakannya pendidikan karakter berbasis pancasila dan literasi teknologi informasi,
sehingga masyarakat dapat terbebas dari hoax dan stabilisasi Negara, juga kerukunan bangsa
tetap terjaga dengan baik.
BAB III
SIMPULAN

Penyebaran hoax merupakan salah satu penyalahgunaan media sosial yang sangat
serius karena dampaknya yang dapat mengacaukan masyarakat, tidak hanya di jagat maya,
melainkan juga di kehidupan nyata, bahkan banyak kasus buruk yang terjadi akibat hoax.
Namun, pemerintah berusaha menanggulangi sebaran hoax dengan meregulasi melalui UU
ITE, sementara pengembang platform berusaha menyediakan fitur pelaporan berita dan
penyaringan.

Sedangkan untuk mengatasi dampak yang disebabkan hoax, pendidikan karakter


berbasis Pancasila yang menekankan sila Persatuan Indonesia yang merupakan sila ke-3
Pancasila dianggap dapat dijadikan landasan yang tepat dalam mengantisipasi hoax dan akibat
buruknya yang dapat menimpa masyarakat dengan perpecahan karena makna “Persatuan
Indonesia“ dibentuk dalam proses sejarah yang cukup panjang sehingga seluruh bangsa
Indonesia memiliki suatu persamaan nasib, satu kesatuan kebudayaan, kesatuan wilayah serta
satu kesatuan asas kerokhanian Pancasila yang terwujud dalam persatuan bangsa, wilayah, dan
susunan negara.

Gagasan yang relevan dengan kondisi saat ini dan dapat mengampu Pancasila, tidak
hanya Sila ke-3 melainkan juga seluruh sila yang terdapat dalam Pancasila sebagai konten
utama dalam pembangunan karakter adalah gagasan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa pengajaran (onderwijs) itu tidak lain dan tidak
bukan adalah salah satu bagian dari pendidikan di mana selain memberikan ilmu atau
pengetahuan juga memberi kecakapan (keterampilan) kepada anak-anak yang keduaduanya
dapat berfaedah baik lahir maupun batin.

Dengan kemampuan literasi yang dilandaskan gagasan Ki Hajar Dewantara dan


Pancasila harus beradaptasi dengan teknologi informasi dan komunikasi di era digital. Dengan
berkembangannya teknologi informasi dan komunikasi, gagasan-gagasan yang membangun
karakter bangsa dapat dikemas dalam bentuk yang lebih kekinian dan informasinya dapat
disebarkan dengan cepat lewat Internet. Pendidikan karakter berbasis Pancasila dapat diterima
oleh masyarakat jika pendidikan karakter berbasis Pancasila itu sendiri dapat beradaptasi di era
digital dengan memaksimalkan bentuk konten yang akan disebarluaskan lewat media digital.
Publikasi mengenai pendidikan karakter berbasis Pancasila dan Pancasila itu sendiri harus
dipublikasikan secara global, baik secara akademik melalui tulisan-tulisan akademisi di jurnal
internasional, atau dengan konten-konten digital kreatif yang dapat diterima oleh masyarakat
luas, terutama pelajar dan para generasi muda penerus bangsa Indonesia. Sehingga nantinya
jumlah masyararakat yang terpengaruh hoax dapat dikurangi karena adanya literasi teknologi
informasi yang dilakukan sejak dini. Akhirnya perpecahan bangsa dan ketidakstabilan Negara
juga akan berkurang dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rodhan, R.F. Nayef and Gérard Stoudmann. (2006). Definitions of Globalization: A


Comprehensive Overview and a Proposed Definition. GCSP Journal

Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan. Jogjakarta: Taman Siswa.

Fachri, Hisyam A. (2008). The Real Art of Hypnosis: Kolaborasi Seni Hipnosis Timur-Barat.
Yogyakarta: GagasMedia

Fathurrohman, Pupuh. (2013). Pengembangan
 pendidikan karakter. Bandung: PT Refika


Aditama

Foulcer, Keith. (2008). Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu

Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 31-44 31 Interaksi Komunikasi Hoax di Media
Sosial serta Antisipasinya Hoax Communication Interactivity in Social Media and
Anticipation Christiany Juditha Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi
Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI

Kaelan, H. (2002). Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta:


Paradigma

Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein. (2010). Users of the world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media. Business Horizons Journal 53(1): 59–68.

Laksono, Danang Tunjung. (2008). Pemahaman Pancasila sebagai Pandangan Hidup dan
Intensitas Bimbingan Moral oleh Orang Tua Pengaruhnya terhadap Kesadaran
Bahaya Perilaku Menyimpang pada Remaja di Kabayanan II Desa Mulur Kecamatan
Bendosari Kabupaten Sukoharjo Tahun 2008. Skripsi. Surakarta: FKIP Universitas
Muhammadiyah , 2008. 1-8.

Poespowardojo, Soerjanto. (1994). Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Samani, Muchlas, dan Hariyanto. (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung:
Rosda

Sapriya, Oding. (2011). Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta:
LaksBang Pressindo

Suhady, Idup, dan A M Sinaga. (2006). Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI

Wahyudi, Agus. (2004). Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komperehensif atau Konsepsi
Politis. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM

Winkelmann, S (ed). (2012). The Social Media (R)evolution? Asian Perspectives On New
Media. Singapore: Konrad-Adenauer-Stiftun.
Westerman, S., Van Der Helde. (2013). Social Media as Information Source: ecency of
Updates dan Credibility of Information. Journal of Computer Mediated
Communication. 171-183.

Sumber Digital Bukan e-Book dan e-Journal:

DailySocial. https://dailysocial.id/report/post/hoax-distribution-through-digital-platforms-in-
indonesia-2018. Diakses Pada 18 Juni 2019 Pukul 15:24)

Kumparan. https://kumparan.com/@kumparantech/ konten-hoax-yang-meresahkan-


selama2016 diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 15.40

Kompas. https://ekonomi.kompas.com/read/2017/ 09/04/162642626/sri-mulyani-


tangkisserangan-soal-utang-negara diakes pada 18 Juni 2019 Pukul 15.42

Liputan 6. https://www.liputan6.com/news/read/34 10276/polri-syahroni-termakan-isuhoax-


telur-palsu diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 20.30

Detik. https://news.detik.com/berita/d3337161/viral-di-medsos-kedubes-turkibantah-dukung-
demo-4-november diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 15.45

Kumparan. https://kumparan.com/@kumparantech/konten-hoax-yang-meresahkan-
selama2016 diakses pada 18 Juni 2019 Pukul 15.50

Kompas. https://properti.kompas.com/read/2016/12/23/190000821/jasa.marga.foto.jembatan.
ci somang.bengkok.di.medsos.hoax. Diakes pada 18 Juni 2019 Pukul 20.31

Tirto. https://tirto.id/hoaks-dan-bahaya-rendahnya-kepercayaan-terhadap-media-
cKAx. Diakses pada 19 Juni 2019 Pukul 21:01

Kumparan. https://kumparan.com/@kumparannews/kepercayaan-tinggi-rakyat-indonesia- ke-


pemerintah-anomali-di-dunia. Diakses pada 19 Juni 2019 Pukul 21:09

Anda mungkin juga menyukai